LEMBAH SELAKSA BUNGA


LEMBAH SELAKSA BUNGA JILID 02

LEMBAH SELAKSA BUNGA JILID 03

LEMBAH SELAKSA BUNGA JILID 04

LEMBAH SELAKSA BUNGA JILID 05

LEMBAH SELAKSA BUNGA JILID 06

LEMBAH SELAKSA BUNGA JILID 07

LEMBAH SELAKSA BUNGA JILID 08

LEMBAH SELAKSA BUNGA JILID 09






LEMBAH SELAKSA BUNGA JILID 15


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 01

   Pagi itu masih gelap kelam, remang-remang karena sinar matahari masih lemah sekali. Mataharinya sendiri belum tampak, agaknya masih jauh di balik bukit itu, baru mengintai dengan sinarnya yang masih lemah. Dari kaki bukit tampak bayangan seorang gadis berjalan mendaki bukit memasuki hutan. Agaknya ia sakit karena jalannya mulai terhuyung, namun ia memaksa dirinya melangkah terus mendaki sampai di lereng bukit yang pertama. Akan tetapi agaknya ia tidak kuat lagi dan akhirnya tubuhnya yang limbung itu roboh terkulai, telentang dengan lemah. Agaknya, bau tanah dan rumput yang masih basah oleh embun, amat menyejukkan dan terasa nyaman sekali bagi tubuhnya yang lemah lunglai seperti kehabisan tenaga.

   Sambil rebah telentang, matanya yang cekung di wajahnya yang pucat itu menatap ke atas, ke daun-daun pohon yang menutupi langit di atasnya. Ia diam saja, tak bergerak, merasakan nikmatnya udara dingin yang memeluknya, bagaikan orang tidur dengan mata terbuka. Sinar matahari yang mulai menguat menerobos celah-celah daun pohon, menggugah burung-burung yang semalam tidur bergerombol di antara ranting dan daun. Mulailah burung-burung itu terbangun dan hutan itu pun mulai sibuk dengan suara kehidupan. Burung-burung berceloteh riang dan ramai, dan sinar matahari mulai menerangi daun-daun, membuat mata wanita itu dapat menangkap burung-burung yang tadinya hanya dapat didengar kicau mereka saja.

   "Aku seperti mereka........" Gadis itu menggumam dan wajahnya yang tampak pucat dan kusut itu mulai agak bercahaya dan bola matanya bergerak-gerak mengikuti burung-burung yang berceloteh sambil meloncat-loncat dari ranting ke ranting, menggerakkan daun-daun sehingga mutiara-mutiara embun yang bergantungan pada ujung daun-daun itu runtuh ke bawah. Ada tetesan air embun yang membasahi muka pucat itu, menimbulkan senyum lemah karena embun dingin itu sedikit banyak mendatangkan kesegaran. Ketika burung-burung mulai beterbangan meninggalkan pohon, agaknya hendak mulai dengan tugas mereka sehari-hari untuk mencari makan penyambung hidup, gadis itu menahan senyumnya.

   "Aku seperti mereka, terbang bebas seorang diri di dunia ini......" Satu demi satu atau bergerombol tiga-empat ekor, burung-burung itu meninggalkan pohon besar di bawah mana gadis itu rebah telentang. Kini tinggal tiga ekor burung yang berada di dahan paling bawah sehingga gadis itu dapat melihat mereka dengan jelas. Setelah memandang dengan penuh perhatian sejenak, gadis itu mengerutkan alisnya. Seekor burung betina hinggap di ujung dahan, menyendiri, dan tak jauh darinya seekor burung betina lainnya berkasih-kasihan dan bermesraan dengan seekor burung jantan! Keduanya bercumbu, seolah hendak pamer kepada burung betina yang menyendiri itu.

   Selagi sepasang burung yang berkasih-kasihan itu berkicau riang gembira, burung betina yang menyendiri itu mengeluarkan bunyi bercicit lemah. Dalam pendengaran gadis itu, suara burung betina ini demikian menyedihkan dan mengharukan! Teringat ia akan dirinya sendiri yang nasibnya sama dengan burung betina itu! Ia terpaksa meninggalkan pemuda yang dicintanya karena pemuda itu memilih gadis lain sebagai pasangannya! Tiba-tiba sepasang matanya mencorong, tangan kanannya meraup dan menggenggam tanah di dekatnya dan sekali tangannya bergerak melemparkan genggaman tanah itu ke atas, dua ekor burung yang sedang bermesraan itu jatuh ke bawah.

   "Jahanam keparat!" Gadis itu seolah-olah mendapat tenaga baru dan ia lalu bangkit duduk, memandang kepada dua bangkai burung yang jatuh dekat di depannya.

   Mula-mula mata yang mencorong itu memandang puas, akan tetapi lambat laun sinar yang tadi mencorong itu mulai meredup, kemudian alisnya berkerut dan mata itu mulai terbelalak. Dalam pandang matanya, dua ekor bangkai burung itu tampak sebagai jenazah sepasang orang muda, seorang gadis cantik jelita dan seorang pemuda tampan perkasa! Kemudian, gadis itu menjerit, menangis dan menjambak-jambak rambutnya yang hitam lebat sehingga sanggul rambutnya terlepas dan rambut itu menjadi riap-riapan menutupi mukanya!

   "Aduh Lian Hong...... Tek Kun...... apa yang telah kulakukan ini......? Ahhh, maafkan aku...... aku...... hu-hu-huu......!" Ia menangis tersedu-sedu sampai lama, dan tangisnya makin lama semakin melemah dan akhirnya ia terkulai pingsan dengan tubuh telentang!

   Gadis itu adalah Nyo Siang Lan yang di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Hwe-thian Mo-li (Iblis Betina Terbang), seorang tokoh kang-ouw yang selain tinggi ilmu silatnya, juga terkenal liar dan ganas sekali. Gadis berusia sekitar duapuluh satu tahun ini adalah murid mendiang Pat-jiu Kiam-ong. Bersama sumoinya (adik seperguruannya) Ong Liang Hong, puteri kandung gurunya itu, ia melakukan balas dendam dan membunuh musuh-musuh besar Pat-jiu Kiam-ong yang dibunuh secara curang oleh para musuhnya. Dalam usaha balas dendam ini, ia bertemu dengan Kun-lun Siauw-hiap Sim Tek Kun, pendekar Kun-lun-pai yang tampan dan gagah perkasa. Baru pertama kali selama hidupnya, Nyo Siang Lan jatuh cinta kepada Sim Tek Kun.

   Akan tetapi kemudian ternyata bahwa pemuda putera Pangeran Sim Liok Ong itu adalah tunangan dari Ong Lian Hong, sumoinya! Maka, terpaksa ia meninggalkan mereka, dua sejoli yang saling mencinta. Ia pergi dengan perasaan tidak karuan, setengah merasa bahagia karena keberuntungan sumoinya, dan setengah lagi sengsara karena putus cinta. Selama hampir satu bulan berlari-lari tanpa tujuan sampai akhirnya pada pagi hari itu ia terjatuh di dalam hutan di lereng bukit itu karena kelelahan. Berhari-hari ia lupa makan lupa tidur, terombang-ambing oleh perasaan yang menekannya, membuatnya hampir menjadi gila. Tadi, melihat sepasang burung bermesraan di samping seekor burung betina yang kesepian, ia teringat akan diri sendiri dan timbul amarahnya sehingga ia membunuh sepasang burung itu.

   Akan tetapi sepasang burung itu dalam pandang matanya seperti berubah menjadi seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan, yaitu Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun! Tapi Lian Hong adik seperguruan yang disayangi dan dianggap seperti adiknya sendiri dan Sim Tek Kun satu-satunya pemuda di dunia ini yang dicintanya! Maka begitu melihat bayangan mereka pada dua bangkai burung yang dibunuhnya itu, ia terkejut, menyesal dan bersedih sekali, merasa seolah ia telah membunuh mereka yang ia sayangi itu karena cemburu. Ia menjerit-jerit minta ampun, menangis sejadi-jadinya sampai akhirnya ia terkulai pingsan saking tidak kuat menahan gelora hatinya.

   Tubuh gadis itu tergolek pingsan, dengan rambut tergerai dan mukanya pucat sekali, matanya terpejam dan pernapasannya demikian lemah dan halus seperti orang mati. Pakaiannya kusut dan wajahnya sebagian tertutup rambutnya yang terurai, namun tetap saja mudah dilihat betapa cantik wajahnya dan betapa menggairahkan tubuh gadis yang bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar dengan indahnya itu. Nyo Siang Lan yang berjuluk Hwe-thian Mo-li memang terkenal sebagai seorang dara perkasa yang cantik jelita, berusia duapuluh satu tahun. Tubuhnya sedang ramping dengan lekuk lengkung sempurna, kulitnya putih kuning mulus dan lembut. Rambutnya hitam lebat dan panjang berikal mayang sehingga biarpun kini sanggulnya terlepas sehingga tergerai, masih tampak indah. Anak rambut yang lembut melingkar di pelipis dan atas dahinya.

   Sepasang matanya bagaikan bintang, bening tajam dan agak lebar, dengan kedua ujung agak menjungat ke atas. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya membuat setiap orang laki-laki yang memandangnya menjadi tergila-gila. Sulit setelah sekali melihat melupakan sepasang bibir yang lembut, penuh, dan kemerahan karena sehatnya itu dan kalau tersenyum sehingga agak terbuka, memperlihatkan deretan gigi putih bersih dan rapi, rongga mulut dan lidah yang ujungnya merah muda dan sehat. Siang Lan yang pingsan itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu belasan orang muncul dan menghampirinya. Mereka itu datang dari lereng atas dan orang-orang ini mengenakan pakaian yang aneh karena pakaian mereka itu dilukis kembang-kembang beraneka ragam dan warna sehingga nampak indah mencolok akan tetapi juga aneh.

   Biasanya hanya kaum wanita saja yang mengenakan pakaian berkembang-kembang seperti itu. Seorang di antara mereka yang usianya sekitar empatpuluh tahun dan kepalanya memakai sebuah topi yang dihias kembang-kembang hidup, berjongkok memeriksa Siang Lan. Laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan semua anggauta badannya tampak besar, kepalanya, matanya, hidung dan mulutnya yang menyeringai, semua tampak lebih besar daripada manusia umumnya. Dia tampak terkejut heran dan senang melihat gadis yang demikian cantiknya tergolek di situ dan ternyata masih hidup. Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang pingsan itu memiliki sebatang pedang dalam sarung yang amat buruk, dia mengerutkan alisnya. Diambilnya pedang itu dan dicabutnya dari sarung pedang.

   Bukan main kaget dan herannya ketika dia mendapat kenyataan bahwa pedang itu berkilauan saking tajamnya. Tahulah dia bahwa pedang itu bukan pedang biasa dan orang yang memiliki pedang pusaka seperti itu tentu bukan orang sembarangan pula. Maka dia menyarungkan kembali pedang itu dan menyerahkannya kepada seorang anak buahnya. Kemudian dia menotok beberapa jalan darah di kedua pundak dan punggung Siang Lan. Setelah itu dia sendiri mengangkat dan memanggul tubuh gadis yang lemas itu dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengikutinya naik ke bukit itu. Anak buahnya tampak gembira dan tertawa-tawa mengikuti pemimpin mereka yang memanggul tubuh Siang Lan naik ke arah puncak bukit. Tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah lembah bawah puncak yang teramat indah.

   Sungguh luar biasa sekali keadaan lembah itu karena sebagian besar tanah di situ penuh dengan tanaman bunga beraneka bentuk dan warna. Hampir semua bunga yang ada di negeri itu agaknya terkumpul di lembah ini! Lembah yang amat luas itu dipenuhi beribu-ribu tanaman bunga sehingga kalau orang berada di tempat itu dia akan merasa seperti berada di taman sorga! Beraneka keharuman bunga memenuhi udara, menyegarkan pernapasan. Di sekeliling lembah itu terdapat belasan buah rumah mungil dan di tengah-tengah terdapat sebuah rumah besar yang dikelilingi seribu satu macam bunga. Laki-laki tinggi besar itu membawa Siang Lan yang masih pingsan ke dalam rumah besar, lalu ia dibaringkan di atas sebuah pembaringan dalam kamar yang luas indah dan mewah.

   Sampai hari menjadi gelap Siang Lan belum juga siuman dari pingsannya. Laki-laki itu mengulang dan memperkuat totokannya agar gadis itu tidak mampu bergerak kalau siuman nanti. Kemudian dia mengambil air dan membasahi kepala dan leher Siang Lan dengan air dingin. Gadis itu merintih dan bergerak. Ia siuman dari pingsannya akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa kaki tangannya lumpuh dan tidak dapat ia gerakkan. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi tahulah ia bahwa ia berada dalam keadaan tertotok oleh seorang ahli yang lihai sekali. Ketika ia di bawah sinar lampu meja melihat seorang laki-laki tinggi besar duduk di tepi pembaringan, ia mengerutkan alisnya dan sepasang matanya mencorong. Ia marah bukan main, maklum, bahwa tentu laki-laki ini yang telah menotoknya.

   "Jahanam busuk dan curang! Bebaskan aku dari totokan!" ia berseru. Laki-laki itu tersenyum, menyeringai dan tampak buruk sekali. Apalagi pakaiannya mewah dan berkembang-kembang sehingga dia tampak seperti seekor kera besar berpakaian!

   "Tenanglah, manis. Engkau tidak akan diganggu, bahkan engkau akan menduduki tempat tinggi dan mulia di sini. Sudah lama aku menanti datangnya seorang wanita seperti engkau, dan sekarang harapanku terkabul. Engkau kupilih menjadi isteriku, menjadi isteri ketua perkumpumpulan Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga) yang dimuliakan dan dihormati. Maka, bergembiralah engkau dan jangan marah, jangan pula bersedih!" Siang Lan terkejut, akan tetapi ia menjadi semakin marah karena sekarang ia tahu bahwa ia telah terjatuh ke tangan orang-orang jahat yang berniat keji terhadap dirinya. Ia hendak diperisteri, dipaksa menjadi isteri laki-laki menyebalkan ini. Tentu saja ia tidak sudi! Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Bergerak pun ia tidak dapat.

   "Siapa sudi menjadi isterimu?" bentaknya. Walaupun kaki tangannya tidak dapat bergerak, namun suaranya masih lantang dan semangatnya masih tinggi karena ia sama sekali tidak merasa gentar sedikit pun.

   "Hayo cepat bebaskan totokan ini dan kalau engkau memang seorang gagah, mari kita bertanding sampai seorang di antara kita roboh dan tewas! Jangan bertindak pengecut seperti ini!"

   "Hua-ha-hah!" Orang itu tertawa, agaknya senang melihat betapa gadis yang amat cantik itu ternyata juga amat gagah berani. Dia bertepuk tangan dan masuklah lima orang wanita berusia sekitar tigapuluh tahun yang rata-rata memiliki wajah cantik dan pakaian mereka mewah sekali. Mereka berlima membungkuk dengan hormat di depan laki-laki tinggi besar itu dan seorang di antara mereka bertanya.

   "Apa yang harus kami lakukan, Pang-cu (Ketua)?"

   "Kalian jaga baik-baik gadis ini dan perlakukan ia dengan baik, jangan sampai ia tersinggung, jangan pula melakukan gangguan apa pun. Cukupi makan minumnya dan siapkan pakaian terindah untuknya. Ingat, gadis ini adalah calon Nyonya Ketua, calon isteriku. Aku berada di depan bersama para pembantuku untuk membicarakan tentang persiapan pernikahan.

   "Awas kalau sampai ia menjadi marah karena ada yang mengganggunya, aku akan memberi hukuman berat dan tidak mengenal ampun. Kukira gadis ini tentu seorang yang amat lihai, oleh karena itu, untuk menjaga segala kemungkinan, sebelum ia terbebas dari totokan, akan kubelenggu dulu kaki tangannya." Setelah berkata demikian laki-laki yang disebut Pang-cu itu lalu mengambil tali hitam yang terbuat dari sutera dan mengikat kedua pergelangan kaki dan tangan Siang Lan dengan erat namun tidak sampai mendatangkan rasa nyeri pada gadis itu.

   Setelah selesai baru dia keluar memesan kepada para wanita itu untuk mencuci muka dan menyisir, menata rambut Siang Lan, menukar pakaiannya, agar gadis itu tampak rapi. Setelah laki-laki itu keluar, lima orang wanita itu menutupkan daun pintu lalu merawat Siang Lan. Gadis itu memaki-maki, namun mereka tidak peduli. Mereka melucuti semua pakaian Siang Lan, memandikannya dan membersihkan tubuhnya yang penuh debu tanpa gadis itu dapat meronta, hanya memaki-maki. Setelah membersihkan tubuh dan menyisir rambutnya, bahkan memberi minyak harum di tubuh itu dan membedaki mukanya, mereka untuk sementara membuka tali pengikat kaki tangan Siang Lan.

   Mereka mengenakan pakaian baru pada tubuh Siang Lan, lalu mengikat lagi pergelangan tangan dan kaki gadis itu. Akhirnya Siang Lan diam saja karena ia tahu bahwa percuma saja ia memaki-maki lima orang wanita itu dan hal ini bahkan menghabiskan tenaganya karena dilanda kemarahan. Ia berdiam diri dan diam-diam mengumpulkan tenaganya karena ia tahu bahwa kalau ia sampai dapat membebaskan diri dari totokan dan belenggu, ia membutuhkan banyak tenaga untuk melawan para penjahat. Demikian pula, ketika para wanita itu menyuapinya dengan makanan dan minuman, ia menerima untuk menjaga kesehatan untuk memulihkan tenaga ia yang selama berhari-hari ini ia telantarkan. Tentu saja para wanita itu menjadi lega dan merasa senang.

   "Nona yang baik, beginilah seharusnya sikapmu karena sesungguhnya engkau mendapatkan keberuntungan besar yang jarang ada gadis mendapatkannya. Tak lama lagi engkau menjadi Nyonya Ketua kami yang dihormati semua orang, hidup terhormat, mulia dan kaya raya. Karena itu, sambutlah ketua kami dengan manis, Nona, agar hatinya merasa senang karena kami lihat baru sekarang ini Pang-cu jatuh cinta dan tergila-gila kepada seorang gadis."

   Di dalam hatinya Siang Lan menjadi marah sekali akan tetapi kini gadis itu mendapatkan kembali ketenangan dan kecerdikannya. Ia tahu bahwa kalau ia marah dan memaki-maki, hal itu tidak ada gunanya baginya. Lebih baik ia berpura-pura menyerah agar ia dapat menyelidiki keadaan musuh. Setelah menahan napas untuk menenangkan dan mendinginkan hatinya, mulailah Siang Lan mengubah sikap dan bertanya.

   "Enci, bagaimana aku bisa berada di sini? Aku tidak ingat apa yang terjadi dengan diriku. Tolong ceritakan." Dengan hati senang karena gadis cantik itu kini menjadi penurut dan hal ini pasti akan menyenangkan hati ketua mereka sehingga mereka akan diberi hadiah, seorang di antara lima wanita itu yang menjadi juru bicara menjawab.

   "Nona, sudah kami katakan tadi, engkau sungguh beruntung. Pang-cu sendiri yang menemukan engkau menggeletak pingsan di dalam hutan, lalu Pang-cu menolongmu dan memondongmu sampai di sini."

   "Hemm, kalau dia menolongku dan berniat baik, mengapa aku dibelenggu?"

   "Nona, jangan salah mengerti dan maafkan tindakan Pang-cu kami. Dia sungguh tergila-gila dan amat sayang kepadamu. Akan tetapi karena dia belum mengenal betul siapa Nona yang dia sangka tentu Nona amat lihai, maka terpaksa dia menjaga kcmungkinan Nona akan memberontak dan melawan. Karena itu, katakanlah kepada kami siapa Nona dan ceritakan keadaan Nona agar kami dapat melapor kepada Pang-cu," bujuk wanita itu. Siang Lan memaksa dirinya untuk tersenyum. Setelah ia menerima makan dan minum, tenaganya mulai pulih dan tubuhnya terasa segar kembali, tidak loyo seperti sebelum ia roboh pingsan dan ditangkap penjahat.

   "Mudah saja menceritakan keadaan diriku, Enci, akan tetapi tidak enak terbelenggu begini. Tolong buka dulu ikatan kaki tanganku dan kita bicara baik-baik." Lima orang wanita itu saling pandang dengan wajah iba akan tetapi juga khawatir, lalu pembicara tadi berkata lembut.

   "Nona, bukan kami tidak merasa kasihan kepadamu. Akan tetapi kami tidak berani melanggar perintah Pang-cu yang akan menyiksa kami sampai mati kalau kami tidak menaati perintahnya. Kalau engkau sudah menceritakan keadaanmu, nanti kami melapor kepada Pang-cu bahwa engkau bersikap penurut agar ikatan tangan kakimu dibuka."

   "Hemm, baiklah, aku akan sabar menanti. Akan tetapi sebelum aku memperkenalkan diri, tolong ceritakan kepadaku tentang ketua kalian dan tentang perkumpulan di sini agar aku mengetahui dengan siapa aku hendak menikah."

   "Wah, engkau akan merasa gembira kalau mengenal Pang-cu, Nona. Nama Pang-cu adalah Siangkoan Leng dan dia menjadi ketua dari perkumpulan kami Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga). Pang-cu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian silat amat tinggi dan sukar dicari jagoan yang mampu mengalahkan tombaknya. Dia dijuluki Si Tombak Maut.

   "Ban-hwa-pang kami telah berdiri selama puluhan tahun, pendirinya adalah mendiang Siangkoan Lo-cianpwe, setelah beliau meninggal perkumpulan dipimpin Pang-cu Siangkoan Leng sejak belasan tahun yang lalu. Perkumpulan kami mempunyai anak buah sebanyak limapuluh orang lebih yang tinggal di lembah ini bersama anak isteri mereka. Pang-cu belum pernah beristeri, maka kini memilihmu, sungguh merupakan keberuntungan besar bagimu, Nona. Nah, sekarang giliranmu untuk memperkenalkan diri." Siang Lan sejak tadi harus menekan perasaan marahnya. Belum pernah ia memaksa diri bersikap lemah dan lembut terhadap orang yang dibencinya. Dengan hati mulai panas lagi ia memperkenalkan dirinya.

   "Katakan kepada ketua kalian bahwa aku bernama Nyo Siang Lan dan di dunia kang-ouw mereka menyebut aku Hwe-thian Mo-li! Telah banyak sekali penjahat yang mampus di ujung pedangku. Katakan agar dia membebaskan aku dan mengembalikan pedangku kalau dia tidak ingin mampus pula di tanganku!"

   Lima orang wanita itu terbelalak dan terkejut. Seorang dari mereka lalu lari keluar dari kamar untuk melapor kepada ketuanya. Tentu saja mereka terkejut dan merasa ngeri karena nama julukan Hwe-thian Mo-li telah terkenal sebagai Iblis Betina Terbang yang amat ganas dan liar! Tak lama kemudian masuklah Ketua Ban-hwa-pang yang namanya Siangkoan Leng itu. Begitu dia memasuki kamar itu, dia memberi isyarat kepada oara wanita tadi untuk meninggalkan kamar. Dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar dia duduk di tepi pembaringan dan menatap wajah Siang Lan yang kini tampak semakin cantik jelita dan tersenyum lebar.

   "Aih, kitanya engkau yang berjuluk Hwe-thian Mo-li itu, Nona? Bagus, bagus! Makin mantap lagi hatiku untuk memperisterimu, karena kita berdua suami isteri tentu akan menjagoi dunia kang-ouw dan membuat Ban-hwa-pang menjadi semakin besar!" Kini Siang Lan tak mampu menahan kemarahannya. Ia meronta sambil memaki.

   "Jahanam Siangkoan Leng! Lepaskan aku dan ingin kulihat sampai di mana kehebatan tombakmu. Hayo, kalau engkau memang laki-laki, kita bertanding sampai napas terakhir!" Siangkoan Leng terkejut melihat betapa kaki tangan gadis itu mulai bergerak-gerak. Tahulah dia bahwa pengaruh totokannya mulai memudar dan kalau gadis itu pulih kembali tenaganya, bukan tidak mungkin ia akan mampu merenggut putus tali pengikat kaki tangannya. Maka cepat dia menghampiri dan tiga kali jari tangannya bergerak menotok kedua pundak dan punggung Siang Lan, membuat gadis itu tidak dapat lagi menggerakkan kaki tangannya.

   "Jahanam! Laki-laki pengecut!" Siang Lan memaki-maki dengan tidak berdaya.

   "Ha-ha-ha, tunggu sampai besok, sayangku. Besok engkau tentu akan menyanyikan lagu lain kalau sudah menjadi isteriku!" kata Siangkoan Leng sambil meninggalkan kamar itu.

   Gadis itu menjerit-jerit dengan makiannya dan baru berhenti setelah lima orang wanita itu memasuki kamar lagi. Siang Lan dapat mengetahui dari pandang mata mereka bahwa lima orang wanita itu menaruh hati kasihan kepadanya, namun mereka merasa ngeri dan takut akan hukuman ketua mereka, maka mereka pun hanya berusaha untuk menghibur dan menyenangkan hati gadis tawanan itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali semua anak buah Ban-hwa-pang sudah bekerja dan sibuk menyambut pesta pernikahan yang akan dilaksanakan besok lusa atau tiga hari setelah Siang Lan ditawan. Siangkoan Leng yang cukup cerdik tidak mau mengunjungi kamar di mana Siang Lan berada karena dia tidak ingin calon isterinya itu terganggu.

   Hanya kadang-kadang saja dia memeriksa apakah gadis itu masih belum membahayakan dan masih dalam keadaan terbelenggu. Karena dia tidak ingin kesehatan calon isterinya terganggu, maka dia tidak lagi memperpanjang tubuh Siang Lan dalam keadaan tertotok. Dia hanya menggunakan pengikat kaki dan tangan gadis itu yang teramat ulet dan kuat, yang mengikat kedua pergelangan tangan Siang Lan. Adapun kedua kakinya terbelenggu rantai baja yang tebal dengan gelang baja longgar mengikat kedua pergelangan kakinya. Biarpun gadis itu memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat, namun kiranya akan sulit baginya untuk dapat melepaskan diri dari belenggu-belenggu ini.

   Akan tetapi karena belenggu itu panjang, diikatkan pada baja di luar tembok kamar sehingga kuat sekali, Siang Lan kini dapat duduk, berdiri atau rebah di atas pembaringan. Tubuhnya masih agak lemah karena pengaruh totokan yang terlalu lama pada malam hari tadi. Gadis itu tidak mengamuk lagi, melainkan bersabar menyimpan tenaga dan menanti datangnya kesempatan untuk dapat membebaskan diri. Ban-hwa-pang menyebar undangan, akan tetapi karena pesta pernikahan itu dilakukan mendadak, hanya ada waktu tiga hari, tentu saja mereka hanya dapat mengundang orang-orang yang tinggal tidak amat jauh dari Ban-hwa-pang. Pada hari yang kedua, tempat itu telah dihias dan semua anggauta Ban-hwa-pang tampak bergembira. Sang Ketua sendiri, Siangkoan Leng, sibuk di ruangan khusus di mana dia membuat ramuan obat dari berbagai macam bunga.

   Dia memang ahli membuat obat dari bunga-bunga itu. Demikian banyaknya bunga tumbuh di lembah itu dan dia sudah mempelajari khasiat setiap macam bunga. Ada bunga yang dapat menyembuhkan luka beracun, ada yang dapat mencuci darah, ada yang menguatkan tubuh, melawan bermacam penyakit. Ada pula bunga yang mengandung racun mematikan, ada yang dapat membius, bahkan ada yang dapat diramu menjadi semacam obat perangsang yang amat kuat. Ruangan ini merupakan kamar pribadi dan tidak ada orang lain diperbolehkan masuk kecuali seijin Siangkoan Leng. Pada siang hari itu, Siangkoan Leng sibuk membuat ramuan dan dia menutup daun pintu dan jendela kamar itu agar kegiatannya jangan terganggu orang lain.

   Dia membuat ramuan obat-obatan dan di antara lain dia meramu obat perangsang yang amat kuat. Siangkoan Leng sudah memperhitungkan bahwa tidak akan mudah menundukkan seorang gadis seperti Hwe-thian Mo-li agar menyerahkan diri secara sukarela kepadanya. Maka dia hendak menggunakan obat itu agar gadis itu mau menyerah tanpa paksaan dan sekali menyerah, gadis itu tentu akan menjadi isterinya yang boleh diandalkan memperkuat kedudukannya! Saking senangnya membayangkan penyerahan diri Hwe-thian Mo-li secara sukarela kepadanya, Siangkoan Leng meramu obat sambil tersenyum-senyum. Setelah selesai membuat beberapa ramuan bunga kering itu menjadi bubuk halus, dia memasukkan bubukan obat itu ke dalam sebuah kantung kain kecil lalu mengantunginya. Tiba-tiba ada angin bertiup dibarengi suara lembut.

   "Leng-te (Adik Leng)......!"

   Siangkoan Leng terkejut sekali dan begitu membalikkan tubuhnya, dia melihat daun jendela sudah terbuka dan di depannya telah berdiri seorang laki-laki bertubuh sedang, wajahnya tampan lembut namun rambutnya telah hampir putih seluruhnya sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Pakaiannya juga sederhana, berwarna kuning. Laki-laki itu berdiri memandang kepadanya sambil tersenyum lembut dan matanya yang tajam itu memiliki pandangan yang menembus. Melihat siapa yang datang, Siangkoan Leng tidak menjadi heran lagi. Bagi orang ini, tidak ada tempat yang tidak dapat dimasukinya, pikirnya dan dia berseru dengan gembira.

   "Liong-ko (Kakak Liong)......!!" Dua orang laki-laki itu saling mendekati dan laki-laki yang baru datang itu menaruh kedua tangan di atas pundak Siangkoan Leng.

   "Liong-ko, sudah bertahun-tahun engkau menghilang, ke mana sajakah engkau?"

   "Aku merantau ke barat, Leng-te dan baru sekarang kembali ke timur. Baru sekarang aku datang dan begitu memasuki Lembah Selaksa Bunga aku disambut suasana pesta yang meriah. Mendengar bahwa engkau besok pagi akan menikah, aku hampir tidak percaya dan langsung saja mencarimu ke kamar ini. Leng-te, benar-benarkah engkau hendak menikah?"

   "Benar, Liong-ko. Mari kita duduk di ruangan dalam! Pertemuan menggembirakan ini harus kita rayakan. Ah, betapa bahagianya hatiku bahwa engkau datang pada saat aku akan merayakan pernikahanku, Liong-ko!" kata Siangkoan Leng gembira.

   Mereka keluar dari kamar itu lalu duduk menghadapi hidangan dan arak di ruangan dalam di mana mereka bercakap-cakap dengan gembira sekali karena kakak dan adik ini sudah saling berpisah selama hampir duapuluh tahun! Laki-laki itu berusia sekitar empatpuluh dua tahun dan bernama Sie Bun Liong. Ketika dia berusia lima tahun, ayahnya meninggal dunia dan ibunya yang menjadi janda diperisteri oleh Siangkoan Kok, Ketua Ban-hwa-pang yang juga sudah menduda dan mempunyai putera Siangkoan Leng. Jadi, hubungan antara Sie Bun Liong dan Siangkoan Leng sebetulnya jauh, tidak ada hubungan keluarga.

   Mereka hanya saudara tiri berlainan ayah ibu. Akan tetapi karena sejak berusia lima tahun Sie Bun Liong ikut ibunya yang menjadi isteri Ketua Ban-hwa-pang, maka dia tumbuh besar di Lembah Selaksa Bunga itu. Mereka berdua belajar ilmu silat dari mendiang Siangkoan Kok, akan tetapi ternyata Sie Bun Liong memiliki bakat yang jauh lebih baik sehingga dalam ilmu silat, dia selalu menjadi contoh dan pembimbing adik tirinya. Ketika Siangkoan Kok meninggal, yang menggantikannya menjadi Ketua Ban-hwa-pang adalah Siangkoan Leng sebagai putera kandung. Biarpun Sie Bun Liong jauh lebih lihai ilmu silatnya, namun dia yang ketika itu berusia duapuluh tahun menganjurkan adik tirinya menjadi ketua.

   Dia sendiri tidak senang menjadi ketua. Dia lebih senang memperdalam ilmu silat dan sastra, bahkan beberapa tahun sesudah adik tirinya itu menggantikan ayah tirinya menjadi Ketua Ban-hwa-pang, Sie Bun Liong meninggalkan Lembah Selaksa Bunga dan melakukan perantauan sampai bertahun-tahun dan baru sekarang dia muncul, bertemu lagi dengan adik tirinya setelah mereka berdua berusia lebih dari empatpuluh tahun. Selama makan minum, Sie Bun Liong tidak bicara, agaknya dia tidak ingin mengganggu adiknya yang bergembira menyambut kedatangannya. Akan tetapi setelah mereka selesai makan minum, mereka duduk di ruangan depan yang hawanya lebih sejuk dan Sie Bun Liong bertanya.

   "Leng-te, ketika aku datang, di sini sedang dihias untuk menyambut pesta pernikahanmu besok. Leng-te, gadis manakah yang telah membuat engkau mengambil keputusan untuk menikah, padahal sejak dulu engkau bilang bahwa engkau tidak akan mengikat diri dengan pernikahan?"

   "Ah, Liong-ko, sekali ini aku benar-benar terpesona dan tergila-gila melihat calon isteriku. Dan ia itu adalah seorang gadis kang-ouw yang amat terkenal dengan julukan Hwe-thian Mo-li, lihai dan cantik jelita."

   "Mo-li......?" Sie Bun Liong mengerutkan alisnya mendengar adiknya akan menikah dengan seorang wanita yang berjuluk Mo-li (Iblis Betina)! Karena selama ini dia merantau dan tinggal di barat, di daerah Pegunungan Himalaya, maka tentu saja dia tidak mengenal julukan Hwe-thian Mo-li itu.

   "Ia memang seorang tokoh persilatan yang liar dan ganas, juga lihai sekali, Liong-ko. Maka aku mengambil keputusan untuk menjadikannya isteriku agar aku dapat membimbing ia meninggalkan keganasannya." Sie Bun Liong mengangguk-angguk.

   "Hemm, niatmu itu tidak buruk. Akan tetapi dasar perjodohan harus ada cinta kasih kedua pihak. Apa engkau mencintanya?"

   "Wah, aku tergila-gila padanya, Liong-ko. Aku sungguh telah jatuh cinta begitu aku bertemu dengannya," kata Siangkoan Leng gembira. Kakaknya mengamati wajahnya yang tidak dapat dibilang menarik itu.

   "Bagus kalau engkau begitu mencintanya. Akan tetapi bagaimana dengan gadis itu? Apakah ia juga mencintamu?" Ditanya begini, Siangkoan Leng tak mampu menjawab. Di dalam hatinya dia merasa bingung. Sejak dulu dia amat takut terhadap kakaknya ini yang selalu penyabar, mengalah, namun yang segala-galanya melebihi dirinya. Justeru karena kelembutan dan kebaikan hati Sie Bun Liong itulah yang membuat dia selalu tunduk dan menurut.

   "Aku...... aku belum tahu, Liong-ko. Maklumlah, wanita biasanya malu-malu untuk mengaku cinta. Akan tetapi aku sedang membujuknya dan agaknya ia tidak menolak ketika kulamar untuk menjadi isteriku."

   "Hemm, calon isterimu itu gadis dari manakah dan di mana ia tinggal?" Siangkoan Leng semakin bingung.

   Dia merasa yakin benar bahwa kalau kakaknya yang selalu menuntut kebenaran ini tahu bahwa calon isterinya adalah gadis yang ditawannya dan dia hendak memaksanya menjadi isterinya, tentu kakaknya akan marah sekali dan jelas akan melarangnya! Dia sudah tergila-gila kepada Hwe-thian Mo-li dan tidak ingin dihalangi pernikahannya dengan gadis itu. Dia harus menggunakan akal karena tidak mungkin dia dapat menggunakan kekerasan terhadap kakaknya untuk mencapai niatnya. Dia tahu bahwa selain dia tidak akan mampu mengalahkan Sie Bun Liong, juga sebagian anggauta Ban-hwa-pang terutama yang sudah lama, tentu tidak mau membelanya untuk mengeroyok Sie Bun Liong yang disegani dan dihormati semua anggautanya.

   "Liong-ko, Hwe-thian Mo-li adalah seorang gadis kang-ouw yang sudah tidak berkeluarga dan bertempat tinggal tetap. Sejak kami bertemu, ia tidak meninggalkan tempat kita ini."

   "Ah, dia sudah berada di sini? Aku ingin melihat calon Adik Iparku, Leng-te!" kata Sie Bun Liong dengan wajah berseri gembira dan agak kemerahan karena dia telah minum agak terlalu banyak arak. Sudah beberapa tahun ini dia jarang minum arak sampai demikian banyaknya sehingga dia kini terpengaruh dan agak mabok. Siangkoan Leng terkejut sekali.

   "Ah, Liong-ko, mana mungkin engkau dapat menemuinya sekarang? Ia tentu malu sekali dan memang seorang calon mempelai wanita tidak boleh menemui seorang pria sebelum menikah, bahkan aku sendiri tidak berani menemuinya.

   Ia tentu akan merasa terhina, dan ia galak sekali, Liong-ko. Bersabarlah sampai kami menikah besok. Sekarang karena aku merasa rindu sekali padamu, mari kita minum sepuasnya sambil berbincang-bincang. Engkau harus menceritakan semua pengalamanmu selama merantau!" Karena alasan yang dikemukakan adiknya itu masuk akal, Sie Bun Liong tidak mau mendesak lagi untuk bertemu dengan Hwe-thian Mo-li.

   "Leng-te, dalam perjalananku ke sini, aku mendengar kabar-kabar yang tidak begitu menyenangkan tentang Ban-hwa-pang kita. Ada yang mengabarkan bahwa kini Ban-hwa-pang merupakan perkumpulan yang ditakuti orang, anggautanya banyak yang bertindak kasar dan kejam terhadap rakyat. Bahkan kabarnya Ban-hwa-pang suka memeras para pedagang di kota-kota sekitar sini. Benarkah engkau melakukan hal yang tidak patut itu, Leng-te?"

   "Ah, itu hanya kabar bohong, disebarkan orang-orang yang tidak suka kepada perkumpulan kita, Liong-ko. Kami memang menerima sumbangan, namun itu diberi secara sukarela oleh para pedagang yang merasa keamanannya terlindung oleh Ban-hwa-pang. Kalau kami bersikap tegas dan keras, itu pun hanya terhadap para penjahat yang mengganggu rakyat!"

   "Hemm, mudah-mudahan keteranganmu benar. Biarlah, soal calon isterimu itu, biar kutemui besok. Kalau memang ia dengan sukarela mau menjadi isterimu, aku pun tidak akan menghalangimu. Akan tetapi, aku melarang keras kalau engkau menggunakan kekerasan dan paksaan."

   "Ah, tentu saja tidak, Liong-ko. Mari, mari minum lagi, Liong-ko!"

   "Ah, sudah terlalu banyak aku minum, Adikku!"

   "Liong-ko, tanpa doa restumu sebagai pengganti orang tua kita, aku tidak akan merasa tenang dan bahagia. Marilah minum, Liong-ko, demi mendoakan kebahagiaanku bersama calon isteriku. Marilah, Liong-ko!"

   Sampai malam mereka bercakap-cakap membicarakan masa lalu dan pengalaman masing-masing sejak mereka berpisah sebagai pemuda dan kini mereka sudah sama-sama berusia empatpuluh tahunan. Mereka bercakap-cakap dengan gembira dan minum arak. Siangkoan Leng yang memang setiap hari suka minum banyak arak, tentu saja lebih kuat dalam hal minuman ini dibandingkan kakaknya yang sudah bertahun-tahun tidak pernah minum arak. Akhirnya, Sie Bun Liong yang ikut bergembira menghadapi pernikahan adiknya sehingga tidak tega menolak ajakan Siangkoan Leng untuk minum arak tanpa ukuran lagi, meletakkan kepalanya berbantal lengan di atas meja dalam keadaan tidak sadar karena mabok berat. Sambil tertawa-tawa Siangkoan Leng membantu dan memapah kakaknya keluar dari ruangan itu.

   "Ha-ha-ha, Liong-ko, engkau sudah tidak kuat minum lagi! Ha-ha, marilah, mari beristirahat, engkau harus membantuku, Liong-ko...... ha-ha-ha!" Siangkoan Leng yang hanya setengah mabok tertawa-tawa gembira. Dia ingin menyenangkan hati kakaknya agar kakaknya itu tidak menghalangi pernikahannya, melainkan membantunya.

   Malam telah larut, bahkan setelah tengah malam, gedung tempat tinggal Siangkoan Leng telah menjadi sepi. Semua anggauta Ban-hwa-pang yang sehari penuh tadi bekerja menghias seluruh perkampungan mereka untuk mempersiapkan perayaan pernikahan ketua mereka, kini sudah tidur melepaskan lelah. Siang Lan melihat betapa lima orang wanita yang menjaganya sudah tidur pulas di atas lantai. Ia sejak tadi berusaha untuk melepaskan tali yang mengikat pergelangan tangannya, namun tidak berhasil. Tali itu terlampau kuat, agak lentur sehingga tidak dapat putus. Juga rantai baja pada kakinya amat kuat. Kini ia duduk bersila di atas pembaringan untuk menghimpun tenaga. Ia pikir bahwa untuk melaksanakan upacara pernikahan besok, mau tidak mau Siangkoan Leng pasti akan melepaskan ikatan kaki tangannya.

   Tidak mungkin ia harus melakukan upacara pernikahan dalam keadaan terbelenggu disaksikan para tamu! Nah, kesempatan itu, walaupun sedikit dan di sana akan terdapat banyak kaki tangan Siangkoan Leng, akan ia pergunakan untuk mengamuk dan membebaskan diri! Untuk itu ia membutuhkan banyak tenaga murni, maka malam ini ia duduk melakukan siu-lian (samadhi) menghimpun tenaga. Lewat tengah malam, suasananya menjadi semakin sepi. Siang Lan yang tenggelam ke dalam samadhi menjadi peka sekali. Ia bahkan dapat mendengar dengkur yang datang dari kamar-kamar sebelah, bahkan pernapasan halus dari lima orang wanita pelayan di lantai itupun terdengar dengan jelas olehnya.

   Tiba-tiba, pada waktu jauh lewat tengah malam, pendengarannya menangkap gerakan yang tidak wajar itu di luar kamar itu. Ia membuka sepasang matanya dan melihat betapa lilin yang tadi bernyala di sudut kamar telah padam. Juga lampu kecil di atas meja berkedap-kedip, apinya bergoyang. Kemudian ada angin bertiup dan api lampu itu pun padam, membuat ruangan itu menjadi remang-remang karena hanya mendapat sedikit sinar dari lampu yang berada di luar. Sinar itu memasuki kamar lewat daun jendela yang telah terbuka! Sesosok bayangan dalam cuaca remang-remang itu berkelebat mendekati pembaringan. Siang Lan cepat mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangannya yang terikat untuk menyerang bayangan yang mendekatinya itu.

   "Wuuuttt......!" Pukulan gadis itu dahsyat sekali karena ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membunuh bayangan yang ia yakin tentulah Siangkoan Leng yang berniat buruk terhadap dirinya..

   "Plakk! Plakk!" Dua pukulannya itu tertangkis dan Siang Lan merasa betapa kedua tangannya bertemu tangan yang demikian lemas dan lunak sehingga menyerap semua tenaga pukulannya.

   Ia terkejut sekali akan tetapi tiba-tiba dengan cepat sekali ada tangan yang menotoknya. Seketika ia terkulai lemas, tak mampu bergerak menggunakan kekuatan tenaga sin-kang lagi, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara. Demikian hebatnya totokan itu, membuat ia terheran-heran. Tubuhnya tidak terasa nyeri, juga tidak lumpuh, akan tetapi anehnya ia tidak mampu menggunakan tenaganya! Tiba-tiba ia menjerit, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya. Jerit itu terjadi di dalam hatinya saking kaget dan ngerinya karena ada tangan yang dengan lembut melepaskan pakaiannya dan menanggalkan pakaian itu dari tubuhnya!

   Dan tangan-tangan yang gerakannya lembut namun kuat sekali itu bahkan membuka ikatan kedua tangannya dan juga belenggu pada kakinya. Ia kini bebas dari belenggu, akan tetapi tubuhnya tidak dapat meronta dan sama sekali tidak berdaya. Yang terjadi kemudian membuat ia menjerit-jerit dalam hatinya. Air matanya bercucuran keluar dari sepasang matanya dan akhirnya ia jatuh pingsan karena tidak dapat menahan rasa ngeri, marah, benci dan perasaannya hancur lebur. Pada saat itu, sebelum ia jatuh pingsan, ia ingin mati saja. Ia telah diperkosa orang tanpa ia mampu bergerak atau menjerit. Siang Lan tentu saja tidak tahu berapa lamanya ia dalam keadaan seperti itu dan pingsan. Ketika ia siuman, ia mendengar suara seperti isak tangis dan ada bayangan terhuyung meninggalkan pembaringan menuju ke jendela yang terbuka.

   Pada saat itu, Siang Lan teringat apa yang telah terjadi menimpa dirinya dan tiba-tiba ia merasa betapa ia dapat lagi menggerakkan kaki tangannya yang sudah tidak terbelenggu lagi. Cepat ia melompat turun hendak mengejar bayangan itu, yang kini telah melompat keluar melalui lubang jendela. Akan tetapi melihat betapa dirinya dalam keadaan telanjang bulat, ia terkejut bukan main dan menahan gerakannya yang hendak melakukan pengejaran. Dalam cuaca remang-remang itu, cepat ia menyambar pakaiannya yang bertumpuk di atas tepi pembaringan. Cepat ia mengenakan pakaian dengan air mata bercucuran akan tetapi menahan suara tangisnya. Ia menyadari benar apa yang telah terjadi. Tadi malam ia tertotok dan dalam keadaan tak berdaya telah diperkosa orang! Agaknya fajar telah menyingsing dan cuaca dalam kamar itu tidak segelap malam tadi. Ia melihat lima orang wanita penjaga masih rebah di lantai dan ketika ia memeriksa, mereka pun bukan sedang tidur melainkan pingsan tertotok pula!

   Siang Lan cepat melompat melalui lubang jendela untuk melakukan pengejaran. Hatinya menangis dan menjerit-jerit teringat akan keadaan dirinya. Akan tetapi ketika tiba di luar ia tidak melihat orang yang semalam memperkosanya. Andaikata ia melihatnya, ia pun tidak akan mengenalnya karena semalam ia hanya melihat bayangan orang itu dalam kegelapan. Akan tetapi hatinya merasa yakin bahwa pelakunya sudah pasti Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang. Kalau bukan dia, siapa lagi yang berani melakukan perbuatan keji yang terkutuk itu? Kini ia merasa hatinya panas. Rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuh. Ia merasa seperti dibakar kemarahan dan kebencian. Tiba-tiba muncul tiga orang anggauta Ban-hwa-pang. Mereka terkejut melihat calon pengantin yang tadinya menjadi tawanan itu telah bebas dan berada di luar kamar dengan rambut tergerai dan sepasang mata berkilat.

   "Hei......! Nona pengantin, telah terlepas......!" teriak seorang di antara mereka.

   "Syuutt...... dukk!" Orang itu terjengkang dan tewas seketika karena tamparan tangan Siang Lan membuat kepalanya retak.

   Dua orang rekannya terkejut dan marah. Cepat mereka mencabut pedang akan tetapi sebelum mereka sempat menyerang, kembali kedua tangan Siang Lan berkelebat dan mereka berdua roboh dan tewas! Setelah membunuh tiga orang itu, Siang Lan menjadi semakin beringas seperti seekor harimau mencium darah. Ia menyambar sebatang pedang milik anggauta Ban-hwa-pang yang tewas itu, lalu ia mulai mencari Siangkoan Leng dengan hati penuh dendam kebencian yang membuat ia hampir gila mengingat akan malapetaka yang menimpa dirinya semalam!

   Lima orang anggauta Ban-hwa-pang muncul. Para anggauta perkumpulan itu memang mulai bangun dan siap untuk melanjutkan persiapan perayaan pernikahan ketua mereka. Ketika lima orang itu melihat Hwe-thian Mo-li berdiri dengan pedang di tangan, tentu saja mereka terkejut. Mereka sudah mendengar bahwa calon pengantin itu adalah seorang gadis yang berjuluk Iblis Betina dan lihai sekali. Tadinya mereka mendengar dan bahwa gadis itu menjadi tawanan, terbelenggu dan tertotok sehingga tidak mungkin dapat lolos. Kini, tahu-tahu gadis itu telah berada di depan mereka. Maka sambil berteriak-teriak memanggil teman, mereka lalu mengepungnya.

   "Nona, engkau hendak ke manakah? Sebagai calon pengantin, Nona tidak boleh keluar kamar......"

   "Singgg...... crakkk!" Pembicara itu roboh dengan leher hampir putus terbabat pedang!

   Empat orang yang lain terkejut dan marah. Mereka lalu mengeroyok dengan pedang mereka dan para anggauta lain yang mendengar keributan itu, berdatangan berbondong-bondong. Akan tetapi pedang rampasan di tangan Hwe-thian Mo-li menyambar-nyambar dan sinarnya bergulung-gulung. Ia mengamuk seperti Iblis Betina benar-benar dan terdengar jeritan disusul robohnya tubuh para pengeroyok. Darah muncrat dan membanjiri lantai! Karena ruangan itu terlalu sempit, apalagi sudah ada enam orang malang melintang tewas disambar pedangnya. Hwe-thian Mo-li merasa tidak leluasa mengamuk. Maka ia lalu melompat keluar dan setelah tiba di pekarangan depan rumah besar Siangkoan Leng, ia berhenti menanti sampai puluhan orang anggauta Ban-hwa-pang datang mengepungnya.

   "Anjing-anjing jahanam keparat! Majulah kalian semua. Hari ini kalau tidak dapat membunuh bangsat Siangkoan Leng dan kalian semua anak buahnya, jangan sebut aku Hwe-thian Mo-li!" Ia menjerit dan segera tubuhnya berkelebatan, pedangnya menyambar-nyambar. Terjadilah perkelahian yang mengerikan.

   Puluhan orang anggauta Ban-hwa-pang itu bagaikan segerombolan anjing serigala mengeroyok Hwe-thian Mo-li yang mengamuk seperti seekor naga. Jerit dan teriakan susul menyusul. Tubuh para pengeroyok berpelantingan dan tewas seketika, terkena sambaran pedang atau tamparan tangan, kiri gadis itu. Baju Hwe-thian Mo-li sudah berlepotan darah mereka yang ia robohkan. Banjir darah di pekarangan gedung itu. Setelah merobohkan dan membunuh lebih dari duapuluh orang pengeroyok, tiba-tiba terdengar gerengan dahsyat dan muncullah Sang Ketua yang bertubuh tinggi besar itu.

   "Perempuan iblis!" Siangkoan Leng membentak, melintangkan tombak cagaknya di depan dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah Hwe-thian Mo-li.

   "Perempuan tidak tahu diuntung! Engkau hendak kuangkat derajatmu menjadi Nyonya Ketua Ban-hwa-pang, sekarang malah membunuhi anggauta perkumpulanku! Engkau harus menebus dosa ini dengan nyawamu!"

   Kini Siang Lan dapat melihat laki-laki itu dengan jelas dan ia bergidik muak. Kepala yang besar itu dengan semua anggauta badan yang bulat dan besar membuat ketua itu tampak seperti seekor kera yang menjijikkan. Mengingat bahwa orang ini semalam telah melakukan penghinaan yang sebesar-besarnya kepadanya, telah memperkosanya, maka sepasang mata Siang Lan mencorong. Apalagi ia melihat pedangnya tergantung di pinggang orang itu, saking marahnya ia hampir tak mampu bicara.

   "Mampuslah, jahanam!" Ia menjerit dan pedangnya sudah menyerang dengan dahsyatnya.

   Siangkoan Leng bukan seorang lemah, akan tetapi ketika dia menggerakkan tombaknya untuk menangkis, terdengar bunyi berdentang dan dia terhuyung ke belakang. Dia terkejut bukan main. Ternyata gadis ini memang lihai dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Dia meneriaki anggauta perkumpulannya untuk mengeroyok dan kembali Siang Lan mengamuk. Ia sengaja selalu menjauhi Siangkoan Leng yang merupakan lawan paling tangguh. Ia mengamuk di antara para anggauta Ban-hwa-pang.

   Satu demi satu para pengeroyok itu ia robohkan. Setelah terjadi pertempuran yang lebih merupakan pembantaian itu selama hampir dua jam, akhirnya semua anggauta Ban-hwa-pang roboh dan tewas! Kini hanya tinggal Siangkoan Leng seorang yang menghadapi Siang Lan dengan muka pucat dan merasa ngeri. Limapuluh lebih anak buahnya tewas di tangan Hwe-thian Mo-li! Tadi memang sengaja gadis itu menghindari Siangkoan Leng karena dengan cara demikian, tidak ada anak buahnya yang melarikan diri. Kalau ia lebih dulu merobohkan ketuanya, maka sisa anak buahnya pasti akan melarikan diri ketakutan. Memang Hwe-thian Mo-li sudah memperhitungkan dan mengambil keputusan untuk membunuh semua anggauta Ban-hwa-pang!

   "Jahanam busuk! Sekarang tiba saatnya aku mencincang hancur tubuhmu yang amat kotor dan jahat itu!" Hwe-thian Mo-li berseru dan ia segera menyerang dengan cepat.

   Siangkoan Leng masih merasa ngeri melihat semua anak buahnya tewas. Untuk melarikan diri pun sudah tidak ada kesempatan lagi maka dia pun dengan nekat melawan mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu silat tombaknya yang lihai. Mereka bertanding di antara puluhan mayat yang berserakan. Terkadang mereka terpaksa menginjak mayat karena pekarangan itu memang penuh dengan mayat. Sepak terjang Hwe-thian Mo-li amat mengerikan. Ia bagaikan kesetanan, tidak mengenal ampun. Hati dan pikirannya dipenuhi dendam kebencian yang amat hebat karena peristiwa semalam yang merenggut kehormatannya sebagai seorang gadis. Siangkoan Leng adalah seorang yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi dan sudah memiliki banyak pengalaman berkelahi. Dalam hal ilmu silat dan tenaga, mungkin tingkatnya tidak berselisih jauh dari tingkat kepandaian Hwe-thian Mo-li.

   Akan tetapi yang jelas, dia kalah jauh dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) sehingga ketika dalam perkelahian itu Siang Lan mengerahkan seluruh gin-kangnya, pandang mata Ketua Ban-hwa-pang itu menjadi kabur karena baginya, tubuh gadis itu seperti berubah banyak, menyerang dari berbagai jurusan dan bayangannya sedemikian cepatnya sehingga sukar baginya untuk dapat mengarahkan serangannya. Maka, setelah bertanding kurang lebih limapuluh jurus lamanya, Siangkoan Leng yang memang sudah merasa jerih dan ngeri melihat betapa semua anak buahnya telah tewas, tak mampu mengelak dari tendangan Siang Lan yang mengenai bawah perutnya. Dia berteriak mengaduh dan roboh terjengkang!

   Bagaikan kesetanan Siang Lan menubruk ke depan, pedang yang berada di pinggang Siangkoan Leng itu disambarnya dan di lain saat Lui-kong-pokiam (Pedang Pusaka Halilintar) yang bersarung buruk, pedang pusaka pemberian mendiang gurunya, menggantikan pedang rampasan yang dibuangnya. Tampak sinar menyilaukan mata menyambar-nyambar ke arah tubuh Siangkoan Leng. Hanya dua kali Ketua Ban-hwa-pang itu menjerit dan selanjutnya, tubuhnya dicincang oleh Siang Lan yang sudah memegang pedangnya sendiri. Mengerikan sekali keadaan tubuh Siangkoan Leng. Siang Lan terus membacoki sambil mencucurkan air mata.

   "Mampuslah, mampuslah......!" berulang-ulang ia berseru dan akhirnya ia berdiri setengah lunglai, lelah sekali, berdiri memegangi pedangnya yang berlepotan darah memandang ke arah onggokan daging di depannya, bekas tubuh Siangkoan Leng yang dicincang berikut tulang-tulangnya itu! Kemudian Nyo Siang Lan memerintahkan keluar semua penghuni dalam perkumpulan Ban-hwa-pang itu.

   "Hayo, semua orang keluar dan berkumpul di sini! Siapa yang tidak mematuhi perintahku ini, akan kubunuh seperti yang lain!" bentaknya sambil mengerahkan lwee-kang (tenaga dalam) sehingga suaranya terdengar lantang menggema sampai ke seluruh lembah itu, bahkan menggetarkan semua pondok yang berada di situ!

   Mendengar seruan ini, berbondong-bondong keluarlah keluarga para anggauta Ban-hwa-pang bersama anak-anak mereka. Para wanita dan anak-anak itu menangis karena merasa ngeri dan ketakutan melihat banjir darah dan mayat-mayat suami dan ayah mereka berserakan! Juga di gedung besar tempat tinggal Siangkoan Leng, keluar belasan orang wanita yang tadinya menjadi pelayan ketua itu. Mereka semua berlutut dan menggigil ketakutan. Melihat puluhan orang wanita dan kanak-kanak itu, hati Siang Lan menjadi agak lemas dan kemarahannya memudar, terganti rasa iba.

   "Hemm, mana yang laki-laki? Aku tidak melihat seorang pun laki-laki di antara kalian!"

   "Semua laki-laki telah tewas terbunuh, Li-hiap (Pendekar Wanita), dan ada beberapa orang yang melarikan diri. Tinggal kami para isteri dan anak......!" jawab seorang di antara mereka yang agak tabah. Tadi sehabis berkelahi membantai para anggauta Ban-hwa-pang, Siang Lan baru melihat betapa indahnya tempat itu. Lembah yang penuh dengan bunga beraneka warna! Sinar matahari pagi membuat pemandangan dari lereng itu semakin semarak dan indah sekali sehingga ia mengambil keputusan untuk memiliki lembah ini!

   "Mulai saat ini, aku yang memiliki lembah ini. Akan kubangun lembah ini. Kalian yang mempunyai anak, bawalah semua harta milik kalian dan pergilah meninggalkan lembah. Akan tetapi kalian yang tidak mempunyai anak, boleh tinggal di sini membantuku Aku akan mendirikan sebuah perkumpulan terdiri dari wanita semua di lembah ini!" Lima orang wanita yang semalam melayani Siang Lan, kemudian pingsan tertotok dan kini agaknya sudah pulih kembali dan ikut keluar, segera maju dan berlutut di depan gadis perkasa itu.

   "Lihiap, kami berlima tidak mempunyai keluarga, kami ingin ikut dan membantu Lihiap," kata seorang di antara mereka yang usianya sekitar tigapuluh dua tahun dan berwajah manis. Siang Lan memang suka kepada mereka karena selama melayaninya mereka bersikap amat baik, bahkan merasa kasihan kepadanya. Ia mengangguk, lalu bertanya kepada pembicara itu.

   "Enci, siapa namamu?,"

   "Nama saya Kiok Hwa (Bunga Seruni), Bwe Kiok Hwa, Lihiap."

   "Baik, kuangkat engkau menjadi pembantu utamaku. Kuterima kalian berlima sebagai para pembantuku!" Lima orang wanita itu memberi hormat dengan girang. Para wanita yang merasa tidak mempunyai anak atau keluarga, segera berbondong maju dan berlutut di belakang lima orang wanita pelayan itu. Mereka berjumlah sekitar tigapuluh orang, berusia antara limabelas sampai tigapuluh tahun.

   "Kami siap membantu dan menjadi anak buah Lihiap!" seorang di antara mereka berseru. Siang Lan merasa senang.

   "Bagus! Sekarang kalian semua yang ingin membantuku, kuberi tugas dengan dipimpin Bwe Kiok Hwa. Pertama, bantulah para isteri dan anak mengurus penguburan suami dan ayah mereka. Semua jenazah agar dikubur di luar daerah bukit ini, di kaki bukit sana. Kalian pilih saja tempat yang baik. Kedua, kalian bantu mereka yang harus pergi meninggalkan lembah, dan atur agar mereka membawa semua barang milik mereka, juga kalau ada simpanan harta di sini, berilah bekal secukupnya kepada keluarga yang meninggalkan lembah. Aku tidak ingin ada laki-laki dan kanak-kanak berada di sini!

   "Ketiga, bakar gedung bekas tempat tinggal Siangkoan Leng ini. Aku tidak sudi melihatnya lagi, dan kita akan bangun sebuah gedung baru. Kiok Hwa, kau atur agar barang-barang berharga tidak ikut dibakar karena kita perlu untuk membiayai bangunan baru. Akan tetapi semua perabot dalam rumah ini harus dibakar habis. Aku tidak sudi lagi melihatnya. Nah, mengertikah kalian semua akan tiga tugas itu?"

   "Kami mengerti!" terdengar para wanita itu riuh menjawab. Hati mereka merasa gembira karena selama ini para wanita di situ seolah hanya dijadikan budak, melayani para laki-laki dan terkadang diperlakukan kasar. Kini, dengan seorang ketua pendekar wanita, mereka melihat kecerahan di masa depan mereka.

   "Untuk tugas pertama dan kedua, aku minta agar dapat diselesaikan dalam tiga hari. Setelah tiga hari, di sini tidak ada lagi wanita dengan anak-anak mereka, juga wanita yang tidak ingin menjadi anggauta perkumpulanku. Adapun tugas ketiga, yaitu membakar gedung, harus dilakukan sekarang juga. Nah, aku pergi dan tiga hari kemudian aku kembali ke sini!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, tubuh Siang Lan lenyap dari depan para wanita itu yang menjadi makin takut. Mereka ada yang sudah mendengar bahwa gadis itu berjuluk Iblis Betina Terbang dan sekarang mereka menyaksikan sendiri betapa wanita itu pandai menghilang seperti iblis!



LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 02

   Hwe-thian Mo-li berlari menuruni lereng di mana terdapat lembah yang penuh dengan bunga itu. Setelah tiba di lereng bawah, ia menengok dan melihat asap membubung tinggi dan tahulah ia bahwa gedung tempat tinggal Siangkoan Leng itu mulai dibakar oleh para pembantunya. Ia membalik lagi dan memandang ke depan. Melihat sebuah telaga kecil dengan airnya yang mengkilap tertimpa sinar matahari pagi, ia cepat berlari menuju ke telaga itu. Setelah tiba di tepi telaga kecil yang sunyi dan indah itu, Siang Lan yang merasa betapa tubuhnya lunglai, menjatuhkan diri di atas rumput tebal di tepi telaga dan menangislah gadis itu. Menangis sejadi-jadinya, tersedu-sedu, terisak sampai terengah dan merintih-rintih, bahkan tanpa ia sadari terdengar rintihannya memilukan.

   "Ibuuu...... lbu......, Ayah...... di mana kalian......? Ibu......!" Hatinya terasa seperti diremas-remas teringat akan peristiwa semalam. Ia telah dihina, diperkosa seorang laki-laki macam Siangkoan Leng tanpa berdaya. Ia merasa begitu terhina, kotor dan menjijikkan.

   "Ibuuu......! Suhuuu......, teecu (murid) lebih baik mati saja......!" Kini ia merintih memanggil mendiang gurunya yang mengasihinya seperti ayahnya sendiri.

   Siang Lan duduk setengah rebah menelungkup, membiarkan mukanya terbenam dalam rumput dan menjadi basah oleh air mata dan embun, tubuhnya yang terisak-isak itu bergoyang-goyang, sesenggukan seperti seorang anak kecil. Ia telah membantai puluhan orang untuk melampiaskan dendamnya, namun perbuatan itu ternyata tidak memuaskan hatinya, bahkan menambah ganjalan hatinya kalau ia teringat bahwa belum tentu semua orang yang dibunuhnya itu jahat atau bersalah kepadanya. Ia telah membunuhi suami orang, ayah orang, tanpa memperhitungkan apakah yang ia bunuh itu jahat atau tidak.

   Sama sekali ia tidak tahu bahwa sejak ia lari meninggalkan lembah tadi, ada bayangan orang yang selalu mengikutinya dari jauh. Kini, ketika ia menangis, meratap dan merintih di tepi telaga kecil, bayangan itu bersembunyi di balik semak-semak, tidak begitu jauh darinya sehingga pengintai itu bukan saja dapat melihat semua yang ia lakukan, bahkan mendengar semua ratapan dan rintihannya. Dan, orang itu, seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih, wajahnya tampak pucat dan matanya muram alisnya berkerut. Melihat Siang Lan meratap dan menangis, dia lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri yang sudah banyak ubannya itu sambil bercucuran air mata!

   "Sie Bun Liong, jahanam busuk kau! Apa yang telah kau lakuan......? Kau layak mampus......!" Sepuluh jari tangannya menjambak-jambak rambutnya sendiri sampai gelungnya terlepas awut-awutan, kemudian
kedua tangannya menampari kedua pipinya dari kanan kiri.

   "Plak-plak-plak-plak-plak-plak! Kau layak mampus, layak mampus huu-huu-huuhh......!" Dia menangis sambil menahan suaranya, air matanya bercucuran, kedua pipinya bengkak-bengkak oleh tamparannya sendiri dan kedua ujung bibirnya berdarah!

   Kalau orang melihat Hwe-thian Mo-li menangis mengguguk seperti anak kecil seperti itu, tentu orang yang mengenal Hwe-thian Mo-li akan terheran-heran. Gadis yang dikenal dengan juluan Iblis Betina Terbang, yang terkenal pemberani, tak mengenal takut, keras, liar dan ganas itu, bagaimana mungkin kini menangis mengguguk seperti anak kecil? Dan orang yang mengenal laki-laki yang bersembunyi itu tentu akan lebih heran. Dia adalah Sie Bun Liong yang telah kita kenal ketika malam tadi berkunjung ke rumah adik tiri berlainan ayah ibu di Ban-hwa-pang.

   Sie Bun Liong adalah seorang perantau, seorang kelana yang bertahun-tahun berkelana di daerah Tibet dan Himalaya, seorang ahli sastra dan ahli silat yang amat pandai, kini menangis, menjambak-jambak rambutnya dan menampari pipinya sendiri! Sie Bun Liong maklum bahwa adiknya berlainan ayah dan ibu, Siangkoan Leng, adalah seorang laki-laki yang lemah dan mudah diperbudak nafsu-nafsunya. Karena itu, sebelum meninggalkan Ban-hwa-pang di mana adiknya itu menjadi ketua, dia sudah meninggalkan banyak pesan dan nasihat agar adiknya tidak meninggalkan jalan kebenaran seperti seorang pendekar. Namun, ketika kemarin dia menuju ke Ban-hwa-pang, dia mendengar keterangan yang kurang menyenangkan tentang Ban-hwa-pang dari para penduduk.

   Maka, ketika melihat Ban-hwa-pang mempersiapkan pesta pernikahan adiknya itu, dia sudah merasa curiga dan ingin bertemu calon pengantin wanita untuk melihat apakah wanita itu mau menikah dengan Siangkoan Leng dengan suka rela atau dipaksa. Kalau dipaksa, dia akan turun tangan mencegah dan melarang adiknya memaksa wanita untuk menjadi isterinya! Akan tetapi Siangkoan Leng melarangnya bertemu dengan calon pengantin dengan alasan yang kuat dan karena betapapun juga Sie Bun Liong memiliki rasa sayang kepada adik tiri ini, maka dia mau diajak minum bermabok-mabokan oleh adiknya. Dia minum sampai begitu maboknya sehingga dia tidak ingat apa-apa lagi. Ketika dia sadar dari keadaan setengah pingsan itu, dia merasakan tubuhnya panas dan tidak karuan. Kepalanya berdenyut-denyut dan berdengung, perasaannya demikian gembira tidak wajar.

   Dia membuka mata dan mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan dan di dekatnya rebah pula seorang wanita dalam keadaan telanjang bulat! Dalam keremangan cuaca dalam kamar dia melihat kulit tubuh yang putih mulus, ketika tersentuh merasakan kehangatan yang luar biasa dan mencium keharuman yang tiba-tiba membuat gairahnya berkobar dan memuncak! Sie Bun Liong bukan seorang laki-laki yang mudah tergiur wanita, bahkan dalam usia empatpuluh dua tahun itu dia belum pernah bergaul secara intim dengan seorang wanita. Melihat keadaan dirinya yang juga setengah telanjang karena pakaian luarnya bertumpuk di tepi pembaringan itu, Sie Bun Liong mencubit lengannya sendiri karena mengira bahwa semua itu tentu hanya mimpi. Akan tetapi ternyata bukan mimpi.

   "Gila!" Dia berseru dalam hatinya dan berusaha sekuatnya untuk menolak karena nalurinya mengatakan bahwa semua ini tidak benar! Akan tetapi, semakin dilawan, gairah itu semakin kuat, seolah api yang berkobar membakar dirinya. Dalam keadaan seperti gila dan masih setengah sadar dia tidak mampu lagi menahan gairah berahinya dan terjadilah peristiwa yang sama sekali tidak dikehendaki hati nuraninya. Hatinya menolak namun badannya tidak dapat dikendalikan lagi dan terjadilah peristiwa itu. Dia telah menggauli wanita yang tidak dikenalnya itu, wanita yang agaknya berada dalam keadaan setengah sadar atau pingsan.

   Ketika pengaruh hawa rangsangan yang amat kuat itu mulai melemah, pada pagi hari itu dia segera mengenakan pakaiannya dan turun dari pembaringan. Dia hampir gila karena penyesalan, bercampur keheranan dan penasaran mengapa sampai terjadi hal seperti itu. Apa yang telah terjadi? Siapa gadis itu? Apakah adiknya, Siangkoan Leng yang sengaja menyuruh gadis itu melayaninya? Akan tetapi ketika dia keluar dari jendela kamar itu, dia mendapat kenyataan bahwa itu merupakan kamar terbesar dan di depan pintu kamar terdapat hiasan kamar pengantin dengan kain merah! Gadis itu adalah gadis calon pengantin, calon isteri Siangkoan Leng! Sie Bun Liong tidak dapat menahan lagi rasa malu, marah, dan penyesalannya. Perbuatannya semalam merupakan dosa yang tak dapat diampuni, merupakan perbuatan kotor dan hina, menyeretnya menjadi manusia iblis yang merusak kehormatan seorang gadis!

   Terkutuk! Dia lalu melarikan diri, meninggalkan Ban-hwa-pang dengan amat cepat sehingga tidak diketahui siapa pun. Setelah berada jauh dari Ban-hwa-pang, dia berhenti, menjatuhkan diri di atas tanah lalu berlutut, menangis dan berdoa mohon pengampunan atas dosa yang telah diperbuatnya! Akan tetapi dia juga merasa heran. Bagaimana mungkin dia melakukan perbuatan hina seperti itu, memperkosa seorang gadis yang berada dalam keadaan tidak berdaya? Sekarang baru dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu telah ditotok sehingga tidak mampu menggerakkan kaki tangan dan tidak mampu mengeluarkan suara! Akan tetapi, mengapa dia mau melakukan perkosaan seperti itu? Ini sama sekali bukan dirinya. Sampai mati pun dia tidak akan sudi melakukan hal itu. Akan tetapi mengapa dilakuannya juga?

   Dia mengingat-ingat dan membayangkan apa yang terjadi kemarin sore. Dia minum-minum dengan Siangkoan Leng, minum arak sebanyak-banyaknya karena adiknya itu membujuk dan setengah memaksanya untuk minum, demi kebahagiaan adiknya. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi dan yang teringat hanya peristiwa malam tadi. Malam jahanam yang membuat dia berubah menjadi iblis! Mengapa begitu? Sie Bun Liong duduk termenung, diam tak bergerak seolah telah berubah menjadi arca. Dia memikirkan hal yang telah terjadi secara aneh dan luar biasa itu. Lalu dia teringat akan perasaannya ketika mulai sadar dan mendapatkan dirinya berada di atas pembaringan, di dekat seorang gadis yang rebah telentang dalam keadaan telanjang bulat. Dia merasa tubuhnya seperti dibakar, kepalanya berdenyut, telinganya berdengung sehingga sukar baginya untuk berpikir.

   "Ah......!" Tiba-tiba dia teringat bahwa adiknya, Siangkoan Leng adalah orang yang suka sekali mempelajari tentang semua bunga di Lembah Selaksa Bunga itu dan membuat ramuan obat dari bunga-bunga itu!

   Mungkin dia telah keracunan, pikirnya! Ya, malam itu dia terpengaruh racun yang amat hebat, racun perangsang yang amat kuat sehingga seolah melumpuhkan semua kesadaran dan pertahanan batinnya. Dia dalam pengaruh racun perangsang! Akan tetapi, bagaimana dia dapat diracuni? Apakah ketika dia minum-minum dengan adiknya? Dan siapa yang meracuninya? Adiknya sendiri? Rasanya tidak mungkin! Mana mungkin Siangkoan Leng meracuni kakak sendiri agar kakaknya memperkosa gadis yang menjadi calon isterinya? Sama sekali tidak mungkin! Lalu siapa? Apa yang sebenar telah terjadi? Dia merasa malu, bahkan ngeri untuk kembali ke Lembah Selaksa Bunga. Bagaimana dia dapat berhadapan muka dengan Siangkoan Leng setelah dia memperkosa calon isteri adiknya itu? Lebih lagi, bagaimana dia akan dapat berhadapan dengan gadis yang semalam telah dia perkosa?

   Sampai lama sekali, setelah termenung di situ seperti orang yang kehilangan ingatan, Sie Bun Liong baru bangkit berdiri. Dia tidak boleh berdiam diri saja, pikirnya. Dia harus menyelidiki bagaimana peristiwa semalam itu dapat terjadi dan apa artinya semua itu. Laki-laki bertubuh sedang dengan pakaian sederhana itu kini melangkah menuju ke Lembah Selaksa Bunga kembali. Wajahnya yang memiliki garis-garis kehidupan mendalam dengan bentuk yang jantan dan tampan itu kini tampak muram. Sepasang matanya yang biasanya lembut penuh kesabaran dan tenang itu kini tampak gugup dan bingung. Setelah agak dekat dengan perkampungan Ban-hwa-pang dia mendengar suara orang-orang berkelahi di perkampungan itu. Dia terkejut dan cepat berlari menuju ke Ban-hwa-pang. Ketika dia tiba di sana dan memandang ke pekarangan gedung tempat tinggal adiknya, matanya terbelalak, mukanya pucat dan tubuhnya gemetar.

   Jantungnya hampir berhenti berdetak ketika dia melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah, rambutnya awut-awutan, pakaiannya berlepotan darah, memegangi sebatang pedang yang berkilauan, berdiri di tengah pekarangan dan di sekelilinginya tampak mayat-mayat puluhan orang berserakan! Dia mendengar Hwe-thian Mo-li mengucapkan perintah tiga macam tugas kepada puluhan orang wanita yang berlutut menghadapnya. Dengan hati penuh kengerian Sie Bun Liong maklum apa yang telah terjadi. Gadis yang dia gauli dalam keadaannya yang tidak wajar dan hampir tidak sadar itu adalah calon pengantin adiknya! Agaknya gadis itu memang ditawan adiknya dan agaknya hendak dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi karena gadis itu yang disebut Hwe-thian Mo-li kabarnya amat lihai, maka gadis itu ditotok dan direbahkan dalam kamar itu.

   Dan ketika dia minum-minum dengan adiknya itu, Siangkoan Leng tentu telah mencampurkan obat perangsang yang amat kuat ke dalam arak yang diminumnya, lalu sengaja membawanya ke dalam kamar di mana calon pengantin itu rebah dalam keadaan tertotok dan telah ditanggalkan semua pakaiannya. Ah, dia kini dapat membayangkan apa yang terjadi. Tidak salah lagi, tentu Siangkoan Leng sengaja menjebaknya, mungkin karena tahu bahwa dia pasti akan melarang adiknya memaksa Hwe-thian Mo-li menikah dengannya, maka adiknya yang telah tersesat itu menggunakan siasat seperti itu! Kalau sudah ternoda, dia mengharapkan Hwe-thian Mo-li tidak menolak lagi, dan dia yang sudah menodai gadis itu tentu tidak lagi dapat melarang adiknya menikah dan memaksa gadis itu menjadi isterinya!

   "Lemah dan bodoh!" Dia menggumam dan kembali dia melihat ke arah Hwe-thian Mo-li yang menghadapi para wanita itu. Dia dapat menduga bahwa setelah terbebas dari totokannya, tentu Hwe-thian Mo-li mengamuk dan membunuhi semua anggauta Ban-hwa-pang. Dia bergidik melihat puluhan mayat berserakan seperti itu, dan hampir dia menjerit melihat onggokan daging di depan gadis itu. Dia mengenal sisa pakaian dari bekas tubuh yang kini hancur tercincang itu. Tak salah lagi, adiknya, Siangkoan Leng, juga telah dibunuh dan dicincang oleh Hwe-thian Mo-li! Hampir saja Sie Bun Liong melompat untuk menyerang gadis yang liar dan ganas, yang telah dengan kejam membasmi semua orang Ban-hwa-pang.

   Akan tetapi tiba-tiba dia menahan dirinya. Apa yang hendak dia lakukan? Membalas dendam dan membunuh gadis itu? Padahal, Hwe-thian Mo-li melakukan pembantaian itu karena merasa dirinya diperkosa. Dialah yang menjadikan gadis itu mengamuk seperti kemasukan iblis! Teringat akan hal ini, Sie Bun Liong merasa lemas lagi, seluruh urat syarafnya seperti dilolosi dan dia menangis tanpa suara dengan sedih, menangisi kematian adiknya dan para anggauta Ban-hwa-pang, menangisi perbuatannya sendiri malam tadi. Ketika dia melihat gadis itu lari meninggalkan Ban-hwa-pang dengan cepat setelah memberi tugas kepada bekas anggauta Ban-hwa-pang, Sie Bun Liong juga lari membayanginya.

   Demikianlah, ketika Hwe-thian Mo-li menjatuhkan dirinya yang lemah lunglai di tepi telaga, kemudian merintih dan meratap-ratap menangis sedih menyebut ayah dan ibunya, Sie Bun Liong merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk ujung pedang. Dia menangis dan dengan menyesal dan perasaan benci kepada diri sendiri dia menampari semuanya sampai kedua pipinya bengkak-bengkak dan kedua ujung bibirnya berdarah. Setelah tangisnya mereda karena kekerasan hati Siang Lan tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan, gadis itu bangkit duduk melamun. Mukanya pucat dan basah, juga kotor terkena tanah basah. Dirabanya mukanya dan dilihatnya telapak tangannya yang terkena kotoran dari mukanya.

   "Aku kotor...... aku kotor......!"

   Ia berseru dan setelah memperhatikan keadaan sekeliling dengan penglihatan dan pendengarannya, yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitar situ, ia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan masuk ke dalam air telaga. Ia menyelam lama sampai terengah-engah ketika muncul kembali dan ia menggunakan ilalang untuk menggosoki seluruh tubuhnya dengan kuat sehingga semua kulit tubuhnya yang putih mulus menjadi kemerahan. Ketika tadi Hwe-thian Mo-li mulai menanggalkan pakaiannya, Sie Bun Liong terkejut dan heran, akan tetapi segera dia memejamkan matanya. Sudah menjadi wataknya sejak dulu untuk bersikap sopan terhadap wanita dan kecabulan nafsu berahi sebetulnya sudah lama dia jauhi.

   Dia hanya mengikuti gerakan gadis itu melalui pendengarannya karena pantang baginya melihat seorang wanita menanggalkan pakaiannya. Setelah dia mendengar suara gadis itu masuk ke dalam telaga, baru dia membuka matanya dan dia melihat betapa gadis itu menyelam dan menggosoki badannya dengan ilalang. Dia merasa iba sekali karena dia seolah dapat merasakan keadaan gadis itu. Agaknya gadis itu hendak membersihkan diri dari penghinaan yang dialaminya semalam. Kembali dia memejamkan matanya ketika gadis itu keluar dari air telaga, mengenakan pakaiannya kembali. Dia membuka mata mendengar gadis itu kembali meratap.

   "Aih...... aku kotor...... kotor......! Ayah...... Ibu...... aku tidak tahan lagi menanggung derita kecemaran ini......!" Gadis itu menangis sesenggukan. Sie Bun Liong juga hampir tak dapat menahan dirinya. Dia ingin sekali keluar dari tempat persembunyiannya, menemui gadis itu dan mengakui semua perbuatannya, siap menerima hukuman mati di tangannya. Akan tetapi dia merasa malu dan...... ngeri menemui gadis itu!

   Bukan ngeri menghadapi kematiannya sendiri, namun ngeri harus berhadapan muka dengan gadis yang telah diperkosanya itu, walaupun perbuatannya itu dilakukan dalam keadaan tidak sewajarnya dan tidak sadar karena pengaruh arak dan mungkin obat perangsang yang amat kuat. Dengan jari-jari tangannya membentuk cakar garuda, Sie Bun Liong merobek kulit batang pohon di depannya. Lalu membentuknya selebar wajahnya, melubangi bagian mata dan lubang hidung, kemudian menggunakan saputangan untuk menalikan topeng kulit kayu itu di depan mukanya. Kalau dia mati di tangan gadis itu, biarlah dia mati tanpa memperlihatkan mukanya, pikirnya. Tiba-tiba dia terkejut dan tubuhnya berkelebat cepat bukan main ke arah Siang Lan. Tadi, begitu dia selesai memakai topeng dan memandang kepada gadis yang tadi menangis sesenggukan, dia mendengar Hwe-thian Mo-li meratap.

   "Ayah...... Ibu...... tunggu...... aku ingin ikut kalian!" Dan gadis itu mencabut pedangnya!

   "Syuuuuttt...... plakk!" Pedang di tangan Siang Lan yang sudah digerakkan menuju leher sendiri itu tiba-tiba saja terpental bertemu dengan telapak tangan yang menamparnya dari samping. Hwe-thian Mo-li terkejut bukan main dan cepat ia membuang diri ke belakang, berjungkir balik tiga kali dan kini berdiri memandang orang yang begitu berani menangkis pedangnya.

   Ia terkejut melihat seorang laki-laki yang mengenakan topeng menutupi mukanya sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Melihat rambutnya yang sudah banyak terhias uban, tentu bukan seorang pemuda lagi. Rambut itu awut-awutan, pakaiannya sederhana, juga kusut. Namun yang mengejutkan hati Hwe-thian Mo-li adalah kenyataan bahwa laki-laki itu mampu menangkis pedang pusaka Lui-kong-kiam dengan tangan! Juga dalam tangkisan itu terkandung tenaga sakti yang amat kuat, yang membuat pedangnya terpental walaupun tidak sampai terlepas dari tangannya. Dan yang membangkitnya kemarahan Hwe-thian Mo-li adalah keberanian orang ini untuk menangkis pedangnya dan menggagalkan usahanya membunuh diri!

   "Jahanam busuk! Engkau sudah bosan hidup berani mencampuri urusan pribadiku!" bentaknya dengan suara menggetar saking marahnya. Lupalah ia akan semua kesedihan dan keputus-asaannya, terganti perasaan marah yang berkobar.

   "Hua-ha-ha-ha! Engkau masih bisa marah padaku, berarti semangat hidupmu masih besar, kenapa mau bunuh diri?"

   "Peduli apa engkau dengan urusanku? Siapa engkau? Mengakulah sebelum kubelah dadamu dengan pedang ini!"

   "Hemm, masih kurangkah engkau membunuhi puluhan orang yang tidak bersalah kepadamu? Apakah engkau bunuh diri karena menyesal telah membunuh banyak orang yang tidak berdosa?"

   "Huh, siapa menyesal! Kalau Siang-koan Leng mempunyai seribu nyawa, aku akan membunuhnya seribu kali! Dia jahat dan anak buahnya tentu jahat pula maka kubunuh mereka semua!"

   "Siangkoan Leng hanya ingin memperisterimu, dan hal itu belum terjadi. Biarpun dia bersalah, membunuh dia bersama anak buahnya untuk kesalahan sekecil itu sungguh tidak adil namanya!"

   "Kesalahan kecil? Hem, karena engkau akan mampus pula kubunuh, boleh engkau tahu agar jangan menjadi setan penasaran! Siangkoan Leng telah bertindak keji kepadaku, ia menghinaku dan mencemarkan kehormatanku! Nah, sekarang bersiaplah untuk mampus menyusul arwah Si Jahanam Siangkoan Leng!"

   "Dan engkau setelah membunuh aku tidak akan bunuh diri lagi?"

   "Peduli apa denganmu? Yang kubunuh diriku sendiri, tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Aku pasti akan bunuh diri dan tidak ada seorang pun lagi yang dapat mencegahku!" Gadis itu menyerang dengan pedangnya, gerakannya ganas, kuat dan cepat sekali. Akan tetapi dengan mudahnya orang bertopeng itu mengelak.

   "Ha-ha-ha, engkau keliru! Yang memperkosamu bukan dia!" Siang Lan menahan serangannya, memandang heran dan tidak percaya.

   "Engkau bohong! Siapa lagi kalau bukan jahanam Siangkoan Leng itu?"

   "Bukan dia dan bukan orang lain! Akulah yang semalam melakukan perkosaan padamu itu, Hwe-thian Mo-li!" Siang Lan terbelalak, matanya mencorong penuh kemarahan akan tetapi juga terkejut bukan main mendengar pengakuan itu. Dia telah salah sangka dan membunuh Ketua Ban-hwa-pang dan semua anggautanya!

   "Ha-ha-ha, aku yang melakukannya dan aku sama sekali bukan orang Ban-hwa-pang! Nah, apakah sekarang engkau mau bunuh diri karena takut kepadaku?"

   "Setan keparat! Iblis jahanam, aku tidak mau mati sebelum dapat mencincang hancur tubuhmu!" teriak Siang Lan dengan suara menjerit saking marahnya. Bukan saja orang ini mengaku sebagai orang yang memperkosanya tadi malam, bahkan kini menghinanya dan mengatakan ia takut! Cepat seperti kilat menyambar ia menyerang dengan Lui-kong-kiam.

   Akan tetapi dengan gerakan ringan sekali sambil mengeluarkan suara tawa mengejek, orang bertopeng itu mengelak dan dengan lompatan tinggi dia menyambar sebatang ranting pohon sebesar lengannya, melompat turun dan sudah memegang sebatang ranting yang dia pergunakan sebagai senjata. Mereka bertanding mati-matian dan Hwe-thian Mo-li benar-benar terkejut bukan main! Pedang pusakanya yang ampuh, yang mampu mematahkan senjata lawan terbuat dari baja murni, kini tidak berdaya menghadapi senjata lawan yang hanya merupakan sebatang ranting pohon yang masih ada daun-daunnya! Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya, mengeluarkan semua ilmu silatnya yang paling lihai, namun semua serangannya dapat digagalkan dengan mudah oleh orang bertopeng itu. Yang membuat ia merasa penasaran dan semakin panas hatinya adalah mendengar betapa lawan itu terkadang mengeluarkan suara tawa mengejek kalau serangannya gagal.

   Hampir seratus jurus lewat dan mereka berdua masih terus bertanding dengan serunya. Hwe-thian Mo-li menjadi semakin penasaran karena ia merasa betul bahwa lawannya itu hanya bertahan saja, mengelak atau menangkis serangan-serangannya dan hanya kadang-kadang saja balas menyerang. Agaknya lawannya yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu mempermainkannya atau sengaja hendak menguji kepandaiannya. Ia menjadi marah sekali, akan tetapi juga penasaran dan jengkel, apalagi mengingat bahwa laki-laki ini yang semalam memperkosanya. Hampir saja ia menangis karena ia kehabisan tenaga. Tiba-tiba laki-laki bertopeng itu mengubah gerakannya. Kini dia menyerang dengan gerakan yang aneh dan bertubi-tubi yang membuat Siang Lan segera terdesak mundur.

   "Roboh......!" Laki-laki itu membentak dan tiba-tiba beberapa helai daun yang masih menempel pada ranting pohon yang dijadikan senjata itu meluncur bagaikan senjata-senjata rahasia, menyerang ke arah leher dan kedua pundak Siang Lan!

   Tentu saja gadis itu terkejut mendapat serangan yang mendadak dan tak tersangka-sangka itu. Ia melompat ke samping, akan tetapi sebuah tendangan mengenai lututnya dan sebelum ia dapat menghindar, ujung ranting itu menotok pergelangan tangan kanannya sehingga pedangnya terlepas dari pegangannya! Ia terduduk karena lututnya terasa lumpuh. Ia melihat pedangnya terlempar agak jauh dan kini laki-laki itu membuang ranting di tangannya.

   "Hua-ha-ha-ha! Kiranya ilmu kepandaian Hwe-thian Mo-li hanya sebegini saja!" Siang Lan memandang dengan mata mencorong, akan tetapi kedua matanya basah air mata. Ia khawatir kalau-kalau peristiwa semalam terulang karena kini ia benar-benar tidak berdaya. Orang bertopeng itu terlampau kuat baginya.

   "Jahanam keparat! Aku sudah kalah! Bunuh aku!"

   "Ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu! Sekarang terserah engkau. Kalau engkau seorang pengecut, kau boleh bunuh diri karena takut padaku dan aku akan mengabarkan di seluruh dunia kang-ouw bahwa nama besar Hwe-thian Mo-li hanya nama kosong belaka dari seorang wanita pengecut yang tidak berani menghadapi musibah dan kesengsaraan hidup. Akan tetapi kalau engkau benar seorang pemberani, engkau boleh belajar ilmu silat seratus tahun lagi dan kelak boleh mencari aku untuk bertanding lagi seribu jurus! Ha-ha-ha-ha!" Ini merupakan penghinaan yang sudah melewati batas! Siang Lan memaksa diri bangkit dan sambil bertolak pinggang ia menatap wajah bertopeng itu, lalu telunjuk kirinya menuding ke arah muka bertopeng kulit kayu itu.

   "Jahanam, keparat, penjahat busuk! Siapa takut padamu? Kalau engkau mau bunuh, bunuhlah, aku tidak takut mati! Akan tetapi kalau engkau tidak membunuhku, aku bersumpah tidak akan mati dulu sebelum aku dapat mencincang tubuhmu. Kelak aku pasti akan mencarimu untuk membalas dendam setinggi langit sedalam lautan ini!"

   "Bagus, ha-ha-ha! Aku akan menunggumu, Hwe-thian Mo-li!"

   "Buka topengmu dan katakan siapa nama dan di mana kelak aku dapat mencarimu!"

   "Ha-ha-ha, topeng ini merupakan ciri khasku, dan tidak akan kubuka. Kelak kalau engkau mencariku, engkau carilah tokoh bertopeng kulit kayu berjuluk Thian-te Mo-ong (Raja Iblis Langit Bumi)! Tempat tinggalku tidak tentu, akan tetapi jangan khawatir. Akulah yang akan mencarimu. Setahun sekali aku akan mencarimu di Lembah Selaksa Bunga. Selamat tinggal!" Orang itu berkelebat lenyap dan Siang Lan tidak dapat melakukan pengejaran, hanya mendengar suara tawanya yang bergema dan semakin jauh! Kembali Siang Lan menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis tersedu-sedu. Akan tetapi sekali ini ia bukan menangis karena sedih, melainkan menangis karena penasaran, marah, benci dan dendam bergelora di dalam hati dan akal pikirannya.

   "Thian-te Mo-ong, akan kubunuh kau...... Kubunuh kau.....!!" teriaknya, akan tetapi ia segera dapat menguasai dirinya. Tidak, ia tidak akan membunuh diri. Sekarang, tujuan satu-satunya dalam sisa hidupnya hanyalah membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong, laki-laki bertopeng itu. Dan untuk dapat melaksanakan dendamnya, ia harus memperdalam ilmu silatnya karena musuh besarnya itu memiliki tingkat kepandaian silat yang amat tinggi.

   Ia lalu memungut Lui-kong-kiam (Pedang Halilintar), menyarungkannya kembali dan melangkah perlahan mendaki bukit menuju Lembah Selaksa Bunga. Ia telah bersalah membunuhi para anggauta Ban-hwa-pang yang tidak berdosa dan ia merasa menyesal. Siangkoan Leng memang sudah sepatutnya mendapat hukuman, walaupun perlakuannya kepadanya dengan mencincang tubuhnya itu juga amat keterlaluan mengingat bahwa kesalahannya hanya menawannya. Ia harus membangun kembali Ban-hwa-pang, memakmurkan para anggautanya dan melatih mereka dengan ilmu silat. Selain itu, ia harus memperdalam ilmu silatnya sehingga kelak ia akan mampu membalas dendam musuh besar yang amat dibencinya, yaitu Thian-te Mo-ong!

   Ketika ia memasuki perkampungan Ban-hwa-pang, para wanita di situ terkejut melihat ketua baru itu sudah datang lagi. Akan tetapi Siang Lan girang melihat betapa mereka itu mematuhi semua perintahnya. Setelah rumah gedung bekas tempat tinggal Siangkoan Leng dibakar habis, semua jenazah dikuburkan, dan para wanita yang mempunyai anak pergi meninggalkan Ban-hwa-pang dengan mendapat bekal secukupnya, mulailah Siang Lan membenahi perkumpulan itu. Sebuah rumah untuknya dibangun dan setelah ia kumpulkan, ternyata ada tigapuluh lima orang wanita yang menjadi anggautanya. Siang Lan mengatur perkumpulan itu menjadi sebuah perkumpulan wanita yang pantang melakukan kejahatan, akan tetapi juga para anggauta tidak boleh berhubungan dengan laki-laki selama mereka menjadi anggauta Ban-hwa-pang.

   Siapa yang hendak menikah tidak dilarang, melainkan harus meninggalkan Ban-hwa-pang! Sementara itu, laki-laki bertopeng yang telah mencegah Siang Lan bunuh diri kemudian bertempur dan mengalahkan gadis liar itu, juga meninggalkan Siang Lan dan kini dia melangkah perlahan mendaki bukit yang bersebelahan dengan bukit di mana terdapat Lembah Selaksa Bunga yang karena adanya lembah itu, disebut pula Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga). Dia melangkah satu-satu dengan santai. Topeng kayu telah ditanggalkannya dan dibuangnya dan orang itu bukan lain adalah Sie Bun Liong. Kini dia melangkah sambil bicara seorang diri, berbantahan sendiri seperti seorang gila!

   "Kamu kejam! Tak tahu malu, melakukan perbuatan biadab dengan memperkosa seorang gadis. Padahal selama ini kamu belum pernah bergaul dengan wanita dan tampak alim. Huh, alim yang pura-pura, munafik!" bisik mulutnya yang mengeluarkan suara hatinya. Suara pikirannya membantah.

   "Aku melakukannya dalam keadaan tidak sadar! Karena mabok arak dan dipengaruhi racun perangsang!"

   "Kamu kini lebih kejam lagi! Bukan hanya menghina dengan mengalahkannya, bahkan mengejeknya dan membiarkan ia hidup merana dengan mengandung dendam kepadamu. Kamu benar-benar jahat dan kejam sekali!" Sie Bun Liong menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, aku melakukannya dengan sengaja walaupun dengan perasaan pedih. Semua itu kulakukan untuk menjauhkan niat bunuh diri darinya, agar ia bersemangat tetap hidup untuk dapat membalas dendam kepadaku. Biarlah aku kelak dianggap jahat dan kejam, semua itu kulakukan demi menyelamatkannya, untuk menebus dosa yang kulakukan kepadanya tanpa kusengaja......"

   "Huh, untuk mengakhiri penderitaannya, mengapa engkau tidak membunuhnya saja atau membiarkan ia membunuhmu dalam perkelahian tadi? Mengapa engkau mengorbankan dirimu biar dianggap biadab, jahat dan kejam demi mencegahnya bunuh diri? Ha-ha, aku tahu, karena engkau cinta padanya...... cinta padanya......"

   "Tidak......!"

   "Engkau jatuh cinta padanya!"

   "Tidak, kamu ngaco.....!"

   "Kau cinta padanya...... cinta padanya...... cinta padanya......!" Suara itu seperti mengejek mentertawakannya.

   "Plakk! Bodoh kamu!" Sie Bun Liong menampar kepalanya sendiri. Dia lalu mendaki puncak bukit dan mengambil keputusan untuk tinggal di situ secara diam-diam karena dia harus memantau keadaan dan perkembangan Hwe-thian Mo-li yang kini menjadi Ketua Ban-hwa-pang.

   Kota raja Kerajaan Dinasti Beng (1368-1644) pada waktu itu dapat dibilang cukup makmur. Yang menjadi kaisar adalah Kaisar Wan Li (1572-1620) yang ketika kisah ini terjadi menghadapi banyak masalah gangguan pemberontakan yang terjadi di daerah selatan dan utara. Dari utara datang gangguan dari suku-suku bangsa, yang terbesar adalah bangsa Mancu dan dari selatan datang gangguan dari perkumpulan-perkumpulan yang ingin memberontak seperti misalnya Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw. Akan tetapi berkat kepandaian dua orang menteri yang bijaksana, maka sebegitu jauh semua masalah itu dapat diselesaikan dan pemberontakan dapat ditindas walaupun belum dapat dipadamkan sama sekali.

   Dua orang menteri yang bijaksana dan cekatan dalam sejarah sebagai menteri-menteri yang setia itu adalah Menteri Yang Ting Ho yang menjadi penasehat Kaisar Wan Li dalam urusan ketatanegaraan, dan yang kedua adalah Panglima Chang Ku Cing yang menjadi penasehat dalam urusan ketatanegaraan dan keamanan negara. Tentu saja kedua orang menteri ini dibantu oleh banyak pejabat dan perwira yang setia dan jujur, dua sifat pejabat negara yang sukar ditemukan pada waktu itu. Sebagian besar pejabat itu merupakan orang-orang yang korup, mencuri uang negara, memeras dan menekan rakyat, bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan kekuasaan masing-masing.

   Satu di antara perwira yang membantu Panglima Chang Ku Cing, yang merupakan seorang perwira tangguh, jujur dan setia kepada atasannya, dan dengan sendirinya dia juga amat setia kepada kerajaan, adalah Panglima Muda Kui Seng yang baru saja naik pangkat menjadi panglima muda setelah dia berhasil meringkus tujuh orang pimpinan pemberontak Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih). Kui Seng atau lebih dikenal dengan Kui Ciang-kun (Panglima Kui) adalah seorang laki-laki bertubuh sedang dan bersikap gagah. Dia terkenal pemberani dan pandai mengatur pasukan sehingga dipercaya oleh Panglima Besar Chang Ku Cing. Kui Ciang-kun mempunyai seorang puteri bernama Kui Li Ai, seorang gadis berusia delapanbelas tahun yang cantik jelita. Isterinya, atau ibu kandung Li Ai, telah meninggal dunia karena sakit tiga tahun yang lalu dan sebagai pengganti isteri pertama, dia mengangkat seorang selir menjadi isteri pertama.

   Sayang bahwa selir yang diangkat menjadi isteri dan baru berusia tigapuluh tahun itu, diam-diam merasa tidak suka kepada anak tirinya, sehingga di pihak Li Ai dengan sendirinya juga timbul perasaan tidak suka kepada ibu tiri ini. Akan tetapi perasaan tidak suka ini tidak mereka perlihatkan di depan Kui Seng. Pada suatu senja menjelang malam, setelah makan malam, Kui Ciang-kun bercakap-cakap dengan isterinya di halaman belakang yang terbuka dan menghadap ke taman bunga karena malam hari itu udara panas sehingga nyaman duduk bercakap-cakap di tempat terbuka itu. Kui Ciang-kun membicarakan tentang tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang dia tawan tiga bulan yang lalu dan kini menjadi tahanan dalam penjara pemerintah.

   "Aku masih khawatir kalau mengingat para pimpinan Pek-lian-kauw yang tertawan itu." katanya lirih seperti kepada diri sendiri.

   "Eh, mengapa begitu, suamiku? Bukankah karena penangkapan itu, engkau telah berjasa dan mendapat kenaikan pangkat?"

   "Benar, akan tetapi keberhasilan itu berkat bantuan Ouw-yang Sianjin yang lihai dan berjiwa patriot. Tosu (Pendeta Agama To) dan para pendekar muda. Tanpa bantuan mereka, akan sukarlah bagiku untuk mengalahkan tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang lihai itu."

   "Akan tetapi mereka itu telah tertangkap dan dijatuhi hukuman, mengapa pula engkau kini mengkhawatirkannya?"

   "Mereka memang sudah tertangkap dan bahkan empat orang dari mereka telah dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi yang tiga orang lagi masih ditahan dan belum dihukum mati. Aku merasa khawatir sekali melihat kelemahan Sribaginda Kaisar yang tidak segera menghukum mati pula tiga yang lain itu. Justeru mereka bertiga itu yang merupakan orang-orang terpenting di Pek-lian-kauw. Aku sudah menghadap Panglima Besar Chang, namun beliau yang amat setia kepada kaisar malah memarahi aku, mengatakan bahwa kami semua harus menaati perintah Sribaginda Kaisar. Ahh, aku menjadi khawatir......" Kui Ciang-kun kembali menghela napas panjang.

   "Apa yang kau khawatirkan, suamiku?"

   "Sribaginda Kaisar selalu bersikap lemah terhadap Pek-lian-kauw. Bahkan beliau pernah menerima kedatangan utusan dari Pek-lian-kauw, padahal Pek-lian-kauw selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkan kerajaan dan merampas kekuasaan. Juga Pek-lian-kauw, dengan berkedok agama dan perjuangan rakyat, merupakan penipu-penipu rakyat dan suka bertindak sewenang-wenang, membodohi dan memeras rakyat. Menurut pendapatku, Pek-lian-kauw harus dibasmi sampai ke akar-akarnya. Akan tetapi sekarang, tiga orang pimpinan mereka masih ditahan dan tidak segera dihukum mati."

   "Aih, suamiku, mengapa engkau mengkhawatirkan hal itu? Serahkan saja semua itu kepada Sribaginda Kaisar dan kepada Panglima Chang, atasanmu. Engkau hanya tinggal melaksanakan tugasmu," hibur isterinya. Tiba-tiba terdengar jeritan wanita.

   Hanya terdengar satu kali saja lalu suara itu terhenti seolah-olah mulut yang menjerit tadi dibungkam. Biarpun jeritan itu hanya terdengar satu kali, namun Kui Ciang-kun mengenal bahwa itu adalah suara Kui Li Ai, puterinya! Maka, cepat dia melompat dan berlari ke arah datangnya suara jeritan tadi, yaitu di dalam taman. Dia melihat bayangan seseorang memanggul tubuh seorang gadis dan cepat dia melompat sambil mencabut pedangnya, menghadang di depan orang itu dan membentak.

   "Berhenti......!" Di bawah sinar lampu yang tergantung di tiang lampu di taman itu, di bawah mana agaknya orang itu sengaja berdiri dan menantinya, Kui Ciang-kun melihat bahwa orang itu adalah seorang yang berpakaian sebagai seorang Tosu dan yang dipanggul itu bukan lain adalah Kui Li Ai, puteri tunggalnya! Tosu itu memegang sebatang pedang yang sudah ditempelkan di leher puterinya yang tidak mampu bergerak, agaknya dalam keadaan tertotok. Melihat bahwa yang ditawan tosu itu adalah puterinya, Kui Ciang-kun menjadi marah bukan main.

   "Siapakah engkau? Hayo cepat bebaskan puteriku atau aku akan memanggil pasukan pengawal dan menangkapmu!" bentaknya.

   "Tenang, Kui Ciang-kun dan jangan lakukan sesuatu atau anakmu ini akan pinto (aku) bunuh lebih dulu. Anakmu pinto jadikan sandera dan ia pasti akan pinto bunuh kalau engkau tidak menuruti permintaan pinto!"

   "Hemm, engkau seorang pendeta, mengapa bertindak begini jahat dan curang? Kalau hendak bicara, tidak perlu menawan puteriku. Lepaskan ia dan kita boleh bicara!"

   "Pinto tidak sebodoh itu, Ciang-kun. Sekarang dengarlah permintaan pinto. Engkau harus menolong tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang ditahan di penjara dan engkau harus dapat membebaskannya. Pinto beri waktu tiga hari. Kalau engkau dapat membebaskan mereka, puterimu ini tentu akan kembali padamu. Kalau tidak, terpaksa puterimu pinto bunuh!" Setelah berkata demikian, sekali melompat tosu itu telah lenyap dalam bayangan pohon-pohon dalam taman sambil memanggul tubuh Li Ai.

   Baru melihat cara tosu itu melompat dan menghilang sedemikian cepatnya saja, tahulah Kui Ciang-kun bahwa dia sama sekali bukan tandingan tosu itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia merasa bingung akan tetapi juga tidak berdaya. Kalau dia mengejar dan mengerahkan pasukan, puteri tunggalnya tentu terancam maut. Jelas bahwa tosu itu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi dan dia tahu bahwa orang Pek-lian-kauw tidak menggertak kosong belaka dan bagi mereka, membunuh orang merupakan hal yang kecil. Akan tetapi, untuk membebaskan puterinya, dia harus dapat membebaskan lebih dulu tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang kini masih ditahan di penjara! Tubuhnya menjadi lemas sekali, mukanya pucat dan ketika dia melangkah kembali ke gedungnya, ke dua kakinya gemetar. Isterinya menyongsong dengan pertanyaan.

   "Suamiku, apa yang telah terjadi di taman? Siapa yang tadi menjerit?" Kui Ciang-kun yang berwajah muram itu tidak menjawab, melainkan memberi isyarat kepada isterinya untuk memasuki gedung mereka. Setelah mereka berdua berada dalam kamar, barulah Kui Ciang-kun menjatuhkan diri duduk di atas kursi, menghadapi meja dan bertopang dagu dengan wajah sedih, bingung dan gelisah.

   "Celaka........" keluhnya,

   "celaka sekali......" Isterinya duduk di atas kursi dekatnya.

   "Ada apakah, suamiku? Mengapa engkau tampak begini sedih dan gelisah?"

   "...... Anak kita...... Li Ai...... ia diculik orang......" Isterinya kaget,

   "Diculik? Jadi yang menjerit tadi Li Ai? Akan tetapi mengapa tidak kau kejar? Kenapa tidak panggil pasukan pengawal untuk membantumu?"

   "Percuma, orang itu amat lihai dan...... dan dia mengancam akan membunuh Li Ai kalau aku mengejarnya......"

   "Akan tetapi...... siapa penculik itu dan apa maunya?"

   "Begini........" Panglima itu berhenti sebentar dan memandang ke kanan kiri,

   "jangan katakan kepada siapapun juga...... ini harus dirahasiakan...... Anak kita itu hanya dijadikan sandera dan tidak akan diganggu, bahkan akan dibebaskan kalau dalam waktu tiga hari aku mau memenuhi permintaannya......"

   "Hemm, apa permintaannya. Uang......?"

   "Apa, kalau cuma uang, berapapun, aku tidak akan sebingung ini! Dia minta agar aku...... membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang ditahan dalam penjara itu! Kalau dalam tiga hari aku tidak dapat membebaskan mereka, Li Ai...... ia akan dibunuh......" Nyonya Kui terkejut dan keduanya terdiam, tenggelam ke dalam lamunan dan bayangan masing-masing yang amat menggelisahkan. Akhirnya Nyonya Kui bertanya.

   "Suamiku, apakah engkau tidak bisa membebaskan tiga orang itu?"

   "Hemm, kepala penjara itu termasuk anak buahku, tentu saja aku bisa mengusahakan agar mereka dapat dibebaskan, akan tetapi......"

   "Akan tetapi apa lagi?"

   "Bagaimana mungkin aku membebaskan mereka yang menjadi tokoh-tokoh pemberontak? Berarti aku mengkhianati negara dan aku dapat dihukum mati......"

   "Aih!" Isterinya terkejut dan memandang suaminya dengan mata terbelalak.

   "Kalau begitu, jangan bebaskan mereka!!" Kui Ciang-kun menatap isterinya dan mengerutkan alisnya.

   "Dengan begitu membiarkan puteriku dibunuh penculik? Kau ingin ia dibunuh penculik?"

   "Aku...... aku tidak ingin engkau dihukum mati, suamiku!"

   "Huh, sudahlah! Biar urusan ini ku pikirkan sendiri!" katanya, hatinya menahan kemarahan karena kini dia menyadari bahwa isterinya ini tidak begitu peduli akan nasib Li Ai yang menjadi anak tiri isterinya itu.

   Dia lalu meninggalkan kamar isterinya, kegelisahan dan kebingungannya bertambah dengan perasaan marah kepada isterinya yang dianggap tidak mempedulikan nasib puterinya. Dia mengambil keputusan, setelah semalam suntuk tidak tidur dan gelisah dalam kamarnya sendiri, untuk menyelamatkan puterinya, kalau perlu dengan pengorbanan apapun juga! Menjelang fajar, diam-diam ia keluar dari gedungnya dan pergi berkunjung ke rumah Perwira Ciok, anak buahnya yang menjabat sebagai kepala penjara di mana tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu ditahan. Dengan singkat dia menceritakan persoalannya kepada Perwira Ciok dan minta agar Sang Perwira membantunya membebaskan tiga orang tahanan itu.

   "Aih, Ciang-kun, bagaimana mungkin kita melakukan hal itu?" kata Perwira Ciok terkejut sekali.

   "Apa engkau hendak mengatakan bahwa sebagai kepala penjara engkau tidak mampu melakukannya?" tanya Kui Ciang-kun sambil menatap tajam wajah bawahannya itu.

   "Bukan begitu, Ciang-kun. Maksudku, hal itu tentu akan diketahui akhirnya dan akan menerima hukuman berat!"

   "Jangan khawatir! ini kuberi surat perintah untuk membebaskan tiga orang sehingga kalau engkau dipersalahkan, engkau tinggal memperlihatkan surat perintah. Sebagai bawahan, engkau harus menaati perintah atasanmu sehingga bukan engkau yang dipersalahkan, melainkan aku!"

   "Akan tetapi...... Ciang-kun akan dianggap pengkhianat, membantu pemberontak, dan akan dihukum berat sekali!"

   "Aku tahu, mungkin aku akan dihukum mati. Akan tetapi aku sudah siap mengorbankan nyawaku demi keselamatan anak tunggalku. Cepat lakukan, Perwira Ciok, kalau engkau mau membalas budi kepadaku!"

   Mula-mula Perwira Ciok masih ragu, akan tetapi setelah diingatkan akan budi kebaikan yang berkali-kali dia terima dari atasannya ini, akhirnya dia mau melaksanakannya juga. Dia menerima surat perintah dari Kui Ciang-kun itu dan pergi ke penjara, membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan mengatakan kepada mereka bahwa yang membebaskan mereka adalah Panglima Kui Seng dan agar tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu segera membebaskan Nona Kui Li Ai yang dijadikan sandera. Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu menyatakan sanggup dan di pagi hari buta itu mereka bertiga meloloskan diri keluar dari penjara lalu langsung keluar dari kota raja dengan bantuan kawan-kawan mereka yang sudah siap menyambut mereka di luar penjara!

   Setelah menyampaikan surat dan perintahnya kepada Perwira Ciok, Kui Ciang-kun pulang ke rumahnya dan dia mengurung diri dalam kamar dengan hati berdebar penuh ketegangan. Dia tidak khawatir akan dirinya sendiri. Yang terpenting baginya adalah menyelamat Li Ai! Dia menyadari benar bahwa perbuatannya itu tentu akan ketahuan karena lolosnya tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang merupakan tahanan penting itu pasti akan menggemparkan. Akan tetapi, demi keselamatan puterinya, dia siap mengorbankan apa saja, termasuk dirinya sendiri. Lebih dulu puterinya harus dapat diselamatkan. Setelah itu, baru dia akan berusaha sekuat tenaga untuk menangkap kembali tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu! Daun pintu kamarnya diketuk dari luar, ketuan yang lirih dan hati-hati.

   "Siapa?" tegurnya.

   "Suamiku, makanan pagi telah disiapkan. Mari kita makan, ataukah engkau menghendaki agar sarapan dibawa ke kamar?" terdengar suara isterinya yang tidak dapat membuka daun pintu yang dia palangi dari dalam.

   "Aku tidak ingin makan dan jangan ganggu aku!" kata Kui Ciang-kun. Isterinya tidak berani mengganggunya lagi dan meninggalkan tempat itu. Beberapa lama kemudian, kembali daun pintunya diketuk orang dari luar.

   "Siapa itu? Aku tidak mau diganggu!" Kui Ciang-kun berseru marah.

   ðŸŽ‹ðŸ˜€

   

   "Thai-ya (Tuan Besar), di luar datang seorang tamu yang ingin bertemu dengan Thai-ya." terdengar suara kepala pasukan pengawal yang bertugas jaga saat itu.

   "Hemm, tentu utusan dari atasannya yang datang untuk memanggilnya atau langsung menangkapnya." Dia telah siap untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya meloloskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu dari penjara.

   Maka dia lalu mengenakan pakaian seragam lengkap dan dengan sikap gagah dia keluar dari kamar dan terus keluar ke serambi depan untuk menemui utusan Panglima Besar Chang Ku Cing. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika dia melihat bahwa yang datang bertamu adalah seorang gadis cantik yang mengangkat ke dua tangan memberi hormat kepadanya! Akan tetapi keheranan itu segera berubah menjadi kegembiraan ketika dia mengenal siapa gadis itu. Ia adalah seorang di antara pendekar muda yang membantu dia dan pasukannya ketika penyergapan orang-orang Pek-lian-kauw di luar kota raja!

   "Hwe-thian Mo-li......! Engkaukah ini, Nona?" serunya sambil membalas penghormatan gadis itu.

   Gadis itu memang Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Dulu pernah ia diperkenalkan kepada Panglima Kui ini sebagai Hwe-thian Mo-li. Seperti telah kita ketahui, beberapa bulan yang lalu Nyo Siang Lan atau Hwe-thian Mo-li ini telah membasmi orang-orang Ban-hwa-pang. Setelah ia kemudian mendengar dari musuh besarnya, orang berkedok yang mengaku bernama Thian-te Mo-ong, yang telah memperkosanya, bahwa Ban-hwa-pang sebetulnya tidak bersalah besar kepadanya, Siang Lan merasa menyesal dan ia mengambil keputusan untuk membangun kembali Ban-hwa-pang, akan tetapi hanya wanita yang menjadi anggautanya.

   Setelah membenahi perkumpulan itu dan membangun sebuah rumah untuknya, Hwe-thian Mo-li yang kini menjadi majikan Lembah Selaksa Bunga atau ketua Ban-hwa-pang itu, meninggalkan Lembah Selaksa Bunga karena ia merasa rindu untuk bertemu dengan Ong Lian Hong, sumoinya (adik seperguruannya). Ia ingin benar mengetahui apakah kini Lian Hong telah menikah dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong itu. Ia tidak lagi merasa cemburu atau iri terhadap Lian Hong yang telah lebih dulu bertunangan dengan Sim Tek Kun, pemuda satu-satunya yang pernah dicintanya. Sekarang, ia bukan lagi hanya mengalah kepada sumoinya yang berjodoh dengan pemuda itu, lebih dari itu, ia merasa tidak berharga untuk menjadi isteri Sim Tek Kun, bahkan menjadi isterinya siapapun juga. Ia adalah seorang gadis yang telah ternoda dan keinginan satu-satunya hanya ingin membalas dendam dan membunuh Thian-te Mo-ong yang amat lihai.

   Ia ingin bertemu dengan Lian Hong, selain merasa rindu, juga ia ingin bertanya kepada sumoinya itu, di mana adanya Ouw-yang Sianjin, susiok (paman guru) mereka, karena untuk dapat memperoleh kepandaian yang tinggi agar dapat membalas dendam, ia ingin memperdalam ilmu silatnya dengan petunjuk Ouw-yang Sianjin. Entah mengapa begitu memasuki kota raja dan tiba dekat tempat tinggal Jaksa Ciok, kakek dari sumoinya Ong Lian Hong, ia teringat akan Sim Tek Kun dan jantungnya berdebar penuh ketegangan. Bagaimana dia akan bersikap kalau bertemu mereka nanti? Ketegangan hatinya inilah yang menunda keinginannya bertemu dengan sumoinya dan sebaliknya, ia berkunjung ke gedung Panglima Kui. Ia juga gembira ketika panglima itu masih mengenalnya walaupun baru satu kali mereka bertemu.

   "Kui Ciang-kun, bagaimana keadaan Ciang-kun selama ini? Kuharap dalam keadaan baik," kata Siang Lan. Tiba-tiba wajah panglima yang tadinya berseri menjadi muram karena dia teringat akan keadaannya. Dia menghela napas panjang.

   "Nona, mari silakan masuk ke dalam dan kita bicara. Terus terang saja, kami berada dalam keadaan yang buruk sekali, tertimpa malapetaka." Siang Lan mengerutkan alisnya dan ia mengikuti Kui Ciang-kun memasuki gedung itu. Mereka memasuki sebuah ruangan tertutup dan setelah duduk berhadapan, Kui Ciang-kun menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarganya. Siang Lan mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketika mendengar bahwa puteri panglima itu diculik sebagai sandera memaksa Kui-Ciang-kun membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw, ia bertanya dengan hati penasaran.

   "Dan engkau memenuhi permintaan mereka itu, Ciang-kun?" Kui Seng, panglima yang sudah banyak jasanya terhadap kerajaan itu menghela napas panjang.

   "Habis, apa yang dapat kulakuan, Nona? Orang Pek-lian-kauw amat kejam dan bukan hanya menggertak kosong belaka. Kalau tidak kupenuhi permintaan mereka, aku yakin puteriku akan disiksa dan dibunuh. Maka, pagi-pagi sekali tadi aku memerintahkan kepala penjara yang menjadi anak buahku untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu!" Kembali panglima itu menghela napas panjang dan berkata dengan suara berat.

   "Kui Li Ai adalah anak satu-satunya dari keluargaku, aku rela berkorban nyawa sekalipun untuk menyelamatkannya. Akan tetapi untuk itu aku terpaksa menjadi seorang pengkhianat negara karena membebaskan para pimpinan pemberontak."

   "Akan tetapi engkau sendiri mengatakan bahwa orang Pek-lian-kauw itu kejam dan jahat. Setelah engkau membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu, apakah engkau yakin mereka akan membebaskan puterimu, Ciang-kun?"

   "Mudah-mudahan mereka akan membebaskanya, Nona. Kalau tidak maka sia-sia saja aku mengorbankan nyawaku. Maka, aku mohon kepadamu, Nona, sudilah kiranya engkau menolong puteriku Kui Li Ai itu dari tangan mereka...... aku mohon kepadamu......" Panglima itu bangkit dari duduknya dan menjura dengan membungkuk dalam kepada Siang Lan. Gadis itu cepat bangkit dan membalas penghormatan yang berlebihan itu.

   "Tenang dan duduklah, Ciang-kun. Tentu saja aku mau membantumu. Katakan, siapa nama orang yang menculik puterimu itu, dan siapa pula nama tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang telah kaubebaskan dari penjara?"

   "Penculik itu adalah seorang tosu yang usianya sudah lebih dari enampuluh tahun, tubuhnya tinggi kurus dan dia bersenjata sebatang pedang, kulihat ada sebuah kebutan berbulu putih terselip di ikat pinggangnya. Wajahnya pucat dan, matanya sipit, rambutnya sudah putih semua. Dia tidak mengaku siapa namanya, akan tetapi aku yakin bahwa dia tentu seorang tokoh Pek-lian-kauw yang amat lihai. Adapun tiga orang tawanan yang dibebaskan itu adalah tiga di antara tujuh orang tokoh Pek-lian-kauw yang dulu kita tangkap."

   "Siapa nama mereka, Ciang-kun?"

   "Menurut pengakuan mereka ketika mereka diperiksa dulu, nama mereka adalah Hoat Hwa Cin-jin, Cin Kok Tosu, dan Cia Kun Tosu, tiga orang di antara para pimpinan Pek-lian-kauw cabang utara yang bermarkas di dusun Liauw-ning di lereng pegunungan sebelah timur antara kota raja dan Thian-cin. Nona, sekali lagi aku mohon padamu, tolonglah anakku Li Ai dari tangan mereka......"

   Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan muncullah belasan perajurit mengiringkan seorang yang berpakaian sebagai seorang panglima. Panglima itu berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan gagah perkasa, kumis dan jenggotnya pendek terpelihara rapi sehingga dia tampak berwibawa, apa lagi sinar matanya mencorong seperti mata seekor harimau. Melihat panglima ini, tergopoh-gopoh Kui Ciang-kun keluar dari ruangan depan dan menyambutnya. Panglima itu melompat turun dari atas kudanya dan memandang kepada Kui Ciang-kun yang memberi hormat sambil berlutut sebelah kaki, Lalu memandang kepada Hwe-thian Mo-li yang berdiri di sebelah Panglima Kui itu.

   "Chang Thai-ciangkun, selamat datang dan terimalah salam hormat saya," kata Kui Ciang-kun dengan hormat.

   "Kui Ciang-kun, bangkitlah berdiri!" bentak panglima itu yang bukan lain adalah Panglima Besar Chang Ku Cing penasehat kaisar bagian pertahanan dan keamanan negara, juga menjadi atasan Kui Ciang-kun. Mendengar perintah ini Kui Seng segera bangkit berdiri dengan sikap tegak siap di depan atasannya.

   "Kui Ciang-kun, kami mendengar bahwa engkau telah memerintahkan kepala penjara untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang berada di penjara dan yang menanti pelaksanaan hukuman mati?" Kui Seng mengangguk.

   "Benar, Thai-ciangkun!"

   "Hemm, Kui Seng! Engkau telah berkhianat terhadap negara, sungguh kami sebagai atasanmu merasa malu sekali! Pengkhianatanmu itu patut mendapat hukuman berat!"

   "Saya siap menanggung akibatnya, Thai-ciangkun!" kata Kui Seng dan suaranya yang terdengar lantang itu membuat hati Siang Lan merasa terharu. Sikap ini saja menunjukkan bahwa orang she Kui ini memiliki watak yang gagah perkasa, penuh tanggung jawab terhadap kesalahannya.

   "Bagus, sekarang tanggalkan tanda pangkat dan pedangmu, lalu engkau akan kubawa ke pengadilan tentara untuk menentuan hukumanmu!" kata Panglima Besar Chang Ku Cing.

   "Nanti dulu!" tiba-tiba Hwe-thian Mo-li berseru sambil melangkah maju berdiri di depan Kui Seng dengan sikap melindungi.

   "Ini sungguh tidak adil! Ciang-kun, tahukah engkau mengapa Kui Ciang-kun membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw itu? Dia terpaksa melakukannya karena puterinya, Kui Li Ai, telah diculik dan disandera orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau Kui Ciang-kun tidak mau membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu, puterinya akan dibunuh! Jelas bahwa Kui Ciang-kun bukan seorang pengkhianat. Dia melakukannya untuk menyelamatkan puteri tunggalnya! Dia tidak pantas menerima hukuman!" Panglima Chang mengerutkan alisnya yang tebal dan sepasang matanya menatap tajam wajah gadis itu.

   


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 03
   "Nona, siapakah engkau yang berani mencampuri urusan ketentaraan?" Biarpun Panglima Besar Chang bertanya dengan suara lantang penuh teguran, Hwe-thian Mo-li sama sekali tidak merasa gentar dan ia menjawab dengan sikap gagah.

   "Siapakah aku tidaklah penting, akan tetapi aku selalu akan membela orang yang tidak bersalah dan menentang orang yang sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk menekan orang!" Diam-diam Panglima Chang merasa heran, juga penasaran sekali. Dia memperhatikan wajah gadis yang cantik dengan sepasang mata mencorong penuh keberanian itu.

   "Kui Ciang-kun! Siapakah gadis ini?" bentaknya kepada bawahannya.

   "Ia adalah Hwe-thian Mo-li, seorang dari para pendekar muda yang dulu membantu menawan orang-orang Pek-lian-kauw sehingga dapat membasmi mereka dan menangkap tujuh orang pimpinannya," kata Kui Seng. Panglima Chang kaget dan mengangguk-angguk.

   "Ah, kiranya engkau seorang pendekar, Nona? Engkau sudah pernah berjasa ikut membantu pemerintah menentang Pek-lian-kauw, mengapa sekarang engkau berbalik sikap, membela Kui Ciang-kun yang jelas telah berkhianat dengan membebaskan tawanan tiga tokoh Pek-lian-kauw itu yang berarti membantu pemberontak Pek-lian-kauw?"

   "Tuduhanmu itu tidak adil, Ciang-kun! Andaikata engkau yang mempunyai anak perempuan diculik gerombolan Pek-lian-kauw yang menuntut agar engkau membebaskan tiga orang tahanan ini,

bagaimana sikapmu? Apakah engkau akan membiarkan puterimu dibunuh begitu saja?"

   "Pandanganmu itu keliru, Nona. Keamanan rakyat dilindungi oleh pemerintah, juga kesejahteraan rakyat diatur oleh Pemerintah. Sebagai imbalannya, rakyat sudah sepatutnya setia kepada Pemerintah dan membela kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi dan keluarganya. Kalau semua orang mementingkan diri sendiri, tentu Pemerintah akan menjadi lemah dan akan mudah direbut kekuasaannya oleh pemberontak seperti Pek-lian-kauw. Kepentingan Negara harus didahulukan karena hanya kalau negara aman, kehidupan rakyat pun aman, kalau negaranya makmur, kehidupan rakyat pun makmur."

   "Akan tetapi aku tidak melihat kenyataan itu, Ciang-kun. Yang kulihat, kemakmuran hanya dapat dirasakan oleh mereka yang memiliki kedudukan dan kekuasaan. Sedangkan rakyat jelata, lihat saja sendiri, banyak yang berada di bawah garis kemiskinan, apakah itu dapat dikatakan makmur seperti kehidupan mereka yang berpangkat dan berkuasa?" Hwe-thian Mo-li menyerang. Mendengar ini, Panglima Besar Chang Ku Cing menghela napas panjang dan mukanya berubah kemerahan.

   "Harus kami akui bahwa pendapatmu itu ada benarnya walaupun tidak sepenuhnya benar. Memang ada dan banyak terdapat pembesar yang hanya mementingkan diri sendiri, mengejar dan mengumpulkan harta benda tanpa mengingat keadaan rakyat, secara halus mencuri harta yang berasal dari rakyat dan dikumpulkan pemerintah. Harta yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat melalui pembangunan yang dibutuhkan rakyat jelata. Karena itulah dituntut kesetiaan terhadap negara.

   "Panglima Kui memang seorang yang bijaksana dan tidak korup, tidak mengejar keuntungan pribadi, tidak mencuri harta negara dan tidak menindas rakyat. Akan tetapi, dia tetap bersalah karena telah membebaskan tiga orang tawanan, padahal, tiga orang Pek-lian-kauw itu merupakan musuh negara yang berbahaya."

   "Akan tetapi, Kui Ciang-kun siap melakukan apa pun demi keselamatan puterinya, kalau perlu dia siap mengorbankan nyawanya!" Siang Lan mencoba untuk membantah dan tetap membela Kui Ciang-kun.

   "Hemm, mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong puterinya, hal itu baik saja. Akan tetapi dalam hal ini dia mengorbankan keselamatan pemerintah dan keamanan rakyat! Kalau tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw itu lolos, berarti negara terancam pemberontakan dan kalau terjadi pemberontakan, tentu kehidupan rakyat tidak akan aman dan akan jatuh banyak korban di antara rakyat yang tidak berdosa. Apakah tindakannya itu benar?"

   Hwe-thian Mo-li dapat melihat kebenaran dalam perdebatan Panglima Besar Chang itu, maka ia mengerling kepada Kui Ciang-kun. Panglima ini menundukkan mukanya yang berubah pucat dan tubuhnya agak gemetar, agaknya dia pun menyadari akan kesalahannya. Hwe-thian Mo-li menjadi kasihan dan ia mendesak panglima besar itu.

   "Thai-ciangkun, andaikata engkau yang mengalami hal seperti Kui Ciang-kun, apa yang akan kau lakukan?"

   "Hemm, aku atau siapa saja di antara rakyat di negeri ini yang mengalami musibah, misalnya seperti yang dialami Kui Ciang-kun, jalan terbaik adalah melaporkan kepada yang berwenang dan yang berwajib menangani persoalan seperti itu. Atau kalau aku, aku tidak sudi membebaskan tiga orang tawanan itu demi menyelamatkan anakku. Aku akan bertindak sendiri mengejar dan berusaha menolong anakku, biarpun harus berkorban diri misalnya. Akan tetapi aku tidak akan mengorbankan kepentingan negara!" Hwe-thian Mo-li masih hendak membela Kui Ciang-kun, akan tetapi Kui Seng berkata.

   "Aku telah bersalah dan sudah sepatutnya dihukum mati sebagai pengkhianat. Biarlah aku menghukum diri sendiri sebagai pertanggungan-jawabku terhadap negara!" Tiba-tiba dia mencabut dan menikamkan pedangnya ke dadanya sendiri. Dia roboh terkulai dan Hwe-thian Mo-li yang terkejut dan tidak sempat mencegah itu berlutut dan melihat bahwa nyawa panglima itu tidak mungkin dapat dipertahankan lagi. Pedang itu hampir menembus punggungnya.

   "Hwe-thian Mo-li...... tolong...... tolonglah Li Ai......!" Dia terkulai dan tewas.

   "Ah, mengapa dia putus harapan? Mungkin Sribaginda Kaisar dapat mengampuninya mengingat akan jasa-jasanya! Akan tetapi, semua telah terjadi !" kata Panglima Besar Chang dengan suara menyesal. Setelah dia mendengar alasan mengapa bawahannya ini sampai mau membebaskan tiga orang Pek-lian-kauw, kemarahan dan penasarannya mereda karena sebetulnya dia sayang kepada pembantunya yang gagah dan setia ini. Hwe-thian Mo-li tidak bicara lagi melainkan melompat cepat lenyap dari situ. Ia harus pergi menolong Li Ai, ia sudah mendengar keterangan lengkap dari Kui Ciang-kun sebelum panglima itu tewas.

   Panglima Besar Chang hanya menggelengkan kepalanya ketika isteri dan keluarga Kui Ciang-kun berlarian keluar sambil menangis. Ramailah seluruh penghuni gedung itu menangisi kematian Kui Ciang-kun. Panglima Chang lalu cepat memerintah anak buahnya untuk menyiapkan pasukan dan dia lalu menyuruh beberapa perwira bawahannya untuk membawa seribu orang pasukan menuju ke dusun Liauw-ning yang dia tahu merupakan sarang Pek-lian-kauw. Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan cepat menuju ke dusun Liauw-ning. Ia merasa yakin bahwa penculik Kui Li Ai pasti merupakan komplotan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu maka tanpa ragu lagi ia lalu berlari cepat sekali menuju ke sarang Pek-lian-kauw. Pek-lian-kauw terkenal dalam sejarah sebagai sebuah di antara perkumpulan-perkumpulan yang menentang pemerintah dan sering mengadakan pemberontakan.

   Mereka itu berkedok sebagai sebuah perkumpulan agama campuran antara Agama Buddha dan Agama To, dan untuk mengelabuhi rakyat mereka menamakan diri sebagai pejuang yang memperjuangkan kemakmuran rakyat. Karena para pemimpinnya banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga ada yang menguasai ilmu sihir, maka banyak juga rakyat, terutama golongan yang miskin, tertarik oleh janji-janji mereka dan membantu "perjuangan" mereka. Akan tetapi, pihak pemerintah dan juga para pendekar tahu apa yang tersembunyi di balik kedok perkumpulan agama itu. Mereka itu membujuk rakyat miskin untuk ikut melakukan perampokan terhadap para bangsawan dan hartawan, dan melakukan pemerasan. Para pendekar mengetahui bahwa di balik kependetaan mereka, para pemimpin Pek-lian-kauw adalah orang-orang yang kejam, tamak akan harta benda, dan sebagian besar berwatak cabul dan suka mempermainkan wanita.

   Karena itulah, di mana pun mereka berada, selalu mereka ditentang para pendekar. Karena banyak rakyat miskin yang terbujuk membantu mereka, maka Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan pemberontak yang cukup kuat dan besar, mempunyai cabang di mana-mana. Dusun Liauw-ning mereka pilih menjadi cabang penting karena letaknya dekat dengan kota raja, di sebelah timur antara kota raja dan Thiang-cin. Yang memimpin cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning adalah Hoat Hwa Cin-jin, seorang berpakaian tosu berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam menyeramkan. Hoat Hwa Cin-jin ini dibantu oleh enam orang sutenya, dua di antaranya adalah Cin Kok Tosu berusia limapuluh dua tahun yang bertubuh pendek gendut bermuka seperti monyet, dan Cia Kun Tosu, berusia limapuluh tahun bertubuh kecil kurus bermuka tampan pucat.

   Ketika Leng Kok Hosiang yang menjadi utusan Pek-lian-kauw pusat menghadap Kaisar untuk mengajak damai dengan syarat Pek-lian-kauw tidak akan ditentang, Hoat Hwa Cin-jin dengan para sutenya telah siap dengan anak buah mereka untuk menyerbu kota raja kalau-kalau Leng Kok Hosiang gagal atau ditawan. Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, gerakan mereka diketahui oleh Ouw-yang Sianjin yang melapor ke kota raja dan Panglima Besar Chang mengutus Panglima Kui memimpin pasukan menyerang orang-orang Pek-lian-kauw itu. Leng Kok Hosiang yang dibantu oleh Bong Te Sian-jin dan Ngo-lian Heng-te pimpinan Ngo-lian-kauw, tewas oleh Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong, dan Kun-lun Siauw-hiap Sim Tek Kun. Adapun Pek-lian-kauw digempur oleh pasukan yang dipimpin Kui Ciang-kun, dibantu oleh Ouw-yang Sian-jin sehingga tujuh orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning itu dapat ditawan hidup-hidup.

   Empat dari tujuh orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw itu telah dihukum mati. Tiga orang dari mereka, yaitu Hoat Hwa Cin-jin, Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu belum dihukum mati karena Panglima Besar Chang masih ingin mengorek keterangan dari mereka tentang di mana adanya cabang-cabang Pek-lian-kauw. Tiga orang tawanan itu masih belum mau mengaku dan tiba-tiba mereka dibebaskan atas perintah Panglima Kui Seng. Mendengar ditawannya tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw cabang Liauw-ning dan tewasnya banyak anak buah mereka, pimpinan Pek-lian-kauw pusat menjadi marah dan mereka lalu mengutus seorang tokoh yang merupakan datuk dari Pek-lian-kauw pusat dan dia masih terhitung susiok (paman guru) dari para pimpinan cabang Liauw-ning itu, membawa duaratus anak buah menuju ke Liauw-ning.

   Datuk Pek-lian-kauw ini bernama Hwa Hwa Hoat-su, berusia enampuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, berwajah pucat, matanya sipit dan rambutnya sudah putih semua. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi, pendeta ini juga pandai ilmu sihir. Begitu tiba di Liauw-ning, Hwa Hwa Hoat-su lalu melakukan penyelidikan dan dia mendapat keterangan bahwa yang memimpin pasukan yang menyerang dan menangkap tujuh orang murid keponakannya itu adalah Panglima Kui Seng. Dia lalu pergi mengunjungi gedung Kui Ciang-kun dan berhasil menawan Kui Li Ai. Dia mengancam akan membunuh Li Ai yang dijadikan sandera kalau Panglima Kui Seng tidak mau membebaskan tiga orang keponakan seperguruan yang ditawan itu. Setelah dibebaskan, hal yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka, tentu saja tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu menjadi girang sekali.

   Mereka dipesan oleh kepala penjara, Perwira Ciok, agar segera membebaskan gadis bernama Kui Li Ai, puteri dari Kui Ciang-kun. Tentu saja mereka bertiga dapat menduga bahwa tentu seorang rekan mereka dari Pek-lian-kauw yang menculik gadis itu untuk ditukar dengan kebebasan mereka bertiga! Ketika mereka bertiga tiba di perkampungan Pek-lian-kauw di luar dusun Liauw-ning, mereka disambut dengan gembira oleh para anak buah Pek-lian-kauw. Mereka bertiga segera menghadap Hwa Hwa Hoat-su, paman guru mereka yang telah menculik puteri Panglima Kui Seng untuk membebaskan mereka. Mereka memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada pendeta Pek-lian-kauw berambut putih itu.

   "Bagus!" kata Hwa Hwa Hoat-su sambil mengelus jenggotnya yang pendek putih dan mengangguk-angguk.

   "Ternyata Panglima Kui Seng memenuhi permintaanku, membebaskan kalian bertiga. Kalau begitu kita juga harus memegang janji. Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu, kalian berdua cepat antarkan Nona Kui Li Ai. kembali ke kota raja. Tugas ini penting, maka aku mengutus kalian berdua untuk melaksanakan agar gadis itu jangan terganggu dalam perjalanan," kata Hwa Hwa Hoat-su kepada dua orang murid keponakannya itu.

   "Akan tetapi, Susiok, Panglima Kui Seng itulah yang memimpin pasukan menangkap kami bertujuh. Empat orang Sute kami telah dihukum mati! Mengapa kita harus mengantar pulang gadis itu?" bantah Cin Kok Tosu yang mukanya mirip muka monyet. Hwa Hwa Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih.

   "Hemm, aku Hwa Hwa Hoat-su tidak sudi mengingkari janji sendiri! Hayo cepat antarkan gadis itu kembali ke kota raja, jangan sampai ada yang mengganggunya di perjalanan!" bentak Hwa Hwa Hoat-su yang merasa sebagai seorang datuk harus memegang janjinya untuk mempertahankan namanya sebagai seorang datuk persilatan.

   "Baiklah, Susiok," kata Cin Kok Tosu gentar melihat paman gurunya marah.

   "Akan tetapi di kota raja tentu kami berdua akan ditangkap pasukan kerajaan."

   "Bodoh! Antar saja gadis itu sampai ke pintu gerbang lalu kalian cepat pergi. Ia dapat pulang sendiri setelah tiba di pintu gerbang!" Dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu tidak berani membantah lagi.

   Mereka lalu memasuki kamar di mana gadis puteri Kui-taijin dijaga oleh empat orang anggauta Pek-lian-kauw wanita. Ketika melihat gadis itu, Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu tertegun kagum. Gadis berusia sekitar delapanbelas tahun itu bertubuh tinggi ramping, kulitnya putih mulus, wajahnya bundar dengan sepasang mata, lebar dan indah jeli. Kui Li Ai, gadis itu terbelalak ketakutan melihat dua orang tosu itu memasuki kamar. Pendeta yang menculiknya tak pernah mengganggunya, bahkan tak pernah memasuki kamar di mana ia dijaga dan dilayani dengan baik oleh empat orang wanita. Kini, melihat dua orang tosu itu, ia bangkit berdiri dan memandang dengan sepasang mata lebar seperti mata seekor kelinci yang melihat dua ekor serigala. Melihat gadis itu tampak ketakutan, Cia Kun Tosu yang kecil kurus dan berwajah tampan itu berkata ramah.

   "Nona, jangan takut, kami berdua ditugaskan untuk mengantar Nona kembali ke kota raja." Mendengar ini, wajah ayu yang tadinya muram dan gelisah itu, kini berseri, mulutnya membentuk senyum sehingga ia tampak semakin menarik.

   "Mari kita pergi, Nona," kata Cia Kun Tosu dan bersama suhengnya, Cin Kok Tosu yang pendek gendut dan mukanya mirip muka monyet, mereka berdua lalu mengawal Kui Li Ai keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw, melewati dusun Liauw-ning menuju ke kota raja. Di dalam hutan yang mereka lalui, Cia Kun Tosu berkata kepada Cin Kok Tosu.

   "Suheng, kalau kuingat betapa Panglima Kui telah menggunakan kekuatan pasukannya membunuh banyak anak buah kita, juga menawan kita sehingga empat orang saudara kita tewas, sungguh aku tidak terima begitu saja kalau sekarang puterinya dibebaskan. Sungguh terlalu enak baginya!" kata Cia Kun Tosu kepada Cin Kok Tosu setelah mereka berhenti pada siang hari itu di tengah hutan.

   "Hemm, ingat akan pesan Susiok Hwa Hwa Hoat-su bahwa kita tidak boleh membunuhnya, Sute," kata Cin Kok Tosu memperingatkan adik seperguruannya.

   "Tidak, Suheng. Bukan maksudku membunuhnya. Akan tetapi penghinaan itu harus kita balas. Anaknya tidak akan kami serahkan kepadanya dalam keadaan utuh!"

   Cin Kok Tosu dapat mengerti akan maksud sutenya, maka dia pun menyeringai. Keduanya lalu mendekati Kui Li Ai dan terdengar jerit dan isak tangis gadis itu yang bagaikan seekor kelinci mendapat terkaman dan serangan dua ekor serigala yang buas! Sementara itu, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan berlari dengan cepat sekali menuju ke dusun Liauw-ning. Ketika ia memasuki sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar tangis wanita. Cepat ia berlari ke tempat itu dan ia melihat seorang gadis dengan pakaian awut-awutan sedang menangis di bawah sebatang pohon, menangis tersedu-sedu dengan tubuh gemetar. Siang Lan cepat menghampiri dan berjongkok di dekat gadis itu.

   "Adik, engkau siapakah dan mengapa menangis seorang diri di sini?" tanyanya dengan lembut.

   Gadis itu adalah Kui Li Ai. Ia mengangkat mukanya yang tadi menunduk ditutupi kedua tangan, muka yang cantik dan pucat sekali, muka yang basah air mata. Rambut yang hitam lebat itu terlepas dari sanggulnya, riap-riapan sebagian menutupi mukanya. Pakaiannya cabik-cabik membuat gadis itu hampir telanjang. Melihat keadaan gadis itu, dengan hati panas karena marah Siang Lan dapat menduga apa yang telah menimpa diri gadis itu.

   "Engkau Kui Li Ai?" tanya Siang Lan melihat pakaian yang cabik-cabik itu terbuat dari sutera halus dan mahal. Gadis itu mengangguk, sambil sesenggukan ia berkata.

   "...mereka...... mereka berdua...... memperkosaku........"

   "Siapa mereka?!?"

   "...... dua orang tosu........"

   "Di mana mereka sekarang?" Li Ai menunjuk ke suatu arah perginya dua orang itu yang baru saja meninggalkannya. Siang Lan berkelebat dan lenyap dari depan Kui Li Ai yang bernasib malang itu. Ia marah sekali, teringat akan nasib yang menimpa dirinya.

   Ia dapat merasakan betapa sakit dan hancur hati gadis puteri Panglima Kui itu, maka dendamnya kepada pemerkosanya yang berjuluk Thian-te Mo-ong itu kini ia timpakan kepada dua orang tosu pemerkosa Li Ai. Ia berlari cepat sekali dan tak lama kemudian ia melihat dua orang tosu berjalan seenaknya. Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu sedang berjalan pulang secara santai setelah mereka merasa puas dapat memperkosa puteri Panglima Kui yang mereka benci sebagai pelampiasan dendam mereka. Tiba-tiba mereka melihat bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang wanita muda yang amat cantik jelita yang memandang mereka dengan sinar mencorong dari sepasang mata yang indah! Hwe-thian Mo-li masih ingat bahwa dua orang tosu ini adalah dua di antara tujuh orang pimpinan Pek-lian-kauw yang dulu ditawan. Ia merasa yakin bahwa tentu dua orang ini yang tadi memperkosa Kui Li Ai.

   "Pendeta-pendeta palsu keparat! Tentu kalian yang telah berbuat keji terhadap Kui Li Ai tadi!" bentaknya. Dua orang tosu itu tidak mengenal Siang Lan karena dahulu itu mereka repot menghadapi Ouw-yang Sianjin dan para perwira sehingga mereka dan lima orang rekan mereka tertawan. Melihat seorang gadis cantik kini memaki mereka, Cia Kun Tosu yang berwatak mata keranjang itu, setelah mendengar ucapan Siang Lan, tertawa dan berkata.

   "Ha-ha-ha, Nona manis. Memang benar tadi kami telah bersenang-senang dengan puteri Panglima Kui. Kami akan lebih gembira kalau sekarang kami bersenang-senang denganmu!"

   "Singg......!!" Dua orang tosu itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja ada sinar seperti kilat menyambar ke arah mereka! Gadis itu telah menyerang mereka dengan pedang. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga mereka tidak melihat kapan gadis itu mencabut pedang. Mereka bukan orang-orang lemah dan cepat mereka berlompatan ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran sinar kilat itu. Cia Kun Tosu mencabut pedangnya dan juga Cin Kok Tosu mencabut pedangnya. Keduanya siap dan Cin Kok Tosu membentak marah.

   "Gadis liar! Siapakah engkau yang berani menyerang kami, dua orang pemimpin Pek-lian-kauw?"

   "Huh, kalian tentu penjahat-penjahat pemberontak yang dibebaskan oleh Kui Ciang-kun yang puterinya diculik oleh kawan kalian! Sungguh licik, jahat dan curang. Kalian sudah dibebaskan, bukannya memenuhi janji membebaskan puteri Kui Ciang-kun, bahkan memperkosanya! Iblis-iblis jahat macam kalian tidak pantas dibiarkan hidup lagi!" Siang Lan membentak.

   "Kalian hari ini akan mampus di tangan Hwe-thian Mo-li!" Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu bergerak cepat dan kembali pedangnya menyambar-nyambar seperti kilat di musim hujan. Dua orang tosu itu terkejut mendengar bahwa mereka berhadapan dengan Hwe-thian Mo-li yang namanya terkenal sebagai seorang wanita yang amat ganas dan lihai.

   Cepat mereka menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi Hwe-thian Mo-li menggerakkan pedangnya sedemikian dahsyatnya, pedangnya berubah menjadi sinar kilat dan tubuhnya berubah menjadi bayangan yang cepat sekali gerakannya sehingga dua orang tosu itu segera terdesak dan lebih banyak mengelak dan menangkis daripada balas menyerang. Kecepatan gerakan Hwe-thian Mo-li membuat mereka berdua tidak sempat membalas serangan. Akan tetapi dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu juga merupakan orang-orang yang cukup tinggi tingkat kepandaian mereka, juga sudah memiliki banyak pengalaman bertanding. Maka, begitu mereka terdesak, Cin Kok Tosu berseru kepada adik seperguruannya.

   "Kita gunakan Im-yang Siang-kiam (Sepasang Pedang Im dan Yang)!" Mendengar seruan suhengnya itu, Cia Kun Tosu cepat melompat ke arah belakang Siang Lan dan kini mereka mengeroyok gadis itu dari depan dan belakang. Gerakan pedang mereka kini saling tunjang, kalau yang satu menangkis, yang lain membarengi menyerang sehingga dengan demikian mereka berdua mulai mampu untuk balas menyerang. Pertandingan menjadi seru bukan main dan mati-matian karena kedua pihak maklum bahwa hanya dengan merobohkan lawan mereka akan mampu menang.

   "Kita gunakan am-gi (senjata rahasia)!" kembali Cin Kok Tosu berseru kepada sutenya setelah bertanding selama limapuluh jurus mereka belum juga mampu mendesak gadis yang lihai itu. Mereka lalu mengeluarkan senjata rahasia mereka yaitu Lian-hwa-ciam (Jarum Bunga Teratai) dan mulai menyelingi permainan pedang mereka dengan meluncurkan jarum-jarum beracun itu ke arah tubuh Siang Lan.

   Mendapat serangan jarum-jarum itu Siang Lan menjadi repot. Ia terpaksa memutar pedangnya. Sinar kilat itu menyelimuti tubuhnya dan semua jarum terpental ketika bertemu sinar pedang dan keadaan menjadi terbalik. Siang Lan kini hanya dapat bertahan dan melindungi dirinya tanpa mendapat kesempatan untuk membalas. Dua orang tosu itu mulai tertawa mengejek karena mereka merasa yakin bahwa sebatang jarum saja dari mereka dapat mengenai tubuh gadis itu, maka gadis itu akan keracunan dan mereka akan memperoleh kemenangan. Kini Siang Lan terdesak hebat. Untung ia memiliki gin-kang (ilmu meringankan diri) yang lebih tinggi dibandingkan dua orang lawannya dan ia memiliki sebatang pedang pusaka.

   Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) di tangannya merupakan pedang yang ampuh dan amat kuat sehingga setelah bertanding hampir seratus jurus, ujung pedang kedua orang pengeroyok itu telah buntung terbabat Lui-kong-kiam! Akan tetapi karena mereka berdua juga lihai, dapat menggunakan pedang mereka yang ujungnya buntung itu untuk menyerang dibantu jarum-jarum mereka, maka tetap saja Siang Lan terdesak dan keadaannya mulai gawat! Gerakan memutar pedang untuk melindungi seluruh tubuhnya itu menguras tenaganya dan gerakannya mulai melambat. Karena kelambatan ini, tiba-tiba Siang Lan merasa pundak kirinya nyeri seperti digigit semut. Ia terkejut ketika melihat bahwa pundak kirinya terkena sebatang jarum yang menancap menembus baju mengenai pundak. Seketika ia merasa betapa pundak kirinya ngilu dan lengan kirinya seperti setengah lumpuh, sukar digerakkan.

   "Ha-ha-ha, Suheng. Ia terkena jarumku. Kita tangkap ia hidup-hidup, sayang gadis secantik ini dibunuh begitu saja!" kata Cin Kun Tosu sambil tertawa-tawa. Mereka lalu menyerang dengan pedang dan mencari kesempatan untuk menotok tubuh Siang Lan yang sudah mulai limbung. Tiba-tiba ada dua buah batu sebesar kepalan tangan menyambar.

   "Trangg......! Tranggg......!!" Dua orang tosu itu terkejut sekali karena pedang mereka terpukul batu sedemikian kuatnya sehingga mereka tidak mampu mempertahankannya lagi. Pedang itu terlepas dari tangan mereka dan terpental jauh!

   Ketika mereka sedang terkejut, Siang Lan yang melihat kesempatan baik ini segera menerjang. Dua kali Lui-kong-kiam berkelebat dan dua orang yang sedang tertegun itu tidak sempat mengelak atau berteriak karena leher mereka sudah terbabat buntung oleh pedang Lui-kong-kiam yang digerakkan oleh Siang Lan dengan sekuat tenaga! Setelah membunuh dua orang tosu itu, Siang Lan merasa kepalanya pening. Pedang itu terlepas dari tangannya, tubuhnya terasa lunglai dan ia masih dapat melihat wajah seorang laki-laki berpakaian sederhana, berwajah lembut dan tampan, berusia sekitar empatpuluh tahun. Ia masih teringat akan pertolongan tadi dan dapat menduga bahwa inilah orang yang tadi telah menolongnya. Akan tetapi kepalanya semakin pening, pandang matanya kabur dan ia pun tidak ingat apa-apa lagi.

   Ia tidak tahu bahwa sebelum tubuhnya terjatuh, sepasang lengan yang kuat menangkapnya lalu merebahkannya di atas rumput, tak jauh dari tempat di mana ia tadi berkelahi dan di mana terdapat dua mayat tosu yang telah terpenggal kepala mereka. Tak lama kemudian Siang Lan sadar dari pingsannya. Ia teringat akan perkelahiannya tadi dan cepat ia melompat bangkit berdiri. Pundak kirinya terasa perih dan ketika ia merabanya, ternyata jarum itu telah tercabut dan lukanya telah ditempel ko-yo (obat tempel). Rasa nyerinya hilang tinggal sedikit rasa perih dan lengan kirinya dapat ia gerakkan kembali seperti biasa! Juga pedang yang tadi terlepas kini telah berada kembali dalam sarung pedang yang tergantung di pinggangnya! Akan tetapi mayat dua orang tosu tadi tidak tampak pula di situ, hanya tinggal bekas darah mereka yang membasahi rumput dan tanah.

   Siang Lan dapat menduga bahwa agaknya laki-laki yang dilihatnya sebelum ia tidak sadar tadi, laki-laki yang menolongnya mengalahkan dua orang pengeroyoknya, telah mengobatinya, menyimpankan kembali pedangnya, dan pergi dari situ sambil membawa dua mayat tosu Pek-lian-kauw! Ia merasa heran sekali. Laki-laki itu tentu lihai bukan main karena mampu membuat dua orang tosu melepaskan pedang mereka sehingga ia dapat membunuh mereka. Melihat laki-laki itu membantunya, jelas bahwa dia bukanlah orang Pek-lian-kauw. Akan tetapi mengapa ia membawa pergi dua mayat tosu Pek-lian-kauw? Ia sama sekali tidak mengerti dan merasa penasaran. Orang dengan kepandaian sehebat itu dapat ia jadikan gurunya agar ilmu silatnya meningkat sehingga kelak ia dapat membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong!

   Tiba-tiba ia teringat akan Kui Li Ai, puteri Kui Ciang-kun yang ia tinggalkan di tempat ia menemukannya, yaitu di tengah hutan. Cepat Siang Lan berlari menuju ke tempat itu. Gadis itu ternyata masih berada di situ, duduk menangis di bawah pohon. Dapat dibayangkan betapa hancur hati Kui Li Ai. Ia seorang gadis bangsawan dan baru saja ia mengalami musibah yang amat hebat bagi seorang gadis. Ia diperkosa dua orang biadab dan kini ia ditinggalkan seorang diri di tengah hutan. Tentu saja ia tidak berani pergi karena ia tidak mengenal jalan. Begitu mendengar Siang Lan yang menghampirinya, Kui Li Ai mengangkat mukanya yang pucat dan basah air mata.

   "Li Ai, tenangkanlah hatimu. Dua orang manusia iblis itu telah mampus di tanganku!" kata Siang Lan sambil mendekati gadis yang malang itu. Mendengar ini Li Ai terisak dan merangkul Siang Lan. Hwe-thian Mo-li tak dapat menahan keharuan hatinya dan kedua matanya menjadi basah. Ia teringat akan keadaan dirinya sendiri yang mengalami musibah seperti yang dialami Li Ai. Ia mengelus rambut gadis itu dan membiarkan Li Ai menangis sepuasnya. Setelah tangis itu agak mereda karena Li Ai kelelahan, ia berkata dengan nada menghibur.

   "Sudahlah, Li Ai, mari kuantar engkau pulang ke rumah orang tuamu," katanya dan hatinya terasa seperti diremas kalau ia ingat betapa ayah gadis ini telah tewas membunuh diri. Ia tidak tega untuk memberitahuan hal ini kepada Li Ai.

   Gadis yang menderita pukulan batin yang luar biasa hebatnya itu, bagaimana mungkin akan dapat menahan kalau diberi pukulan kedua yaitu berita tentang kematian ayahnya? Seperti orang kehilangan semangat, Li Ai hanya mengangguk. Siang Lan membantunya bangkit berdiri, membetulkan letak pakaiannya, menyanggul rambutnya, kemudian karena Li Ai merasa lemah dan lemas hampir tidak mampu melangkahkan kakinya, Siang Lan lalu memondongnya dan membawanya lari cepat. Dalam kedukaannya, Li Ai terkejut dan terheran juga melihat betapa kuatnya gadis penolongnya ini sehingga mampu nemondongnya dan membawanya berlari secepat larinya kuda! Teringat ia akan cerita ayahnya tentang para pendekar wanita, maka sejenak ia melupakan kedukaannya dan bertanya.

   "Enci...... apakah engkau...... seorang pendekar wanita?" Siang Lan tersenyum. Bagus, pikirnya, gadis yang hancur hatinya itu mulai mau bicara, tanda bahwa ia mulai dapat menguasai perasaannya yang tertekan hebat.

   "Entahlah, Adik Li Ai, aku ini pendekar wanita ataukah iblis wanita karena orang menyebut aku Hwe-thian Mo-li."

   "Hwe-thian Mo-li? Aih, Enci, Ayah pernah menyebut namamu sebagai seorang di antara para pendekar yang membantu pemerintah membasmi Pek-lian-kauw!" Setelah memasuki kota raja, hari telah menjelang senja.

   Karena merasa sudah kuat berjalan dan merasa tidak enak kalau memasuki kota raja dilihat orang bahwa ia dipondong, Li Ai minta diturunkan dan mereka berdua lalu menuju ke gedung tempat tinggal Panglima Kui. Setelah memasuki pekarangan, lima orang perajurit pengawal yang berjaga di situ memberi hormat kepada Li Ai, akan tetapi wajah mereka tampak muram. Li Ai agaknya dapat melihat dan merasakan hal yang tidak wajar ini. Biasanya para perajurit itu selain amat hormat, juga amat ramah kepadanya.

   "Apa yang terjadi?" Ia seolah bertanya kepada diri sendiri dan matanya memandang ke arah serambi depan rumahnya di mana terdapat banyak orang.

   "Apa yang terjadi di sana?" kembali ia bertanya. Siang Lan merangkulnya.

   "Adik Li Ai, bersikaplah tenang dan kuatkan hatimu......" Suara pendekar yang gagah perkasa ini tersendat karena ia harus menahan keharuan hatinya.

   "Apa......? Mengapa......?" Li Ai seolah mendapatkan tenaga baru dan ia berlari ke arah serambi depan rumahnya. Siang Lan cepat mengikutinya. Setelah berada di ruangan terbuka di serambi itu, di mana terdapat banyak orang duduk diam, Li Ai melihat dengan mata terbelalak ke sebuah peti mati yang dipasang di tengah. Wajahnya yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat seperti kapur dan ia lari terhuyung-huyung menghampiri peti mati. Ketika ia melihat nama ayahnya tertulis di depan peti mati, ia menjerit dan menubruk ke depan.

   "Ayaaaaahhh......!" Tubuh Li Ai terguling roboh dan tentu kepalanya akan terbentur pada peti mati kalau Siang Lan tidak cepat menyambar tubuhnya dan memeluk gadis yang sudah jatuh pingsan itu. Siang Lan menoleh kepada beberapa orang wanita yang berkumpul dekat peti mati sambil menangis. Melihat pakaian mereka, ia dapat menduga bahwa mereka adalah pelayan-pelayan di gedung panglima itu.

   "Di mana kamar Nona Kui? Tolong antarkan aku ke sana," kata Siang Lan dan pelayan tua itu lalu menunjukkan Siang Lan yang memondong tubuh Li Ai ke sebuah kamar. Dalam kamar itu, Siang Lan merebahkan tubuh Li Ai ke atas pembaringan. Dua orang pelayan yang agaknya menjadi pelayan pribadi Li Ai ikut masuk dan mereka menangisi nona majikan mereka.

   "Siocia...... ahh, Siocia...... ia mengapa......?" tangis mereka.

   "Harap kalian diam, biarkan aku menanganinya," kata Siang Lan yang mengurut beberapa jalan darah di pusat-pusat jalan darah seperti di telapak tangan dekat ibu jari, di dekat siku dan di pangkal lengan. Li Ai mengeluh lirih dan begitu membua matanya, ia menjerit.

   "Ayaaah...... Ayahhh, kenapa Ayahku......? Kenapa ia, Enci? Kenapa Ayahku mati......?" tangisnya.

   "Tenanglah, Adikku, tenanglah. Sudah kupesan tadi, kuatkan hatimu, Adik Li Ai......" Siang Lan menghibur dengan hati terharu.

   "...... Enci...... engkau sudah tahu......?" Ketika Siang Lan mengangguk, ia melanjutkan,

   "......mengapa engkau tidak memberitahu padaku tadi......?"

   "Hatimu sedang sedih, aku tidak menambahkan kesedihanmu lagi. Biar engkau melihat sendiri......" kata Siang Lan terharu.

   "Ayaaahhh......!" Li Ai bangkit, turun dari pembaringan dan berlari lagi. Dua orang pembantunya sambil menangis mencoba untuk menghalanginya.

   "Siocia...... Siocia sebaiknya beristirahat di sini saja......" Akan tetapi Siang Lan mencegah mereka.

   "Biarlah ia menumpahkan kedukaannya." Dan ia sendiri lalu mengikuti Li Ai untuk menjaga hal-hal yang tidak baik. Li Ai berlari terhuyung menuju ke serambi depan dan sambil menjerit-jerit dan menangis mengguguk ia berlutut di depan peti mati ayahnya. Semua orang yang berada di situ menjadi terharu dan semua wanita yang melayat, juga para pembantu rumah tangga, ikut pula menangis.

   Para tamu laki-laki hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang dengan wajah muram. Tiba-tiba dari dalam keluar seorang wanita berusia tigapuluh tahun lebih yang mengenakan pakaian berkabung namun rambutnya tersisir rapi dan mukanya yang cukup cantik itu masih dipulas bedak dan gincu, suatu hal yang sebetulnya tidak lajim bagi keluarga yang berkabung. Agaknya wanita itu keluar karena tertarik oleh suara tangis dan jeritan Li Ai. Ia menghampiri dan sambil berdiri, memandang kepada Li Ai yang berlutut sambil menangis itu, alisnya berkerut tanda tak senang dan begitu tangis Li Ai mereda, ia berkata dengan suara lantang.

   "Li Ai, engkau baru pulang?" Li Ai mengangkat muka memandang kepada wanita itu lalu ia berseru.

   "Ibuuu......!" Akan tetapi tiba-tiba wanita yang ternyata adalah isteri Pangeran Kui itu berkata dengan sikap dingin dan galak.

   "Hemm, untuk apa kautangisi Ayahmu? Kau tahu, Ayahmu mati karena engkau! Engkau anak put-hauw (tidak berbakti), anak durhaka, belum dapat membalas budi orang tua, malah menjadi penyebab kematian Ayahmu!!" Li Ai terbelalak mendengar ini, lalu ia menjerit panjang dan terkulai lemas dalam rangkulan Siang Lan yang cepat menangkap tubuhnya. Ia pingsan lagi! Siang Lan menjadi marah bukan main. Setelah merebahkan tubuh yang lemas pingsan itu di lantai, ia bangkit berdiri dan sekali tangannya bergerak, ia telah menotok pundak kiri Nyonya Kui. Nyonya itu menjerit-jerit karena tiba-tiba merasa tubuhnya nyeri semua, panas seperti terbakar dari dalam.

   "Auuuuww...... aduuuhhh...... aduuhhhh...... ia...... ia memukulku......! Pengawal, tangkap perempuan jahat ini......!!" Lima orang pengawal maju, akan tetapi cepat Siang Lan menggunakan tangan kiri menjambak rambut Nyonya Kui dan mencabut pedang yang ia tempelkan ke leher nyonya itu.

   "Siapa yang maju akan kubunuh semua setelah lebih dulu kusembelih leher perempuan ini!" Ia mengancam dan lima orang perajurit itu mundur ketakutan. Siang Lan menotok pundak itu dan membebaskan totokannya, lalu membentak.

   "Perempuan bermulut lancang dan jahat, siapa engkau berani bicara seperti tadi kepada Nona Kui Li Ai?"

   "Aku...... aku isteri Panglima Kui......!" Nyonya Kui mencoba untuk bersikap galak berwibawa setelah tidak merasa kesakitan lagi. Tangan kiri Siang Lan memperkuat jambakannya sehingga nyonya itu meringis.

   "Tak mungkin engkau ibu Adik Ai!"

   "Aku...... aku Ibu tirinya......"

   "Pantas! Engkau Ibu tiri keparat!" Siang Lan memaki dan memperkuat lagi jambakannya sehingga wanita itu semakin kesakitan. Para tamu itu ada yang berpangkat panglima, rekan mendiang Panglima Kui. Seorang dari mereka maju dan berkata kepada Siang Lan dengan sikap hormat.

   "Kalau kami tidak salah sangka, tentu Nona Hwe-thian Mo-li, bukan? Kami dulu membantu Kui Ciang-kun ketika menangkap para tokoh Pek-lian-kauw dan kami mengenal Nona." Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengangguk.

   "Benar, aku Hwe-thian Mo-li dan aku mengantarkan Adik Li Ai pulang setelah kubunuh dua orang di antara tiga orang tahanan yang dibebaskan. Adik Li Ai menderita setelah ditawan penjahat dan kini kematian Ayah kandungnya. Kenapa perempuan cerewet jahat ini malah memaki dan memarahinya? He, perempuan busuk, apa engkau sudah bosan hidup? Aku akan membunuhmu agar rohmu menghadap dan mohon ampun kepada Kui Ciang-kun atas kejahatan mulutmu terhadap Adik Li Ai!"

   Setelah berkata demikian, Siang Lan menempelkan pedangnya semakin ketat di leher Nyonya Kui. Wanita itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siang Lan, membentur-benturkan dahinya di lantai dan berkata dengan suara terputus-putus.

   "Ampunkan saya...... ampunkan saya...... karena terlalu sedih saya memarahi Li Ai...... ampuni saya, Li-hiap........" Ia meratap dengan tubuh menggigil dan tanpa ia sadari saking takutnya, lantai di bawah tubuhnya menjadi basah karena ia terkencing-kencing saking ngerinya!

   Siang Lan membalikkan tubuhnya, mengangkat tubuh Li Ai yang masih pingsan dan membawanya kembali ke dalam kamar gadis itu. Ia merawat Li Ai sehingga gadis itu siuman kembali, lalu menghiburnya. Dua orang pembantu pribadi Li Ai membantunya dan mereka segera mempersiapkan pakaian pengganti untuk Li Ai. Setelah Li Ai tenang kembali, Siang Lan membujuknya agar mandi dan berganti pakaian bersih. Lalu mengajaknya makan yang telah dihidangkan oleh dua orang pelayan itu.

   "Makanlah, Adik Li Ai, mari kutemani. Ingat kesehatanmu dan sadarlah bahwa semua yang telah terjadi tidak cukup untuk ditangisi saja. Kalau engkau merasa sakit hati, engkau harus tetap hidup sehat agar dapat melampiaskan dendam sakit hatimu kepada mereka yang telah membuat engkau menderita."

   "Enci aku seorang gadis lemah bagaimana mungkin dapat membalas dendam kepada tokoh Pek-lian-kauw yang menculikku? Sedangkan Ayahku saja tidak berdaya ketika aku diculik. Orang-orang Pek-lian-kauw amat lihai. Kalau aku memiliki kepandaian seperti engkau........"

   "Jangan khawatir, aku akan mengajarimu ilmu silat."

   "Benarkah, Enci?" terhibur juga perasaan hati Li Ai mendengar ini dan ia mau diajak makan.

   Setelah Li Ai tenang kembali dan dihibur oleh Siang Lan yang merasa dekat dengan gadis itu karena senasib, gadis itu lalu keluar bersama Siang Lan untuk melakukan upacara sembahyang di depan peti jenazah ayahnya. Ia tidak menangis dengan suara lagi, hanya air matanya saja menetes-netes ketika bersembahyang. Nyonya Kui tidak tampak karena setelah peristiwa tadi ia bersembunyi di dalam kamarnya. Setelah melakukan upacara sembahyang, Siang Lan mengajak Li Ai kembali ke dalam kamarnya.

   "Adik Li Ai, sekarang engkau telah kembali ke rumahmu dengan selamat. Aku pamit hendak melanjutkan perjalanan," kata Siang Lan. Li Ai terkejut, bangkit berdiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan Hwe-thian Mo-li.

   "Enci, jangan tinggalkan aku......!" katanya sambil merangkul kedua kaki Siang Lan.

   "Aku tidak mau tinggal di rumah ini, tidak mau hidup bersama ibu tiri yang membenciku." Siang Lan mengangkat bangun gadis itu dan menyuruhnya duduk kembali.

   "Jangan begini, Adik Li Ai. Mari kita bicara baik-baik. Kalau engkau tidak mau tinggal di sini, lalu bagaimana? Jangan khawatir kepada ibu tirimu, aku sebelum pergi akan mengancamnya bahwa kalau ia berani mengganggumu, aku akan datang memenggal kepalanya!"

   "Tidak, Enci, biarpun begitu tetap saja aku akan hidup menderita di sini. Bahkan keadaanku...... sudah begini...... kalau sampai diketahui orang, aku akan semakin dihina dan dicemooh orang. Jangan tinggalkan aku, Enci. Kalau kautinggalkan, kukira...... lebih baik aku bunuh diri daripada hidup menanggung aib dan malu. Aku ingin ikut denganmu, Enci, biar aku menjadi saudaramu, atau sahabatmu, atau...... pembantumu. Aku mau mengerjakan apapun juga untukmu asal boleh ikut denganmu. Ingat, engkau hendak mengajarkan ilmu silat padaku seperti janjimu!" Siang Lan tersenyum.

   "Ikut dengan aku? Li Ai, engkau seorang gadis bangsawan, puteri seorang panglima. Bagaimana hendak ikut aku, seorang petualang yang memiliki jalan hidup penuh kekerasan? Apakah tidak lebih baik, kalau engkau tidak mau tinggal bersama Ibu engkau ikut dengan keluarga ayahmu? Engkau tentu mempunyai Paman atau Bibi, saudara Ayahmu."

   "Tidak, Enci. Aku tidak mau tinggal bersama mereka. Aku seorang gadis yatim piatu, sudah kotor ternoda pula, tercemar, aku malu, Enci, aku merasa rendah dan tidak sanggup menghadapi mereka. Kalau engkau kelak mengetahui....... ah, betapa akan malunya aku! Enci, biarlah aku ikut denganmu!" Air mata menetes-netes dari sepasang mata yang sudah merah dan membengkak itu karena terlalu banyak menangis. Siang Lan merasa terharu sekali. Ia dapat mengerti bahwa kalau ia memaksakan pendiriannya meninggalkan gadis ini, besar sekali kemungkinannya, Li Ai akan bunuh diri!

   "Baiklah, Li Ai. Akan tetapi sebagai puteri Ayahmu, engkau tidak boleh pergi sebelum jenazah Ayahmu dimakamkan dengan baik. Aku akan pergi dulu mengunjungi seorang sahabat baikku dan kau tinggal di sini sampai jenazah Ayah dimakamkan."

   "Enci, malam-malam begini engkau hendak pergi? Apakah tidak lebih baik besok pagi saja?" Siang Lan mengangguk. Benar juga tidak baik rasanya mengunjungi Ong Lian Hong di rumah Jaksa Ciok Gun malam-malam begini. Malam itu ia tidur bersama Li Ai dan kesempatan itu mereka pergunakan untuk saling mengenal lebih akrab.

   "Enci, bolehkah aku mengetahui siapa namamu yang sebenarnya? Sungguh aku merasa tidak enak kalau harus menyebutmu Enci Hwe-thian Mo-li, terutama sebutan Mo-li (Iblis Betina) itu! Bagiku engkau seorang dewi penolong, Enci, sama sekali bukan Mo-li!" Dalam percakapan mereka itu Li Ai berkata hati-hati agar tidak menyinggung penolongnya yang terkadang bersikap amat ganas. Siang Lan menghela napas panjang.

   "Li Ai, yang menyebut aku Iblis Betina adalah golongan sesat karena aku selalu bersikap keras terhadap mereka. Terhadap orang-orang jahat seperti dua orang tosu yang menghinamu itu aku tak pernah memberi ampun. Karena itu mungkin aku dijuluki Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi aku tidak peduli. Lebih baik disebut Mo-li akan tetapi membela orang tertindas dan menentang kejahatan daripada disebut Dewi akan tetapi hidupnya bergelimang perbuatan jahat, bukan?"

   "Engkau benar, Enci. Akan tetapi aku ingin mengetahui namamu yang sebenarnya. Engkau tentu memiliki she (marga) dan nama bukan? Siapa pula Gurumu? Maukah engkau menceritakan tentang riwayatmu, orang tuamu, sanak keluargamu dan sahabat baikmu yang akan kau kunjungi besok?"

   "Baiklah, Li Ai. Karena engkau sudah mengambil keputusan untuk ikut denganku, engkau berhak mengetahuinya. Akan tetapi sebelumnya, engkau harus berjanji tidak akan memperkenalkan atau menyebut namaku di depan orang lain. Bagi orang lain aku ingin dikenal sebagai Hwe-thian Mo-li saja."

   "Baik, Enci. Aku berjanji."

   "Aku adalah seorang yatim piatu. Ayah Ibuku meninggal dunia ketika aku masih kecil. Namaku adalah Nyo Siang Lan."

   ðŸŽ‹ðŸ˜€

   

   "Sejak berusia sepuluh tahun aku di rawat dan dididik oleh mendiang Guruku yaitu Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu. Guruku mempunyai seorang puteri bernama Ong Lian Hong yang selain menjadi adik seperguruan, juga menjadi sahabat baikku. Suhu tewas dibunuh lima orang. Aku dan Adik Ong Lian Hong berhasil membalas dendam kematian Suhu. Sekarang Su-moi Ong Lian Hong tinggal di kota raja, ia bertunangan, mungkin sekarang sudah menikah, dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong......"

   "Ah, aku sudah mendengar, Enci Siang Lan......!"

   "Huss!" Siang Lan memotong.

   "Di sini jangan sebut namaku, aku tidak ingin terdengar orang lain. Engkau telah mendengar apa, Li Ai?"

   "Aku sudah mendengar bahwa Sim Kongcu, putera Pangeran Sim yang terkenal itu menikah dengan seorang gadis yang lihai ilmu silatnya! Kalau tidak salah dengar, ia itu cucu Jaksa Ciok Gun, bukan?"

   "Benar sekali! Sumoi Ong Lian Hong adalah cucu Jaksa Ciok. Ibunya puteri Jaksa Ciok dan ayahnya adalah mendiang Suhu Ong Han Cu. Ah, jadi mereka sudah menikah?" Siang Lan termenung, merasa betapa hatinya hampa dan kering.

   "Hemm, tahukah engkau di mana sekarang Sumoi tinggal?"

   "Yang kudengar, sebagai mantu Pangeran Sim tentu saja ia tinggal bersama suaminya di rumah mertuanya itu. Pernikahan mereka menjadi buah bibir masyarakat yang mengagumi mereka, Enci, karena pengantin pria yang tampan, pengantin wanita cantik jelita dan keduanya merupakan pendekar-pendekar yang amat lihai. Begitu yang kudengar dibicarakan orang. Ayah juga bercerita banyak tentang mereka setelah pulang dari menghadiri perayaan pernikahan mereka."

   Siang Lan semakin tenggelam ke dalam lamunannya. Berbagai macam perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa girang dan bahagia membayangkan kebahagiaan Ong Lian Hong, sumoi yang dikasihinya itu, akan tetapi ada pula perasaan haru dan sedih mengingat akan keadaan dirinya sendiri yang sudah ternoda tanpa ia mampu membalas dendamnya kepada musuh besar itu. Awas kamu, hatinya berteriak, akan tiba saatnya aku menghancurkan kepalamu dan membelah dadamu, Thian-te Mo-ong.

   "Engkau kenapa, Enci?" Li Ai bertanya melihat perubahan muka pendekar wanita itu.

   "Ah, tidak apa-apa, Li Ai. Aku hanya berpikir bahwa sebaiknya aku tidak mengunjungi mereka dulu karena aku tidak sempat hadir dalam perayaan pernikahan mereka. Aku merasa malu dan bersalah bertemu mereka. Setelah Ayahmu diurus pemakamannya, kita pergi meninggalkan kota raja, kalau benar-benar sudah bulat tekadmu untuk ikut dengan aku."

   "Tentu saja aku ikut denganmu, Enci, kemana pun engkau pergi. Akan tetapi kalau boleh aku bertanya, kenapa engkau tidak menghadiri pesta pernikahan Sumoimu itu?"

   "Mereka tidak tahu aku berada di mana sehingga tidak dapat mengundangku dan aku pun tidak tahu kapan mereka menikah. Berbulan-bulan ini aku sibuk membenahi tempat tinggalku yang baru saja kudapatkan."

   "Di mana itu, Enci?"

   "Di Lembah Selaksa Bunga."

   "Ah, alangkah indah nama itu."

   "Tempatnya pun indah, terletak di bukit kecil. Lembah itu penuh dengan beraneka macam bunga, maka disebut Ban-hwa-san-kok (Lembah Bukit Selaksa Bunga) dan di sana aku memimpin perkumpulan wanita Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga)."

   "Perkumpulan wanita, Enci? Anggautanya semua wanita?"

   "Benar, semua wanita yang tidak berkeluarga, jumlah mereka ada tigapuluh lima orang. Baru beberapa bulan aku merampas Lembah Selaksa Bunga dari tangan orang-orang jahat."

   "Ah, aku akan senang tinggal di sana dan belajar ilmu silat darimu, Enci!" Siang Lan tinggal di gedung keluarga Kui itu sampai tiga hari lamanya. Setelah jenazah Kui Seng dimakamkan, ia mengajak Li Ai bercakap-cakap dalam kamarnya.

   "Li Ai, engkau merupakan ahli waris tunggal dari mendiang Ayahmu. Biarpun ada Ibu tirimu, akan tetapi yang lebih berhak adalah engkau karena engkau puterinya dan Nyonya Kui itu hanya ibu tirimu. Maka engkaulah ahli-waris Ayahmu dan berhak menguasai semua harta ayahmu. Engkau di sini tinggal di rumah gedung dan memiliki harta yang banyak, sedangkan kalau engkau ikut denganku, engkau akan tinggal di sebuah bukit sunyi dan aku bukanlah orang kaya."

   "Enci, apa maksudmu dengan kata-kata ini? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak jadi dan tidak ingin mengajakku?" tanya Li Ai dengan mata terbelalak penuh kegelisahan.

   "Bukan begitu, Li Ai. Aku hanya sangsi apakah engkau akan betah tinggal di tempatku, meninggalkan semua kemewahan ini."

   "Kenapa engkau masih merasa sangsi, enci? Bagaimanapun juga, aku tidak mau tinggal di sini bersama Ibu tiriku. Kalau andaikata engkau tidak mau mengajakku, aku pun pasti akan pergi meninggalkan rumah ini."

   "Aku sama sekali tidak keberatan kalau engkau ikut aku, bahkan aku merasa senang. Baiklah, kalau engkau merelakan semua harta warisanmu terjatuh ke tangan Ibu tirimu yang sikapnya terhadapmu amat buruk itu. Kalau begitu, kemasi barangmu dan mari kita berangkat."

   "Nanti dulu, Enci!"

   "Ada apalagi, Li Ai?"

   "Mendengar ucapanmu tadi, seperti dibangkitkan semangatku. Ibu tiriku memang selalu membenciku, biarpun hal itu ia sembunyikan dari mendiang Ayahku. Engkau benar, harta warisan Ayahku, tidak boleh semuanya jatuh ke tangannya. Biarlah gedung ini karena gedung ini merupakan pemberian pemerintah yang tentu akan diambil kembali. Akan tetapi uang Ayah, perhiasan peninggalan Ibu kandungku, semua itu harus kubawa. Tentu kita dapat mempergunakannya di Lembah Selaksa Bunga!"

   "Hemm, terserah, bukan aku yang menyuruhmu, akan tetapi aku mendukungmu, Li Ai."

   "Sebaiknya begitu, Enci, karena aku yakin Ibu tiriku tidak rela kalau aku membawa harta benda Ayah." Li Ai lalu pergi ke kamar pribadi ayahnya, akan tetapi ternyata kamar itu terkunci,

   "Hemm, kamar ini tentu dikunci oleh Ibu tiriku. Enci, kita dobrak saja pintunya."

   "Jangan, Li Ai, lebih baik kita minta kunci itu dari Ibu tirimu. Engkau berhak memegang kunci itu."

   Mereka lalu mencari Nyonya Kui yang berada di kamarnya sendiri. Mereka melihat Nyonya Kui sedang bicara dengan seorang laki-laki setengah tua berpakaian perwira dan ketika dua orang gadis itu memasuki ruangan dalam, perwira itu buru-buru pergi meninggalkan ruangan. Nyonya Kui bangkit berdiri dengan alis berkerut akan tetapi tampak jerih melihat Li Ai muncul bersama Hwe-thian Mo-li yang ia takuti.

   "Ibu, aku ingin minta kunci kamar pribadi mendiang Ayahku," kata Li Ai.

   "Aku...... tidak tahu........" jawab Nyonya Kui dengan alis berkerut.

   "Ibu, jangan berbohong. Hanya mendiang Ayah, engkau dan aku yang boleh membuka kamar itu, dan aku berhak untuk memasuki kamar Ayahku."

   "Nyonya, harap engkau tidak membuat ulah, Kui Li Ai berhak atas rumah dan semua harta benda Ayahnya. Sebaiknya engkau serahkan kunci itu kepadanya agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan untuk membela Adik Kui Li Ai!" kata Hwe-thian Mo-li. Dengan jari-jari tangan gemetar wanita itu mengambil sebuah kunci dari balik ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Li Ai dengan cemberut tanpa bicara apa pun.

   Li Ai menerima kunci dan bersama Hwe-thian Mo-li lalu membuka pintu kamar mendiang Panglima Kui yang cukup luas itu. Karena sudah mengetahui di mana ayahnya menyimpan harta benda berupa uang emas dan juga perhiasan yang dulu menjadi milik ibu kandungnya, maka langsung saja Li Ai menuju ke sebuah almari besar dan karena ia tidak menemukan kuncinya, ia minta kepada Siang Lan untuk membukanya dengan paksa. Dengan mudah Siang Lan membuka pintu almari itu dan Li Ai lalu mengambil harta benda yang banyak dari almari, membungkusnya dengan kain. Karena harta benda itu cukup banyak dan berat, maka Siang Lan membantu membawanya dengan menggantung bungkusan kain itu punggungnya.

   Li Ai sendiri menggendong buntalan berisi pakaiannya. Setelah itu mereka berdua keluar dari gedung tanpa pamit lagi kepada ibu tiri Li Ai. Beberapa orang wanita pelayan yang setia dan sayang kepada gadis itu, sambil menangis mengikuti Li Ai sampai di luar gedung. Li Ai memberi beberapa potong uang emas kepada mereka karena mereka menyatakan bahwa setelah Li Ai pergi, mereka pun akan meninggalkan gedung itu. Nyonya Kui adalah seorang wanita yang galak dan membenci Li Ai sehingga para pelayan yang sayang kepada Li Ai juga ikut pula dibencinya. Tadinya Siang Lan menduga bahwa mereka berdua akan menghadapi gangguan dan halangan keluar dari gedung itu.

   Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu. Mereka keluar dari gedung dan terus menuntun dua ekor kuda yang diambil oleh Li Ai dari dalam kandang kuda sampai ke jalan raya di depan gedung. Mereka berdua menunggang kuda dan menjalankan kuda mereka perlahan-lahan keluar dari kota raja. Ternyata bahwa biarpun Li Ai tidak pernah belajar ilmu silat secara mendalam, sebagai seorang puteri panglima ia cukup pandai dan sudah biasa menunggang kuda. Akan tetapi, belum terlalu jauh mereka meninggalkan pintu gerbang kota raja dan tiba di jalan yang sepi, mereka melihat segerombolan orang berdiri menghadang di jalan. Li Ai segera berkata kepada Siang Lan dengan lirih dan tampak gelisah.

   "Enci, yang di depan itu adalah Perwira Can yang masih ada hubungan keluarga dengan Ibu tiriku. Mau apa mereka.....?"

   "Biar aku yang menghadapi mereka!" kata Siang Lan tenang saja. Ia juga mengenal perwira yang kini berpakaian preman itu karena dia adalah perwira yang tadi ia lihat sedang bercakap-cakap dengan Nyonya Kui dan segera pergi setelah ia dan Li Ai memasuki ruangan itu. Perwira setengah tua itu bertubuh tinggi dan tampak kokoh kuat, juga sinar matanya yang tajam menunjukkan bahwa dia tentu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.

   Yang berada di belakang Perwira Can adalah orang-orang yang dari sikapnya yang tegak dapat diduga bahwa merekapun tentu para perajurit yang berpakaian preman. Biarpun mereka tidak mengenakan pakaian seragam perajurit, namun limabelas orang itu mempunyai golok yang sama dan sikap mereka adalah sikap orang-orang yang biasa berbaris dalam pasukan. Setelah memberi isyarat kepada Li Ai untuk berhenti dan memegangi kendali kudanya sendiri, Siang Lan melompat turun dari atas punggung kuda dan melangkah menghampiri rombongan orang itu. Dengan tenang ia berhadapan dengan Perwira Can dan berkata dengan suara tenang dan mengejek.

   "Apakah kehendak kalian, belasan orang laki-laki menghadang perjalanan dua orang wanita?" Perwira Can yang mempunyai sebatang pedang yang tergantung di pinggangnya, menjawab dengan suara galak.

   "Kami tidak ingin mengganggu kalian berdua, hanya minta agar kalian menyerahkan harta benda yang kalian rampas dari dalam gedung Panglima Kui agar dapat kami serahkan kembali kepada keluarganya!" Siang Lan tersenyum.

   "Maksudmu diserahkan kepada keluargamu, yang menjadi isteri mendiang Panglima itu? Ketahuilah, harta itu menjadi hak milik Nona Kui Li Ai, maka ia membawanya pergi. Kami bukan merampas, akan tetapi kulihat kalian ini perajurit-perajurit yang agaknya ingin menjadi perampok! Perwira Can, kalau

   


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 04
engkau masih ingin hidup, bawa pasukanmu pergi dan jangan ganggu kami!"

   "Heh, Hwe-thian Mo-li, siapa tidak tahu bahwa engkau adalah seorang Iblis Betina yang jahat? Nona Kui Li Ai adalah seorang gadis bangsawan yang lembut, pasti engkau yang membujuknya untuk melarikan diri dan merampas harta benda keluarga Kui!" bentak perwira itu. Siang Lan marah sekali. Tanpa banyak cakap lagi ia sudah mencabut pedangnya dan menyerang perwira itu dengan gerakan cepat.

   "Sing-tranggg......!" Perwira Can juga sudah mencabut pedangnya dan menangkis. Ternyata perwira itu cukup tangguh dan Siang Lan segera dikepung dan dikeroyok belasan orang!

   "Kalian sudah bosan hidup!" bentaknya dan begitu ia mempercepat gerakan pedangnya, dua orang pengeroyok telah roboh mandi darah! Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar dua ekor kuda itu meringkik dan begitu ia menoleh, ia terkejut sekali melihat Li Ai sudah ditangkap! Dua orang anak buah Perwira Can memegangi kedua lengannya dan seorang lagi menempelkan golok di leher gadis bangsawan yang meronta-ronta itu.

   "Lepaskan, kalian orang-orang jahat! Lepaskan aku!" Li Ai meronta-ronta namun apa dayanya seorang gadis lembut seperti ia menghadapi dua orang laki-laki yang kuat itu. Kedua lengannya telah ditekuk ke belakang oleh dua orang itu.

   "Ha-ha, Hwe-thian Mo-li, menyerahlah kalau tidak ingin melihat Nona Kui kami bunuh lebih dulu!" bentak Perwira Can sambil menahan serangan, diikuti oleh para anak buahnya. Sejenak Siang Lan tertegun dan merasa tak berdaya. Jelas bahwa kalau ia bergerak hendak menyerang tiga orang yang menawan Li Ai itu, gadis itu pasti akan tewas karena sekali golok yang menempel di leher itu digerakkan, kematian Li Ai tak dapat dihindarkan lagi!

   "Enci, jangan pedulikan mereka! Mereka hanya menggertak! Mereka tidak berani membunuhku karena keluarga Ayah tentu akan menuntut. Perwira Can, manusia busuk, hayo bunuh aku kalau kau berani! Enci, teruskan hajar mereka, aku tidak takut mati!" teriak Li Ai. Mendengar ini, Siang Lan tersenyum dan kembali sinar kilat pedangnya berkelebat menyambar dan dua orang lagi pengeroyok roboh dibabat pedangnya.

   Tiba-tiba tampak bayangan dua orang berkelebat dan di depan Siang Lan telah muncul dua orang yang berpakaian seperti tosu. Yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, kedua tangannya memegang siang-to (sepasang golok) sedangkan orang kedua yang berusia sekitar enampuluh lima, beberapa tahun lebih tua daripada tosu pertama, berwajah pucat bermata sipit, rambutnya sudah putih semua dan tubuhnya tinggi kurus, memegang pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri. Tosu pertama yang bermuka hitam membentak,

   "Hwe-thian Mo-li, iblis betina, engkau harus menebus kematian dua orang suteku dengan nyawamu!" Sepasang golok di tangannya menyambar dengan gerakan menggunting dari kanan kiri. Siang Lan cepat menggerakkan pedangnya menangkis ke kanan kiri.

   "Trang-trangg......!" Gadis itu merasa betapa tenaga tosu muka hitam ini jauh lebih kuat dari tenaga Perwira Can sehingga akan merupakan seorang lawan yang cukup tangguh.

   "Awas, Enci. Pendeta siluman muka hitam itulah yang menculikku!" teriak Li Ai yang masih dipegangi kedua lengannya oleh dua orang anak buah Perwira Can.

   Memang Li Ai benar. Perwira Can tidak berani membunuhnya karena Li Ai mempunyai dua orang paman, adik-adik ayahnya, yang menjadi pembesar di kota raja dan kedudukan mereka lebih tinggi daripada kedudukan Perwira Can, maka kini ia hanya dipegangi dua orang anak buah tanpa diancam golok lagi. Melihat betapa tangkisan pedang Siang Lan dapat membuat sepasang golok di tangan tosu muka hitam itu terpental, tosu kedua yang bermuka pucat berseru.

   "Siancai! Tenaga saktimu boleh juga, Hwe-thian Mo-li!" Dan dia pun menyerang dengan pedang di tangan kanan yang menyambar ke arah leher Siang Lan disusul ujung bulu kebutan yang tiba-tiba menjadi kaku itu menotok ke arah ulu hati! Sungguh berbahaya sekali serangan tosu bermua pucat itu. Cepat ia menggerakkan pedangnya untuk menangkis pedang lawan dan tangan kirinya dengan tenaga sin-kang menangkis bulu kebutan berwarna putih itu.

   "Cringg...... plakk!" Siang Lan berhasil menangkis pedang dan kebutan, akan tetapi ia terdorong ke belakang oleh tenaga yang amat kuat! Tahulah ia bahwa tosu berwajah pucat ini memiliki tenaga sakti yang kuat bukan main dan merupakan lawan yang amat tangguh. Menghadapi dua orang lawan seperti itu dapat membahayakan dirinya.

   Akan tetapi gadis perkasa yang tidak pernah mengenal takut ini sama sekali tidak merasa gentar, bahkan ia lalu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus-jurus simpanannya untuk mengamuk melawan dua orang tosu yang lihai itu. Sementara itu, Perwira Can dan anak buahnya yang merasa agak gentar terhadap Siang Lan, hanya mengepung dari jarak aman seolah hendak menutup jalan keluar gadis itu agar tidak mampu melarikan diri! Siang Lan mengamuk mati-matian, namun ia segera terdesak karena kedua orang lawannya, terutama tosu muka pucat, memang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Melawan tosu muka pucat itu saja belum tentu ia dapat menang, apalagi kini dikeroyok dua, padahal kepandaian tosu muka hitam itu juga hebat sekali. Biarpun terdesak hebat, Siang Lan tidak mempunyai niat sedikit pun juga untuk melarikan diri.

   Tak mungkin ia melarikan diri dan meninggalkan Li Ai. Ia akan melindungi Li Ai sampai tidak mampu melawan lagi! Tekadnya yang besar ini membuat ia masih mampu bertahan, walaupun lebih banyak mengelak dan menangkis daripada balas menyerang. Tiba-tiba terdengar suara berdebukan dan dua orang anak buah perajurit yang tadinya memegangi kedua lengan Li Ai, berteriak dan roboh tak dapat bergerak lagi! Ternyata yang merobohkan mereka adalah seorang laki-laki setengah tua, berusia empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang dan wajahnya tampan dan lembut, pakaiannya sederhana. Dia merobohkan dua orang yang tadi meringkus Li Ai hanya dengan tamparan dari jarak jauh dan kini dia melompat dengan ringannya ke sebelah Siang Lan.

   "Hwe-thian Mo-li, lindungi dan larikan gadis itu dari sini, biar aku yang akan menghadapi dua orang sesat Pek-lian-kauw ini!" katanya lembut namun berwibawa. Setelah berkata demikian, dia bergerak maju dan dengan hanya menggunakan ujung lengan bajunya yang panjang, dia menyambut serangan dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu! Namun, tangkisan kain ujung lengan baju itu membuat senjata dua orang tosu itu terpental dan mereka merasa betapa tangan mereka tergetar hebat!

   Siang Lan yang telah melompat mundur, memandang penuh perhatian dan ia merasa heran sekali bagaimana orang itu dapat mengenal julukannya. Ia belum pernah melihat orang ini dan dari beberapa gebrakan saja tahulah ia bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi! Baru tiga jurus saja dua orang tosu itu sudah terdorong mundur! Ia menoleh dan melihat bahwa Li Ai sudah terbebas dari pegangan dua orang anak buah Perwira Can yang kini sudah menggeletak tak bergerak. Perwira Can yang memang sudah gentar terhadap Siang Lan, kini mengerahkan sisa anak buahnya untuk membantu dua orang tosu mengeroyok laki-laki yang menolong Siang Lan itu.

   "Mari, Li Ai!" Ia berseru dan menyambar tubuh gadis itu, dibawanya lari ke arah dua ekor kuda mereka. Tak lama kemudian mereka berdua sudah melarikan kuda dengan cepat melanjutkan perjalanan menuju Lembah Selaksa Bunga. Laki-laki yang menolong Siang Lan itu bukan lain adalah Sie Bun Liong! Peristiwa di malam jahanam di mana dalam keadaan setengah mabok dan terpengaruh racun perangsang, secara hampir tidak sadar dia telah melakukan perkosaan terhadap Hwe-thian Mo-li.

   Dia merasa amat menyesal dan duka, dan dia mengambil keputusan untuk menebus dosanya dengan melindungi Siang Lan dan menurunkan ilmunya kepada gadis itu agar kelak gadis itu dapat membalas dendam dan membunuh musuh besar yang telah menodainya, yaitu Thian-te Mo-ong atau dia sendiri! Untuk dapat mencapai keputusannya ini dengan baik, dia harus menyamar menjadi dua orang, yaitu pertama menyamar sebagai Thian-te Mo-ong yang memakai topeng kayu dan kedua menyamar sebagai pelindung dengan nama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama)! Nama aselinya, Sie Bun Liong, tidak dipakainya lagi! Melihat kehebatan lawan yang membela Hwe-thian Mo-li, dua orang tosu Pek-lian-kauw menjadi penasaran.

   "Tahan!" seru tosu berwajah pucat. Mendengar ini, semua orang menghentikan perkelahian dan tosu itu memandang tajam penuh selidik kepada lawannya.

   "Siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan kami? Kami sedang membantu pasukan yang hendak menangkap dua orang gadis yang mencuri harta milik keluarga Kui!" Sie Bun Liong yang kini menggunakan nama julukan Bu-beng-cu, tersenyum menjawab terang.

   "Hwa Hwa, engkau seorang datuk masih suka memutar-balikkan fakta."

   "Engkau mengenal kami?" bentak tosu berwajah pucat yang bernama Hwa Hwa Hoat-su, datuk sesat yang jarang turun tangan sendiri karena sudah banyak saudara dan murid yang lebih muda mengurus semua masalah di Pek-lian-kauw.

   "Tentu saja aku mengenal kalian, Hwa Hwa Hoat-su dan Hoat Hwa Cin-jin. Seperti kuatakan tadi, kalian memutar-balikkan kenyataan. Nona Kui Li Ai membawa hartanya sendiri, peninggalan Ayahnya, yang hendak merampok harta keluarga Kui adalah kalian orang-orang Pek-lian-kauw yang agaknya bekerja sama dengan pasukan yang menyamar ini!"

   "Keparat, siapa engkau?" bentak Hoat Hwa Cin-jin, marah dan terkejut karena kerja sama Pek-lian-kauw dengan Perwira Can telah diketahui.

   "Namaku tidak ada, sebut saja aku Bu-beng-cu!"

   "Manusia sombong!" Tiba-tiba Hwa Hwa Hoat-su melemparkan kebutannya ke atas dan...... kebutan berbulu putih itu terbang melayang ke arah Bu-beng-cu dan seperti hidup kebutan itu menyerang ke arah mukanya.

   "Hemm, permainan kanak-kanak ini kau pamerkan?" bentak Bu-beng-cu dan, sekali tangannya didorongkan ke arah kebutan itu, senjata itu terpental dan terbang kembali ke tangan kiri Hwa Hwa Hoat-su!

   Hwa Hwa Hoat-su marah dan sambil mengeluarkan gerengan, seperti seekor biruang dia sudah menerjang maju, menggerakkan pedang di tangan kanan dan kebutan tangan kiri. Hoat Hwa Cin-jin tidak tinggal diam. Dia sudah menerjang pula dengan siang-to (sepasang golok) di tangannya. Bu-beng-cu menggerakkan tubuhnya yang seolah berubah menjadi bayang-bayang yang cepat sekali gerakannya. Bayangan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata kedua orang pengeroyoknya yang amat lihai itu. Niat Bu-beng-cu hanya untuk menyelamatkan Hwe-thian Mo-li dan Kui Li Ai. Dia tidak ingin bermusuhan dengan Pek-lian-kauw atau dengan siapapun juga. Selama bertahun-tahun dia hanya memperdalam ilmu dan bersembunyi di Pegunungan Himalaya.

   Sungguh tak disangka-sangkanya bahwa rasa rindunya kepada adik tirinya, yaitu Siangkoan Leng yang menjadi Ban-hwa-pang-cu (Ketua Ban-hwa-pang) akan mendatangkan malapetaka baginya. Pertama-tama, dalam keadaan tak sadar dikuasai pengaruh racun perangsang dia telah memperkosa Hwe-thian Mo-li yang disusul dengan dendam sakit hati gadis itu kepadanya dan sekarang, karena dia harus melindungi Hwe-thian Mo-li, dia harus bermusuhan dengan orang-orang kang-ouw, hal yang sama sekali tidak dikehendakinya. Dia menyadari bahwa peristiwa malam jahanam itu akan membawa akibat panjang yang akan merusak ketenteraman hidupnya. Setelah dia merasa bahwa tentu Hwe-thian Mo-li dan Li Ai telah pergi jauh dan bebas dari ancaman orang-orang ini, maka setelah melawan dan selalu menghindarkan diri dari serangan dua orang tosu Pek-lian-kauw itu.

   Bu-beng-cu menggunakan gin-kangnya untuk melompat jauh ke belakang dan dengan beberapa lompatan saja dia sudah meninggalkan tempat itu dan menghilang di balik pohon-pohon! Dua orang tosu itu tidak mengejar karena keduanya maklum betapa tingginya gin-kang dari orang berjuluk Bu-beng-cu yang tidak mereka kenal itu. Bahkan nama Bu-beng-cu juga tak pernah terdengar di dunia kang-ouw. Perwira Can yang gagal merampas harta benda keluarga Kui yang dibawa Li Ai walaupun sudah dibantu dua orang tokoh Pek-lian-kauw, terpaksa mengajak anak buahnya kembali ke kota raja dengan tangan hampa. Bahkan beberapa orang anak buahnya tewas dan terluka!

   Kui Li Ai merasa kagum ketika ia mengikuti Siang Lan tiba di Lembah Selaksa Bunga. Sebagai seorang gadis bangsawan yang sejak kecil hidup mewah, tentu saja ia sudah banyak melihat taman-taman yang indah milik para bangsawan di kota raja, bahkan pernah satu kali ayahnya mengajak ia melihat taman istana kaisar yang megah. Namun, dibandingkan lembah ini, taman bunga itu bukan apa-apa. Lembah ini demikian luas dan alami, penuh dengan beraneka bunga, terbuka dan bebas, tidak seperti taman-taman bunga yang terkurung pagar tembok tinggi, membuat orang merasa seperti dalam tahanan atau penjara. Sedangkan di Lembah Selaksa Bunga ini, ia merasa demikian bebas merdeka, dapat melihat jauh ke bawah bukit dan merasa seperti burung yang terbang bebas lepas melayang di udara!

   Segala bentuk kesenangan yang dapat kita rasakan melalui indera kita, merupakan anugerah Tuhan kepada kita. Dengan adanya nafsu dalam diri kita yang telah disertakan kita sejak lahir, mendatangkan kenikmatan bagi kita. Demikian besar kasih Tuhan kepada kita. Nafsu yang terkandung dalam penglihatan mata membuat kita dapat menikmati pemandangan yang indah-indah, bentuk dan warna yang menyenangkan hati kita. Melalui pendengaran telinga, nafsu mendatangkan kenikmatan kepada kita kalau kita mendengar suara-suara merdu yang sesuai dengan selera kita. Demikian pula, melalui penciuman hidung, kita dapat menikmati keharuman. Melalui mulut, kita dapat menikmati makanan dan selanjutnya.

   Namun, justeru kenikmatan-kenikmatan yang kita rasakan melalui anggauta-anggauta badan kita ini yang sering kali menjerumuskan kita. Nafsu yang menimbulkan kenikmatan dalam kehidupan, yang semestinya menjadi peserta dan pelayan kita, kalau terlalu dibiarkan dan dimanja, dapat merajalela dan berbalik akan memperbudak kita. Kalau sudah demikian, akan celakalah kita. Keinginan memperoleh kenikmatan-kenikmatan itu membuat kita selalu mengejar dan dalam pengejaran itu, seringkali terjadilah pelanggaran-pelanggaran, menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang amat diinginkan. Padahal, kalau sesuatu yang kita kejar, yang kita anggap akan mendatangkan kesenangan itu, telah terdapat, maka biasanya hanya akan mendatangkan kebosanan, cepat atau lambat.

   Nafsu mendorong kita untuk mencari yang lain lagi, yang kita anggap akan lebih menyenangkan daripada apa yang telah kita dapatkan. Demikianlah, kita menjadi budak pengejar kesenangan yang tak pernah mengenal puas sampai akhirnya kita terjatuh sendiri karena pelanggaran yang kita lakuan dalam pengejaran itu. Berbahagialah orang yang selalu merasa puas dengan apa yang diperoleh dari hasil usahanya dan mensyukuri perolehan itu sebagai berkat dari Tuhan, kemudian dapat menyalurkan berkat dari Tuhan itu untuk sebagian diberikan kepada orang-orang lain yang membutuhkan. Penyalur berkat Tuhan berupa kepandaian, kekuatan, ataupun kelebihan materi, adalah orang-orang yang mengagungkan namanya sehingga orang-orang yang menerima penyaluran berkat itu juga akan memuja dan mengagungkan nama Tuhan.

   Kesenangan yang dirasakan Li Ai ketika ia tiba di Lembah Selaksa Bunga dan melihat keindahan lembah itu, juga tidak bertahan lama. Beberapa waktu kemudian, sudah timbul perasaan bosan melihat taman bunga alami itu. Karena sering melihat, maka lembah itu pun tampak "biasa" saja, tidak ada keanehannya, tidak ada keunikannya, tidak ada daya tariknya lagi. Tidak heran kalau kita mendengar betapa orang-orang gunung merindukan pantai laut dan orang-orang pantai laut merindukan pegunungan. Orang-orang kota menyukai dusun yang hening menyejukkan, dan orang-orang dusun menyukai kota yang ramai menggembirakan! Orang selalu menghendaki yang belum dia miliki dan merasa bosan dengan apa yang telah mereka punyai.

   Demikian pula dengan Li Ai. Kalau mula-mula ia merasa senang dan kagum melihat Lembah Selaksa Bunga dan senang tinggal bersama Hwe-thian Mo-li di lembah itu, beberapa pekan kemudian ia sudah merasa bosan. Apalagi kalau ia teringat akan penghidupannya yang lalu di kota raja ketika ayahnya masih hidup. Ia kini merasa kehilangan segala-galanya. Kehilangan kehormatan diri karena peristiwa perkosaan itu selalu menghantuinya, terutama di waktu malam. Mimpi-mimpi menakutkan tentang peristiwa itu seringkali membuat ia menjerit-jerit dan terbangun. Dahulu ia menjadi seorang gadis bangsawan yang selalu riang, dihormati, disayang banyak orang, dan terutama sekali digandrungi banyak pemuda!

   Pada sore hari itu pemandangan di Lembah Selaksa Bunga sungguh indah sekali. Matahari senja dengan sinarnya yang lembut kemerahan memandikan lembah itu sehingga tampak kemerah-merahan dan matahari sendiri sudah mulai turun bagaikan wajah seorang dara yang malu-malu dan hendak menyembunyikan diri di balik tirai awan sutera putih. Namun Kui Li Ai yang sedang termenung dan tenggelam dalam lamunannya itu, tidak lagi dapat menyadari akan semua keindahan itu. Bahkan suasana senja seperti itu mengingatkan ia akan pertemuannya dengan seorang pemuda yang baginya merupakan seorang laki-laki yang amat menarik, tampan dan gagah. Pemuda itu bernama Bong Kin, putera dari hartawan Bong yang selain kaya raya, juga dekat hubungannya dengan para pejabat.

   Beberapa bulan yang lalu sebelum Panglima Kui wafat, hartawan Bong datang berkunjung, ditemani puteranya, yaitu Bong Kin yang biasa disebut Bong Kongcu (Tuan Muda Bong). Karena tidak ingin mengganggu percakapan antara ayahnya dan Panglima Kui, Bong Kongcu pamit untuk berjalan-jalan dalam taman bunga yang terdapat di samping gedung Panglima Kui. Pada sore hari yang hawanya panas itu, kebetulan Kui Li Ai sedang mencari angin dalam taman. Tanpa disengaja, dara dan pemuda itu saling jumpa dan Bong Kin yang pandai bergaul itu segera memperkenalkan diri. Karena sikapnya yang sopan dan ramah, Li Ai menyambut perkenalan itu. Perkenalan itu disambut baik dan berlanjut menjadi persahabatan di antara mereka. Ketika Bong Kin menyatakan cinta, Li Ai belum berani menerimanya. Ia sudah banyak menolak pernyataan cinta dan pinangan pemuda-pemuda yang menggandrunginya.

   Biarpun ia belum menerima Bong Kin yang menyatakan cinta itu sebagai pria pilihannya, namun ia sungguh tertarik kepada Bong Kin. Pemuda itu selain sopan dan ramah, juga kata-katanya penuh madu penuh rayuan yang menggetarkan hatinya. Li Ai menghela napas panjang. Ketika teringat kepada Bong Kin yang menjadi sahabatnya, ia semakin terpukul dan merasa kehilangan. Ingatan akan pemuda yang telah menyatakan cinta kepadanya itu membuat ia teringat akan keadaan dirinya yang telah ternoda. Maka tak dapat ditahannya lagi Li Ai menangis tersedu-sedu tanpa suara karena ia menahan agar tangisnya tidak terdengar oleh orang lain. Sebuah tangan dengan lembut memegang pundaknya. Li Ai terkejut dan mengangkat muka memandang. Kiranya Siang Lan sudah berdiri di belakangnya.

   "Li Ai, mengapa engkau menangis? Apakah engkau masih berduka karena nasibmu dahulu itu?" Li Ai menggelengkan kepala.

   "Hemm, apakah engkau merasa menyesal meninggalkan rumahmu dan tinggal di tempat sunyi ini?" Li Ai cepat menggelengkan kepala dan menjawab.

   "Tidak, Enci, aku senang sekali tinggal di sini bersamamu. Aku hanya...... sedih teringat kepada...... seorang sahabat baikku......"

   "Sahabat baikmu? Siapakah itu, Li Ai?"

   "Dia...... dia putera Bong Wan-gwe (Hartawan Bong) sahabat mendiang Ayahku yang tinggal di kota raja."

   "Hemm, seorang pemuda?" Wajah ayu itu menjadi kemerahan.

   "Dia bernama Bong Kin dan sebelum terjadi malapetaka menimpa keluargaku, Bong Kongcu itu telah menyatakan bahwa dia...... cinta padaku dan akan meminangku......"

   "Ah, dan engkau juga cinta padanya?" Li Ai hanya mengangguk perlahan dan menundukkan mukanya.

   "Kalau begitu, biar aku mencarinya dan kuberitahuan bahwa engkau berada di sini. Kalau memang dia mencintamu, tentu dia akan datang dan meminang ke sini."

   "Tapi...... tapi, Enci, keadaanku sekarang...... aku sudah ternoda...... bagaimana mungkin aku menjadi isterinya?" Li Ai terisak sedih.

   "Mengapa tidak mungkin? Kalau memang Bong Kongcu itu mencintamu, Li Ai, hal itu pasti bukan merupakan halangan. Kau tunggu saja di sini, aku akan ke kota raja mencarinya dan memberitahu padanya bahwa engkau sekarang tinggal di sini. Kalau dia mencintamu tentu dia akan datang menjemputmu di sini."

   "Akan tetapi...... kalau dia datang, apa yang harus kuperbuat? Apa yang harus kukatakan padanya? Apakah aku harus berterus terang mengatakan bahwa aku telah...... telah...... dinodai dua orang tokoh Pek-lian-kauw jahanam keji itu? Enci aku takut......"

   "Li Ai, kalau engkau memang mencintanya, engkau tidak perlu takut dan kalau dia memang mencintamu, dia akan memaklumi keadaanmu yang tidak berdaya dan menaruh kasihan kepadamu. Memang sebaiknya berterus terang, karena kalau engkau sembunyikan dan kemudian dia mengetahui, hal itu sungguh tidak baik jadinya. Nah, kautunggu saja di sini!"

   Siang Lan lalu pergi meninggalkan Lembah Selaksa Bunga menuju ke kota raja. Dalam perjalanan yang dilakukannya dengan cepat ini, Siang Lan banyak melamun. Ia tidak dapat melupakan pria yang telah menolongnya ketika ia dikeroyok tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang lihai. Bagaimana mungkin ia dapat melupakan orang itu? Tanpa pertolongannya, tentu ia dan Li Ai telah tewas atau terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw. Ia merasa menyesal sekali tidak sempat berkenalan dengan penolongnya itu.

   Sudah dua kali ia ditolong orang tanpa mengenal penolongnya. Yang pertama ketika ia dikeroyok oleh Cin Kok Tosu dan Cia Kun Tosu, dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang memperkosa Li Ai, ia dibantu orang yang tidak memperlihatkan diri dengan sambitan batu ke arah dua orang lawannya itu, kemudian ketika ia roboh pingsan, ada yang mengobatinya sehingga ia terbebas dari racun. Ia tidak sempat melihat siapa penolongnya yang pertama itu. Kemudian, untuk kedua kalinya ia ditolong, bahkan diselamatkan orang dan ia masih sempat melihat penolongnya walaupun ia tidak sempat mengetahui siapa nama penolongnya itu. Apakah dia juga yang dulu pernah menolongnya tanpa ia lihat orangnya?

   Ia tidak dapat melupakan wajah laki-laki penolongnya itu dan ingin sekali ia bertemu untuk sekadar mengucapkan terima kasihnya. Bahkan ada harapan yang lebih dari sekadar mengucapkan terima kasih, yaitu ia ingin sekali memperdalam ilmu silatnya, berguru kepada laki-laki itu. Dari gerakan orang itu, ia tahu benar bahwa dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan kalau ia dapat berguru kepadanya, mungkin ia akan mampu kelak membalas dendamnya kepada Thian-te Mo-ong, jahanam berkedok setan yang telah memperkosanya dan menghancurkan kebahagiaan hidupnya. Akan tetapi, ke mana ia harus mencari penolongnya itu? Ia hanya pernah melihatnya, mengenal wajahnya akan tetapi tidak tahu siapa namanya dan di mana tempat tinggalnya.

   Teringat akan kenyataan ini, hatinya merasa kecewa dan murung. Ia lalu mengerahkan gin-kangnya dan berlari cepat sekali menuju ke kota raja. Kalau ia sendiri tidak mungkin membangun penghidupannya yang sudah runtuh dan mustahil dapat hidup berbahagia, setidaknya ia dapat membantu Li Ai untuk mulai hidup baru, berbahagia bersama pria yang dicintanya! Bong Kin atau yang biasa dipanggil Bong Kongcu (Tuan Muda Bong) adalah putera tunggal Bong Wan-gwe (Hartawan Bong), seorang pedagang rempah-rempah yang kaya raya di kota raja. Seperti sudah lajim terjadi, baik di kota-kota daerah atau di ibu kota (kota raja), para hartawan selalu berhubungan dekat dan akrab dengan para pembesar atau pejabat tinggi. Dua golongan masyarakat ini memang saling membutuhkan dan saling bantu.

   Si Pembesar membantu dengan kekuasaan jabatan yang dipegangnya, sebaliknya Si Hartawan membantu dengan harta yang dimilikinya. Kerja sama ini mendatangkan keuntungan kedua pihak. Yang kaya menjadi semakin kaya dan Sang Pembesar pun memperoleh hasil yang ribuan kali lipat besarnya daripada gajinya yang dia dapatkan dari pemerintah. Demikian pula dengan Hartawan Bong. Perusahaannya, yaitu berdagang rempah-rempah menjadi semakin besar karena dengan perlindungan pembesar yang berwenang, dia memiliki monopoli atas bermacam-macam rempah-rempah terpenting sehingga dia dapat mengendalikan harga hasil bumi itu dan memperoleh keuntungan yang berlipat ganda.

   Tentu saja sebagian keuntungan itu lari ke dalam kantung pembesar yang melindunginya. Siapa yang menderita rugi? Tentu saja pertama adalah rakyat kecil, terutama para petani yang menanam rempah-rempah itu karena harganya ditekan serendah-rendahnya oleh Hartawan Bong sebagai pembeli tunggalnya. Hubungan Hartawan Bong dengan para pembesar di kota raja amat dekat. Dia tidak sayang menghamburkan uang untuk dapat mengikat persahabatan dengan para pembesar. Maka, Hartawan Bong mengenal hampir seluruh pejabat sipil maupun militer yang berkuasa waktu itu di kota raja, termasuk mendiang Panglima Kui Seng.

   Biarpun dia tidak membutuhkan bantuan dari panglima ini, juga sebaliknya Panglima Kui tidak pernah menerima semacam "upeti" darinya, namun tetap saja Hartawan Bong mendekatinya dengan cara mengirimkan hadiah barang atau makanan pada waktu-waktu tertentu, seperti hari raya dan sebagainya. Bahkan dia sering pula datang berkunjung sekadar untuk bercakap-cakap. Dalam kesempatan ini, Bong Kongcu bertemu dan berkenalan dengan Kui Li Ai dan pemuda hartawan itu jatuh cinta kepada Li Ai. Bong Kongcu bukan seorang pemuda alim. Pemuda berusia duapuluh lima tahun yang tampan gagah, pesolek dan perayu ini terkenal di rumah-rumah pelesir termahal di kota raja.

   Dia sudah banyak pengalaman dan bergaul dengan banyak wanita cantik. Akan tetapi baru sekali ini dia benar-benar jatuh cinta kepada Kui Li Ai. Dia memang belum menikah dengan resmi walaupun sejak berusia duapuluh tahun dia telah mempunyai beberapa orang gadis simpanan sebagai selirnya. Dia melihat keuntungan besar kalau dapat menikahi Kui Li Ai sebagai isterinya. Pertama, Kui Li Ai memiliki kecantikan yang memang menggairahkan di samping memiliki pendidikan tinggi dan juga sebagai puteri panglima tentu saja namanya terhormat. Kedua, kalau dia menjadi mantu Panglima Kui, tentu saja diapun memiliki perlindungan yang kuat dan martabatnya akan naik di mata penduduk kota raja. Bahkan ayahnya juga sudah merasa setuju sekali dan mendukungnya kalau dia ingin berjodoh dengan puteri Panglima Kui.

   Akan tetapi walaupun dia sudah menyatakan cintanya kepada Li Ai, gadis itu belum menjawab, maka dia belum berani mengajukan pinangan. Kemudian, datang malapetaka menimpa keluarga Kui dengan diculiknya Li Ai dan berakibat kematian Panglima Kui Seng. Kemudian, Bong Kongcu mendengar bahwa Kui Li Ai pergi bersama seorang pendekar wanita yang terkenal liar dan ganas bernama Hwe-thian Mo-li. Tentu saja dia merasa kecewa sekali karena keinginannya untuk menikah dengan Li Ai dan menjadi mantu Panglima Kui telah gagal! Dia tidak tahu ke mana harus mencari gadis yang dicintanya itu dan biarpun dia telah menghamburkan uang untuk membiayai pencariannya terhadap Li Ai dengan mengerahkan orang-orangnya, tetap saja tidak berhasil menemukan gadis itu.

   Bong Kongcu mencoba untuk menghibur hatinya dengan bersenang-senang dengan banyak gadis penghibur yang cantik, namun tetap saja dia setiap hari murung teringat kepada Li Ai yang membuatnya tergila-gila. Bagi seorang pemuda yang sedang kasmaran, tergila-gila seperti dia, tidak ada wanita lain yang lebih cantik menarik dan menggairahkan selain gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu. Pada suatu pagi, ketika Bong Kin sedang duduk termenung dan teringat kepada Kui Li Ai, wajahnya muram dan hidangan makanan kecil yang sejak tadi ditaruh oleh pelayan di depannya, di atas meja, tak disentuhnya, muncullah seorang pelayan wanita.

   "Kongcu, di luar ada seorang gadis ingin bertemu dengan Kongcu." Bong Kongcu memandang pelayannya itu dengan mata bersinar.

   "Seorang gadis? Ia...... Nona Kui Li Ai......?"

   "Bukan, Kongcu. Ia seorang gadis yang cantik dan di punggungnya tergantung sebatang pedang. Ia tidak memperkenalkan nama, hanya bilang bahwa ia mempunyai urusan yang amat penting dan katanya Kongcu tentu akan senang mendengarnya."

   Mendengar ini, Bong Kin lalu bangkit dan melangkah keluar dengan heran dan ingin sekali melihat siapa gadis itu. Setelah tiba di luar dia merasa heran sekali melihat seorang gadis yang cantik jelita dan belum pernah dilihatnya. Yang menarik hatinya, gadis ini bukan seperti gadis cantik lainnya yang pernah dikenalnya. Gadis ini selain cantik jelita juga memiliki sikap gagah, dengan sinar mata tajam dan terutama yang membuat ia gagah berwibawa adalah sikapnya ketika berdiri tegak memandangnya. Sebatang pedang yang tergantung di belakang punggungnya menambah kegagahannya. Harus dia akui bahwa selama dia bertualang di antara para gadis cantik, belum pernah dia bergaul dengan gadis cantik yang begini gagah sehingga memiliki daya tarik yang lain daripada gadis lain yang pernah dikenalnya.

   "Nona, siapakah dan ada keperluan apa mencariku?" tanya Bong Kin dengan senyum ramah dan sikapnya yang sopan. Dia memang pandai membawa diri, pandai pula bersikap untuk mendatangkan kesan baik dalam hati para wanita.

   "Apakah engkau yang bernama Bong Kin, putera Bong Wan-gwe?" tanya gadis itu yang bukan lain adalah Hwe-thian Mo-li. Pertanyaannya yang dijawab dengan pertanyaan pula itu tidak membuat Bong Kongcu menjadi marah. Dia tetap tersenyum.

   "Benar sekali, Nona. Aku bernama Bong Kin dan kalau Nona memiliki keperluan denganku, silakan masuk dan duduk di kamar tamu di mana kita dapat bicara dengan baik, tidak berdiri saja di sini. Silakan, Nona." Senang juga hati Siang Lan melihat sikap dan penyambutan yang ramah dan sopan ini. Ia mengangguk dan mengikuti pemuda itu memasuki sebuah ruangan tamu. Setelah duduk berhadapan terhalang meja besar Siang Lan berkata.

   "Bong Kongcu, aku datang sebagai utusan Nona Kui Li Ai......" Siang Lan menghentikan ucapannya ketika melihat betapa wajah pemuda itu tampak berseri, sepasang matanya terbelalak dan dia tampak girang sekali.

   "Aih, berita ini sungguh membahagiakan sekali, Nona! Tolong katakan di mana kini Nona Kui Li Ai dan berita apa yang engkau bawa darinya?" Hati Siang Lan senang melihat sikap pemuda ini yang ternyata tampak girang sekali mendengar tentang Li Ai, menandakan bahwa dia memang mencinta puteri mendiang Panglima Kui itu.

   "Nona Kui Li Ai sekarang tinggal bersamaku di Lembah Selaksa Bunga, Bong Kongcu, dalam keadaan sehat dan selamat." Dengan singkat Siang Lan lalu menceritakan tentang Li Ai yang meninggalkan rumah keluarga Kui karena tidak suka tinggal bersama ibu tirinya yang galak. Bagaimana Li Ai kini berada di Lembah Selaksa Bunga bersamanya. Setelah menceritakan keadaan Li Ai, Siang Lan menatap tajam wajah pemuda yang tampan itu dan bertanya.

   "Kedatanganku ini untuk bertanya kepadamu, Bong Kongcu, apakah benar seperti yang kudengar dari Adik Kui Li Ai bahwa engkau cinta padanya?" Wajah Bong Kin berubah kemerahan, akan tetapi dengan sungguh-sungguh dia berkata,

   "Sesungguhnya, Nona. Aku amat mencinta Nona Kui Li Ai dan aku merasa sedih sekali akan kematian Ayahnya dan semakin sedih ketika mendengar ia pergi meninggalkan rumahnya. Aku telah bersusah payah berusaha untuk mencarinya selama ini, namun tidak berhasil. Maka, sungguh girang sekali hatiku mendengar bahwa ia berada di tempat tinggalmu dalam keadaan sehat dan selamat."

   "Kedatanganku ini hendak menegaskan, apakah sampai sekarang engkau masih tetap mencintanya, Kongcu?"

   "Tentu saja, bahkan semakin mencintanya karena aku merasa iba kepadanya."

   "Dan engkau menginginkan agar ia menjadi isterimu, Kongcu?"

   "Benar, Nona."

   "Kalau begitu, sekarang engkau boleh meminangnya, Kongcu, karena Adik Li Ai yang merasa hidup sebatang kara telah menyatakan kepadaku bahwa kalau engkau meminangnya, ia akan menerimanya dan kini siap untuk menjadi isterimu." Pemuda itu tampak semakin girang.

   "Aih, kedatanganmu membawa berkat bagiku, Nona! Kalau boleh aku mengetahui, siapakah engkau, Nona? Aku pernah mendengar bahwa Adik Kui Li Ai pergi bersama seorang pendekar berjuluk Hwe-thian Mo-li. Apakah...... apakah engkau pendekar itu, Nona?"

   "Tidak salah, Kongcu. Akulah Hwe-thian Mo-li yang melindungi Nona Kui Li Ai dan ia sekarang tinggal bersamaku di Lembah Selaksa Bunga. Setelah berunding dengannya, maka hari ini aku datang untuk minta ketegasan darimu. Setelah kini engkau menyatakan masih mencintanya dan ingin meminangnya, maka kuharap engkau suka berkunjung ke tempat kami agar dapat bertemu dan bicara sendiri dengannya."

   "Wah, aku senang sekali, Li-hiap (Pendekar Wanita)! Aku akan segera mengunjunginya di Lembah Selaksa Bunga. Di manakah lembah itu?" Siang Lan menerangkan di bukit mana lembah itu terletak. Kemudian ia berpamit.

   "Nah, tugasku telah selesai, aku hendak kembali ke Lembah Selaksa Bunga, menceritakan hal ini kepada adik Kui Li Ai. Kami akan siap menyambut kunjunganmu, Bong Kongcu." Bong Kin mengucapkan terima kasih dan mengantar kepergian Siang Lan sampai ke depan gedungnya. Setelah gadis itu pergi, dengan girang dia mengabarkan hal itu kepada ayah ibunya.

   Bong Wan-gwe, seorang laki-laki setengah tua berusia sekitar limapuluh tahun yang bertubuh gendut berwajah ramah mendengar pemberitahuan puteranya dan dia mengerutkan alisnya. Dulu, hartawan ini tentu saja merasa senang dan bangga ketika puteranya menyatakan bahwa puteranya jatuh cinta dan memilih Kui Li Ai untuk menjadi calon isterinya. Pada waktu itu, Bong Wan-gwe merasa bangga kalau memiliki mantu puteri Panglima Kui itu. Akan tetapi sekarang keadaannya sudah lain. Panglima Kui telah tiada, bahkan dia mati dalam keadaan cemar, yaitu dikabarkan bunuh diri setelah mengkhianati negara dengan membebaskan tiga orang tawanan pemberontak Pek-lian-kauw! Tidak ada lagi yang patut dibanggakan kalau dia mempunyai mantu gadis she Kui itu, bahkan akan menurunkan dan merendahkan derajat dan martabatnya!

   "Bong Kin, apakah sudah engkau pikir masak-masak sebelum engkau meminang Kui Li Ai? Ingat, keadaan gadis itu tidak seperti dulu lagi. Ayahnya sudah mati dan Panglima Kui yang sudah almarhum itu bukan seorang panglima terhormat lagi, bahkan dianggap pengkhianat. Masih banyak gadis yang ayahnya memiliki kedudukan tinggi dan lebih terhormat untuk menjadi isterimu. Aku sanggup melamarkan!"

   "Tidak, Ayah! Hatiku sudah bulat mengambil keputusan untuk menikah dengan Kui Li Ai. Aku amat mencintanya, Ayah. Ia gadis yang paling cantik di dunia ini!" Hartawan Bong menghela napas panjang.

   "Jadi sekarang kita akan mengajukan pinangan? Akan tetapi kepada siapa? Siapa yang menjadi pengganti orang tuanya? Siapa yang menjadi walinya?"

   "Aku akan pergi dulu mengunjungi di Lembah Selaksa Bunga untuk merundingkan hal ini dengannya, Ayah. Setelah itu baru kita mengajukan pinangan."

   "Kin-ji (Anak Kin), engkau hati-hatilah kalau pergi ke sana!" kata Nyonya Bong khawatir.

   "Ibumu benar, Bong Kin!" kata Bong Wan-gwe.

   "Tempat itu asing bagimu dan aku mendengar bahwa pendekar wanita yang melindungi Nona Kui itu liar dan ganas. Melihat julukannya Si Iblis Betina Terbang, mungkin saja ia itu memiliki watak jahat. Maka engkau harus membawa rombongan pengawal untuk melindungimu."

   Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan menunggang kuda, Bong Kin dikawal selosin orang laki-laki yang biasa mengawal kiriman barang-barang berangkat meninggalkan kota raja menuju ke bukit yang telah ditunjukkan Siang Lan. Dua belas orang pengawal itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat dan memang pekerjaan mereka menggunakan kekuatan dan ilmu silat untuk mengawal dan melindungi barang atau orang dalam perjalanan. Pada tengah hari mereka tiba di kaki bukit yang dimaksudkan dan berhenti. Pimpinan rombongan pengawal, seorang laki-laki tinggi besar bermuka berewok yang usianya sekitar empatpuluh tahun bernama Gu Sam, berkata kepada Bong Kin.

   "Bong Kongcu, di bukit yang disebut Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga) dulu terdapat sebuah perkumpulan bernama Ban-hwa-pang yang sering melakukan perampasan barang yang dibawa lewat di daerah ini. Akan tetapi sudah beberapa bulan ini tidak ada lagi orang Ban-hwa-san melakukan perampasan dan kabarnya, Ban-hwa-pang telah dibasmi seorang pendekar wanita."

   "Hemm, bukankah yang membasmi itu pendekar wanita berjuluk Hwe-thian Mo-li?" tanya Bong Kin. Gu Sam tampak terkejut.

   "Benar sekali, Kongcu! Bagaimana Kongcu dapat mengetahuinya?" Bong Kin tersenyum bangga.

   "Hwe-thian Mo-li itu sahabatku! Kemarin ia datang berkunjung ke rumahku." Dia tidak bicara lebih lanjut, membiarkan Gu Sam dan orang-orangnya terheran-heran. Dengan kagum Bong Kin dan para pengawalnya kini mendaki bukit dan tiba di Lembah Selaksa Bunga. Daerah perkampungan Ban-hwa-pang yang baru, termasuk lembah yang indah itu kini dikelilingi pagar bambu runcing yang diatur rapi dan dicat warna-warni sehingga tampak nyeni dan indah.

   Di pintu gerbang, yang berada di bawah lereng, sudah berjaga belasan orang anggauta Ban-hwa-pang yang semua terdiri dari wanita. Mereka berpakaian gagah dan terdiri dari tiga regu. Regu pertama memegang tombak, regu kedua memegang golok dan regu ketiga memegang pedang, masing-masing terdiri dari lima orang. Sikap mereka gagah dan wajah mereka rata-rata manis. Melihat sikap para wanita ini, Bong Kin memerintahkan para pengawal untuk turun dari atas kuda masing-masing. Kemudian Gu Sam melangkah maju memberi hormat kepada seorang wanita berpedang yang agaknya memimpin tiga regu itu karena ia berdiri paling depan dan sikapnya berwibawa.

   "Nona, Kongcu kami Bong Kin datang memenuhi undangan Hwe-thian Mo-li," katanya menirukan perintah majikannya tadi.

   "Ban-hwa-pang kami pantang menerima tamu laki-laki. Akan tetapi karena Pang-cu kami sudah memesan dan kini menunggu Bong Kongcu datang menghadap, kami persilakan Bong Kongcu masuk. Yang lain tidak boleh masuk!"

   "Akan tetapi......!" Gu Sam hendak membantah.

   "Tidak ada tapi! Kaum lelaki, tanpa ijin Pang-cu, dilarang masuk perkampungan Ban-hwa-pang!" bentak wanita itu dan limabelas orang rekannya siap meraba gagang senjata mereka. Bong Kongcu memberi isyarat kepada para pengawalnya untuk menunggu di luar dan dia lalu memasuki pintu gapura yang segera tertutup kembali oleh para penjaga wanita.

   "Sialan......!" para pengawal itu mengomel.

   "Entah apa yang terjadi dengan Ban-hwa-pang," kata pula Gu Sam dan dia mengajak para rekannya untuk menunggu dan mengaso di bawah pohon-pohon tidak jauh dari gapura perkampungan Ban-hwa-pang itu.

   Sementara itu, Bong Kin diantar dua orang pengawal wanita memasuki ruangan tamu di mana Hwe-thian Mo-li dan Kui Li Ai sudah duduk menanti. Hwe-thian Mo-li berwajah cerah gembira, akan tetapi Li Ai nampak menundukkan mukanya karena jantungnya berdebar penuh ketegangan dan juga merasa rikuh dan tidak enak hati. Ia harus mengakui dalam hatinya bahwa ia memang mengharapkan untuk dapat menjadi isteri pemuda yang biasanya bersikap lembut dan sopan itu. Begitu Bong Kin memasuki ruangan dan melihat Li Ai sudah duduk di situ, dia segera berseru gembira.

   "Nona Kui......! Ah, betapa girang hatiku dapat bertemu denganmu di sini......!" Hwe-thian Mo-li dan Li Ai bangkit berdiri dan membalas penghormatan Bong Kin yang sudah menjura sambil merangkap kedua tangan depan dada.

   "Bong Kongcu, silakan duduk," kata Hwe-thian Mo-li. Pemuda itu mengucapkan terima kasih dan mengambil tempat duduk berhadapan dengan dua orang gadis itu, dengan jarak cukup jauh dan sopan.

   "Aku merasa senang bahwa Bong Kongcu benar-benar datang berkunjung, hal ini bagiku merupakan bukti akan kesungguhan hati Kongcu. Sekarang, aku memberi kesempatan kepada Adik Kui Li Ai dan Bong Kongcu untuk membicarakan urusan kalian berdua." Setelah berkata demikian, Hwe-thian Mo-li bangkit berdiri dan hendak meninggalkan ruangan tamu itu menuju ke dalam.

   "Enci......!" Li Ai berseru menahan karena gadis ini merasa malu dan juga takut untuk menceritakan apa yang telah menimpa dirinya seperti yang telah ia sepakati dengan Hwe-thian Mo-li bahwa ia akan berterus terang kepada pemuda itu untuk menguji ketulusan cintanya.

   "Li Ai, inilah kesempatan baik bagimu. Jangan sungkan dan malu, di tanganmu sendirilah terletak nasibmu di kemudian hari." Setelah berkata demikian dengan cepat Hwe-thian Mo-li meninggalkan ruangan itu, menuju ke ruangan dalam di mana ia termenung dan duduk seorang diri.

   Gambaran topeng kayu yang menyeramkan itu selalu terbayang di depan matanya dan terkadang tampak bayangan wajah laki-laki setengah tua sederhana dan gagah yang juga penuh rahasia itu, yang telah menolongnya dan yang ingin dia temukan kembali karena ia mempunyai keinginan untuk berguru kepada penolong yang amat lihai itu. Setelah Hwe-thian Mo-li meninggalkan ruangan tamu, suasana di situ menjadi hening sekali. Li Ai masih menundukkan mukanya, tidak berani ia bertemu pandang dengan pemuda yang duduk di depannya, padahal pemuda ini dulu pernah menjadi kenalan baiknya dan mereka sudah sering beramah tamah dan bercakap-cakap. Bong Kongcu yang tidak dapat menahan hatinya lagi untuk berdiam diri.

   "Kui Siocia (Nona Kui), benarkah apa yang kudengar dari Hwe-thian Mo-li?" Terpaksa Li Ai mengangkat mukanya dan baru pertama kali ini sejak pemuda itu datang ia bertemu pandang yang membuat kedua pipinya berubah merah. Ia melihat betapa sinar mata pemuda itu masih seperti dulu, masih jelas membayangkan rasa kagum dan cinta kepadanya! Hanya sebentar saja sinar mata gadis itu bertemu pandang. Ia segera menundukkan pandang matanya dan bertanya lirih.

   "Mendengar apakah Bong Kongcu maksudkan?" Tentu saja ia sudah mendengar dari Siang Lan tentang pertemuan Hwe-thian Mo-li dengan pemuda itu. Akan tetapi ia tidak ingin mendahului percakapan tentang urusan perjodohan itu.

   "Siocia, aku mendengar keterangan dari Hwe-thian Mo-li bahwa engkau sekarang berada di sini, tinggal bersamanya. Aku merasa amat terharu dan iba melihat nasibmu kehilangan Ayahmu dan aku mendengar dari Hwe-thian Mo-li bahwa...... bahwa sekarang engkau...... bersedia menerima...... cintaku, dan engkau akan setuju kalau aku meminangmu untuk menjadi isteriku. Bagaimana, Kui Siocia benarkah apa yang kudengar dari Hwe-thian Mo-li itu?" Setelah mendengar ucapan Bong kongcu itu, rasa sungkan dan malu mulai meninggalkan perasaan Li Ai dan kini ia mengangkat mukanya, memandang wajah pemuda itu penuh selidik karena ia ingin sekali mendapat kepastian apakah benar-benar pemuda hartawan ini mencintanya.

   "Kongcu, apakah benar dan dapat kupercaya ucapanmu bahwa engkau mencintaku?"

   "Aih, Siocia...... perlukah engkau tanya lagi hal ini? Sejak dulu aku mencintamu, sudah kunyatakan berulang kali. Sampai saat ini aku tetap mencintamu, dinda Li Ai...... aku berani bersumpah bahwa hanya engkau yang kuinginkan menjadi isteriku. Dinda Li Ai, engkau sih belum menjawab. Benarkah keterangan Hwe-thian Mo-li bahwa engkau bersedia menerima cintaku dan akan menyetujui kalau keluargaku datang meminangmu untuk menjadi isteriku?" Li Ai mengangguk.

   "Benar, akan tetapi sebelum engkau mengambil keputusan, lebih dulu aku ingin melihat apakah cintamu itu murni, Bong Kongcu."

   "Eh? Apa maksudmu?" Kini dengan sinar mata tajam penuh selidik Li Ai menatap wajah pemuda dan tanpa dihantui rasa malu dan khawatir lagi ia lalu berkata,

   "Ketahuilah, Bong Kongcu, bahwa ketika aku diculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw, aku telah dinodai oleh dua orang pendeta Pek-lian-kauw." Sepasang mata pemuda itu terbelalak, seolah tidak percaya atau tidak mengerti apa yang dimaksudkan Li Ai.

   "Kau...... di...... dinodai......?" tanyanya gagap.

   "Benar, Kongcu. Dua orang tosu Pek-lian-kauw telah memperkosa aku......"

   "Keparat jahanam......!!" Wajah pemuda itu menjadi pucat sekali lalu berubah merah dan dia bangkit berdiri sambil mengepal tinju dengan marah sekali.

   "Tenanglah, Kongcu. Dua orang keparat jahanam itu telah dibunuh oleh Enci...... Hwe-thian Mo-li."

   ðŸŽ‹ðŸ˜€

   

   "Tenang......? Bagaimana aku bisa tenang? Keperawananmu direnggut orang-orang jahat, engkau diperkosa....., engkau bukan perawan lagi. Ahhh......!" Pemuda itu menjatuhkan diri di atas kursi dan tampak lemas, menundukkan muka dan menopang kepalanya dengan kedua tangan.

   Li Ai hanya memandang dan keduanya berdiam diri, tenggelam ke dalam suasana yang amat tidak mengenakkan hati. Berulang-ulang pemuda itu menghela napas panjang dan dari kerongkonganya terdengar suara gerengan lirih seperti mengerang atau merintih. Li Ai mulai tidak sabar melihat pemuda itu hanya berdiam diri saja sambil mengerang dengan wajah muram. Lenyaplah semua sinar kegembiraan yang tadi tampak pada sikap dan wajah Bong kongcu. Maka ia lalu bertanya.

   "Bagaimana sekarang, Bong Kongcu? Apakah engkau masih mencintaku dan ingin meminangku sebagai isterimu?" Sampai beberapa saat lamanya Bong kongcu tidak dapat menjawab, hanya mengangkat muka menatap wajah Li Ai dengan muka pucat dan sinar mata muram. Akhirnya dia berkata.

   "Tentu, aku tetap mencintamu, Li Ai, marilah engkau ikut denganku ke kota raja dan menjadi selirku yang tersayang......"

   "Apa......? Selir......?" Bong Kongcu menghela napas panjang.

   "Benar, Li Ai, menjadi selirku. Aku tetap mencintamu, akan tetapi untuk meminangmu menjadi isteriku...... bagaimana mungkin setelah...... setelah engkau......"

   "Tidak sudi!" Li Ai berseru lalu berlari keluar dari ruangan itu meninggalkan Bong Kongcu sambil menutupi muka dengan tangan dan menahan suara tangisnya. Bong Kongcu bangkit mengejar,

   "Li Ai......!" Akan tetapi tiba-tiba Hwe-thian Mo-li muncul di pintu sehingga pemuda itu mundur kembali.

   "Orang she Bong! Engkau telah menghina adikku Kui Li Ai! Engkau memandang rendah Adikku! Engkau bilang hendak datang meminang ia sebagai isterimu, ternyata engkau menghinanya dengan mengatakan hendak mengambilnya menjadi selirmu! Engkau pemuda berengsek, sombong dan cintamu palsu! Engkau bilang mencinta akan tetapi merendahkan dan menghinanya!"

   "Nona, aku tidak berbohong, aku memang mencintanya. Akan tetapi bagaimana mungkin ia menjadi isteriku? Ia sudah bukan perawan lagi, hal ini tentu akan mencemarkan nama dan kehormatanku!"

   "Omong kosong! Engkau tidak mencinta Li Ai, tidak mencinta orangnya! Yang kau cinta hanya keperawanannya! Engkau munafik, berlagak terhormat akan tetapi sebetulnya engkau rendah dan hina. Engkau kotor berlagak bersih! Engkau menganggap Li Ai yang kehilangan keperawanannya karena dipaksa dan diperkosa orang sebagai hal yang kotor! Dan engkau sendiri bagaimana? Apakah engkau berani mengatakan bahwa engkau tidak kehilangan keperjakaanmu? Engkau menggauli wanita-wanita dengan sadar dan kausengaja, dan engkau masih menganggap dirimu bersih dan terhormat! Munafik berengsek!"

   "Nona, engkau sungguh tidak adil! Aku sama sekali tidak menyalahkan Li Ai karena ia diperkosa dan tidak berdaya. Akan tetapi jelas aku tidak mungkin mengambilnya sebagai isteriku. Ah, kalau saja ia tidak menceritakan tentang perkosaan itu kepadaku, tentu ia akan kupinang sebagai isteriku......"

   "Bohong! Aku mengenal laki-laki macam kamu ini! Kalau ia tidak menceritakan dan kemudian engkau mengetahui hal itu, pasti engkau akan menceraikannya karena ia tidak berterus terang, engkau tentu akan mengatakan ia berbohong dan menipumu. Engkau akan makin menghinanya! Jahanam busuk macam engkau ini patut dihajar!"

   "Hwe-thian Mo-li, engkau sungguh keterlaluan!" teriak Bong Kongcu dengan marah.

   "Keterlaluan? Huh, kau manusia kotor bersembunyi di balik hartamu. Kaukira harta dan keadaanmu yang terhormat itu dapat menutupi kekotoranmu? Harta, kedudukan, kepandaian, hanya pakaian saja. Kalau dikenakan orang yang memang kotor, tetap saja tampak kekotorannya yang menjijikkan! Pergi kau, sebelum aku kehilangan kesabaran dan kuajar engkau!"

   "Hwe-thian Mo-li, aku akan mengerahkan orang-orangku untuk menghukummu karena engkau berani menghinaku!" teriak Bong Kongcu.

   "Wuut...... plak-plak......!"

   "Aduhh......!! Bong Kin terhuyung ke belakang. Ke dua tangannya menutupi ke dua pipinya yang bengkak-bengkak dan darah mengalir dari ke dua ujung bibirnya yang pecah-pecah. Dia lalu berlari keluar, diikuti Hwe-thian Mo-li yang marah-marah.

   "Pergi, kau anjing Bong!" bentaknya sambil mendorong-dorong punggung Bong Kin sehingga terhuyung-huyung menuju ke pintu gerbang perkampungan Ban-hwa-pang. Setelah keluar dari pintu gerbang, duabelas orang pengawal segera menyambut dan mereka merasa kaget dan heran melihat Bong Kongcu keluar terhuyung-huyung, mukanya bengkak-bengkak dan kedua ujung mulutnya berlepotan darah. Mereka juga melihat betapa seorang gadis cantik dengan mata mencorong muncul dan memaki Bong Kongcu, mengusirnya.

   "Pergi kamu, jahanam busuk!" Melihat selosin orang pengawalnya, bangkit semangat Bong Kongcu. Dia bukan seorang pemuda hartawan yang biasa bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi baru saja dia dihina dan ditampar Hwe-thian Mo-li padahal dia tidak merasa bersalah. Maka tentu saja hatinya menjadi panas dan sakit. Kini dia berkata kepada para pengawalnya.

   "Perempuan itu telah menghina dan memukulku. Kalian balaskan sakit hatiku ini!" Mendengar perintah Bong Kongcu, selosin orang pengawal tukang pukul itu serentak maju mengepung Siang Lan. Mereka tadi memang sudah mendongkol karena tidak diperbolehkan memasuki perkampungan itu.

   Kini melihat majikan mereka disakiti dan mereka menerima perintah untuk membalaskan, kemarahan mereka ditumpahkan kepada gadis yang memaki dan mengusir Bong Kongcu. Akan tetapi karena yang mereka hadapi itu seorang gadis cantik, mereka kini berlumba untuk meringkusnya agar dapat mereka serahkan kepada Bong Kongcu, biar majikan mereka itu sendiri yang menghukumnya. Melihat betapa selosin orang itu mengepungnya lalu menjulurkan tangan seolah hendak berlumba menangkapnya, Siang Lan menjadi marah sekali. Tubuhnya berkelebat, kedua tangannya menampar-nampar dan kedua kakinya menendang-nendang. Akibatnya, selosin orang itu mengaduh dan tubuh mereka berpelantingan disambar tamparan atau tendangan.

   Dua belas orang tukang pukul itu terkejut bukan main, akan tetapi juga marah dan penasaran sekali. Sambil meringis kesakitan mereka bangkit dan mencabut senjata golok mereka. Pada saat itu, belasan orang wanita anggauta Ban-hwa-pang keluar dari pintu gerbang dengan senjata di tangan. Mereka adalah tiga regu yang bersenjata tombak, golok, dan pedang masing-masing lima orang. Agaknya mereka hendak maju menghadapi selosin tukang pukul yang sudah mencabut golok mereka itu. Akan tetapi Siang Lan yang tahu benar bahwa para anggautanya belum pandai dan kuat benar, tidak ingin melihat mereka terluka. Maka ia dengan nyaring berseru.

   "Kalian diam dan..... lihat saja betapa aku menghajar anjing-anjing jantan ini!"

   Mendengar seruan ini, tentu saja limabelas orang anggauta Ban-hwa-pang itu tidak berani membantah dan mereka lalu berdiri di luar pintu gerbang dengan tertib. Siang Lan yang sudah menjadi marah sekali mengingat akan nasib Li Ai yang ditolak dan dipermalukan Bong Kin, melihat betapa duabelas orang anak buah pemuda hartawan itu mengepungnya dengan golok di tangan, ia cepat mencabut Lui-kong-kiam yang mengeluarkan sinar kilat mengerikan. Akan tetapi sebelum ia bergerak, pada saat itu ia mendengar suara berbisik.

   "Hwe-thian Mo-li, tidak baik membunuhi mereka yang hanya melakukan perintah majikan mereka!" Siang Lan terkejut.

   Suara itu berbisik dekat sekali dengan telinga kirinya. Ia cepat menengok ke kiri namun tidak tampak ada orang yang berbisik itu! Melihat gadis yang sudah mgncabut pedang itu kini tampak seperti bimbang atau bingung, duabelas orang tukang pukul mengira bahwa ia merasa jerih menghadapi mereka. Hal ini membesarkan hati mereka dan sambil berteriak-teriak mereka pun langsung menyerang dari sekeliling Siang Lan. Belasan golok itu menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuh Siang Lan sehingga limabelas orang anak buah Ban-hwa-pang yang menonton merasa ngeri karena bagaimana mungkin ketua mereka dapat lobos dari serangan duabelas batang golok itu?

   Akan tetapi, tentu saja bagi Siang Lan, serangan selosin batang golok itu bukan merupakan bahaya karena ia melihat betapa golok-golok itu digerakkan oleh tenaga kasar yang hanya mengandalkan otot. Ia segera memutar pedangnya dengan putaran yang luar biasa cepatnya sehingga yang tampak hanya sinar kilat bergulung-gulung menyelimuti tubuh Siang Lan. Segera terdengar bunyi berdencingan ketika golok-golok yang menyerang itu, bertemu dengan sinar kilat, disusul teriakan mereka yang tiba-tiba kehilangan golok mereka yang patah-patah dan terpental lepas dari tangan mereka. Hwe-thian Mo-li

sudah menggerakkan pedang dan kalau saja pada saat itu tidak terdengar lagi bisikan.

   "Jangan bunuh!?' tentu pedangnya sudah membuat buntung leher selosin orang pengeroyok itu. Entah mengapa, suara bisikan itu amat berwibawa baginya dan Siang Lan menahan serangan pedangnya, kemudian hanya menggerakkan tangan kiri dan kaki berulang-ulang. Untuk kedua kalinya, kini lebih kuat lagi, mereka terpelanting roboh disambar tamparan atau tendangan! Duabelas orang itu kini kehilangan nyali mereka.

   


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 05

   Selain tamparan atau tendangan yang mereka terima untuk kedua kalinya ini membuat mereka patah tulang atau bengkak-bengkak, juga mereka kini baru menyadari benar bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita yang amat lihai. Mereka lalu teringat akan kabar bahwa Ban-hwa-pang telah terbasmi dan dikuasai oleh seorang wanita lihai yang berjuluk Hwe-thian Mo-li. Tentu inilah orangnya! Kini Siang Lan dengan pedang di tangan menghampiri Bong Kongcu yang berdiri dengan wajah pucat. Pemuda ini maklum bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia tidak takut.

   "Hwe-thian Mo-li, engkau mengandalkan kepandaian silatmu untuk menghina kami yang datang sebagai tamu!"

   "]ahanam Bong! Engkau masih berani mengeluarkan ucapan menyalahkan aku? Engkau yang telah menghina Li Ai dan engkau yang harus minta ampun, atau aku akan memenggal batang lehermu!"

   "Aku tidak bersalah apa-apa!"

   "Tidak mengaku salah? Engkau telah menghina Li Ai!"

   "Siapa menghina? Aku tetap mencintanya dan mau membawanya ke rumahku sebagai selir tersayang. Aku tidak dapat memperisterinya karena keadaannya. Aku tidak menghinanya, akan tetapi engkau yang telah menghinaku, memukul aku dan orang-orangku. Engkau sewenang-wenang hwe-thian Mo-li!"

   "Jahanam busuk!" Siang Lan marah sekali dan ia mengangkat pedangnya untuk membacokkan ke leher pemuda hartawan itu. Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang laki-laki telah berdiri di dekat Siang Lan dan dia menahan lengan Siang Lan yang memegang pedang sehingga gadis itu tidak dapat membacokkan pedangnya ke arah leher Bong Kongcu.

   Siang Lan terkejut sekali dan diam-diam ada perasaan girang dan juga penasaran ketika mengenal bahwa laki-laki itu adalah orang yang telah menolong ia dan Li Ai ketika dikeroyok orang-orang Pek-lian-kauw! Ia merasa girang karena memang ia ingin berguru kepada orang ini, dan ia merasa penasaran karena orang itu kini menahan lengannya yang hendak membunuh Bong Kongcu. Ia mengerahkan tenaga saktinya dan menggerakkan lagi lengan kanannya, akan tetapi tetap saja ia tidak mampu membacokkan pedangnya karena tangan kiri orang yang menahan lengannya itu kuat bukan main! Siang Lan adalah seorang gadis yang tidak pernah takut menghadapi siapapun juga. Kini ia merasa amat penasaran dan marah. Tangan kirinya lalu bergerak mendorong ke arah dada laki-laki yang menghalangi niatnya membunuh Bong Kin.

   "Wuut...... plakk!" Telapak tangannya bertemu dada orang itu dan menempel, akan tetapi yang didorongnya itu sama sekali tidak terdorong dan ia bahkan merasakan betapa telapak tangan kirinya menjadi panas seperti dibakar!

   "Tidak perlu membunuh, dia tidak cukup pantas untuk dibunuh!" kata laki-laki itu dan kini dia melepaskan tangannya dari lengan Siang Lan, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Bong Kin.

   "Engkau pemuda yang tidak menghargai wanita, memandang rendah wanita yang tidak berdaya. Pergilah dan bawa semua anak buahmu dari sini!"

   Orang itu mendorong dari jarak jauh dan tubuh Bong Kin melayang bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, lalu terbanting jatuh terguling-guling. Beberapa orang anak buahnya yang tidak begitu parah segera menolong dan memapahnya, lalu mereka semua meninggalkan tempat itu dengan terpincang-pincang dan saling menolong untuk naik menunggangi kuda mereka. Kini Siang Lan berhadapan dengan laki-laki itu yang bukan lain adalah Sie Bun Liong. Semenjak terjadi peristiwa di Ban-hwa-pang, yaitu setelah di luar kesadarannya dia memperkosa Hwe-thian Mo-li, Sie Bun Liong yang merasa berdosa dan amat menyesal itu tidak pernah meninggalkan Hwe-thian Mo-li.

   Mula-mula dia menggunakan topeng, mengaku bernama Thian-te Mo-ong, memberi semangat hidup kepada gadis itu agar tetap hidup dan memperdalam ilmunya sehingga kelak dapat membalas dendam dan membunuh Thian-te Mo-ong yang mengaku sebagai pelaku pemerkosaan itu. Kemudian, Sie Bun Liong tidak pernah meninggalkan Hwe-thian Mo-li, selalu membayanginya dan dia selalu menolong kalau gadis itu terancam bahaya. Sekarang pun dia muncul, bukan untuk melindunginya, melainkan untuk mencegah gadis itu melakukan pembunuhan dengan kejam.

   "Kenapa engkau dulu menolong aku dari pengeroyokan orang-orang Pek-lian-kauw? Bukankah engkau pula yang dulu mengobatiku ketika aku pingsan?" Sie Bun Liong menjawab tenang.

   "Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya yang terancam bahaya dan menderita kesusahan."

   "Akan tetapi mengapa engkau sekarang menentangku dan menghalangi aku membunuh pemuda Bong yang berengsek bersama anak buahnya itu?"

   "Yang kutentang adalah kekejamanmu akan membunuh orang-orang yang sudah tidak berdaya, dan sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk mengingatkan sesamanya yang tersesat." Siang Lan merasa heran terhadap dirinya sendiri mengapa ia tidak menjadi marah dan tidak merasa benci terhadap orang yang telah menghalangi niatnya membunuh Bong Kongcu dan anak buahnya tadi. Mungkin karena aku mengharapkan dia akan membantunya memperdalam ilmu silatku, pikirnya menghibur diri sendiri.

   "Aku telah berhutang budi kepadamu, Paman. Bolehkah aku mengetahui namamu?" tanya Siang Lan. Sie Bun Liong tersenyum mendengar gadis itu menyebutnya paman. Memang sudah sepatutnya kalau dia menjadi paman gadis itu. Usianya sudah empatpuluh dua tahun sedangkan Hwee-thian Mo-li yang liar dan ganas itu paling banyak berusia duapuluh dua atau duapuluh satu tahun!

   "Tentu saja boleh, Nona. Namaku sendiri aku sudah lupa karena tidak kupergunakan lagi. Maka engkau boleh mengenalku sebagai Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama)."

   "Paman Bu-beng-cu, aku adalah Hwe-thian Mo-li, ketua dari Ban-hwa-pang. Karena Paman sudah berkali-kali menolongku, maka kupersilakan Paman memasuki perkampungan kami karena aku ingin membicarakan sesuatu denganmu. Silakan, Paman." Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, Nona. Ban-hwa-pang kini merupakan perkumpulan wanita, bagaimana aku boleh memasukinya? Kalau engkau mempunyai kepentingan untuk dibicarakan denganku, kita dapat bicara di sini saja." Siang Lan menoleh kepada belasan orang anak buah Ban-hwa-pang yang masih berdiri di depan pintu gerbang dan memberi isyarat kepada mereka agar masuk kembali ke dalam perkampungan Ban-hwa-pang. Setelah mereka semua masuk, ia menghadapi lagi Bu-beng-cu dan berkata sambil menatap wajah laki-laki itu.

   "Begini, Paman Bu-beng-cu. Aku telah melihat ilmu kepandaian silat Paman yang amat tinggi. Karena itu, sejak Paman membantuku, telah timbul niat dalam hatiku untuk dapat belajar ilmu silat darimu. Demikianlah, Paman, aku ingin berguru padamu jika Paman tidak berkeberatan." Bu-beng-cu mengangguk-angguk.

   "Hwe-thian Mo-li, engkau adalah seorang wanita yang telah memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi dan kukira jarang ada musuh yang dapat mengalahkanmu. Kenapa engkau masih hendak belajar silat lagi?"

   "Paman Bu-beng-cu, aku harus memperdalam ilmu silatku karena aku mempunyai seorang musuh besar yang tinggi sekali ilmu silatnya. Tanpa memperdalam ilmuku, tak mungkin aku dapat membalas dendam terhadap musuh besarku itu. Karena itu, Paman, janganlah kepalang menolongku. Terimalah aku sebagai muridmu dan aku selamanya akan merasa berterima kasih sekali kepadamu!"

   "Hemm, Hwe-thian Mo-li, melihat kesungguhan hatimu, aku tidak keberatan untuk mengajarkan ilmu silat untuk memperdalam ilmumu. Akan tetapi aku baru mau mengajarmu kalau engkau dapat memenuhi syarat-syaratnya."

   "Aku akan melakukan apa pun yang menjadi syaratnya, Paman Bu-beng-cu!" kata Hwe-thian Mo-li dengan sungguh-sungguh karena baginya, tujuan utama sisa hidupnya hanya untuk membalas dendam dan membunuh Thian-te Mo-ong!

   "Syarat pertama adalah bahwa aku tidak mau kausebut guru karena aku sejak dulu tidak berkeinginan mengambil murid. Sebut saja aku Bu-beng-cu, tanpa embel-embel Suhu, dan engkau tidak boleh memberitahukan siapa pun bahwa engkau muridku."

   "Akan kulaksanakan syarat itu, Paman, sungguhpun syaratmu ini aneh. Baik, aku akan selalu menyebutmu Paman Bu-beng-cu."

   "Syarat kedua, aku tidak mau tinggal di dalam perkampungan Ban-hwa-pang karena sebagai seorang laki-laki, tidak pantas tinggal di perkampungan wanita. Aku tinggal di dalam guha di lereng sebelah utara sana. Kalau engkau belajar ilmu, engkaulah yang harus datang ke sana setiap hari di waktu matahari mulai bersinar. Engkau akan kuberi pelajaran dan latihan sampai siang hari."

   "Baik, Paman. Syarat kedua ini pun akan kutaati dan kulaksanakan dengan baik."

   "Sekarang syarat ketiga dan terakhir, namun aku merasa sangsi apakah engkau akan dapat memenuhi syarat ini ataukah tidak."

   "Apakah syarat itu, Paman. Kedua syarat pertama amat mudah kulaksanakan dan betapa pun berat syarat yang terakhir, pasti akan kutaati dan kulaksankan!" kata Siang Lan penuh semangat karena hatinya merasa girang sekali bahwa laki-laki yang amat lihai ini sudah mau mengajarinya ilmu silat tinggi.

   "Syarat terakhir ini harus kaujanjikan dengan sumpah."

   "Baik, Paman! Aku akan bersumpah. Katakan apa syarat itu!"

   "Syaratnya adalah, setelah engkau mempelajari ilmu-ilmu dariku, engkau harus bersumpah kelak tidak akan melakukan pembunuhan lagi. Selama hidupmu engkau tidak boleh lagi bersikap ganas dan kejam, mudah membunuh orang!" Wajah Siang Lan berubah agak pucat alisnya berkerut dan mukanya muram. Ia segera teringat kepada Thian-te Mo-ong. Justeru ia ingin memperdalam ilmu silatnya agar kelak dapat membunuh musuh besar yang telah merusak kebahagiaan hidupnya! Biarlah ia selamanya tidak boleh membunuh orang, asalkan ia mencapatkan ilmu-ilmu untuk membunuh Thian-te Mo-ong!

   "Paman, bagaimana kalau aku diserang orang dan terancam bahaya maut di tangan musuh itu?"

   "Kalau terpaksa sekali untuk membela diri, tentu saja itu bukan merupakan kekejaman membunuh. Maksudku kalau masih ada jalan lain engkau sama sekali tidak boleh membunuh orang. Cukup dengan mengalahkan, merobohkan dan melukai ringan saja. Bagaimana, apakah engkau sanggup? Kalau sanggup, bersumpahlah sekarang juga!" Karena merasa tersudut, Siang Lan lalu nekat. Ia berlutut dan mengucapkan sumpahnya.

   "Aku bersumpah untuk tidak membunuh orang lagi kecuali membela diri karena terancam bahaya. Sumpah ini berlaku untuk semua orang di dunia, kecuali satu orang, yaitu Thian-te Mo-ong. Aku bersumpah untuk membunuhnya karena membalas sakit hati dan membunuhnya merupakan satu-satunya keinginanku dalam hidup ini!" Mendengar sumpah itu, Bu-beng-cu memandang dengan wajah pucat, alisnya berkerut, matanya tampak gelisah dan dia menghela napas panjang.

   "Hwe-thian Mo-li, agaknya engkau tidak dapat mengampuni musuhmu yang satu itu......"

   "Mengampuninya? Hemm, mau rasanya aku membunuhnya sampai seribu kali untuk menebus dosanya terhadap diriku! Aku menggunakan sisa hidupku ini hanya untuk membalas dendam kepadanya, Paman. Apa pun akan kujalani untuk dapat berhasil membunuhnya!"

   "Baiklah, Hwe-thian Mo-li. Harap engkau memegang sumpahmu, yaitu tidak akan membunuh siapa-siapa lagi kecuali musuh besarmu yang satu itu." Dia menghela napas lagi. Memang sejak terjadi peristiwa jahanam di malam itu, dia sudah mengambil keputusan. Untuk menebus dosanya, dia harus mati di tangan gadis ini.

   Akan tetapi sebagai seorang gagah, baik dia sendiri maupun Hwe-thian Mo-li, kematiannya harus terjadi sewajarnya, yaitu dalam perkelahian. Dan dia sendiri yang akan melatih gadis ini agar tingkat kepandaiannya cukup kuat untuk mengalahkan dan membunuhnya! Dengan cara ini, bukan saja dia dapat menebus dosanya, juga dia dapat membuat Hwe-thian Mo-li tidak putus asa dan memiliki semangat untuk terus hidup dan berjuang. Selain itu, dia juga dapat mengubah sifat gadis yang tadinya liar dan ganas, mudah membunuh orang itu dengan ikatan sumpahnya. Dengan mengorbankan dirinya kelak, dia dapat membuat banyak kebaikan, bagi dirinya sendiri, bagi Hwe-thian Mo-li, juga bagi rakyat karena mereka kini terbebas dari ancaman maut di tangan Si Iblis Betina Terbang ini.

   "Sekarang aku hendak kembali ke guhaku. Mulai besok pagi, setelah matahari tampak bersinar, datanglah ke sana dan kita mulai latihan."

   Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Siang Lan, sekali berkelebat Bu-beng-cu telah lenyap dari situ. Melihat gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang demikian hebatnya, Siang Lan merasa kagum dan juga girang sekali. Ia tahu bahwa dalam hal gin-kang ia masih kalah jauh. Siang Lan kembali ke dalam perkampungan, terus memasuki rumahnya dan ia mendapatkan Li Ai tengah menangis tanpa suara sambil membenamkan muka pada bantal...... Melihat kedua pundaknya yang tergoyang-goyang itu Siang Lan tahu bahwa gadis itu sedang menangis. Ia duduk di tepi pembaringan dan menyentuh pundak Li Ai.

   "Li Ai, hentikan tangismu. Tiada gunanya menangis. Engkau masih beruntung tidak jadi berjodoh dengan pemuda macam itu." Li Ai bangkit dan merangkul Siang Lan, kini tangisnya mengguguk.

   "Enci Lan...... ahh, kenapa aku tidak mati saja......??" rintihnya memelas. Siang Lan dapat merasakan kepedihan di hati Li Ai, maka teringat akan keadaan dirinya sendiri, tak terasa lagi ia pun balas merangkul dan sepasang matanya basah.

   "Tenang, dan sabarlah, Li Ai, jangan putus asa. Engkau tidak menderita seorang diri. Aku pun pernah ingin mati saja seperti engkau sekarang ini, aku pun pernah menjadi korban kebiadaban laki-laki." Li Ai tiba-tiba menghentikan tangisnya saking terkejut dan heran mendengar ucapan Siang Lan itu.

   "Kau......? Maksudmu...... engkau juga pernah diperkosa orang, Enci?" Siang Lan mengangguk dan menghela napas panjang.

   "Benar, Li Ai. Dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak, aku telah diperkosa seorang manusia iblis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali."

   "Akan tetapi, engkau begini lihai, bagaimana sampai dapat terjadi hal itu?"

   "Aku tertotok, dan orang itu memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dariku. Tadinya aku pun sudah putus asa dan ingin bunuh diri saja. Akan tetapi aku teringat bahwa aku tidak boleh mati sebelum membalas dendam, sebelum membunuh musuh besarku itu! Bangkit kembali semangatku dan aku harus memperdalam ilmuku sehingga dapat mengalahkan musuh besarku."

   "Aih, Enci, sungguh tidak pernah kusangka bahwa engkau pun pernah mengalami malapetaka seperti aku. Siapakah musuh besarmu itu, Enci?"

   "Dia seorang pengecut benar, tidak berani memperlihatkan wajahnya yang selalu mengenakan sebuah topeng kayu dan dia mengaku berjuluk Thian-te Mo-ong. Belum pernah aku mendengar nama julukan itu di dunia kang-ouw. Aku tidak dapat mencarinya karena dia tidak mau memberitahukan di mana tempat tinggalnya. Akan tetapi dia berjanji dengan penuh kesombongan bahwa setiap tahun dia akan datang mencariku untuk mengadu ilmu."

   "Aku akan memperdalam ilmuku dan aku sudah menemukan seorang guru, Li Ai, yaitu laki-laki setengah tua yang dulu menolong kita melarikan diri ketika dikepung orang-orang Pek-lian-kauw. Dia itu lihai sekali dan kuharap setelah mendapat gemblengannya, aku akan berhasil membunuh si keparat jahanam pengecut Thian-te Mo-ong!" Siang Lan bicara penuh semangat sambil mengepal tinju. Li Ai yang sudah menghentikan tangisnya karena tertarik oleh keterangan Siang Lan tadi, menghela napas panjang.

   "Enci, bagaimana pun engkau masih mempunyai semangat hidup karena masih memiliki tujuan, yaitu membalas sakit hatimu terhadap orang-orang yang telah memperkosamu. Akan tetapi aku, apa artinya hidup ini? Dua orang yang menghinaku itu telah kau bunuh, dan namaku juga tentu akan tercemar karena Bong Kin itu tentu akan menyiarkan tentang keadaanku yang sudah ternoda. Semua orang di kota raja akan mendengarnya. Ah, apa gunanya aku hidup lebih lama?"

   "Dia tidak akan berani, Li Ai. Aku sudah menghajarnya habis-habisan, bahkan nyaris membunuhnya. Juga selosin orang anak buahnya telah kuberi pelajaran keras. Seandainya dia belum jera dan masih menyiarkan berita tentang dirimu, kelak engkau masih mempunyai banyak kesempatan untuk membalas penghinaannya!"

   "Akan tetapi, apa yang dapat kulakukan terhadap orang she Bong itu, Enci? Aku seorang gadis lemah dan tak berdaya......"

   "Hemm, bukankah aku sudah berjanji untuk mengajarkan ilmu silat kepadamu? Jangan putus asa dan buang jauh-jauh keinginanmu untuk mati itu. Hidupmu masih kau butuhkan dan dibutuhkan banyak orang. Kelak, kalau engkau sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, engkau dapat membantuku untuk memberi hajaran keras kepada para pria yang jahat dan yang menghina kaum wanita. Kita berdua akan malang melintang di dunia kang-ouw, menjadi pembela kaum wanita dan penentang pria yang suka menghina wanita."

   "Bagaimana pendapatmu? Bukankah itu merupakan tujuan sisa hidup kita yang amat baik? Kita perangi para pria yang jahat dan kita bangun Ban-hwa-pang menjadi perkumpulan wanita gagah yang melindungi kaum wanita dari kejahatan laki-laki berengsek seperti Thian-te Mo-ong, dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah mati di tanganku, juga orang-orang macam Bong Kin itu!"

   Mendengar ini, bangkit semangat hidup Li Ai. Ia harus dapat melupakan apa yang telah terjadi kepadanya. Dua orang jahanam yang memperkosanya itu sudah dibunuh Siang Lan, sakit hatinya telah terbalas impas dan ia tidak perlu memikirkan dua orang musuh besar itu lagi. Adapun tentang kegagalannya berjodoh dengan Bong Kongcu, hal itu sama sekali tidak membuat ia berduka atau kecewa karena kenyataannya, ia belum mempunyai perasaan cinta kepada pemuda itu. Hanya sikap dan kata-kata pemuda itu yang membuat ia merasa terhina.

   Biarpun Bong Kongcu telah dihajar oleh Siang Lan, namun pemuda yang menghinanya itu masih hidup. Siang Lan benar, harus mempelajari ilmu silat. Kalau ia sudah kuat dan tangguh ia akan menghajar semua laki-laki macam dua orang tosu Pek-lian-kauw, Bong Kin, dan semua hidung belang mata keranjang yang menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau pemerkosa)! Sisa hidupnya kini mempunyai tujuan! Demikianlah, mulai hari itu, setiap pagi sekali Siang Lan keluar dari perkampungan Ban-hwa-pang untuk menerima gemblengan ilmu dari Bu-beng-cu. Pertama-tama, Bu-beng-cu mengajarkan ilmu untuk memperkuat gin-kangnya hingga gerakannya menjadi semakin ringan dan makin cepat.

   Setelah pada siang harinya ia kembali ke perkampungan, Siang Lan melatih ilmu silat kepada Li Ai yang belajar dengan tekun sekali. Juga para anak buah Ban-hwa-pang menerima latihan agar mereka menjadi lebih kuat. Pekerjaan semua wanita di Ban-hwa-pang mulai dari ketuanya sampai kepada anak buahnya yang tingkatnya paling rendah, setiap hari hanya berlatih ilmu silat. Harta yang dibawa Li Ai dari rumah ayahnya amat bermanfaat bagi Ban-hwa-pang. Perkampungan itu dibangun, dan atas petunjuk Siang Lan dan Li Ai lembah itu ditata dan diperbaiki, tumbuh-tumbuhan bunga beraneka macam itu diatur rapi sehingga lembah itu tampak semakin asri dan pantaslah kalau dinamakan Lembah Selaksa Bunga.

   Lembah yang luas itu dibentuk seperti sebuah taman bunga yang indah, dengan bangunan kecil-kecil mungil, beranda-beranda yang dicat beraneka warna di dekat empang-empang ikan dan bunga teratai. Di beranda-beranda itu digantungi lampu-lampu sehingga kalau malam tiba, lampu-lampu dengan selubung beraneka warna itu menambah indah taman atau lembah itu. Di bagian lain dari lembah itu ditanami tumbuh-tumbuhan obat dan ada pula bagian taman yang-liu (semacam cemara) yang mendatangkan suasana sejuk. Karena setiap hari hanya berlatih ilmu silat dan juga melatih Li Ai dan para anak buah Ban-hwa-pang, maka Siang Lan lupa akan waktu. Apalagi karena Bu-beng-cu setiap hari melatih gin-kang sehingga setelah lewat kurang lebih setengah tahun, gin-kangnya sudah maju pesat dan kini ia bahkan mampu mengimbangi kecepatan gerakan Bu-beng-cu.

   Pada pagi itu, seperti biasa Siang Lan datang ke depan guha yang menjadi tempat tinggal Bu-beng-cu. Laki-laki itu menyambutnya dengan senyum cerah. Begitu berhadapan, Siang Lan seperti terpesona. Laki-laki yang melatihnya akan tetapi tidak mau disebut guru itu tampak segar karena rambutnya yang hitam panjang itu masih basah dan digelung ke atas, diikat pita kuning. Mukanya yang dicukur bersih itu tampak lebih muda dari usianya yang sudah empatpuluh dua tahun. Pakaiannya yang sederhana namun bersih tidak menyembunyikan tubuhnya yang sedang namun tegap. Sepasang matanya bersinar lembut mulutnya tersenyum. Dalam penglihatan Siang Lan pada saat itu, Bu-beng-cu tampak amat gagah dan menarik hati.

   Apalagi mengingat betapa laki-laki ini selain menyelamatkannya dari bahaya juga telah menggemblengnya dengan sungguh-sungguh walaupun tidak mau disebut sebagai guru. Sikapnya selalu lembut, pandang matanya mendatangkan ketenangan dalam hatinya dan senyum serta sikapnya terkadang jelas menunjukkan bahwa Bu-beng-cu menghormati dan menyayangnya. Dan anehnya, selama setengah tahun lebih ini Bu-beng-cu sama sekali tidak pernah mengajak ia bicara tentang keadaan diri masing-masing, seolah dia tidak suka menceritakan riwayat hidupnya dan tidak pula ingin tahu riwayat hidup Hwe-thian Mo-li. Kalau dia bicara, yang dibicarakan tentu soal ilmu mempertinggi gin-kang yang sedang dilatih Siang Lan!

   Pagi ini, Siang Lan sengaja datang lebih pagi daripada biasanya karena ia mengambil keputusan untuk mengajak Bu-beng-cu bicara tentang riwayat mereka masing-masing agar mereka dapat saling mengenal lebih baik. Ia merasa berhutang budi kepada Bu-beng-cu dan ingin mempererat persahabatan karena laki-laki itu tidak mau dianggap guru. Biarlah hubungan guru dan murid ini menjadi hubungan persahabatan yang lebih akrab, demikian pikirnya. Akan tetapi begitu mereka berhadapan, sebelum ia dapat mengeluarkan kata-kata, Bu-beng-cu sudah mendahului menegurnya dengan suara ramah dan senyum tenang dan sabar.

   "Hwe-thian Mo-li, engkau datang pagi benar, lebih pagi dari biasanya." Siang Lan tersenyum. Ia sering merasa heran sendiri mengapa ia yang biasanya mempunyai perasaan tidak senang kepada laki-laki, apalagi semenjak cinta pertama terhadap Sim Tek Kun gagal, ia merasa tidak enak hati dan tidak suka.

   Rasa suka ini hampir berubah menjadi benci terhadap pria setelah ia mengalami peristiwa terkutuk menjadi korban perkosaan itu. Akan tetapi mengapa kalau ia bertemu dengan Bu-beng-cu, ia merasa gembira sekali? Hal ini karena ia merasa berhutang budi dan pria yang satu ini memang lain daripada yang lain. Biasanya setiap ia bertemu laki-laki, mata mereka itu pasti memandangnya bagaikan seekor anjing kelaparan melihat daging seolah sinar mata itu menggerayangi seluruh tubuhnya. Akan tetapi sinar mata Bu-beng-cu ini lain. Selalu lembut tidak pernah terlalu lama mengamati wajahnya, bahkan jarang dapat bertemu pandang karena laki-laki ini selalu mengelak kalau pandang matanya bertemu dengan pandang mata Siang Lan.

   "Paman Bu-beng-cu, aku memang sengaja datang lebih pagi karena aku ingin lebih dulu membicarakan sesuatu denganmu sebelum aku mulai terlatih."

   "Hendak membicarakan apakah, Hwe-thian Mo-li? Katakan saja karena hari ini engkau tidak perlu latihan lagi. Hari ini aku akan menguji sampai di mana kemajuan gin-kangmu selama engkau memperdalamnya lebih dari setengah tahun."

   "Setengah tahun lebih?" Siang Lan berseru kaget karena selama ini ia seolah telah melupakan waktu. Setelah ia mengingat-ingat, hari ini tentu sudah setahun lewat sejak musuh besarnya berjanji untuk menemuinya dan mengadu ilmu! "Kalau begitu, sewaktu-waktu tentu musuh besarku akan muncul mencariku untuk membuat perhitungan dan mengadu ilmu!"

   "Apakah yang ingin kau bicarakan dengaanku?" Bu-beng-cu menunju ke arah batu-batu sebesar perut kerbau yang terdapat banyak di depan guha besar tempat tinggalnya. Mereka lalu duduk di atas batu, berhadapan dalam jarak dua tombak.

   "Begini, Paman. Telah lebih dari setengah tahun kita berhubungan, biarpun bukan sebagai guru dan murid karena engkau tidak mau kusebut guru, setidaknya sebagai sahabat baik. Aku berhutang banyak budi kebaikan darimu, akan tetapi kita tidak saling mengenal riwayat masing-masing. Oleh karena itu, aku harap engkau suka mendengarkan riwayatku kemudian engkau menceritakan riwayatmu kepadaku sehingga perkenalan ini menjadi semakin akrab. Kalau engkau setuju, aku akan menceritakan riwayatku lebih dulu. Bagaimana pendapatmu, Paman?" Bu-beng-cu menghela napas panjang, akan tetapi wajahnya tetap tenang.

   "Terserah kepadamu, Nona." Siang Lan girang sekali mendengar pria itu tidak merasa keberatan. Maka ia lalu menceritakan riwayatnya dengan singkat tanpa ragu, akan tetapi tentu saja tidak mau bercerita tentang kegagalan cintanya dengan Sim Tek Kun, putera pangeran yang menjadi tokoh Kun-lun-pai itu.

   "Sejak kecil aku kehilangan Ayah Ibuku. Aku menjadi yatim piatu dan hidup sebatang kara. Dalam usia sepuluh tahun, aku ditolong dan diambil murid oleh Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu dan dibawa ke Liong-cu-san."

   "Hemm, pantas ilmu silatmu tinggi. Aku pernah mendengar nama besar pahlawan bangsa Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu," kata Bu-beng-cu kagum. Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan) memang terkenal sekali sebagai seorang pendekar patriot yang amat lihai ilmu pedangnya, gagah perkasa dan berjiwa pahlawan.

   "Suhu Pat-jiu Kiam-ong yang memelihara, membesarkan dan mendidikku, maka engkau dapat membayangkan kedukaan dan kemarahanku ketika Suhu dibunuh secara curang oleh lima orang kang-ouw golongan sesat."

   "Hemm, siapakah mereka?"

   "Mereka adalah Leng Kok Hosiang berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga), Toat-beng Sin-to (Golok Sakti Pencabut Nyawa) Liok Kong, Hek-wan (Lutung hitam) Yap Cin, Shan-tung Tai-hiap (Pendekar Shan-tung) Siong Tat, dan Kim-gan-liong (Naga Mata Emas) Cin Liu Ek. Aku dan Sumoi Ong Lian Hong mencari lima orang pembunuh Suhu itu dan akhirnya kami berdua dapat membunuh mereka. Sumoi Ong Lian Hong adalah puteri mendiang Suhu."

   "Kim-gan-liong Cin Liu Ek? Bukankah dia yang tinggal di kota Lun-cong. Akan tetapi sebelum aku tinggal di sini, aku pernah bertemu dengan pendekar itu dan dia ternyata seorang pendekar bijaksana dan tidak terbunuh......"

   "Benar, Paman. Aku tidak membunuhnya karena ternyata di antara lima orang yang kami sangka mengeroyok dan membunuh Suhu, ternyata Kim-gan-liong Cin Lu Ek tidak ikut membunuhnya dan dia tidak bersalah." Bu-beng-cu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Bagus sekali, kebijaksanaanmu itu sebaiknya ditingkatkan dengan tidak melakukan pembunuhan, Hwe-thian Mo-li. Biarpun ada yang bersalah kepadamu, sebaiknya engkau hanya memberi pelajaran kepadanya agar orang itu menyadari kesalahannya dan bertobat. Orang yang melakukan perbuatan jahat ada seorang yang sedang sakit, bukan jasmaninya melainkan sakit rohaninya. Penyakit itu dapat sembuh dan orang yang sehat pun sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit. Orang sesat mungkin saja bertobat dan menjadi baik, seperti kemungkinan orang baik-baik tergoda dan melakukan perbuatan jahat. Kita sama sekali tidak berhak membunuh orang."

   "Akan tetapi, seperti sumpahku, Paman, aku tidak akan membunuh orang lagi kecuali yang seorang itu, musuh besarku Thian-te Mo-ong." Kembali Bu-beng-cu menghela napas panjang.

   "Terserah kepadamu, engkau tentu memiliki alasan kuat untuk berkeras membunuhnya. Lanjutkan ceritamu."

   "Aku selalu menentang kejahatan dan terhadap para penjahat itu aku tidak pernah memberi ampun dan bertindak tegas dan keras sehingga para kaum sesat di dunia kang-ouw memberi julukan Hwe-thian Mo-li kepadaku. Aku tidak peduli akan julukan Iblis Betina, karena aku memang ganas seperti iblis terhadap kaum sesat. Pada suatu hari, aku jatuh pingsan di lereng Ban-hwa-san ini, aku ditangkap oleh Ketua Ban-hwa-pang dan dikeram dalam sebuah kamar dalam keadaan tertotok. Aku tidak berdaya dan pada malam harinya...... muncul...... Thian-te Mo-ong itu...... dia...... menghina aku yang sedang tak berdaya! Karena itulah aku mendendam kepadanya dan aku bersumpah untuk membalas membunuhnya!

   "Setelah jahanam itu pergi dan aku terbebas dari totokan, aku lalu mengamuk. Kubunuh Ketua Ban-hwa-pang berikut semua anak buahnya dan aku menguasai Ban-hwa-pang. Kini akulah Ketua Ban-hwa-pang dan para anggautanya terdiri dari para wanita bekas anak buah Ban-hwa-pang lama. Aku bertemu dengan engkau yang berkali-kali telah menolongku dan melihat kelihaianmu, aku ingin belajar ilmu silat, memperdalam ilmuku agar kelak dapat kupergunakan untuk membalas dendam kepada musuh besarku, dan juga untuk menghadapi Pek-lian-kauw yang jahat dan yang memiliki banyak orang pandai." Siang Lan menghentikan ceritanya dan menatap wajah Bu-beng-cu. Ia merasa heran melihat wajah yang biasanya cerah itu kini tampak agak muram. Melihat Bu-beng-cu kini diam saja sambil mengerutkan alis dan menundukkan mukanya, Siang Lan bertanya.

   "Paman, bagaimana dengan riwayatmu? Sekarang giliranmu untuk menceritakan riwayatmu kepadaku." Bu-beng-cu menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

   "Apakah yang dapat kuceritakan? Tidak ada suatu yang menarik tentang diriku. Apa yang ingin kau ketahui?" Siang Lan maklum bahwa orang tentu hendak menyembunyikan keadaan dirinya, maka namanya pun sudah menunjukkan bahwa dia tidak ingin dikenal orang. Hal ini membuatnya penasaran.

   "Paman, dengan menggunakan nama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) engkau seperti menyangkal dirimu sendiri. Aku ingin mengetahui apakah Paman mempunyai keluarga, isteri atau anak-anak?" Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, Hwe-thian Mo-li, aku tidak mempunyai keluarga, aku hidup sebatang kara, hanya hidup berdua dengan bayanganku yang sering kali menggangguku." Jawaban yang aneh itu membuat Siang Lan menjadi semakin penasaran.

   "Apakah Paman tidak pernah beristeri?"

   "Tidak, sejak kecil aku merantau jauh ke barat dan selama ini aku hanya mempelajari ilmu silat."

   "Akan tetapi sikap Paman lembut dan kata-kata Paman teratur seperti seorang sastrawan." Senyum yang biasanya menghias mulut orang itu kini muncul sehingga hati Siang Lan merasa tenang.

   "Aku suka mempelajari sastra dan aku sudah membaca kitab-kitab suci dari tiga agama, yaitu Hud-kauw (Buddhism), To-kauw (Taosim), dan Khong-kauw (Confucianism)." Diam-diam ada perasaan lega dan girang dalam hati Siang Lan mendengar bahwa Bu-beng-cu tidak mempunyai keluarga seperti juga dirinya sendiri, dan ia pun heran akan dirinya sendiri mengapa merasa girang mendengar akan kesendirian laki-laki itu. Kini mendengar bahwa Bu-beng-cu agaknya ahli akan kitab-kitab tiga agama yang waktu itu memiliki pengaruh besar dalam kebudayaan dan kehidupan rakyat, dengan penasaran ia bertanya.

   "Paman, aku melihat betapa semua orang agaknya beragama. Akan tetapi mengapa kejahatan merajalela dan bahkan mereka yang sudah mengenakan jubah pendeta, mengaku sebagai ahli agama, masih suka melakukan perbuatan jahat?" Kini wajah Bu-beng-cu bersinar dan tampak bersemangat setelah Siang Lan bicara tentang agama.

   "Hwe-thian Mo-li, jangan heran melihat gejala seperti itu. Yang jahat itu bukanlah agamanya, melainkan manusianya. Kalau ada seorang manusia mengaku beragama dan dia melakukan perbuatan jahat, maka dia itu bukanlah seorang beragama, melainkan seorang penjahat yang mengaku-aku beragama. Agamanya hanya dipergunakan sebagai kedok untuk menutupi perbuatannya. Kalau dia benar seorang beragama, pasti dia tidak mau dan tidak berani melakukan kejahatan karena hal itu dilarang oleh semua agama.

   "Demikian pula kalau ada seorang pendeta agama melakukan perbuatan jahat, dia hanya seorang manusia yang palsu dan menggunakan pakaian pendeta dan agamanya sebagai kedok belaka. Agama merupakan pelajaran agar manusia menjadi baik dan benar, namun pelajaran itu tidak ada artinya sama sekali kalau tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Api atau inti semua agama itu terbukti dalam sikap dan perbuatan sehari-hari, adapun semua upacaranya itu kalau tidak terbukti apinya, hanya menjadi asap dan abu yang menggelapkan mata dan mengotori keadaan belaka."

   Siang Lan adalah seorang wanita yang cerdas. Biarpun hanya sedikit saja pengetahuannya tentang filsafat dan agama, namun ucapan Bu-beng-cu itu berkesan dalam hatinya dan ia dapat mengerti maksudnya. Akan tetapi, juga mendatangkan rasa penasaran dalam hatinya yang mendorongnya ingin mengetahui lebih banyak lagi.

   "Paman, karena demikian banyaknya terdapat orang yang beragama akan tetapi melakukan perbuatan jahat yang dilarang agamanya, apakah tidak lebih baik kalau manusia tidak beragama saja?" Bu-beng-cu tertawa.

   "Bukan begitu, Nona. Agama merupakan obor bagi manusia yang hidup di dunia ini, dunia yang bagaikan sebuah lorong yang gelap. Obor itu akan menerangi lorong sehingga kita dapat melihat ke arah mana kita melangkah, karena ada jalan menuju kepada Thian (Tuhan) yang menjadi Sumber kita, akan tetapi juga ada jalan yang membawa kita ke jurang dosa dan kehancuran.

   "Agama sebagai obor itu memang amat penting dan setiap orang seyogianya memegang obor masing-masing agar jangan salah jalan. Akan tetapi, apakah artinya obor bernyala di tangan kalau kita tidak mau melangkah ke arah jalan kebenaran. Apa artinya semua pelajaran keagamaan kita pelajari dan kita hafalkan kalau tidak kita laksanakan dalam hidup ini? Jadi, agama baru bermanfaat kalau kita amalkan sesuai dengan ajarannya.

   "Sebaliknya, kalau orang tidak beragama, bagaikan berjalan dalam lorong gelap tanpa mempunyai obor penerangan, dia sudah tersesat atau jatuh tersandung. Memiliki obor tanpa melangkah atau tidak memegang obor penerangan sama sekali, sama buruknya. Yang benar adalah membawa obor yang menerangi jalan hidup sambil melangkah atau memiliki agama sambil mengamalkan pelajaran agamanya."

   "Ah, kalau aku tidak keliru berpendapat, seorang penjahat yang beragama itu lebih sesat dibandingkan seorang penjahat yang tidak beragama. Betulkah itu, Paman?"

   "Dua-duanya jelas tidak betul karena melakukan kejahatan. Akan tetapi dosa orang yang beragama namun jahat lebih buruk lagi karena dia mencemarkan kebersihan agama itu sendiri. Ah, sudahlah, Hwe-thian Mo-li, sekarang tiba saatnya aku menguji gin-kangmu. Mari kita berlumba lari sampai ke puncak bukit itu mengambil sebuah batu kapur yang hanya terdapat di puncak lalu cepat kembali ke sini."

   Dengan gembira Siang Lan mengangguk dan setelah Bu-beng-cu memberi isyarat, mereka berdua lalu berkelebat sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya dua sosok bayangan melejit ke arah puncak bukit. Siang Lan mengerahkan gin-kang yang sudah maju pesat dan kini larinya jauh lebih cepat dibandingkan setengah tahun yang lalu. Kalau ada orang melihat mereka, tentu akan terkejut dan mungkin ketakutan, mengira bahwa dua sosok bayangan yang berkelebat itu adalah setan-setan penjaga bukit! Siang Lan mempergunakan ilmu berlari cepat yang selama ini ia pelajari dan latih atas bimbingan dan petunjuk Bu-beng-cu, yaitu Yan-cu-coan-in (Walet Menembus Awan).

   Ia mengerahkan seluruh tenaganya karena ia melihat betapa bayangan Bu-beng-cu juga berlari cepat di sampingnya. Setelah tiba di puncak bukit, ia menyambar sepotong batu kapur lalu lari seperti terbang lagi, menuruni puncak menuju ke lereng di mana tadi mereka mulai berlumba lari. Begitu ia menghentikan gerakannya, ia melihat bahwa Bu-beng-cu juga sudah berhenti dan ternyata mereka berdua tiba di situ dengan berbareng! Masing-masing memegang sepotong batu kapur. Melihat betapa kecepatan mereka berimbang, Siang Lan berkata.

   "Ah, engkau sengaja mengalah sehingga tidak mendahului aku, Paman Bu-beng-cu!" Bu-beng-cu tertawa dan tampak wajahnya cerah gembira.

   "Sama sekali tidak, Hwe-thian Mo-li. Aku tadi juga sudah mengerahkan seluruh kemampuan, akan tetapi ternyata tidak dapat mendahuluimu, bahkan agak sukar bagiku untuk menjaga agar tidak ketinggalan. Aku girang sekali karena setelah sekian lama engkau berlatih dengan tekun, hari ini tampak hasilnya. Kiraku sekarang jarang ada orang yang dapat menandingimu dalam hal kecepatan sehingga julukanmu tepat sekali yaitu Hwe-thian (Terbang ke Langit), walaupun julukan Mo-li (Iblis Betina) itu kini tidak cocok lagi bagimu. Engkau bukan iblis betina lagi karena engkau sudah bersumpah untuk tidak sembarangan membunuh orang lagi."

   "Akan tetapi ada kecualinya, Paman, yaitu aku harus membunuh musuh besarku yang satu itu! Paman, setelah sekarang aku mendapat kemajuan dalam gin-kang, tentu aku akan berhasil membunuhnya. Kalau tidak salah perhitunganku sekarang sudah lewat setahun dan jahanam itu tentu akan datang menemuiku sebagaimana yang dia janjikan untuk membuat perhitungan." Bu-beng-cu menghela napas panjang.

   "Aku tidak tahu sampai di mana kelihaian musuhmu itu, Nona. Akan tetapi jangan engkau terlalu yakin dulu. Memang gin-kangmu sudah maju pesat dan kiranya akan sulit bagi musuhmu itu untuk mengalahkan kecepatan gerakanmu. Akan tetapi, dalam sebuah pi-bu (pertandingan silat) bukan hanya kecepatan gerakan yang menentukan walaupun kecepatan itu tentu saja merupakan bagian penting. Selain gin-kang, engkau harus lebih unggul dalam ilmu silat dan tenaga sakti. Berhati-hatilah kalau engkau bertemu dengan musuh besarmu."

   "Akan kuperhatikan nasihat Paman."

   "Nah, hari ini kunyatakan bahwa engkau telah lulus dalam pelajaran memperkuat gin-kangmu, Hwe-thian Mo-li. Mudah-mudahan engkau akan mendapatkan manfaat dari pelajaran ini dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkau dapat memegang sumpahmu untuk tidak membunuh orang, juga kalau mungkin menghilangkan dendammu dan keinginanmu untuk membunuh orang yang kau anggap sebagai musuh besar itu. Aku sekarang hendak melanjutkan pertapaanku sini dan tidak ingin diganggu. Kecuali kalau ada urusan penting sekali, harap jangan ganggu aku lagi." Siang Lan memberi hormat dan berkata dengan nada terharu.

   "Paman telah mengorbankan waktu pertapaan Paman, sudah berulang kali menolongku, aku mengucapkan banyak terima kasih dan selama hidupku aku tidak akan melupakan kebaikan Paman Bu-beng-cu."

   "Pulanglah, Nona, dan jaga dirimu baik-baik," kata Bu-beng-cu, suaranya juga tergetar karena dia merasa terharu pula mendengar suara gadis itu begitu menyentuh perasaannya.

   "Engkau juga, jaga dirimu baik-baik, Paman. Selamat tinggal." Setelah berkata demikian, Siang Lan berkelebat dan lenyap dari depan guha tempat pertapaan Bu-beng-cu itu. Setelah Siang Lan pergi jauh, Bu-beng-cu kini menghela napas panjang dan pandang matanya ditujukan ke langit yang mulai cerah dengan sinar matahari pagi.

   "Thian, alangkah pahitnya akibat dari kebodohan dan kelemahanku saat itu. Puji syukur kepadamu, Ya Tuhan, bahwa Engkau telah memberi kesempatan kepadaku untuk menebus dosaku itu......" Setelah mengeluarkan ucapan lirih dan sepasang matanya menjadi basah air mata, Bu-beng-cu atau Thian-te Mo-ong atau nama aselinya Sie Bun Liong melangkah perlahan-lahan memasuki guhanya.

   Hati Siang Lan yang merasa girang sekali karena kini ia telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu meringankan tubuh sehingga ia mampu bergerak jauh lebih cepat daripada dahulu sebelum digembleng oleh Bu-beng-cu. Masih teringat ia betapa dulu ia amat mengagumi kecepatan gerakan Bu-beng-cu. Akan tetapi sekarang ketika berlumba lari, ia dapat mengimbangi gurunya itu! Ia merasa yakin bahwa kini ia pasti akan mampu mengalahkan Thian-te Mo-ong dan membunuhnya untuk membalas dendam atas perbuatan keji yang dilakukan atas dirinya.

   Ia merasa lebih gembira lagi karena kini anak buahnya, semua wanita, yang berjumlah kurang lebih limapuluh orang telah memperoleh kemajuan dalam ilmu silat sehingga mereka merupakan anggauta Ban-hwa-pang yang tangguh. Lebih lagi, ia melihat betapa Li Ai ternyata memiliki bakat yang amat baik. Gadis ini memang cerdik sekali dan didorong oleh sakit hatinya, ia berlatih dengan tekun sehingga setelah lewat hampir setahun di Lembah Selaksa Bunga, tingkat kepandaian silatnya bahkan telah melampaui tingkat semua wanita anggauta Ban-hwa-pang. Melihat gadis yang dahulunya lemah-lembut itu menyukai senjata sepasang pedang, maka Siang Lan memberi sepasang pedang yang mungil dan indah kepada Li Ai dan mengajarkan Siang-kiam-sut (Ilmu Sepasang Pedang) di samping ilmu silat tangan kosong.

   Juga Li Ai sudah mulai diberi pelajaran dasar untuk menghimpun tenaga sakti. Belasan hari kemudian, pada suatu pagi Siang Lan sudah bangun dari tidurnya. Kini ia mempunyai kebiasaan bangun pagi sekali karena biasanya, begitu bangun dan mandi, ia langsung pergi ke lereng di mana terdapat guha tempat bertapa Bu-beng-cu. Maka, biarpun sekarang ia tidak lagi harus pergi ke sana seperti yang dilakukan tiap hari selama setengah tahun, ia sudah terbiasa dan pagi hari itu ia sudah mandi dan duduk di dalam kamarnya.

   Tadi ia melamun dengan hati penasaran karena sejak berhenti latihan di depan guha Bu-beng-cu, ia menunggu-nunggu munculnya Thian-te Mo-ong, musuh besarnya yang dulu pernah berjanji akan mengunjunginya setiap tahun untuk membuat perhitungan. Ia ingat-ingat dan merasa yakin bahwa sekaranglah saatnya, setahun telah lewat sejak ia bertanding melawan Thian-te Mo-ong dan kalah. Karena kesal dan penasaran, Siang Lan kini duduk bersamadhi untuk menenangkan hati dan pikirannya. Jahanam sombong itu pasti akan muncul, demikian ia menghibur diri sendiri. Segera ia tenggelam ke dalam samadhinya.

   Pada waktu itu seperti kebiasaan mereka setiap pagi sebelum melakukan pekerjaan sehari-hari membersihkan rumah, taman dan bekerja di kebun sayur dan buah-buahan, limapuluh orang anggauta Ban-hwa-pang asyik berlatih ilmu silat di pekarangan depan yang luas dari perkampungan mereka. Li Ai tidak ketinggalan. Gadis ini yang dahulunya seorang gadis yang lembut, ahli seni tari, musik, nyanyi, juga mengenal sastra, kini berpakaian ringkas dan ia berlatih silat pedang. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar dan karena gerakannya halus indah saking terbiasa menari, maka gerakan silatnya seperti orang menari. Para anggauta Ban-hwa-pang juga sibuk latihan sendiri, ada yang berlatih silat tangan kosong, atau dengan berbagai macam senjata.

   Mereka latihan dengan sungguh-sungguh dan ternyata tidak percuma Hwe-thian Mo-li menggembleng anggauta Ban-hwa-pang karena mereka itu rata-rata cukup gesit. Tiba-tiba terdengar suara tawa parau dan aneh. Ketika Li Ai dan limapuluh orang lebih anggauta Ban-hwa-pang itu menghentikan gerakan mereka dan memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki yang mukanya ditutupi sebuah topeng kayu. Yang tampak hanya empat buah lubang, dua lubang hidung dan dua lagi di atas untuk mata. Di balik dua lubang di atas itu tampak sinar mata yang mencorong. Karena kedok atau topeng itulah maka suara tawanya terdengar parau dan aneh.

   "Ha-ha-ha! Ban-hwa-pang yang tersohor itu hanya memiliki para anggauta yang begini lemah dan ilmu silatnya rendah? Sungguh Hwe-thian Mo-li seorang ketua yang tidak becus mendidik, anak buahnya, ha-ha-ha!" Tentu saja semua anak buah Ban-hwa-pang menjadi marah mendengar suara parau yang mengejek itu. Didahului oleh Li Ai mereka lalu berlari menghampiri dan mengepung orang bertopeng itu. Li Ai menudingkan pedang kirinya ke arah muka bertopeng itu dan membentak, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar lembut halus.

   "Orang asing yang tidak mengenal aturan! Siapakah engkau yang begini lancang memasuki perkampungan kami yang terlarang bagi kaum pria dan datang-datang menghina ketua kami?"

   "Ha-ha-ha, kalian panggil Hwe-thian Mo-li ke sini menemui aku, ia akan mengenal siapa aku!" kata Si Topeng Kayu dengan nada suara sombong. Akan tetapi Li Ai sudah dapat menduga bahwa orang ini pasti bukan seorang sahabat dan bukan orang baik-baik, maka ia berkata, suaranya lebih tegas.

   "Engkau sudah melakukan tiga pelanggaran. Pertama, engkau seorang pria berani masuk ke sini tanpa ijin. Kedua, engkau bersikap pengecut dengan menyembunyikan mukamu di balik topeng, dan ketiga, engkau telah bersikap dan bicara dengan kasar menghina ketua kami. Karena itu, kami minta engkau segera pergi meninggalkan perkampungan kami!"

   ðŸŽ‹ðŸ˜€

   

   "Hemm, Nona, kalian mau berbuat apa kalau aku tidak mau pergi sebelum bertemu dengan Hwe-thian Mo-li?" Hati Li Ai menjadi semakin panas karena nada suara orang bertopeng itu jelas mengandung ejekan dan tantangan!

   "Kalau engkau tidak mau pergi, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan untuk mengusirmu!"

   "Ha-ha-ha, begitukah? Ingin aku melihat bagaimana kalian dapat mengusirku!" tantang Si Topeng Kayu.

   Karena marah mendengar Siang Lan diejek, Li Ai lalu menggerakkan sepasang pedangnya, menyerang laki-laki bertopeng itu. Laki-laki itu adalah Thian-te Mo-ong dan melihat serangan gadis yang masih dangkal dan mentah ilmu silatnya ini, dia tertawa mengejek dan dengan mudah dia mengelak sehingga serangan sepasang pedang di tangan Li Ai tidak mengenai sasaran. Akan tetapi kini semua anak buah Ban-hwa-pang maju mengeroyoknya! Thian-te Mo-ong masih tertawa-tawa dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini seperti bayangan iblis. Limapuluh orang anggauta Ban-hwa-pang itu terus mengejarnya sambil berteriak-teriak, seperti sekumpulan anak-anak hendak menangkap seekor burung yang amat gesit.

   Kalau saja laki-laki bertopeng itu menghendaki, dengan mudah dia tentu akan dapat merobohkan limapuluh orang lebih anggauta Ban-hwa-pang itu karena kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk dapat mengalahkan Thian-te Mo-ong. Akan tetapi agaknya orang bertopeng itu tidak mau mencelakakan mereka. Bagaimanapun juga dia merasa kerepotan dikeroyok puluhan wanita muda. Dia merasa ngeri sendiri dan tiba-tiba bayangan tubuhnya melayang ke atas dan tahu-tahu dia telah berada di atas wuwungan rumah! Para anggauta Ban-hwa-pang hanya dapat mengacung-acungkan senjata ke arahnya tanpa dapat melakukan pengejaran.

   "Ha-ha-ha-ha! Hayo siapa berani mengejar ke sini?" Thian-te Mo-ong tertawa menantang dengan suara mengejek. Tiba-tiba terdengar teriakan melengking nyaring disusul berkelebatnya bayangan Hwe-thian Mo-li yang melayang keluar dari dalam rumah.

   Ia terkejut dan sadar dari samadhinya ketika terdengar teriakan-teriakan anak buahnya di luar. Ketika ia mendengar tawa dan ejekan Thian-te Mo-ong, segera ia mengenal siapa yang bersuara parau dan aneh itu. Musuh besarnya telah datang! Maka sambil mengeluarkan teriakan melengking ia melompat keluar lalu memandang ke atas wuwungan rumah dengan wajah berubah merah dan sinar matanya mencorong penuh kemarahan dan kebencian.

   "Keparat jahanam Thian-te Mo-ong! Bagus kamu datang mengantarkan nyawamu ke sini!" Siang Lan mencabut Lui-kong-kiam yang ditudingkannya ke arah muka bertopeng itu.

   "Ha-ha-ha, Hwe-thian Mo-li, apakah engkau hendak mengeroyok aku bersama puluhan orang anak buahmu itu?" Siang Lan merasa dalam dadanya seperti dibakar.

   "Iblis busuk! Aku bukan pengecut macam kau!" Lalu ia menoleh dan membentak para anggauta Ban-hwa-pang.

   "Hayo kalian mundur dan jangan sekali-kali mencampuri pertandingan antara aku dan jahanam busuk bertopeng itu!" Li Ai memberi isyarat kepada semua orang untuk menjauhkan diri dan menyimpan senjata masing-masing.

   "Ha-ha-ha, bagus! Akan tetapi tetap saja aku tidak sudi bertanding di sini. Kalau engkau bukan jago kandang, hayo kejar aku dan kita bertanding mengadu nyawa di luar perkampungan ini!" Setelah berkata demikian, Thian-te Mo-ong lalu melayang turun dari atas wuwungan langsung saja dia berlari cepat sekali keluar dari perkampungan Ban-hwa-pang.

   "Bangsat busuk, engkau hendak lari ke mana?" Siang Lan memaki dan cepat melakukan pengejaran, mengerahkan seluruh kekuatan gin-kangnya yang kini telah meningkat jauh.

   Li Ai dan para anak buah Ban-hwa-pang hanya melihat dua bayangan berkelebat cepat ke arah pintu gerbang lalu lenyap. Li Ai yang mengenal watak baik Siang Lan melarang para anggauta Ban-hwa-pang untuk melakukan pengejaran dan hanya menanti saja di situ dengan hati tegang. Mereka hanya duduk-duduk bergerombol dan tidak ada semangat lagi untuk berlatih. Mereka semua maklum bahwa orang bertopeng itu adalah musuh ketua mereka dan kini tentu ketua mereka sedang bertanding mati-matian dengan musuh yang mereka tahu amat lihai itu. Siang Lan mengerahkan seluruh kecepatan larinya melakukan pengejaran.

   Akan tetapi musuh besarnya tetap berada di depannya, dalam jarak sekitar tiga tombak. Ternyata kecepatan lari mereka seimbang dan Thian-te Mo-ong juga tidak mampu memperjauh jarak itu. Akhirnya Siang Lan yang marah sekali memungut dua buah batu sebesar kepalannya dan setelah memindahkan pedang ke tangan kirinya, ia melontarkan dua buah batu itu ke arah kepala dan punggung Thian-te Mo-ong. Thian-te Mo-ong ternyata memiliki pendengaran yang amat tajam. Biarpun ditimpuk dari belakang, dia mampu mendengar desir angin timpukan itu dan cepat melompat ke samping sehingga dua buah batu itu tidak mengenai tubuhnya. Dia berhenti dan membalikkan tubuhnya menghadapi Siang Lan sambil tertawa mengejek.

   "Ha-ha-ha-ha! Sebaiknya di sini kita mengadu nyawa, Hwe-thian Mo-li. Jangan mengira bahwa dengan kecepatan dan sambitan batumu itu aku menjadi gentar!"

   "Jahanam busuk Thian-te Mo-ong, bersiapkah untuk mampus di tanganku." Siang Lan yang sudah tak dapat menahan kesabarannya lalu menerjang dan menyerang dengan buas dan dahsyat sekali karena ia menggunakan jurus yang paling ampuh. Ia maklum akan kelihaian lawan maka ia pun begitu menyerang mengerahkan semua tenaganya!

   Menghadapi serangan maut itu, Thian-te Mo-ong cepat mengelak dan dia melompat ke atas, menyambar sebatang ranting pohon lalu melawan pedang Lu-kong-kiam dengan ranting sepanjang lengan itu! Mereka saling serang dengan hebatnya karena Siang Lan berusaha mati-matian untuk merobohkan dan membunuh musuh besar yang amat dibencinya ini. Ia sudah bersumpah di depan Bu-beng-cu bahwa ia tidak akan membunuh orang lain kecuali Thian-te Mo-ong, maka seluruh kebencian yang berada dalam hatinya terhadap golongan sesat kini ditimpakan seluruhnya kepada Thian-te Mo-ong.

   "Singgg......!" Pedang Lui-kong-kiam meluncur dan berdesing membuat gerakan melingkar-lingkar amat dahsyatnya. Gadis itu menggunakan jurus Liong-ong-lo-hai (Raja Naga Kacau Lautan). Lui-kong-kiam berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi berdesing-desing menyilauan mata dan menyakitkan telinga.

   "Bagus!" Thian-te Mo-ong yang lihai itu memuji karena memang jurus Liong-ong-lo-hai ciptaan mendiang Ong Han Cu yang dijului Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan) itu dahsyat bukan main.

   Thian-te Mo-ong yang memang memiliki tingkat ilmu silat yang sudah tinggi sekali hanya merasa kagum akan tetapi sama sekali tidak merasa gentar. Dia menghindarkan diri dari serangan maut itu dengan jurus Sian-jin-hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan), kemudian membalas dengan totokan-totokan berbahaya dengan ujung rantingnya. Mereka bertanding tanpa ada orang lain yang mengetahuinya itu berlangsung selama limapuluh jurus lebih dan mereka saling serang tanpa ada yang tampak terdesak. Siang Lan merasa penasaran sekali. Selama setengah tahun lebih ia sudah mendapatkan kemajuan pesat dalam ilmu meringankan tubuh sehingga gerakannya jauh lebih cepat dibandingkan dahulu sebelum digembleng Bu-beng-cu.

   Dulu saja ia sudah terkenal memiliki gin-kang yang hebat. Gerakannya amat cepat sehingga dunia kang-ouw memberinya julukan Iblis Betina Terbang. Setelah kini gin-kangnya meningkat banyak, tetap saja ia tidak mampu mendesak musuh besarnya. Dalam pertandingan itu, ia melihat jelas bahwa lawannya juga dapat bergerak cepat sekali dan agaknya dalam ilmu gin-kang, Thian-te Mo-ong tidak kalah dan dapat mengimbanginya! Gin-kang mereka seimbang, akan tetapi ia harus mengakui bahwa dalam hal tenaga sakti ia masih kalah kuat, bahkan jauh kalah. Hal ini terbukti dari senjata mereka.

Ia sendiri memegang Lui-kong-kiam (Pedang Kilat), sebuah pedang pusaka yang terbuat dari baja langka, biasanya mudah mematahkan senjata-senjata lawan dari besi atau baja. Akan tetapi sekarang, menghadapi sebatang ranting di tangan musuhnya, pedang itu sama sekali tidak berdaya. Apalagi mematahkannya, bahkan kalau pedangnya dan ranting itu bertemu keras, telapak tangannya terasa pedas dan pedih. Hal ini membuktikan bahwa tenaga sakti yang tersalur dalam ranting sungguh amat kuat! Biarpun ia mulai ragu apakah ia akan mampu mengalahkan dan membunuh musuh besar ini, Siang Lan tidak menjadi putus asa dan ia mengamuk seperti harimau terluka. Tiba-tiba Thian-te Mo-ong berseru,

   "Hwe-thian Mo-li, kalau hanya sebegini kepandaianmu, jangan harap engkau akan dapat mengalahkan aku, ha-ha-ha!" Tiba-tiba orang berkedok itu berseru nyaring.

   "Haiiittt......!" Tangan kirinya, dengan telapak tangan terbuka didorongkan ke arah Siang Lan. Gadis ini cepat mendorong dengan tangan kiri menyambut pukulan jarak jauh itu.

   "Wuuuttt...... desss......!!" Tubuh Siang Lan terpental sekitar dua meter ke belakang, akan tetapi ia dapat berjungkir balik membuat salto sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting. Ia terkejut dan semakin marah. Dengan nekat ia menyerang lagi dengan pedangnya.

   "Hyaaaahh......!" Pedang itu menyambar ke arah leher Thian-te Mo-ong. Orang berkedok itu menggerakkan rantingnya menyambut.

   "Tuk!" Pedang bertemu ranting dan melekat! Ketika Siang Lan mencoba untuk menarik pedangnya, ternyata pedang itu tertahan dan melekat pada ranting dan pada saat itu, kembali Thian-te Mo-ong menyerang dengan dorongan tangan kirinya. Siang Lan terkejut dan menyambut dengan tangan kirinya pula.

   


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 06

   "Plakk......!" Tubuh Siang Lan terjengkang dan pedangnya terlepas dari pegangannya. Ia terbanting roboh dan menggulingkan tubuhnya, lalu melompat berdiri lagi. Dadanya terasa sesak dan pedangnya sudah berada di tangan kiri Thian-te Mo-ong. Hampir saja Siang Lan menjerit dan menangis saking marah, kecewa, dan malu. Ia menjadi semakin nekat dan dengan tangan kosong ia menerjang lagi!

   "Hemm, belajarlah lagi selama sepuluh tahun, baru engkau akan mampu menandingiku, Hwe-thian Mo-li!" kata orang bertopeng itu dan dia melemparkan pedang Lui-kong-kiam ke atas tanah di depan Siang Lan. Pedang menancap sampai dalam dan dia melompat ke belakang sambil tertawa.

   "Ha-ha-ha, setahun lagi aku akan datang menemuimu dan kita boleh bertanding lagi, kalau kau berani!" Kemudian tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ. Siang Lan yang maklum bahwa ia tidak mampu mengejar karena dalam dadanya masih terasa nyeri, menjatuhkan diri di dekat pedangnya dan ia menangis! Marah, benci, kecewa, malu, dan penasaran mengadu dalam hatinya, membuatnya merasa sedih sekali dan ia menangis mengguguk seperti anak kecil sambil memukul-mukul tanah dengan kedua tangannya.

   "Jahanam Thian-te Mo-ong, kubunuh kau...... kubunuh kau...., kubunuh kau......!" Ia berteriak-teriak dan menangis lagi tersedu-sedu. Ia tidak terluka, hanya benturan tenaga dalam tadi mengguncang isi dadanya karena ia kalah kuat. Jelaslah bahwa ia kalah karena tenaga sin-kangnya masih jauh dibandingkan lawannya. Tanpa memiliki tenaga sakti yang lebih kuat, tidak mungkin ia dapat menang melawan Thian-te Mo-ong. Akan tetapi sekali ini ia tidak putus asa walaupun ia menyesal dan kecewa sekali. Ia bahkan semakin bersemangat. Ia harus memperdalam ilmunya lagi sampai ia mampu mengalahkan dan membunuh musuh besarnya.

   Sementara itu, agak jauh dari situ, Thian-te Mo-ong bersembunyi di balik batang pohon besar dan mengintai ke arah Siang Lan yang menangis tersedu-sedu sambil memukuli tanah. Dia menghela napas berulang-ulang, lalu melepaskan topengnya dan menyembunyikan topeng kayu itu di balik bajunya. Kini tampak wajah Bu-beng-cu, wajah yang tampak muram dan sedih ketika dia memandang ke arah Siang Lan. Sepasang matanya dikejap-kejapkan dan dua tetes air mata melompat keluar dari pelupuk matanya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu perlahan-lahan berbisik kepada diri sendiri.

   "Aku harus membangkitkan semangatnya, harus mengembalikan harga dirinya. Suatu hari ia akan mengalahkan aku dan membunuhku. Tidak ada lain jalan untuk membangkitkan semangatnya dan memulihkan harga dirinya." Dia terus mengamati Hwe-thian Mo-li sampai gadis itu menghentikan tangisnya dan pergi dari tempat itu, kembali ke perkampungan Ban-hwa-pang. Setelah Siang Lan pergi, barulah Bu-beng-cu mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai oleh Bu-beng-cu. Pakaian yang longgar dengan jubah lebar yang tadi dipakai Thian-te Mo-ong dia gulung dan dia lalu pergi perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.

   Setibanya di perkampungan Ban-hwa-pang, Siang Lan disambut oleh Li Ai dan para anggauta perkumpulan itu. Melihat wajah Siang Lan yang muram, para anggauta tidak ada yang berani bertanya walaupun pandang mata mereka kepada Siang Lan mengandung keinginan tahu tentang laki-laki bertopeng yang dikejar ketua mereka tadi. Siang Lan diam saja dan terus memasuki rumah, diikuti oleh Li Ai. Gadis ini juga dapat melihat keadaan maka ia tidak bertanya apa-apa ketika Siang Lan datang. Akan tetapi setelah mereka berdua memasuki kamar, Li Ai bertanya dengan hati tegang.

   "Bagaimana, Enci? Berhasilkah engkau mengejar penjahat bertopeng tadi? Engkau tentu telah dapat membunuhnya, bukan?" Pertanyaan itu dirasakan Siang Lan seperti menusuk hatinya. Ia menahan tangisnya dan menggelengkan kepalanya.

   "Ia masih terlalu kuat bagiku, Li Ai. Aku harus memperdalam lagi ilmuku sampai akhirnya aku mampu mengalahkannya dan membalas dendam." Melihat wajah Hwe-thian Mo-li yang muram dan mendengar bahwa gadis itu gagal membunuh musuh besarnya, Li Ai tidak berani bertanya lagi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang Lan sudah keluar dari perkampungan menuju ke lereng di mana Bu-beng-cu tinggal dalam guha. Ketika ia tiba di situ, ia melihat Bu-beng-cu sudah duduk di depan guha, di atas batu datar, bersila dan kedua matanya terpejam.

   "Paman Bu-beng-cu......" Sian Lan menghampiri dan berlutut di depan gurunya itu. Bu-beng-cu membuka matanya sejenak dia memandang kepada wajah gadis itu. Kemudian, dia berkata suaranya terdengar lembut mesra.

   "Hwe-thian Mo-li, engkau datang......?" Mendegar suara laki-laki itu, suara yang menggetar dan penuh keakraban, bahkan terdengar begitu penuh perhatian dan mesra, Hwe-thian Mo-li tiba-tiba tak dapat menahan isaknya.

   Ia menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya. Biarpun ia menahan suara tangisnya, namun ia terisak, kedua pundaknya bergoyang-goyang dan air mata menetes melalui celah-celah jari kedua tangannya. Bu-beng-cu tentu saja maklum akan penderitaan hati gadis itu. Dia memandang penuh keharuan dan rasanya ingin dia merangkul dan menghibur gadis itu. Akan tetapi ada perasaan lega dan girang bahwa Hwe-thian Mo-li tidak putus asa dan kedatangan gadis itu kepadanya menunjukkan bahwa ia tentu ingin minta bimbingan lebih lanjut dalam ilmu silat. Dia membiarkan gadis itu menumpahkan perasaannya dalam tangis. Setelah tangis Siang Lan mereda, barulah dia berkata dengan lembut.

   "Hemm, inikah gadis perkasa yang disebut Hwe-thian Mo-li? Sekarang menjadi seorang gadis cengeng seperti kanak-kanak? Nona, bukan begini sikap seorang gagah. Hapuslah air matamu, hentikan tangismu dan kita bicarakan permasalahan apa yang membuat engkau sampai menangis seperti ini. Tidak ada masalah yang tidak dapat dipecahkan dan diatasi!" Mendengar ucapan itu, bangkit semangat Siang Lan. Ia mengusap air mata di pipi dengan kedua tangannya, lalu memandang Bu-beng-cu dengan mata agak kemerahan.

   "Paman Bu-beng-cu, aku datang untuk sekali lagi mohon pertolonganmu." Bu-beng-cu mengamati wajah itu dengan tajam, lalu berkata.

   "Engkau tentu tahu bahwa aku selalu siap untuk membantumu, Nona. Katakan, bantuan apa yang dapat kulakukan untukmu?"

   "Paman, kemarin musuh besarku datang memenuhi janjinya. Kami bertanding, aku memang dapat mengimbangi kecepatannya. Akan tetapi akhirnya aku kalah, Paman. Aku masih jauh kalah kuat dalam sin-kang (tenaga sakti) dan juga ketika dia bersenjata sebatang ranting, dia memainkan ranting itu dengan ilmu pedang yang aneh dan aku pun tidak mampu menandingi senjatanya yang hanya ranting pohon itu. Paman, hanya engkaulah yang dapat menolongku. Bimbinglah aku agar ilmu pedang dan tenaga sin-kangku meningkat sehingga kelak aku akan mampu mengalahkannya. Aku malu, Paman, dan rasanya aku hampir putus asa......"

   "Hwe-thian Mo-li, tidak ada kata "putus asa" bagi seorang gagah! Kalau engkau sungguh-sungguh mau belajar dengan tekun, bukan hal mustahil engkau akan mampu mengalahkan musuh yang bagaimana tangguhpun. Akan tetapi, Nona, benar-benarkah engkau hendak membunuh orang yang satu itu? Mengapa kau mendendam kepadanya? Dendam apakah itu yang membuat engkau ingin membunuhnya?"

   Mendapat pertanyaan ini, Hwe-thian Mo-li menundukkan mukanya yang berubah merah. Apa yang harus dikatakannya? Bagaimana mungkin ia menceritakan tentang aib yang dideritanya kepada orang yang ia kagumi dan yang telah menolongku berulang kali ini? Ia takut kalau-kalau Bu-beng-cu akan berubah pandangan terhadap dirinya, akan memandang rendah dan menganggap dirinya kotor. Bukankah Bong Kin yang tadinya mencinta Li Ai juga berubah pandangan dan menganggap gadis itu tidak pantas menjadi isterinya setelah Li Ai mengaku bahwa ia telah diperkosa orang?

   Baru sekali ini seumur hidupnya Hwe-thi mo-li merasa takut kalau-kalau dipandang rendah dan kotor oleh seorang laki-laki. Hal ini adalah karena ia menganggap Bu-beng-cu sebagai gurunya, sebagai pembimbingnya dan sebagai satu-satunya pria yang dikaguminya, terutama sekali sebagai sumber harapannya. Akan tetapi, iapun tidak mau berbohong kepada Bu-beng-cu. Ia harus jujur dan terbuka, tidak peduli bagaimana nanti penilaian Bu-beng-cu terhadap dirinya! Ia yang mengajarkan Li Ai untuk berterus terang mengaku bahwa ia bukan gadis lagi. Apakah sekarang ia sendiri tidak berani mengakui hal yang sama?

   "Paman, Thian-te Mo-ong adalah musuh besarku. Aku mempunyai dendam sakit hati sebesar gunung sedalam lautan kepadanya dan aku harus dapat membalas dendam ini dengan membunuhnya!"

   "Hemm, Hwe-thian Mo-li, dendam sakit hati itu hanya akan merusak hatimu sendiri, bagaikan api yang akan membakar perasaanmu. Dosa apakah yang dilakukan Thian-te Mo-ong maka engkau demikian membencinya dan hendak membunuhnya?" Bu-beng-cu kini menatap tajam wajah Siang Lan. Pandang mata mereka bertemu dan dengan nekat tanpa menundukkan pandang matanya Siang Lan menjawab.

   "Dia telah memperkosaku!" Bu-beng-cu yang mengelakkan pandang mata itu. Dia menunduk.

   "Hemm, begitukah......?" katanya lirih.

   "Paman Bu-beng-cu, setelah Paman mendengar aib yang menimpa diriku, apakah Paman masih mau menolongku? Apakah Paman masih mau mengajarkan ilmu untuk memperkuat tenaga sakti dan memperdalam ilmu pedangku?"

   "Kenapa engkau bertanya begitu?"

   "Karena...... kukira...... Paman akan memandang rendah diriku, menganggap aku kotor dan...... tidak patut menerima pelajaran dari paman......"

   "Ah, mengapa engkau berpikir demikian, Nona? Peristiwa itu terjadi bukan karena engkau sengaja, bukan kesalahanmu, engkau tidak berdaya. Aku sama sekali tidak memandang rendah padamu, Hwe-thian Mo-li. Aku...... aku merasa kasihan padamu dan tentu saja aku mau memberikan seluruh kepandaianku kepadamu kalau hal itu ada artinya bagimu."

   "Ada artinya......? Setelah terjadi peristiwa itu, aku tadinya ingin bunuh diri saja, Paman. Akan tetapi setelah aku mengetahui siapa pemerkosa itu, aku bersumpah untuk membalas dendam dan membunuhnya. Kemudian aku berjumpa denganmu, Paman, dan muncul harapan baru dalam hatiku. Aku tidak ingin mati dulu sebelum dapat membunuh jahanam itu dan agaknya di dunia ini hanya Paman yang akan mampu membantu aku memenuhi sumpahku."

   "Aku pasti akan membantumu, Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi mendengar pengakuanmu bahwa engkau hendak membunuh diri, membuat aku merasa ngeri. Apa artinya bagiku bersusah payah mengajarkan semua ilmuku kepadamu, kalau akhirnya engkau hanya akan membunuh diri? Bunuh diri merupakan perbuatan yang paling rendah dan merupakan dosa besar, di samping memperlihatkan sifat pengecut.

   "Kita hidup ini bukan atas kemauan kita sendiri, melainkan ada yang menghidupkan. Karena itu, kita tidak berhak menghentikan kehidupan kita. Yang berhak menghentikan hanyalah Dia yang telah menghidupkan kita.

   "Bunuh diri hanya dilakukan oleh seorang pengecut yang tidak berani menghadapi kehidupan. Apakah engkau kelak ingin disebut seorang pengecut yang berdosa besar, berdosa dan melakukan sesuatu yang sama sekali bukan menjadi hakmu? Kalau begitu, aku tidak mau mengajarkan apa-apa lagi kepadamu!"

   "Paman Bu-beng-cu, setelah aku bertemu denganmu dan menerima pelajaranmu, juga mendengarkan semua nasihatmu, aku menyadari bahwa bunuh diri bukan merupakan perbuatan orang gagah. Baik, Paman, aku akan menambahkan janji dan sumpahku. Pertama, aku tidak akan membunuh diri dan kedua, aku tidak akan sembarangan membunuh orang kalau tidak terpaksa untuk membela diri. Akan tetapi hanya satu kecualinya, yaitu aku pasti akan membunuh Thian-te Mo-ong!" Bu-beng-cu menghela napas lega.

   "Sekarang hatiku lega, Hwe-thian Mo-li, karena aku yakin bahwa kelak engkau benar-benar akan menjadi seorang pendekar wanita yang bijaksana. Nah, marilah kita mulai berlatih. Akan tetapi, untuk melatih agar sin-kangmu benar-benar kuat, membutuhkan waktu lama, sedikitnya satu tahun. Dan untuk mengembangkan dan mematangkan ilmu pedangmu, juga membutuhkan waktu sedikitnya satu tahun."

   "Aku akan belajar dengan tekun, Paman, berapa lama pun sampai akhirnya akan dapat mengalahkan musuh besarku yang amat lihai itu."

   Demikianlah, mulai hari itu, Siang Lan dengan amat tekun dan penuh semangat mulai menerima gemblengan lagi dari Bu-beng-cu yang mengajarkan cara menghimpun dan memperkuat tenaga sakti dengan sungguh-sungguh. Seperti juga dulu, Siang Lan datang ke lereng itu setiap pagi dan pulang setelah tengah hari. Waktu yang tersisa ia pergunakan untuk mengajarkan ilmu silat kepada Li Ai yang juga memperoleh banyak kemajuan. Juga para anggauta Ban-hwa-pang tekun mempelajari ilmu silat.

   Pada waktu itu, sekitar tahun 1602, Dinasti Beng semakin kehilangan pamornya. Hal ini terjadi karena banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan dari rakyat di daerah-daerah yang merasa tidak puas dengan pemerintah. Waktu itu yang menjadi kaisar adalah Kaisar Wan Li (1572-162O) yang sudah berusia sekitar limapuluh tahun. Dapat dibilang bahwa seluruh pejabat pemerintah, dari para Thai-kam (Orang Kebiri), pejabat tinggi sampai yang paling rendah, hampir tidak ada yang jujur.

   Semua melakukan kecurangan, korupsi dan pemerasan terhadap rakyat, berlumba-lumba untuk memperkaya diri sendiri. Keadilan hanya digembar gemborkan belaka oleh para pejabat. Kesejahteraan rakyat juga hanya digambarkan sebagai mimpi, namun kenyatanya yang sejahtera, bahkan jauh lebih daripada sejahtera, adalah para pejabat dari yang rendah, terutama yang tinggi. Para pejabat hidup bermewah-mewah, memborong tanah sampai beratus hektar bersekutu dengan para pedagang hartawan sehingga mereka hidup berlebihan. Rakyat kecil sama sekali tidak pernah merasakan apa yang digembar-gemborkan para pembesar tentang kemakmuran.

   Mereka hidup serba kekurangan, masih ditekan lagi oleh para pembesar daerah yang bersikap seolah menjadi raja di daerah mereka. Para petani diwajibkan memberi sumbangan dengan ancaman hukuman kalau menolak. Penindasan dan pemerasan terjadi di mana-mana sehingga rakyat mulai bersikap tidak setia terhadap pemerintah. Masih untung bagi kerajaan dinasti Beng bahwa pada saat kerajaan itu tidak populer lagi di mata rakyat dan di mana pemberontakan-pemberontakan terjadi di utara dan barat, pemerintah mempunyai dua orang menteri yang setia dan bijaksana. Dua orang menteri itulah yang seolah merupakan tiang penyangga sehingga pemerintah Kerajaan Beng tidak sampai ambruk. Yang pertama adalah menteri Yang Ting Ho, menteri yang menjadi penasihat Kaisar Wan Li.

   Dengan adanya Menteri Yang Ting Ho, kekuasaan para Thai-kam pejabat sipil dapat dikekang karena setidaknya mereka takut kepada Menteri Yang Ting Ho yang terkenal jujur, setia dan pemberani. Kaisar yang lemah itu menaruh rasa hormat yang mendalam terhadap Menteri Yang Ting Ho sehingga semua nasihat Menteri Yang masih dipercaya dan dipatuhi kaisar. Yang kedua adalah menteri Chang Ku Cing yang menjadi panglima besar, menguasai seluruh bala tentara Kerajaan Beng. Panglima yang berusia limapuluh tahun lebih ini bertubuh tinggi tegap, gagah, memelihara kumis jenggot yang pendek rapi. Dia seorang jantan yang jujur dan setia, berani memberantas segala kemunafikan dan keburuan para pembesar yang korup.

   Dengan adanya dua orang menteri ini, keadaan di kota raja tampak tenteram. Kalau ada kerusuhan, hal itu terjadi di daerah yang jauh dari kota raja. Panglima Chang Ku Cing selalu siap dengan pasukannya untuk menghancurkan setiap pemberontakan yang terjadi di daerah kota raja. Adapun urusan pemerintah sipil, dengan adanya Menteri Yang, di kota raja dapat dilaksanakan dengan tertib dan teratur. Para pejabat hanya dapat melakukan kegiatan korup mereka secara hati-hati sekali karena sekali saja ketahuan oleh menteri Yang, mereka pasti dituntut.

   Karena dua orang menteri ini merupakan penghalang bagi para pembesar yang suka menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk mengumpulkan kekayaan sebesar-besarnya, maka diam-diam mereka lalu bersekutu dan mencari seorang yang mereka anggap memiliki cukup kemampuan dan kekuasaan untuk menghadapi dua orang menteri itu. Orang yang mereka pilih ini adalah Pangeran Bouw Ji Kong, adik tiri Kaisar Wan Li. Pangeran Bouw ini beribu seorang puteri kepala suku Hui yang diambil selir oleh Kaisar. Sebagai putera selir, tentu saja dia tidak mewarisi tahta kerajaan yang kemudian jatuh ke tangan Pangeran Mahkota yang kini menjadi Kaisar Wan Li.

   Biarpun tidak berani berterang, diam-diam Pangeran Bouw Ji Kong menaruh rasa iri kepada Kaisar Wan Li. Kaisar Wan Li juga memberi kedudukan kepada adik tirinya ini sebagai penasihat kaisar di bidang hubungan dengan suku-suku bangsa yang berada di luar daerah Kerajaan Beng. Kedudukan ini cukup tinggi dan karena itu Pangeran Bouw Ji Kong cukup berpengaruh. Bahkan dia berani mengatur kebijaksanaan para pembesar daerah-daerah perbatasan. Ketika para pembesar dan hartawan yang sudah bergabung dengan para Thai-kam di istana itu mendekatinya, tentu saja dia menerima dengan senang.

   Bagi pangeran Bouw Ji Kong, semakin banyak orang yang mendukungnya, semakin baik karena bagaimanapun juga, dia sering mengharapkan suatu saat dapat menggantikan kedudukan kakaknya sebagai kaisar! Hubungannya dengan para pembesar dan hartawan ini membuat istana tempat tinggal Pangeran Bouw dibangun dan amat indah, menyaingi istana kaisar sendiri! Pangeran Bouw Ji Kong melihat betapa banyaknya pembesar yang mendukungnya, menjadi semakin ambisius untuk dapat menguasai tahta kerajaan. Untuk memperkuat kedudukannya, maka diam-diam dia mengadakan kontak dengan suku-suku bangsa di utara, terutama dengan suku bangsa ibunya, yaitu suku Hui dan dengan bangsa Mancu!

   Ada beberapa orang perwira tinggi yang menjadi pendukung Pangeran Bouw, di samping banyak pembesar sipil. Tentu saja mereka semua mengetahui akan ambisi pangeran Bouw untuk berusaha menggulingkan Kaisar Wan Li dan merampas kedudukannya sebagai kaisar. Mereka itu mendukungnya, dengan janji mendapat imbalan pangkat tinggi kelak kalau usaha pemberontakan itu berhasil. Selain itu, juga Pangeran Bouw mempunyai pasukan pengawal sendiri yang cukup kuat. Pasukan pengawal yang terdiri dari kurang lebih seratus orang ini merupakan pasukan perajurit yang terlatih dan rata-rata memiliki ilmu silat cukup tangguh.

   Mereka pun mengenakan seragam yang megah, dengan ciri khas, yaitu topi berwarna kuning. Di kota raja pasukan pengawal Pangeran Bouw ini dikenal sebagai Pasukan Topi Kuning! Yang diserahi pimpinan pasukan ini, juga yang melatih para perajurit pengawal itu dengan ilmu silat andalan tujuh orang tokoh kang-ouw yang amat terkenal di dunia persilatan. Mereka bertujuh saudara seperguruan itu di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Kang-lam Jit-sian (Tujuh Dewa dari Kang-lam). Julukan ini sedikit banyak mendatangkan kejumawaan dalam hati mereka dan mereka merasa seolah menjadi datuk tanpa tanding, sakti seperti dewa-dewa!

   Tujuh jagoan ini dahulunya merupakan murid murid Thian-san-pai, akan tetapi mereka juga mempelajari berbagai ilmu silat dari aliran lain sehingga mereka tidak lagi menggunakan nama Thian-san-pai sebagai pusat perguruan mereka. Karena kesombongan mereka, maka para pimpinan Thian-san-pai menyatakan bahwa mereka bertujuh tidak diakui lagi menjadi murid dan segala sepak terjang mereka bukan tanggung jawab perguruan itu. Kang-lam Jit-sian terdiri dari tujuh orang laki-laki yang sampai saat itu belum berkeluarga walaupun usia mereka sudah setengah tua. Yang pertama bernama Ji Gan, berusia limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka persegi penuh berewok. Senjata andalannya adalah sebuah tombak berkepala naga.

   Orang kedua bernama Lui Kok, berusia empatpuluh delapan tahun, tubuhnya gemuk pendek tampak bundar, mukanya yang bulat itu tampak kekanak-kanakan, akan tetapi dia ini tidak boleh dipandang ringan karena senjata andalannya berupa golok besar dan berat amat berbahaya. Yang ketiga bernama Pui Song, tinggi besar bermuka hitam seperti arang dan senjata andalannya adalah siang-kiam (sepasang pedang). Yang keempat bernama Pui Seng, adik dari Pui Song, tinggi kurus dengan muka pucat dan senjatanya juga sepasang pedang. Pui Song berusia empatpuluh tujuh tahun sedangkan adiknya, Pui Seng, berusia empatpuluh lima tahun.

   Kemudian yang kelima bernama Lo Kwan, usianya empatpuluh tiga tahun, bertubuh sedang mukanya berbentuk mirip monyet dengan hidung pesek dan bibir tebal, senjatanya adalah siang-to (sepasang golok). Orang keenam berusia empatpuluh dua tahun bertubuh sedang dan mukanya tidak lebih baik dari Si muka monyet Lo Kwan karena To Pan ini kulit mukanya penuh lubang-lubang burik atau bopeng (bekas penyakit cacar). Orang terakhir atau yang ketujuh berusia empatpuluh tahun, bertubuh sedang dan dia inilah yang paling enak dipandang di antara mereka bertujuh karena Gu Mo Ek ini yang berkulit putih bersih memiliki wajah yang tampan. Senjata andalannya juga sebatang pedang.

   Dengan adanya Kang-lam Jit-sian ini maka Pasukan Topi Kuning merupakan pasukan pengawal yang amat kuat karena para anggautanya dilatih oleh mereka. Juga pasukan ini mengenakan pakai seragam yang mewah gemerlapan, hingga tampak gagah dan mentereng mengalahkan pasukan pengawal Kim-i-wi (Pengawal Baju Emas) yang berada di istana kaisar! Pangeran Bouw Ji Kong maklum benar bahwa kedudukan kakak tirinya, Kaisar Wan Li, sesungguhnya rapuh dengan adanya pemberontakan-pemberontakan di daerah barat dan utara. Akan tetapi berkat kebijaksanaan dua orang menteri Chang Ku Cing dan Yang Ting Ho, maka pemerintah masih kuat.

   Karena itu, setelah mengadakan perundingan rahasia dengan para sekutunya, Pangeran Bouw memutuskan bahwa untuk mengawali langkah pertama, yang terpenting harus lebih dulu melenyapkan kekuatan yang mendukung kaisar. Mereka yang setia kepada Panglima Chang Ku Cing dan Menteri Yang Ting Ho, haruslah dilenyapkan sebelum kedua orang menteri itu yang mendapat giliran. Setelah mereka semua lenyap, maka akan mudah menggulingkan kaisar Wan Li dari kedudukannya dan merampas singgasana!

   Pada suatu malam yang gelap dan sunyi karena langit masih tertutup mendung tebal dan agaknya hujan sore tadi masih terancam hujan susulan, dua sosok bayangan orang berkelebat cepat sehingga kalau ada yang melihatnya tentu tidak akan mengira bahwa yang berkelebat itu adalah manusia. Dua bayangan itu dengan kegesitan luar biasa telah berhasil melewati pagar manusia Pasukan Topi Kuning yang menjaga di sekeliling istana Pangeran Bong! Mereka berdua melayang ke atas wuwungan tanpa ada yang mengetahui. Sementara itu, di ruangan dalam, sebuah ruangan luas yang dirahasiakan dalam istana itu.

   Pangeran Bouw Ji Kong duduk di dalam ruangan itu, di kepala meja panjang dan belasan orang duduk di sekeliling meja menghadapnya. Pangeran Bouw Ji Kong berusia sekitar empatpuluh lima tahun. Tubuhnya tinggi dengan perut gendut, wajahnya berwibawa dan memiliki garis-garis yang menunjukkan kekerasan hatinya. Pakaiannya mentereng dengan sulaman benang emas, seperti pakaian kaisar saja. Di pinggang kirinya tergantung sebatang pedang. Enambelas orang yang duduk menghadapinya itu terdiri dari tujuh Kang-lam Jit-sian dan sembilan orang pembesar sipil dan militer. Sembilan orang itulah yahg merupakan para pembesar di kota raja yang mendukung Pangeran Bouw Ji Kong.

   Sebetulnya terdapat lebih banyak lagi, namun yang diundang berkumpul pada malam hari itu hanyalah para pendukung yang berpangkat tinggi. Sejak tadi mereka bercakap-cakap membicarakan rencana Pangeran Bouw, akan tetapi bukan merupakan rapat karena mereka semua masih menanti datangnya orang-orang yang mereka anggap penting sekali. Kehadiran orang-orang itu ditunggu sejak tadi oleh Pangeran Bouw Ji Kong. Agaknya Pangeran Bouw merasa tidak sabar karena malam semakin larut dan mereka yang dinanti-nanti belum juga muncul. Dia memandang ke arah seorang perwira tinggi yang hadir di situ lalu menegur.

   "Su-goanswe (Jenderal Su), mana mereka yang engkau laporkan kepada kami akan datang hadir? Mengapa sampai sekarang mereka belum juga muncul?" Su Lok atau Jenderal Su yang bertubuh tinggi besar dan memelihara kumis tikus dan jenggot panjang itu memberi hormat lalu menjawab.

   "Harap Pangeran bersabar. Saya merasa yakin bahwa mereka pasti akan hadir karena kedua pihak itu telah memberi kepastian kepada saya. Agar tidak mencolok, maka mereka tentu datang dengan diam-diam."

   "Ahh, jangan-jangan mereka itu ketahuan dan tertangkap!" kata seorang pembesar sipil dengan wajah tegang dan gelisah. Kalau sampai persekutuan mereka diketahui karena tertangkapnya utusan dari luar itu, tentu mereka semua akan celaka. Jenderal Su Lok Ti mengerutkan alisnya kepada pembesar yang mengatakan kekhawatirannya itu, akan tetapi dia tidak ingin ribut berbantahan dengan seorang rekan. Dia berkata lagi kepada Pangeran Bouw.

   "Harap Pangeran tidak khawatir. Pihak utara dan selatan pasti mengirim utusan-utusan yang berkepandaian tinggi sekali sehingga tidak mungkin mereka dapat tertangkap. Saya kira sebaiknya Paduka mulai dengan rapat ini, menjelaskan rencana Paduka kepada kami semua. Nanti kalau para utusan itu datang, dapat dijelaskan kepada mereka keputusannya." Semua orang menyetujui usul ini dan Pangeran Bouw mengangguk.

   "Baiklah kalau begitu. Seperti yang kita semua ketahui, pendukung Kaisar yang merupakan penghalang besar bagi kita adalah menteri Yang Ting Ho dan Panglima besar Chang Ku Cing yang diikuti beberapa orang pembesar yang setia kepada mereka. Sekarang yang ingin kita bicarakan, bagaimana kita harus menanggulangi dan menyingkirkan penghalang-penghalang itu. Kalau ada yang mempunyai usul atau saran yang baik, katakanlah." Seorang yang berpakaian perwira tinggi berkata penuh semangat.

   "Pangeran, sebaiknya kita langsung saja mencabut akar yang menjadi penghalang itu. Kita bunuh saja Yang Ting Ho dan Chang Ku Cing!" Semua orang terkejut mendengar saran yang radikal itu. Pangeran Bouw mengerutkan alisnya, lalu menggelengkan kepalanya.

   "Saran itu menuju ke sasaran pokok, namun tidak mungkin dilakukan. Ingat, mereka berdua merupakan orang penting yang dekat kaisar dan mereka mempunyai banyak bawahan yang setia kepada mereka. Amat sukar untuk dapat melenyapkan mereka karena mereka mempunyai pengawal yang kuat. Andai kata kita dapat membunuh mereka pun, tentu akan menimbulkan kegemparan dan kita dapat dicurigai. Akan berbahaya kalau kita ketahuan sebelum kedudukan kaisar menjadi lemah.

   "Menurut kami, akan lebih baik kalau kita berusaha melemahkan kedudukan kedua orang penting itu dengan jalan diam-diam membinasakan para pengikut mereka yang setia. Kematian pembesar lain tentu tidak akan menimbulkan banyak kegemparan."

   "Pangeran, saya mempunyai saran yang kiranya lebih baik dan lebih aman," kata seorang pembesar sipil yang usianya sudah enampuluh tahun lebih.

   "Kita tentu masih ingat akan kematian Panglima Kui Seng yang membunuh diri di depan Panglima besar Chang Ku Cing. Semua orang tahu bahwa mendiang Panglima Kui Seng adalah pembantu utama yang setia kepada Panglima besar Chang. Bahkan sudah membuat banyak jasa. Akan tetapi panglima besar Chang mendesaknya karena demi menolong puterinya, Panglima Kui telah membebaskan tawanan dari penjara.

   "Nah, peristiwa itu tentu mendatangkan perasaan tidak senang dan penasaran dalam hati para perwira anak buah Panglima besar Chang. Kesempatan ini kita pergunakan untuk membujuk mereka agar meninggalkan Panglima besar Chang dan mendukung gerakan kita. Demikianlah, kalau mereka semua meninggalkan Panglima besar Chang, berarti kedudukan mereka menjadi lemah dan mudah bagi kita untuk menyingkirkan mereka." Pangeran Bouw mengangguk-angguk dan sepasang matanya bersinar gembira.

   "Bagus sekali saran Ciok-taijin (Pembesar Ciok) itu. Baik, kita mencoba untuk membujuk mereka dan kalau ada yang menolak, baru kita bunuh mereka yang menolak ajakan kita. Nah, siapa yang akan melaksanakan pembasmian mereka yang tidak mau bekerja sama dengan kita? Pekerjaan ini harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai ketahuan."

   "Pangeran, saya yang akan mengatur pembasmian mereka itu!" kata Jenderal Su Lok Ti.

   "Wah, itu terlalu berbahaya!" cela seorang pejabat tinggi lainnya.

   "Kalau Su-goanswe yang mengatur, lalu ketahuan, berarti rahasia kita semua terbongkar."

   "Tidak akan ada yang dapat mengetahui!" bantah Jenderal Su yang berwatak keras. Terjadi perbantahan antara mereka yang hadir, ada yang pro Su-goanswe akan tetapi ada pula yang anti. Akhirnya Pangeran Bouw mengangkat tangan memberi isyarat dan semua orang terdiam.

   "Kita harus bertindak hati-hati. Memang sebaiknya kalau usaha pembasmi pihak musuh itu dilakukan oleh sekutu kita yang datang dari luar. Selain mereka mempunyai banyak orang sakti, juga seandainya mereka tertangkap, istana tentu akan menganggap penyerangan sebagai tindakan para pemberontak di luar daerah itu dan sama sekali tidak akan mencurigai kita," kata Pangeran Bouw Ji Kong.

   "Akan tetapi bagaimana kalau mereka kemudian mengaku tentang persekutuan mereka dengan kita, Pangeran?" tanya seorang di antara para perwira tinggi yang berada di situ.

   "Mereka tidak akan mengaku, dan andaikata mereka mengaku, Kaisar tidak akan percaya. Buktinya tidak ada dan kaisar pasti akan lebih percaya kepadaku daripada mereka. Sudahlah, jangan khawatir. Sekarang sudah kita tentukan. Kita akan membujuk para pendukung Panglima besar Chang dengan matinya Panglima Kui sebagai alasan. Kalau bujukan itu telah dilaksanakan, maka siapa di antara mereka yang tidak mau bekerja sama, akan kita bunuh satu demi satu dan yang melaksanakan adalah orang-orang dari suku Mancu, suku Hui, dan dari Pek-lian-kauw."

   "Akan tetapi, apakah mereka sanggup melaksanakan tugas berat itu?" tanya seorang pembesar sipil.

   "Ha-ha-ha, siapa yang menyangsikan kesanggupan dan kemampuan kami?" tiba-tiba terdengar suara yang berlogat asing dan tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan dan tahu-tahu di dalam ruangm itu telah berdiri dua orang. Agaknya mereka berdua tadi melayang masuk melalui atap yang mereka buat tanpa ada pengawal yang melihat mereka saking cepatnya mereka bergerak.

   Seorang kakek tinggi kurus berwajah pucat seperti mayat dengan rambut putih, matanya sipit dan mulutnya menyeringai penuh ejekan membawa sebatang pedang di punggung dan sebatang kebutan putih terselip di ikat pinggang, dan seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian serba tebal, tubuhnya tinggi besar, mukanya berwarna merah tanpa kumis maupun jenggot, di pinggangnya tergantung sebatang golok gergaji. Kakek itu berusia sekitar enampuluh lima tahun dan dia adalah Hwa Hwa Hoat-su, seorang datuk dari Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi, baik ilmu silat maupun ilmu sihirnya. Dia datang berkunjung sebagai wakil dan utusan Pek-lian-kauw yang menjadi satu di antara para sekutu Pangeran Bouw.

   Adapun laki-laki kedua bermuka merah itu adalah Hongbacu, berusia sekitar empatpuluh lima tahun. Dia bukan orang sembarangan karena dia adalah adik seperguruan dari Nurhacu, tokoh Mancu yang kelak berhasil merobohkan kerajaan Beng dan membangun dinasti Ceng. Hongbacu ini menjadi wakil pihak Mancu dan utusan dari Nurhacu yang diam-diam juga menjadi sekutu Pangeran Bouw. Hongbacu memiliki ilmu kepandaian tinggi pula, di antara bangsa-bangsa di utara dia amat terkenal karena kelihaiannya. Pangeran Bouw yang sudah mengenal dua orang tokoh itu segera bangkit berdiri menyambut dengan girang.

   "Ah, kiranya Hwa Hwa Hoat-su wakil Pek-lian-kauw dan Saudara Hongbacu wakil dari Mancu. Selamat datang dan silakan duduk!" Setelah mereka berdua duduk di kursi yang memang sudah dipersiapkan untuk mereka, Hongbacu memandang kepada para hadirin, lalu bertanya dengan heran kepada tuan rumah.

   "Pangeran Bouw, saya tidak melihat Tarmalan, padahal dia adalah orang penting dalam persekutuan kita. Kenapa dia tidak hadir malam ini?"

   "Saudara Hongbacu, jangan khawatir, kami yakin bahwa dia pasti akan hadir," jawab Pangeran Bouw.

   "Heh-heh, apakah aku terlambat?" terdengar suara orang tanpa tampak orangnya. Lalu dari jendela muncul gumpalan asap memasuki ruangan itu dan perlahan-lahan asap itu membuat bentuk lalu berubah menjadi seorang laki-laki bertubuh sedang, berwajah tampan dan memegang sebatang tongkat ular. Usianya sekitar limapuluh lima tahun. Inilah Tarmalan, orang penting yang menjadi utusan suku bangsa Hui dan terkenal sebagai dukun atau ahli sihir.

   Dukun Tarmalan ini masih terhitung paman dari pangeran Bouw karena ibu kandung Pangeran Bouw yang menjadi selir Kaisar Cia Ceng ayah Kaisar Wan Li yang sekarang menjadi kaisar Kerajaan Beng, adalah kakak tertua dari Tarmalan. Kecuali Hongbacu dan Hwa Hwa Hoat-su yang berilmu tinggi, mereka yang duduk di situ memandang kagum atas kemunculan Tarmalan yang luar biasa itu. Tarmalan yang menjadi dukun dari suku bangsa Hui memang terkenal lihai, terutama ilmu sihirnya. Setelah tiga orang tamu istimewa itu duduk, Pangeran Bouw lalu berkata kepada mereka.

   "Terima kasih atas kedatangan Sam-wi (Anda bertiga) yang memang sejak tadi kami menantikan. Di dalam perundingan kami tadi, kami telah mengambil keputusan dan kini hanya tinggal minta pertimbangan Sam-wi apakah keputusan itu dapat diterima ataukah ada usul lain."

   "Apakah keputusan itu, Pangeran? Harap jelaskan dan akan kami pertimbangkan," kata Hwa Hwa Hoat-su sambit mengelus jenggotnya yang putih.

   "Keputusan kami begini, Locianpwe (orang Tua Perkasa). Kekuatan pemerintah terletak kepada Menteri Yang Ting Ho dan Panglima Chang Ku Cing. Kalau mereka berdua tidak ada, maka pemerintah akan menjadi lemah dan mudah kita gulingkan. Membinasakan dua orang tokoh itu tidaklah mudah dan akan menimbulkan kegemparan sehingga ada bahayanya persekutuan kita ketahuan sebelum kita sempat bergerak. Maka, kami tadi mengambil keputusan untuk melemahkan kedudukan dua orang itu dengan dua cara, yaitu pertama membujuk para pembesar sipil dan militer yang setia kepada mereka berdua dan cara kedua, membunuh mereka yang tidak mau bergabung dengan kita."

   "Ah, bagus sekali rencana itu!" kata Hwa Hwa Hoat-su.

   "Tidakkah engkau juga menyetujuinya, Sobat Hongbacu?" Tokoh Mancu itu mengangguk-anggukan kepalanya.

   "Memang tepat sekali kalau dua orang menteri itu kehilangan pendukung mereka, kedudukan mereka tentu lemah dan mudah bagi kita untuk menyingkirkannya sehingga Kaisar tidak lagi mempunyai pendukung setia yang tangguh."

   "Kami memang senang bahwa Sam wi agaknya sudah setuju dengan keputusan itu. Dan mengingat akan penting dan sukarnya pekerjaan ini, maka kami mengharapkan bantuan Sam-wi untuk melaksanakannya."

   "Silakan Pangeran mengadakan pendekatan dan bujukan kepada para pembesar yang mendukung Menteri Yang dan Panglima Chang itu, kemudian memberitahu kami siapa-siapa yang tidak mau bergabung dan harus dienyahkan. Pekerjaan itu akan kami bagi bertiga agar dapat terlaksana lebih cepat," kata Hwa Hwa Hoat-su yang memandang ringan tugas itu.

   "Ha-ha-ha!" Hongbacu tertawa.

   "Tugas semudah itu serahkan saja kepadaku. Aku akan dapat membasmi mereka. Katakan saja kepadaku siapa-siapa yang harus dibunuh, Pangeran!"

   "Heh-heh-heh, Hongbacu, tidak boleh kau borong sendiri! Aku setuju dengan pendapat Hwa Hwa Hoat-su tadi. Tugas itu kita bagi bertiga dan kita lihat saja siapa yang lebih dulu dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna!" Tarmalan berkata sambil memandang kepada tokoh Mancu bertubuh tinggi besar dan bermuka merah itu.

   "Kami akan melaksanakan cara pertama, melakukan pendekatan dan membujuk para pembesar itu. Sementara itu, Sam-wi lebih baik tinggal di sini dan tidak keluar agar jangan terlihat orang lain. Nanti setelah kami melakukan cara pertama, baru kami akan memberitahukan siapa-siapa yang harus dilenyapkan oleh Sam-wi," kata Pangeran Bouw.

   Semua orang setuju dan pertemuan itu ditutup dengan makan malam yang sudah dipersiapkan. Hidangan mewah dengan arak yang harum. Sampai larut lewat tengah malam barulah pertemuan itu diakhiri dan para pembesar sipil dan militer itu kembali ke rumah masing-masing. Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, Tarmalan masing-masing diberi sebuah kamar mewah dalam istana Pangeran Bouw dan sejak malam itu mereka menanti di istana, dilayani dengan baik oleh para pelayan wanita yang khusus bertugas melayani tamu-tamu agung ini.

   Pada keesokan harinya, menjelang senja, ketika Pangeran Bouw Ji Kong sedang duduk termenung memikirkan pelaksanaan rencananya mengambil alih kekuasaan kaisar Wan Li, kakak tirinya, dia mendengar langkah orang memasuki kamarnya. Dia menoleh dan melihat seorang pemuda memasuki kamar itu. Pemuda itu adalah Bouw Cu An atau yang biasa disebut Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw), putera tunggalnya. Seorang pemuda bertubuh sedang dengan pakaian seperti seorang sastrawan, wajahnya tampan bulat, matanya lembut dan mulutnya selalu tersenyum. Wajah pemuda ini mirip wajah ibunya yang cantik.

   "Hemm, engkau, Cu An?" tegur Sang Ayah dengan lembut. Karena dia hanya mempunyai seorang putera, tentu saja Pangeran Bouw amat sayang kepada puteranya ini. Bouw Cu An memberi hormat kepada ayahnya sebelum duduk di depan ayahnya, terhalang meja.

   "Ayah, maafkan saya kalau saya mengganggu ketenangan Ayah. Akan tetapi ada hal-hal penting yang ingin saya tanyakan dan bicarakan dengan Ayah, kalau sekiranya Ayah membolehkan." Pangeran Bouw tersenyum. Dia selalu merasa senang melihat sikap dan cara puteranya ini bicara, penuh kesopanan dan hormat kepadanya di samping perasaan berbakti dan sayang kepada orang tua.

   "Boleh saja, Cu An. Bicaralah! Apa yang ingin kautanyakan?"

   "Sebelumnya saya minta maaf, Ayah. Saya melihat ada tiga orang tamu asing di ruangan bagian tamu dan saya mendengar bahwa mereka adalah utusan dari Pek-lian-kauw, dari bangsa Mancu, dan suku Hui. Apakah artinya semua ini, Ayah? Juga saya mendengar bahwa Ayah bersekutu dengan mereka untuk menentang Sribaginda Kaisar. Benarkah ini, Ayah?"

   "Cu An," kata Pangeran Bouw dan suaranya terdengar tegas.

   "Engkau tidak perlu mencampuri urusan pribadi Ayahmu. Aku melihat betapa pemerintahan Paman kaisar itu berengsek, para pejabatnya sebagian besar melakukan korupsi, menyeleweng dan bertindak sewenang-wenang. Aku tidak mungkin tinggal diam saja. Kekuasaan Pamanmu Kaisar harus dihentikan, kalau tidak rakyat akan menderita sengsara! Untuk menentang pemerintahan, aku harus bersekutu dengan pihak-pihak yang memusuhi pemerintah! Engkau tidak perlu ikut memikirkan, tidak perlu ikut campur. Engkau masih terlalu muda dan tidak tahu apa-apa."

   Bouw Cun An atau Bouw Kongcu mengerutkan alisnya yang hitam. Dia bukan hanya mewarisi wajah ibunya, akan tetapi juga watak ibunya yang lembut dan baik, dan sejak kecil dia mempelajari sastra, telah banyak membaca kitab-kitab suci, tahu akan jalan hidup terbaik yang harus ditempuh manusia.

   "Maaf, Ayah. Kalau saya tidak salah dengar, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak yang terkenal jahat, menggunakan agama baru Teratai Putih untuk mengelabuhi rakyat. Mereka itu pembunuh dan perampok. Adapun bangsa Mancu adalah bangsa di Utara yang kini telah menguasai seluruh daerah utara dan merupakan ancaman bagi tanah air dan bangsa kita. Adapun dukun Tarmalan itu, menurut Ibu merupakan orang yang kabarnya juga menjadi rekan bangsa Mancu. Bagaimana kini Ayah bersekutu dengan mereka? Apakah tindakan Ayah itu sudah diperhitungkan benar dan tidak keliru?"

   "Anak bodoh! Pek-lian-kauw dan bangsa Mancu kini memiliki kekuatan yang dapat membantu kita. Tanpa bantuan mereka, akan sukarlah menjatuhkan pemerintahan ini. Dan engkau tahu, siapa itu Tarmalan? Dia adalah Kakekmu, karena dia adalah Paman dariku! Dia adalah seorang pandai dan sakti dari suku Hui, dan dapat membantu kita menentang pemerintah Pamanmu Kaisar yang lemah itu!"

   "Sekali lagi maaf, Ayah. Kalaupun benar bahwa Paman kaisar Wan Li itu lemah, dipengaruhi para Thai-kam dan para pembesar penjilat, sudah sepatutnya kalau Ayah sebagai adiknya membela Kaisar yang harus ditentang bukanlah Kaisar, melainkan para pembesar yang menyeleweng dan korup itu. Kalau pemerintah yang Ayah tentang, berarti Ayah akan melakukan pemberontakan......."

   "Diam.....!" Pangeran Bouw membentak marah.

   "Cu An, jangan lanjutkan pikiran dan bicaramu seperti itu! Apakah engkau ingin agar rasa sayangku kepadamu berubah menjadi rasa benci?" Cu An terkejut melihat ayahnya berkata demikian. Baru sekali ini ayahnya marah seperti itu kepadanya dan memandangnya dengan sinar mata berapi penuh kebencian. Hal ini membuat hatinya berdua sekali. Bukan dua karena tindakan ayahnya yang dia anggap keliru, melainkan terutama sekali karena rasa sayang ayahnya demikian mudah dapat berbalik menjadi rasa benci.

   "Maafkan saya, Ayah........" katanya halus dan dia lalu meninggalkan ruangan itu. Pangeran Bouw menampar permukaan meja dengan perasaan kesal.

   Ayah dan anak ini sama sekali tidak tahu bahwa pembicaraan mereka tadi didengar Hongbacu yang kebetulan keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan dekat ruangan itu. Mendengar semua ucapan Bouw Kongcu, tokoh Mancu yang tinggi besar bermuka merah itu mengepal tangannya. Anak ini sungguh berbahaya, pikirnya, dan kalau ada orang yang sepatutnya dibinasakan, maka pemuda inilah yang menjadi orang pertama. Kalau pemuda itu berhasil membujuk ayahnya dan Pangeran Bouw berubah pikiran, maka semua rencana akan hancur dan dia akan mendapatkan teguran keras dari pemimpinnya yang keras, yaitu Nurhacu.

   Bouw Kongcu merasa sedih melihat sikap ayahnya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa ayahnya akan memberontak terhadap Kaisar yang masih kakak tirinya sendiri. Biasanya, sikap ayahnya selalu merasa penasaran dan menentang para pembesar yang korup dan yang menggunakan kekuasaan mereka untuk berlumba mengumpulkan kekayaan saja. Sikap ini dianggapnya baik karena dia sendiri juga muak melihat para pembesar korup yang suka sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Akan tetapi, kini ayahnya hendak memberontak dan terasa olehnya bahwa ayahnya ingin sekali menggantikan kedudukan kaisar.

   Yang amat menyedihkan hatinya, ayahnya telah bersekutu dengan orang Pek-lian-kauw dan orang Mancu, juga dibantu Dukun Tarmalan yang menurut cerita ibunya merupakan seorang dukun bangsa Hui, masih paman dari ayahnya, akan tetapi terkenal jahat. Bagaimana ayahnya sampai terperosok sedemikian dalamnya, bersekutu dengan orang-orang jahat untuk memberontak terhadap Kaisar? Menurut kepantasan, ayahnya sebagai adik tiri kaisar, mestinya membela Kaisar dari orang-orang jahat, bukan sebaliknya bersekutu dengan mereka menentang Kaisar! Apakah ayahnya akan menjadi pengkhianat tanah air dan bangsa?

   Pemuda yang terpelajar ini maklum bahwa semua penyelewengan ayahnya itu didorong oleh ambisinya untuk menjadi kaisar! Dan dia menjadi sedih sekali. Sekeluarnya dari ruangan itu, Bouw Kongcu langsung keluar dari istana. Baginya, istana ayahnya menjadi tempat yang memuakkan dan juga berbahaya, telah menjadi tempat persembunyian orang-orang jahat yang mengatur rencana pemberontakan! Tanah pekarangan istana ayahnya saat itu terasa panas, menembus sepatunya dan membakar telapak kakinya. Dia bersicepat lari keluar dari pekarangan. Empat orang perajurit pengawal yang berjaga di pintu gerbang memberi hormat kepadanya, namun tidak dipedulikan.

   Padahal biasanya Bouw Kongcu bersikap ramah dan manis kepada semua perajurit pengawal ayahnya, bahkan para pelayan dalam istana menghormati dan menyukainya karena dia bersikap manis kepada siapapun juga tanpa memandang kedudukan mereka. Ketika tiba di jalan besar, Bouw Kongcu seolah melihat kota raja yang terancam perang akibat pemberontakan ayahnya. Banyak orang tewas dan banjir darah terjadi. Dia merasa ngeri dan cepat-cepat dia keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Dia tidak tahu akan pergi ke mana. Pokoknya dia harus meninggalkan kota raja, meninggalkan istana keluarganya, meninggalkan ayahnya sejauh mungkin agar jangan ikut ternoda kotoran akibat ulah ayahnya.

   Senja telah menjelang malam. Matahari mulai terbenam di barat sehingga cahayanya yang tertinggal amat lemah. Sebentar lagi tentu digantikan kegelapan malam. Bouw Kongcu berjalan terus dan tiba di jalan tepi hutan yang sunyi. Teringat akan ayahnya, Bouw Kongcu berhenti melangkah dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, memejamkan mata dan berulang-ulang menarik napas panjang. Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan Hongbacu yang tinggi besar bermuka merah, tokoh Mancu itu, telah berdiri di depannya.

   Bouw Kongcu mendengar suara tawa seperti ringkik kuda dan ketika dia membuka matanya, dia melihat Hongbacu dan merasa terkejut sekali karena dia mengenal orang tinggi besar itu sebagai seorang di antara tiga tamu asing yang berada di istana ayahnya. Melihat orang itu tertawa dan matanya memandangnya dengan sinar yang menyeramkan, Bouw Kongcu dapat merasakan ancaman bahaya. Maka tanpa berkata apa pun, dia lalu memutar tubuhnya dan melarikan diri. Dia tidak tahu ke mana akan pergi. Dia hanya ingin menjauhkan diri dari orang Mancu itu. Akan tetapi baru belasan langkah dia melarikan diri, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hongbacu telah berdiri menghadang di depannya sambil bertolak pinggang dan tertawa.

   "He-he-hek! Engkau hendak pergi ke mana, Bouw Kongcu?" Pemuda itu dari ketakutan menjadi marah dan menegur.

   "Bukankah engkau ini orang Mancu yang menjadi tamu Ayahku? Kenapa engkau menghalangi perjalananku?" Dia melanjutkan dengan bentakan.

   "Aku hendak pergi ke mana tidak ada urusannya denganmu. Minggir dan biarkan aku lewat, atau aku akan melaporkan kepada Ayahku tentang kekurang-ajaranmu ini!"

   "Hi-hi-he-he-hek! Justru aku mewakili Ayahmu untuk mencegah engkau pergi dan berbuat macam-macam untuk menentang kami! Aku diminta untuk membawamu pulang."

   "Aku tidak mau pulang dan jangan engkau mencampuri urusan pribadiku!"

   "Heh-heh-heh, engkau mau atau tidak, aku tetap akan membawamu pulang, Bow Kongcu!" Akan tetapi Bouw Cu An sudah membalikkan tubuhnya dan lari lagi secepatnya menjauhi Hongbacu.

   "Ha-ha-hi-hik, engkau hendak lari ke mana, Bouw Kongcu?" Kembali Bouw Kongcu hanya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hongbacu sudah berdiri di depannya, dalam jarak sekitar tiga tombak! Tokoh Mancu ini menyeringai dan melangkah perlahan menghampiri pemuda itu.

   "Ah, di mana-mana yang kuat menekan yang lemah!" terdengar suara lembut dan sesosok tubuh melayang dan seorang laki-laki telah berdiri di antara Bouw Cu An dan Hongbacu, menghadapi orang Mancu itu. Dia seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh enam tahun, berpakaian jubah tosu (pendeta Agama To) kuning, bertubuh tinggi kurus dengan wajah tampan dan sikapnya lembut.

   Di punggungnya terselip sebatang pedang, akan tetapi kalau ada orang memperhatikan pedang itu, dia tentu akan merasa aneh dan lucu karena pedang itu hanya sebatang pedang dari bambu seperti pedang mainan anak-anak! Akan tetapi biarpun dia tidak mengenal tosu itu, Hongbacu adalah seorang yang mempunyai banyak pengalaman dan melihat tosu itu mempunyai sebatang pedang dari bambu, dia sama sekali tidak berani memandang rendah. Bahkan dia merasa terkejut karena kalau seorang berani membawa senjata selemah itu, hal ini jelas menunjukkan bahwa dia tentu seorang yang berilmu tinggi! Setelah menatap tajam wajah tosu itu, Hongbacu berkata.

   "Sobat, engkau seorang pendeta, tidak pantas mencampuri urusan orang lain!"

   "Siancai (damai)......! Pinto (aku) tidak mencampuri urusan, hanya ingin mengetahui apa yang terjadi maka seorang gagah seperti engkau hendak memaksa seorang pemuda yang lemah."

   ðŸŽ‹ðŸ˜€

   

   "Dengarlah, tosu yang baik! Pemuda ini minggat dari rumah orang tuanya dan aku diutus Ayahnya untuk membawanya pulang! Pantaskah kalau engkau menghalangiku?" Tosu itu menoleh kepada Bouw Cu An.

   "Orang muda, benarkah engkau minggat dari rumah dan sobat ini diutus Ayahmu untuk mengajakmu pulang?"

   "Totiang (Bapak Pendeta), saya tidak percaya kalau dia diutus Ayah untuk mengajak saya pulang. Orang Mancu ini pasti mempunyai niat jahat terhadap saya karena saya dia anggap sebagai penghalang semua niat buruknya." Tosu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

   "Dua keterangan yang berbeda dan saling bertentangan. Sekarang begini saja, Sobat. Kaubiarkan pemuda ini pergi dan jangan ganggu dia lagi, lanjutkan saja perjalanan masing-masing dan aku berjanji tidak akan mencampuri urusan kalian berdua."

   "Tidak bisa!" Hongbacu berseru marah.

   "Dia harus ikut aku pulang ke rumah orang tuanya, mau atau tidak dia harus ikut!"

   "Siancai......! Ini namanya pemaksaan sewenang-wenang dan pinto jelas tidak dapat mendiamkannya saja."

   "Bagus, Tosu usil, siapakah engkau yang berani mencampuri urusanku dan menentangku?"

   "Pinto bernama Ouw-yang Sianjin, pinto tidak menentangmu, Sobat, melainkan menentang perbuatan jahat dan sewenang-wenang."

   Ouw-yang Sianjin ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal di dunia persilatan karena dia merupakan seorang pendekar perantau yang berilmu tinggi dan selalu menentang kejahatan. Dia adalah sute (adik seperguruan) dari mendiang Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, ayah dari Ong Lian Hong atau guru dari Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Pada senja hari itu, secara kebetulan saja dia melihat Bouw Kongcu didesak oleh Hongbacu, maka dia segera turun tangan membela Bouw Kongcu.

   "Ouw-yang Sianjin, tosu keparat! Engkau sudah bosan hidup!" kini Hongbacu tidak sabar lagi.

   Memang pada dasarnya orang Mancu ini berwatak keras dan sombong karena bagi seluruh suku Mancu, dia merupakan jagoan yang sudah tersohor dan jarang dapat ditandingi. Setelah membentak dia sudah mencabut gergajinya dari pinggang. Senjata ini menyeramkan. Sebatang golok yang lebar dan berat, berkilauan saking tajamnya dan punggung golok itu bergigi seperti gergaji! Tanpa bicara lagi dia menggerakkan goloknya yang berat itu dengan cepat. Golok itu mengeluarkan bunyi berdesing dan mengandung kekuatan yang dahsyat menyambar ke arah leher Ouw-yang Sianjin.

   "Yaahhhh!" Ouw-yang Sianjin cepat mengelak dan dari serangan pertama itu saja tahulah dia bahwa orang Mancu yang menjadi lawannya itu merupakan lawan yang tangguh.

   Maka dia pun melompat ke belakang menghindari serangan susulan sambil mencabut senjatanya yang aneh dan ringan, yaitu sebatang pedang terbuat dari bambu! Akan tetapi begitu dia menggerakkan dan memutar-mutar pedang bambu itu, tampak gulungan sinar yang bercuitan mengelilingi tubuhnya seperti membentuk sebuah perisai sinar! Hongbacu merasa penasaran dan sambil mengerahkan sin-kang dia menyerang dengan goloknya dengan maksud untuk mematahkan pedang bambu lawan. Sinar goloknya meluncur hendak menerobos gulungan sinar pedang bambu itu.

   "Singgg...... takk......!" Golok yang berat itu terpental ketika bertemu pedang bambu. Akan tetapi Ouw-yang Sianjin juga merasa betapa tangannya yang memegang gagang pedang kayu tergetar hebat. Keduanya terkejut dan mundur, maklum bahwa lawan memiliki sin-kang yang kuat dan seimbang. Hongbacu sudah menerjang lagi.

   Ouw-yang Sianjin bergerak cepat mengelak lalu balas menyerang. Pedang bambunya itu amat lihai dan mampu menembus kulit daging lawan yang betapa kebal pun! Terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan kedua orang itu sedemikian ringan dan cepatnya sehingga tubuh mereka seperti berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua sinar kuning dan putih dari pedang bambu dan golok. Tenaga sakti yang mereka pergunakan sedemikian kuatnya sehingga gerakan senjata mereka menimbulkan angin yang menyambar-nyambar dan merontokkan daun-daun pohon di sekeliling mereka.

   Bouw Cu An bersandar pada batang pohon sambil terduduk di atas tanah. Dia memandang bengong, heran, kagum dan tegang mencekam hatinya. Bunyi pedang bambu bertemu golok terkadang mengeluarkan getaran amat kuat sehingga Bouw Kongcu harus menutupi kedua telinganya dengan tangan karena suara berdenting itu seolah menusuk gendang telinganya. Pandang matanya juga menjadi

kabur oleh sinar yang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar itu. Jantungnya berdebar tegang karena dia maklum bahwa kalau tosu yang membelanya itu kalah, nyawanya sendiri pasti terancam.

   Lebih dari seratus limapuluh jurus mereka bertanding, kini mereka bertanding dalam kegelapan karena malam telah tiba, atau sinar matahari tidak bersisa lagi. Keduanya mengandalkan ketajaman telinga dan perasaan untuk berkelahi karena pandang mata tidak dapat diandalkan lagi. Biarpun sudah demikian lamanya mereka berkelahi, tidak ada yang menang ataupun kalah. Jangankan menang, mendesak lawan pun tidak dapat. Kekuatan mereka seimbang, baik tenaga sin-kang, gin-kang (meringankan tubuh) maupun kehebatan jurus-jurus silat mereka.

   Akan tetapi kini terdapat perbedaan. Hongbacu mulai lelah dan pernapasannya mulai memburu. Usia mereka memang sebaya, sekitar empatpuluh enam tahun, dan tenaga mereka juga seimbang. Hanya bedanya, dan ini merupakan perbedaan besar, kalau Ouw-yang Sianjin hidup dengan sehat dan bersih tidak pernah menghamburkan tenaga untuk melampiaskan nafsu-nafsunya, sebaliknya Hongbacu hidup bergelimang kesenangan duniawi dan menuruti nafsu-nafsunya, terutama nafsu berahinya.

   Sebagai orang yang berkedudukan tinggi dan pembantu terpercaya Nurhacu pemimpin bangsa Mancu, Hongbacu memiliki banyak isteri. Inipun masih belum memuaskan nafsunya dan dia masih sering menggoda wanita cantik di mana pun dia berada. Hal ini memboroskan tenaganya dan memperlemah daya tahan pernapasannya. Maka setelah bertanding hampir seratus tujuhpuluh jurus, dia mulai merasa lemah. Maklum bahwa kalau dilanjutnya dia akan kalah dan tidak mungkin menang, Hongbacu mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya melompat jauh ke belakang lalu dia menghilang dalam kegelapan malam!

   


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 07
   Ouw-yang Sianjin tidak mengejar karena dia memang tidak bermaksud untuk bermusuhan dengan orang Mancu itu. Dia hanya ingin membela pemuda yang terancam tadi. Setelah Hongbacu pergi, Ouw-yang Sianjin menyimpan pedang bambunya dan memandang kepada pemuda yang masih duduk bersandar batang pohon. Cuaca yang gelap, hanya remang-remang mendapat sinar bintang-bintang yang bertaburan di langit, membuat dia tidak dapat melihat jelas keadaan pemuda itu. Dia menghampiri dan berkata.

   "Orang muda, bahaya telah lewat. Hari telah malam, sebaiknya engkau segera pulang ke rumahmu." Bouw Cu An bangkit berdiri dan memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan ke dada lalu membungkuk sampai dalam.

   "Totiang, saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Totiang. Kalau tidak ada Totiang, mungkin sekali saya telah dibunuh oleh orang Mancu itu."

   "Sudahlah, tidak perlu berterima kasih kepada pinto, karena Sang Maha Penolong adalah Thian (Tuhan) dan kebetulan saja tadi Thian menolongmu dengan menggunakan diriku. Sekarang sebaiknya engkau pulang saja."

   "Totiang, saya tidak akan pulang, saya merasa ngeri untuk pulang, apalagi setelah terjadi peristiwa tadi."

   "Tidak mau pulang dan merasa ngeri untuk pulang? Aih, aneh sekali. Apakah yang telah terjadi di rumahmu, orang muda?"

   "Sesungguhnya hal ini tidak semestinya saya ceritakan kepada orang lain karena saya tidak ingin menjadi anak yang durhaka, Totiang."

   "Kalau begitu, jangan ceritakan kepadaku."

   "Totiang, saya pernah mendengar nama Totiang. Tentu Totiang ini Ouw-yang Sianjin yang dulu pernah berjasa membongkar rencana busuk Pek-lian-kauw. Terhadap Totiang, saya ingin berterus terang, karena Totiang yang akan dapat mengerti." Bouw Cu An lalu menceritakan tentang utusan Mancu yang tadi hendak menangkapnya, yang bersama Hwa Hwa Hoat-su utusan Pek-lian-kauw dan Tarmalan dukun suku Hui kini berada di rumah ayahnya dan mengadakan persekutuan dengan ayahnya. Ketika dia bercerita sampai di sini, Ouw-yang Sianjin bertanya.

   "Ah, siapakah Ayahmu itu?"

   "Ayah saya adalah Pangeran Bouw Ji Kong, adik tiri Sribaginda Kaisar. Saya adalah putera tunggalnya, nama saya Bouw Cu An." Ouw-yang Sianjin terkejut.

   "Ah, kiranya engkau putera Pangeran Bouw, Kong-cu? Kalau begitu, engkau harus cepat pulang dan laporkan saja kepada Ayahmu apa yang tadi hendak dilakukan orang Mancu itu kepadamu."

   "Tidak, Totiang, saya tidak akan pulang, saya tidak mau pulang dan melihat Ayah saya bersekutu dengan orang-orang jahat dan mempunyai rencana jahat terhadap Kaisar........" Tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki tosu itu.

   "Saya mohon agar Totiang suka membawa saya pergi dan menerima saya sebagai murid. Tolonglah, Totiang, terimalah saya karena saya ingin belajar ilmu silat agar kelak dapat menghadapi para penjahat........"

   "Akan tetapi, Kongcu, engkau adalah seorang putera bangsawan tinggi, bagaimana mungkin engkau menjadi murid pinto yang hanya seorang tosu perantau? Engkau akan hidup sengsara dan serba kekurangan." Dia menyentuh pundak pemuda itu dan hendak menariknya.

   "Bangkitlah, Kongcu, tidak pantas engkau menghormati pinto seperti ini."

   "Tidak, Totiang, sebelum Totiang menerima saya sebagai murid, saya akan tetap berlutut. Saya tidak mau pulang dan saya tidak tahu harus pergi ke mana."

   Ouw-yang Sianjin menghela napas panjang. Dia adalah seorang yang sejak muda menjauhkan diri dari dunia ramai, tidak seperti mendiang suhengnya, yaitu Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, yang hidup sebagai pendekar dan pejuang, bahkan menikah dan mempunyai seorang puteri. Dia sendiri tidak menikah, bahkan selama hidupnya baru satu kali dia menerima murid, yaitu Ong Lian Hong puteri suhengnya itu. Bahkan gadis itu pun hanya dia bimbing untuk memperdalam ilmu silatnya saja karena Ong Lian Hong sudah menerima pelajaran dari ayahnya. Dia seorang perantau yang tidak memiliki tempat tinggal tetap.

   Kini ada seorang pemuda bangsawan tinggi putera pangeran dan keponakan dari kaisar Wan Li, ingin menjadi muridnya! Apalagi ayah pemuda ini agaknya seorang pengkhianat yang hendak memberontak terhadap kaisar dan bersekutu dengan musuh-musuh negara seperti bangsa Mancu dan perkumpulan Pek-lian-kauw! Akan tetapi pemuda ini luar biasa, pikirnya. Ayahnya hendak memberontak dan dia sebagai putera tunggal menentang, bahkan meninggalkan ayahnya, ingin menjadi muridnya dan siap hidup serba kekurangan dan sengsara. Juga sikapnya demikian lembut, baik dari ucapannya yang menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar maupun dari gerak geriknya. Timbul perasaan suka dan iba di hatinya terhadap Bouw Cun An.

   "Baiklah, Bouw Kongcu. Kalau engkau bertekad untuk menjadi muridku dan ingin ikut denganku, bangkitlah." Bukan main girang rasa hati Bouw Cu An. Dia yang masih berlutut segera memberi hormat dan berkata dengan terharu.

   "Terima kasih atas penerimaan Suhu dan teecu (murid) mohon agar Suhu tidak menyebut teecu Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw). Sebut saja nama teecu Bouw Cu An."

   "Baiklah, Cu An. Sekarang bangkitlah dan mulai sekarang juga engkau harus melatih badanmu memperkuat daya tahan. Ikuti aku!" Tosu itu lalu melangkah dan sengaja dia memilih jalan dalam hutan yang sukar dan penuh rintangan.

   Selain gelap karena hanya diterangi cahaya bintang-bintang, juga jalan itu kasar berbatu-batu, terhalang semak belukar yang kadang-kadang berduri. Bahkan dia mulai mendaki bukit sehingga Bouw Cu An yang sejak kecil hidup serba enak itu merasa tersiksa sekali. Namun, hanya badannya yang tersiksa karena hatinya masih diliputi rasa girang. Dia sudah bertekad untuk mempelajari ilmu silat dan untuk ini dia siap untuk menderita sengsara, yaitu kesengsaraan, kenyerian dan kelelahan badannya. Hongbacu, tokoh Mancu itu setelah gagal menangkap Bouw Cun An, lalu melapor kepada Pangeran Bouw bahwa pemuda itu diculik oleh seorang tosu bernama Ouw-yang Sianjin!

   "Saya sudah berusaha untuk merebutnya kembali, akan tetapi tosu itu cukup lihai dan dapat melarikan Bouw Kongcu," demikian Hongbacu mengakhiri laporannya.

   "Ah, saya tahu siapa itu Ouw-yang Sianjin!" seru Hwa Hwa Hoat-su tokoh Pek-lian-kauw.

   "Dia masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar dengan nyawanya. Dialah yang menggagalkan rombongan kami sehingga Leng Kok Ho-siang dan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw terbunuh. Sekarang dia malah menculik putera Paduka, Pangeran. Orang itu berbahaya bagi kita semua dan harus dibunuh!"

   Pangeran Bouw Ji Kong marah sekali dan dia mengerahkan anak buahnya untuk mencari puteranya yang kabarnya diculik dan dilarikan oleh Ouw-yang Sianjin. Namun semua usahanya sia-sia. Bouw Cu An dan Ouw-yang Sianjin tak dapat ditemukan, lenyap tanpa meninggalkan bekas. Sementara itu, sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh persekutuan itu, Pangeran Bouw Ji Kong berusaha melakukan pendekatan kepada para pejabat sipil dan militer yang setia kepada Kaisar dan menaati menteri Yang Ting Ho dan Panglima Chang Ku Cing. Dia berusaha untuk membujuk mereka dan memanas-manasi hati mereka dengan penggambaran betapa buruknya pemerintah itu di bawah Kaisar Wan Li yang sudah dipengaruhi dua orang pejabat tinggi itu. Namun, usaha ini ternyata gagal.

   Setelah kurang lebih setahun melakukan pendekatan dan bujukan, hasilnya sedikit sekali. Hanya ada beberapa orang saja yang dapat terbujuk dan menerima ajakan Pangeran Bouw untuk bergabung dan mendukung pangeran itu. Sebagian besar menolak dan tetap setia kepada Kaisar dan dua orang pejabat tinggi itu. Karena cara yang pertama gagal, maka dimulailali cara kedua, yaitu membunuh para pejabat yang setia kepada Kaisar. Untuk pekerjaan ini, diserahkan kepada tiga orang sakti yang tinggal di istana Pangeran Bouw Ji Kong, yaitu Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, dan Tarmalan.

   Bagaikan berlumba saja, tiga orang sakti itu dalam jangka waktu sebulan masing-masing telah membunuh dua orang pejabat tinggi. Tentu saja kota raja menjadi gempar! Dalam waktu sebulan ada enam orang pembesar yang setia kepada kaisar telah terbunuh dan pembunuhnya sama sekali tidak meninggalkan jejak! Juga tidak ada seorang pun perajurit penjaga yang melihat Si pembunuh, bayangannya saja pun tidak tampak! Kaisar Wan Li pun sempat panik mendengar laporan tentang terbunuhnya enam orang pejabat tinggi secara beruntun itu. Kaisar segera memanggil dua orang pembantunya yang paling diandalkan, yaitu Menteri Yang Ting Ho dan Panglima besar Chang Ku Cing.

   Dengan tegas Kaisar Wan Li memerintahkan kepada mereka berdua untuk melacak dan menangkap pembunuh yang membuat resah para pembesar di kota raja. Sebelumnya, dua orang pembesar ini memang sudah amat terkejut dan penasaran. Maka, mereka berdua sudah mendatangi rumah mereka yang terbunuh dan memeriksa sendiri keadaan mayat para pembesar yang terbunuh dalam kamar mereka itu. Maka, setelah dipanggil kaisar dan menerima perintah yang mengandung teguran itu, keduanya lalu berunding di gedung tempat tinggal Menteri Yang Ting Ho. Mereka berunding berdua saja dalam sebuah ruangan tertutup. Dua orang pembantu Kaisar yang usianya sudah sekitar limapuluh tahun itu duduk berhadapan dengan wajah muram.

   "Chang Ciang-kun." kata Menteri Yang,

   "menurut dugaanku, kiranya tidak salah lagi bahwa pembunuh para pejabat tentulah orang Pek-lian-kauw. Mereka memang memiliki orang-orang sakti, dan bukan mustahil mereka datang mengacau sebagai pembalasan karena dulu gerakan mereka yang dipimpin Leng Kok Ho-siang itu telah gagal."

   "Dugaanmu itu kiranya tidak meleset jauh, Yang Taijin," kata Panglima Chang yang bertubuh tinggi tegap dan tampak gagah dengan kumis dan jenggotnya yang pendek terpelihara rapi dan pakaiannya sebagai seorang panglima tinggi.

   "Memang agaknya hanya Pek-lian-kauw saja yang menjadi musuh besar kita di dalam negeri. Akan tetapi ada dua hal yang amat menarik hatiku. Pertama, enam orang yang terbunuh itu merupakan pejabat-pejabat tinggi yang setia kepada Sribaginda Kaisar dan merupakan pejabat yang mendukung kita berdua dalam kesetiaan kita kepada pemerintah. Dua orang pejabat sipil itu adalah pejabat yang baik dan enam orang pejabat militer itu adalah bawahan dan pembantu-pembantuku."

   "Engkau benar, Ciang-kun. Dua orang itupun merupakan pembantumu yang setia. Jadi kalau begitu, pembunuh itu sengaja hendak melemahkan kita dengan jalan membunuhi para pembantu kita?"

   "Tentu saja yang mereka incar adalah Sribaginda Kaisar. Karena kita berdua yang memperkuat kedudukan Sribaginda Kaisar, maka kitalah yang lebih dulu diserang. Bawahan kita yang setia dibunuh untuk melemahkan kekuatan kita sehingga mereka akan mudah untuk menujukan serangan mereka dengan sasaran utama, yaitu Sribaginda Kaisar," kata Panglima Chang.

   Menteri Yang Ting Ho mengerutkan alisnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Untuk urusan serang menyerang dan menggunakan siasat menyerang pihak lawan dengan berbagai akal dan cara tentu saja merupakan keahlian Panglima Chang.

   "Agaknya engkau benar, Ciang-kun. Akan tetapi hal kedua apakah yang menarik hatimu?"

   "Taijin, ketika kita memeriksa keadaan jenazah enam orang korban itu aku melihat keanehan."

   "Keanehan? Aku hanya melihat bahwa mereka dibunuh secara kejam sekali."

   "Aku memperhatikan penyebab kematian mereka, Taijin. Ada tiga macam sebab kematian mereka, dan masing-masing dua orang mati dengan cara yang sama, berbeda dengan yang lain."

   "Aku tidak melihat hal itu, Ciang-kun. Aku hanya melihat bahwa mereka tewas dalam keadaan mengerikan, ada yang lehernya putus, kepalanya remuk, dadanya luka menembus punggung......"

   "Nah, itulah Taijin! Dua orang di antara mereka tewas dengan leher terpenggal. Agaknya yang memenggal leher mereka menggunakan senjata yang amat tajam dan berat sehingga leher mereka itu putus terbabat dengan sempurna. Dua orang lagi mati dengan kepala mereka remuk, padahal tidak tampak terluka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka berdua menerima pukulan dengan senjata lunak yang tidak meninggalkan bekas namun dapat menghancurkan, membuktikan bahwa pelakunya memiliki sin-kang yang amat kuat. Adapun dua orang lagi mati dengan dada terluka dan menembus punggung. Luarnya bundar menandakan bahwa mereka berdua tentu ditusuk senjata yang kecil, mungkin tombak atau tongkat, akan tetapi jelas bukan pedang atau golok."

   "Hemm, jadi maksudmu, mereka berenam itu dibunuh oleh tiga orang pembunuh yang memiliki keahlian berbeda?"

   "Kesimpulannya begitulah, Taijin. Mereka tentu tiga orang dan mereka memiliki kepandaian tinggi, juga mereka kejam dan berbahaya sekali."

   "Hemm, kalau begitu, bagaimana kita harus menghadapi mereka, Ciang-kun. Kukira engkaulah yang paling tepat untuk menanggulangi bahaya ini. Aku sendiri akan menasihati Sribaginda Kaisar untuk melipat gandakan pasukan pengawal yang kuat dan pilihan agar setiap saat Sribaginda dilindungi dengan ketat."

   "Memang sebaiknya begitu, Taijin. Dan lebih penting pula, sebaiknya Sribaginda memanggil semua pejabat tinggi mengadakan persidangan agar terdapat lebih banyak pasukan untuk menjaga keselamatan kerajaan."

   "Baik, aku akan mengemukakan hal itu kepada Sribaginda Kaisar," kata Menteri Yang.

   "Ya, dan aku akan diam-diam secara rahasia menghubungi para pendekar yang setia kepada kerajaan untuk membantu. Karena pihak musuh juga menggunakan orang-orang sakti yang dirahasiakan, maka aku juga akan mencari pendekar-pendekar yang akan menghadapi mereka secara rahasia pula."

   Menteri Yang dan Jenderal atau Panglima Chang telah bersepakat untuk menghadapi serangan yang membunuh para rekan mereka. Panglima Chang mengerahkan pasukan khusus yang diperintahkan untuk melakukan penjagaan kepada para pejabat tinggi yang setia kepada kaisar. Beberapa hari kemudian, setelah mendapat laporan dan anjuran Menteri Yang Ting Ho, Kaisar Wan Li mengundang para pejabat tinggi untuk datang menghadap dan mengadakan persidangan untuk membahas peristiwa yang menggegerkan itu. Setelah Kaisar Wan Li secara singkat menceritakan tentang pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang terkenal setia, dia berkata.

   "Menurut pendapat kami, pelakunya tentulah orang-orang yang menentang pemerintah dan hendak melemahkan dan membikin kacau para pejabat pemerintah. Dan mereka yang memusuhi pemerintah pada saat ini adalah golongan pemberontak Pek-lian-kauw dan tentu saja bangsa Mancu yang kini telah menyusun kekuatan di utara. Mungkin juga ada suku-suku di luar daerah kita yang dapat dihasut mereka. Kita harus siap dan berusaha sekuatnya untuk membekuk pembunuh itu agar suasana menjadi tenang dan tenteram kembali." Setelah berhenti sejenak dan memandang kepada para pejabat itu, Kaisar Wan Li melanjutkan.

   "Karena urusan ini teramat penting dan berbahaya, maka kami telah menyerahkan penanganannya kepada Panglima Chang Ku Cing. Bagaimana pendapat kalian? Apakah ada yang mengajukan usul yang baik?" Pangeran Bouw Ji Kong membungkuk dengan hormat sambil bangkit berdiri dari kursinya.

   "Kakanda Kaisar yang mulia. Kalau menurut perkiraan hamba, pemberontak Pek-lian-kauw maupun para suku bangsa tidak akan berani melakukan kejahatan itu. Pek-lian-kauw telah kita gagalkan dan hancurkan usaha mereka mengacau beberapa waktu yang lalu, maka kiranya mereka tidak akan berani gegabah mencobanya lagi. Juga hamba yang mengawasi hubungan antara kita dan para suku bangsa di luar daerah. Hubungan itu cukup baik dan kiranya mereka tidak akan berani merusaknya dengan pembunuhan-pembunuhan itu. Menurut hamba, ada pihak lain yang melakukannya." Kaisar Wan Li memandang kepada adik tirinya itu.

   "Hemm, Adinda Pangeran, begitukah pendapatmu? Coba jelaskan, pihak lain mana dan siapa yang engkau maksudkan itu?"

   "Yang Mulia, sudah bukan rahasia lagi bahwa di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang menamakan dirinya para pendekar. Banyak di antara mereka itu yang merasa tidak puas dan membenci para pejabat. Sudah banyak pejabat di kota raja maupun di daerah yang dihajar atau bahkan dibunuh para pendekar itu, dengan dalih bahwa pejabat itu tidak adil, sewenang-wenang, atau memeras menindas rakyat. Hamba condong untuk menduga bahwa yang membunuh enam orang pejabat itu adalah para pendekar yang hamba maksudkan itu." Kaisar Wan Li adalah seorang yang lemah dan selalu mengandalkan pendapat para pembantunya. Mendengar ucapan adik tirinya itu, timbul keraguan dalam hatinya dan dia memandang kepada para pejabat yang hadir.

   "Kami rasakan apa yang dikemukakan Adinda Pangeran Bouw Ji Kong itu ada benarnya juga. Bagaimana kalau menurut pendapat kalian?"

   Para pejabat tinggi diam saja. Mereka sudah mengenal siapa Pangeran Bouw dan bagi para pejabat yang sudah menjadi anak buahnya tentu setuju dengan pendapat itu. Adapun mereka yang tidak setuju, tidak berani mencela karena mereka merasa bahwa Pangeran Bouw tidak suka kepada mereka yang tidak mau dibujuk untuk menerima hadiah dan taat kepadanya. Panglima besar Chang Ku Cing segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Kaisar.

   "Hamba tidak dapat membenarkan perkiraan Pangeran Bouw bahwa para pendekar yang melakukan pembunuhan itu. Para pendekar yang gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan tidak akan melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap enam orang pejabat itu karena hamba mengenal betul siapa mereka.

   "Mereka adalah pejabat-pejabat yang setia kepada Paduka, mereka bersih, jujur dan adil. Tentu Paduka masih ingat betapa dahulu, setahun lebih yang lalu, ketika Pek-lian-kauw mempunyai niat jahat untuk mengacau dan Leng Kok Ho-siang sebagai wakil mereka menghadap Paduka, justeru para pendekar yang telah membantu pemerintah menghancurkan usaha jahat mereka. Hamba berani menanggung bahwa bukan para pendekar yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, melainkan musuh-musuh negara dan para pemberontak." Para pejabat yang setia kepada kaisar mengangguk-angguk membenarkan pendapat Panglima Chang ini. Adapun para pejabat yang telah menjadi pengikut Pangeran Bouw tidak ada yang berani membantah.

   Kaisar Wan Li menutup persidangan dan memberi tugas khusus kepada tiga pejabat penting. Panglima Chang ditugaskan untuk mencari dan menangkap pembunuh itu. Menteri Yang ditugaskan untuk menenteramkan suasana di antara para pejabat, dan Pangeran Bouw diberi tugas untuk melakukan penyelidikan apakah para suku bangsa di luar daerah tidak ada yang melakukan aksi yang mencurigakan, terutama dia ditugaskan untuk mengamati gerak-gerik bangsa Mancu dan memberi laporan kalau ada yang mencurigakan. Para pejabat menanti sampai kaisar Wan Li mengundurkan diri dari ruangan sidang, baru mereka kembali ke gedung masing-masing.

   Pangeran Bouw cepat menghubungi tiga orang sakti yang bersembunyi di istananya dan menganjurkan mereka lebih baik untuk sementara menghentikan pembunuhan dan diam-diam meninggalkan kota raja untuk menghindar dari usaha Panglima Chang yang tentu akan mencari pembunuh itu dengan cermat. Berbeda dengan Pangeran Bouw Ji Kong yang masih giat karena ambisius, sebaliknya Pangeran Sim Liok Ong yang merupakan saudara misan kaisar, tidak memegang kedudukan apa-apa, maka dia tidak ikut dipanggil dalam persidangan yang diadakan kaisar. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa Kaisar dan para pejabat tinggi tentu gelisah dengan adanya pembunuhan-pembunuhan rahasia itu.

   Yang amat tertarik dengan terjadinya peristiwa pernbunuhan-pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang setia dan jujur adalah putera Pangeran Sim Liok Ong, yaitu Sim Tek Kun. Sim Tek Kun yang berusia duapuluh empat tahun ini adalah murid Kun-lun-pai yang lihai dan terkenal di dunia kang-ouw sebagai Kun-lun Siauw-hiap (Pendekar Muda Kun-lun) yang selalu membela kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar gagah perkasa. Juga isterinya adalah seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan lihai, yaitu Ong Lian Hong.

   Ong Lian Hong ini adalah puteri mendiang Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan) Ong Han Cu, dan ia menjadi sumoi (adik seperguruan) Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, murid mendiang ayahnya. Dulu, sekitar dua tahun yang lalu, Ong Lian Hong bersama Sim Tek Kun yang ketika itu belum menjadi suaminya, dan Hwe-thian Mo-li, ia membantu Panglima Chang Ku Cing membasmi orang-orang Pek-lian-kauw yang mengacau kota raja. Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong telah menikah sekitar satu setengah tahun yang lalu namun mereka belum dikaruniai anak.

   Selama dua tahun ini, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong hidup bahagia dan penuh kedamaian karena mereka tidak lagi mencampuri urusan dunia persilatan. Mereka tinggal di gedung Pangeran Sim Liok Ong yang tidak aktip dalam pemerintahan sehingga tidak pernah mendapatkan persoalan. Akan tetapi, biarpun demikian, mereka memperhatikan peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi di kota raja, maka pembunuhan-pembunuhan yang terjadi baru-baru ini membangkitkan perasaan penasaran dan menarik perhatian mereka.

   Jelas telah terjadi kejahatan dalam kota raja dan mereka tentu saja tidak dapat membiarkan hal itu terjadi berlarut-larut tanpa ikut menyelidiki dan memberantasnya atau menangkap pembunuhnya. Pada suatu sore, suami isteri itu duduk di serambi bersama Pangeran Sim Liok Ong. Pangeran ini berusia sekitar empatpuluh delapan tahun dan masih tampak segar dan tampan dengan sikapnya yang lembut. Mereka membicarakan tentang pembunuhan itu.

   "Kalau menurut pendapat Ayah, mengapa enam orang pembesar itu dibunuh orang dan mengapa terjadi hal ini? Pertanda apakah ini, Ayah?" tanya Sim Tek Kun kepada ayahnya.

   "Aku mengenal baik enam orang pejabat tinggi yang terbunuh itu. Mereka semua adalah pejabat yang setia dan jujur. Karena itu, melihat pembunuhan yang dilakukan secara diam-diam penuh rahasia itu, sangat boleh jadi bahwa orang yang mengatur pembunuhan itu sengaja hendak melemahkan kedudukan kaisar dengan membunuhi para pembesar yang setia. Kalau pembunuhan ini merupakan dendam pribadi, rasanya tidak mungkin secara berturut-turut enam orang pembesar dibunuh dan mereka semua ternyata merupakan pembantu-pembantu setia dari Sribaginda Kaisar!"
Sim Tek Kun dan isterinya, Ong Lian Hong, mengangguk-angguk setuju dengan pendapat pangeran itu.

   "Kalau enam orang pejabat tinggi itu terbunuh secara rahasia dan tidak ada yang mengetahui siapa pembunuh mereka, jelas bahwa dalang pembunuhan itu mengutus orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi untuk melakukan pembunuhan itu," kata Ong Lian Hong.

   "Dugaanmu itu tentu tepat, Hong-moi. Dan kukira yang patut dicurigai adalah Pek-lian-kauw! Merekalah yang dulu mengacau di kota raja, dan memang Pek-lian-kauw mempunyai banyak orang lihai. Agaknya sekali ini pun pembunuhan itu dilakukan mereka untuk membikin kacau atau seperti dikatakan Ayah tadi, untuk melemahkan pemerintah yang dipimpin Sribaginda Kaisar," kata Sim Tek Kun. Selagi mereka bercakap-cakap, terdengar derap kaki kuda dan roda kereta. Mereka semua memandang dan melihat sebuah kereta memasuki pekarangan gedung itu dan para penjaga di pintu pekarangan memberi hormat. Dari keretanya saja Pangeran Sim Liok Ong sudah mengenal siapa yang datang berkunjung.

   "Panglima Chang Ku Cing yang datang!" katanya dan mereka bertiga segera bangkit dan menyambut di luar serambi.

   Setelah kereta berhenti, benar saja yang keluar dari kereta adalah Panglima Chang Ku Cing yang berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi tegap dengan kumis dan jenggot pendek terpelihara rapi sehingga dia tampak gagah sekali dalam pakaian panglima yang serba gemerlapan. Dia ditemani seorang pemuda gagah berusia sekitar duapuluh lima tahun. Pangeran Sim, diikuti putera dan mantunya, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada yang dibalas oleh Panglima Chang. Pangeran Sim Liok Ong berkata gembira.

   "Selamat datang, Panglima Chang. Mari, silakan masuk, kami merasa gembira menyambut kunjunganmu."

   "Terima kasih dan maafkan kalau saya mengganggu, Pangeran. Saya datang untuk membicarakan sesuatu denganmu, terutama sekali dengan putera dan mantumu," kata panglima itu sambil memandang kepada Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong.

   "Mari, silakan masuk dan kita bicara di dalam, Panglima!" kata Pangeran Sim dan mereka lalu memasuki ruangan tamu. Lima orang itu duduk saling berhadapan mengelilingi sebuah meja besar. Pangeran Sim lalu menutupkan pintu depan dan belakang dari ruangan itu, memesan kepada pelayan agar mereka jangan diganggu. Tak seorang pun boleh memasuki ruangan sebelum dipanggil.

   "Saya kira Pangeran sudah dapat menduga kepentingan apa yang hendak saya bicarakan. Sebelumnya, perkenalkan dulu. Pemuda ini adalah keponakan saya putera tunggal adik saya yang telah gugur dalam perang. Namanya adalah Chang Hong Bu dan dia telah lulus belajar ilmu silat di kuil Siauw-lim-si." Pangeran Sim Liok Ong, putera dan mantunya itu memandang kepada pemuda itu penuh perhatian.

   Baru sekarang Pangeran Sim bertemu dengan pemuda itu bahkan baru sekarang dia mendengar bahwa panglima yang terkenal itu memiliki seorang keponakan yang gagah perkasa, murid Siauw-lim-pai. Seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun yang bertubuh tegap, berwajah tampan dan gagah sikapnya tenang dan wataknya pendiam, sinar matanya tajam berwibawa seperti mata pamannya. Ketika diperkenalkan pemuda bernama Chang Hong Bu itu bangkit dan memberi hormat dengan membungkuk kepada keluarga tuan rumah.

   "Kami senang sekali dapat berkenalan dengan keponakanmu yang gagah, Panglima. Kalau kami tidak salah duga, tentu kedatangan Panglima ini ada hubungannya dengan masalah yang tadi baru saja kami bicarakan, yaitu masalah pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja. Benarkah?" Panglima Chang tertawa dan menoleh kepada keponakannya.

   "Ha-ha-ha! Kau dengar sendiri, Hong Bu! Tidak salah, bukan, keteranganku tadi, bahwa Pangeran Sim Liok Ong adalah seorang yang amat cerdik? Baru saja kita datang beliau ini telah dapat menduga dengan tepat maksud kedatanganku. Tentu Pangeran telah mengetahui pula apa yang kami inginkan sehubungan dengan peristiwa itu, bukan?" Pangeran Sim juga tersenyum.

   "Aih, Panglima. Saya dapat berbuat apakah menghadapi urusan kekerasan ini? Tentu putera dan mantuku lebih tepat untuk Panglima ajak membicarakannya." Kembali panglima Chang tertawa dan memandang kepada keponakannya, seolah hendak membuktikan bahwa lagi-lagi pangeran itu telah dapat menebak dengan tepat.

   "Memang benar, terus terang saja kami semua merasa penasaran dengan adanya peristiwa pembunuhan itu. Karena itu, saya teringat akan puteramu Sim Tek Kun dan isterinya Ong Lian Hong yang dulu pernah membantu kami menghancurkan para tokoh Pek-lian-kauw yang mendatangkan kekacauan di kota raja. Bagaimana pendapatmu tentang adanya pembunuhan-pembunuhan itu, nanda Tek kun?" Sim Tek Kun menoleh kepada ayahnya lalu memandang kepada Panglima Chang.

   "Seperti telah dikatakan Ayah tadi, Paman Panglima, ketika Paman datang, kami bertiga sedang membicarakan peristiwa itu. Menurut pendapat kami bertiga, pembunuhan-pembunuhan itu sengaja dilakukan oleh pihak yang memusuhi pemerintah. Yang dibunuh adalah pejabat-pejabat yang setia kepada Sribaginda Kaisar, maka pembunuhan itu agaknya dilakukan untuk mendatangkan kekacauan dan melemahkan pemerintah. Mengingat bahwa yang dulu memusuhi pemerintah adalah Pek-lian-kauw dan mengingat pula bahwa pembunuhan tentu dilakukan orang-orang yang lihai, maka kami menduga bahwa yang melakukan adalah orang-orang Pek-lian-kauw." Panglima Chang mengangguk-angguk.

   "Kami semua juga mempunyai dugaan seperti itu. Pek-lian-kauw atau bukan, yang melakukannya tentu mereka yang memusuhi pemerintah dan ingin melemahkan pemerintah dengan membunuhi para pejabat tinggi yang setia. Perkara ini amat gawat sehingga Sribaginda Kaisar mengadakan rapat khusus dan menugaskan saya untuk mencari dan menangkap pembunuhnya.

   "Setelah kami selidiki, kami berpendapat bahwa enam orang itu dibunuh oleh tiga orang yang memiliki ilmu berbeda aliran. Hal ini dibuktikan dengan cara tewasnya enam orang itu. Dua orang tewas dengan kepala terpenggal, dua orang lagi tewas dengan dada tertusuk dan tembus sampai punggung, sedangkan yang dua orang lagi tewas dengan kepala hancur isinya tanpa luka di luarnya.

   "Kita berurusan dengan orang-orang yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya, oleh karena itu kami yang diberi tugas ingin minta bantuan para pendekar yang dulu juga membantu kami menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang lihai. Bagaimana, nanda Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong, bersediakah ji-wi (Anda berdua) membantu kami?"

   "Tentu saja kami siap membantu sekuat kemampuan kami, Paman Panglima," kata Sim Tek Kun.

   "Terima kasih, nanda Sim Tek Kun. Dengan bantuan nanda berdua isteri, kami semakin yakin bahwa akhirnya kita akan dapat mengetahui siapa dalang pembunuhan ini dan kalau kita beruntung, akan dapat menangkap pelaku-pelaku pembunuhan itu. Akan tetapi kami teringat akan Hwe-thian Mo-li. Kalau saja kita dapat minta bantuannya, kiranya pekerjaan ini akan menjadi semakin mudah.

   "Barangkali nanda Ong Lian Hong mengetahui, di mana tempat tinggal Hwe-thian Mo-li sekarang? Saya ingin mengutus keponakan kami Chang Hong Bu ini untuk menyampaikan permintaan saya kepadanya untuk membantu." Mendengar pertanyaan ini, Ong Lian Hong mengerutkan alisnya dan sinar matanya membayangkan kesedihan. Ia sudah mendengar pengakuan suaminya bahwa Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dahulu jatuh cinta kepadanya.

   Biarpun dia tidak membalas cinta Hwe-thian Mo-li namun dia merasa bahwa Nyo Siang Lan jatuh cinta kepadanya tanpa pernah menyatakannya dengan ucapan. Mendengar ini Lian Hong baru menyadari mengapa sucinya itu sengaja mempermainkan ia dan Tek kun yang telah ditunangkan kepadanya sejak dulu, membuat mereka saling bertanding dan saling mengerti bahwa mereka telah menjadi calon jodoh sejak dulu. Dan mengapa sejak itu sucinya pergi dan tidak pernah menjumpainya atau memberi kabar! Kini, mendengar pertanyaan Panglima Chang, tentu saja ia teringat kepada Nyo Siang Lan dan merasa sedih.

   "Paman Panglima, saya sendiri tidak pernah bertemu atau mendengar berita tentang enci Nyo Siang Lan sejak kami bersama-sama menentang orang-orang Pek-lian-kauw itu. Saya pernah melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa Ban-hwa-pang di Ban-hwa-kok diserbu dan diambil alih kekuasaan ketuanya oleh seorang gadis yang amat lihai. Mungkin sekali gadis itu adalah Enci Siang Lan, akan tetapi saya tidak berani memastikannya."

   "Ban-hwa-kok (Lembah Selaksa Bunga)? Di manakah itu?" Panglima Chang bertanya, penuh perhatian.

   "Saya sendiri tidak tahu, Paman........"

   "Nanti dulu!" Tiba-tiba Sim Tek Kun memotong.

   "Lembah Selaksa Bunga? Saya pernah mendengar tentang itu, kalau tidak salah, dulu ada Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga) di lembah itu, dan pemimpinnya adalah seorang she (marga) Siangkoan yang amat lihai yang dijului Si Tombak Maut. Lembah Selaksa Bunga itu berada di puncak Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga), sebuah di antara bukit-bukit yang menjadi bagian dari Lu-liang-san."

   "Bagus!" kata Panglima Chang girang.

   "Nah, Hong Bu, engkau sudah mendengar sendiri. Nanda Sim Tek Kun berdua isterinya kami minta bantuannya untuk ikut menyelidiki siapa yang melakukan pembunuhan itu, dan engkau pergilah ke Lu-liang-san, cari Lembah Selaksa Bunga dan temui Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Aku akan membuat Surat untuknya. Nah, mari kita pulang, engkau cepat berkemas dan bawa suratku."

   Panglima Chang lalu berpamit kepada Pangeran Sim, putera dan mantunya, dan bersama keponakannya kembali ke gedungnya. Setelah panglima itu pergi, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong membuat persiapan untuk mulai melakukan penyelidikan tentang pembunuhan-pembunuhan itu. Chang Hong Bu adalah seorang pemuda yang yatim piatu. Ayahnya, adik Panglima Chang Ku Cing, juga seorang perwira tinggi yang gugur dalam perang melawan pemberontak di utara. Ibunya juga meninggal dunia karena sakit sehingga Chang Hong Bu menjadi yatim piatu. Sejak kecil dia lalu ikut pamannya yaitu Panglima Chang Ku Cing.

   Melihat bakat anak itu baik sekali untuk ilmu silat, Panglima Chang lalu mengirimnya ke Siauw-lim-pai untuk belajar ilmu silat. Selama limabelas tahun, sejak berusia sepuluh tahun, Hong Bu digembleng ilmu silat di kuil Siauw-lim-pai. Setelah tamat belajar dan usianya sudah duapuluh lima tahun, dia kembali ke rumah pamannya. Kini Hong Bu menerima tugas dari pamannya untuk mencari Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan di pegunungan Lu-liang-san. Tentu saja dia merasa senang sekali menerima tugas ini. Setelah tamat dari Siauw-lim-pai dia telah menjadi seorang pendekar muda perguruan silat yang amat terkenal itu.

   Tentu saja dia ingin memanfaatkan semua pelajaran yang telah ditekuninya selama limabelas tahun itu untuk bertualang di dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar yang menegakkan kebenaran dan keadilan. Akan tetapi kini tugasnya yang utama adalah menemukan Hwe-thian Mo-li agar dapat menyampaikan, surat undangan Panglima Chang. Dari gurunya, yaitu Ci kok Ho-siang yang menjadi wakil Ketua Siauw-lim-pai, dia bukan hanya menerima pelajaran bu (ilmu silat), akan tetapi juga bun (ilmu sastra). Hong Bu melakukan perjalanan cepat, menghindari segala gangguan dalam perjalanan karena dia harus lebih dulu menunaikan tugas yang diberikan pamannya.

   Setelah tiba di kaki pegunungan Lu-liang-san, Hong Bu mulai bertanya-tanya kepada para penduduk dusun-dusun di sekitar pegunungan itu di mana adanya Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga). Karena hari telah menjelang senja, dia melewatkan malam itu di sebuah dusun di kaki bukit, karena dia merasa tidak sopan kalau berkunjung ke tempat tinggal orang pada malam hari. Apalagi yang dicarinya adalah seorang gadis. Dia bermalam di rumah seorang petani tua yang duda dan sudah berusia limapuluh tahun lebih. Dari petani inilah dia mendengar tentang Ban-hwa-pang.

   Menurut kakek itu, dahulu, ketika Ban-hwa-pang masih merupakan gerombolan yang dipimpin oleh Si Tombak Maut Siangkoan Leng, tidak ada orang berani tinggal di sekitar kaki bukit itu karena gerombolan Ban-hwa-pang itu terkenal bengis dan kejam. Akan tetapi setelah gerombolan itu dibasmi oleh seorang wanita sakti berjuluk Hwe-thian Mo-li, dibunuhi semua berikut ketuanya, lalu perkumpulan yang tetap bernama Ban-hwa-pang itu kini menjadi perkumpulan yang anggautanya terdiri dari wanita semua dan dipimpin oleh Hwe-thian Mo-li, perkumpulan itu berubah menjadi baik dan tidak pernah ada anggauta perkumpulan itu melakukan gangguan terhadap dusun-dusun di sekitarnya.

   Maka mulailah ada penduduk dusun yang pindah ke kaki Bukit Ban-hwa-san yang memiliki tanah subur untuk tinggal dan bertani di situ. Apalagi Ban-hwa-pang kini tidak memungut pajak kepada mereka, bahkan kalau ada yang berani mengganggu penduduk dusun Ban-hwa-pang akan turun tangan memberi hajaran kepada pengacau itu. Mendengar keterangan ini, hati Chang Hong Bu merasa lega. Jelaslah bahwa orang yang dicarinya, Hwe-thian Mo-li, biarpun julukannya mengerikan, yaitu Iblis Betina Terbang, ternyata bukan orang jahat.

   Pada keesokan harinya setelah matahari naik cukup tinggi, barulah Hong Bu mendaki bukit itu. Baru tiba di lereng tengah saja dia sudah merasa kagum bukan main karena lereng itu sudah penuh dengan tanaman bunga beraneka bentuk dan warna, dan harumnya semerbak sejak dari lereng pertama. Ratusan ekor kupu-kupu dengan berbagai macam warna beterbangan seperti menari-nari di atas bunga-bunga itu. Hwe-thian Mo-li setelah menguasai Ban-hwa-kok, dengan bantuan anak buahnya, memperindah lembah itu dengan menanam lebih banyak bunga lagi.

   Akan tetapi ia membongkar dan melenyapkan semua perangkap dan jebakan yang dulu dipasang oleh Siangkoan Leng. Bahkan jalan menuju ke puncak juga ia suruh bangun sehingga pendakian ke puncak kini amat mudah dan menyenangkan. Ketika Chang Hong Bu sedang menikmati pemandangan yang amat indah di lembah itu, tanpa terasa dia sudah mendaki sampai di lereng bawah puncak. Para wanita anggauta Ban-hwa-pang sedang sibuk bekerja di kebun sayur, maka tidak ada yang melihat datangnya pemuda ini.

   Ketika Hong Bu tiba di tanah datar di bawah pondok di mana terdapat sebuah beranda bercat merah yang indah, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan di depannya telah berdiri seorang laki-laki yang berusia sekitar empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang dan wajahnya tampan, sinar matanya tajam namun lembut. Baru melihat cara orang itu muncul begitu saja Hong Bu sudah dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Maka dia cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada.

   Laki-laki itu adalah Sie Bun Liong atau yang mengaku bernama Bu-beng-cu kepada Hwe-thian Mo-li. Sebetulnya, Bu-beng-cu tidak tinggal di Lembah Selaksa Bunga. Bahkan dia tidak mau sampai terlihat oleh para anggauta Ban-hwa-pang karena dia khawatir kalau-kalau ada anggauta Ban-hwa-pang yang mengenalnya biarpun ketika datang berkunjung kepada adik tirinya, dia datang dengan diam-diam. Akan tetapi karena dia amat memperhatikan keadaan Hwe-thian Mo-li maka dia sering diam-diam mendatangi Lembah Selaksa Bunga untuk melihat-lihat kalau-kalau gadis yang menjadi pusat perhatiannya itu terancam bahaya dan membutuhkan pertolongannya.

   Pada pagi hari itu, ketika dia berada di kaki Bukit Ban-hwa-san, dia melihat seorang pemuda mendaki bukit itu. Timbul kecurigaannya. Dia tahu bahwa Hwe-thian Mo-li memiliki banyak musuh karena gadis pendekar ini biasanya bertindak amat keras terhadap orang-orang jahat. Bahkan adik tirinya, Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang, berikut semua anak buahnya telah dibunuh oleh Hwe-thian Mo-li. Maka kalau kini ada pemuda yang tampak gagah perkasa mendaki Ban-hwa-pang, dia menjadi curiga, mengira pemuda itu tentu memiliki maksud yang tidak baik.

   Diam-diam dia membayangi Chang Hong Bu dan setelah Hong Bu benar-benar hendak ke puncak, setibanya di lereng bawah puncak, Bu-beng-cu dengan cepat muncul dan menghadangnya. Di lain pihak, Chang Hong Bu ketika melihat ada seorang laki-laki muncul di situ, dia pun merasa curiga. Menurut keterangan petani tadi, Ban-hwa-pang kini merupakan perkumpulan wanita dan tidak ada laki-laki boleh naik ke puncak atau jelasnya, tempat itu merupakan daerah terlarang bagi pria. Kini di sana ada seorang laki-laki, maka tentu saja dia pun merasa curiga. Dengan sinar mata tajam penuh selidik Bu-beng-cu bertanya,

   "Siapakah engkau dan ada keperluan apakah mendaki Ban-hwa-san?" Hong Bu mengerutkan alisnya. Dia tadi memberi hormat karena orang itu lebih tua daripada dia dan orang itu kini tanpa membalas penghormatannya bertanya seperti menyelidik.

   "Seingatku, menurut keterangan orang yang mengetahui, Ban-hwa-pang adalah perkumpulan wanita dan tidak ada pria yang boleh memasuki daerah lembah ini. Kalau yang menyambut kedatanganku dan menegurku seorang wanita, hal itu dapat kumengerti dan aku tentu akan menjelaskan maksud kunjunganku. Akan tetapi yang muncul adalah seorang laki-laki, maka aku pun kiranya berhak untuk bertanya, siapakah engkau dan mengapa engkau seorang laki-laki berada di daerah perkumpulan wanita?" kata Hong Bu sambil memandang tajam.

   "Orang muda, engkau kutanya belum menjawab malah berbalik bertanya kepadaku. Siapa aku dan apa urusanku berada di sini tidak ada sangkut pautnya denganmu. Nah, katakan siapa engkau dan apa maumu?"

   "Urusanku juga tidak ada sangkut pautnya denganmu. Aku datang untuk bertemu dengan Hwe-thian Mo-li dan aku tidak mempunyai urusan denganmu."

   "Hemm, mau apa engkau mencari Hwe-thian Mo-li?"

   "Bukan urusanmu!" kata Hong Bu marah.

   "Kalau begitu, engkau tentu mempunyai niat buruk datang ke tempat ini!" Bu-beng-cu berseru.

   "Mungkin engkau yang mempunyai niat buruk, bukan aku!" jawab Hong Bu.

   "Bocah sombong, cepat engkau pergi dari sini atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!" kata Bu-beng-cu. Hong Bu yang masih muda itu menjadi marah juga, dan kecurigaannya bertambah.

   "Engkau tidak berhak mengusirku dan kalau hendak menggunakan kekerasan, coba saja kalau engkau mampu!" Bu-beng-cu atau Sie Bun Liong merasa ditantang. Dia memang mencurigai kedatangan Hong Bu, dan ada sedikit rasa cemburu di hatinya. Pemuda itu tampan gagah dan masih muda, bukan tidak mungkin Hwe-thian Mo-li akan tertarik hatinya kalau bertemu dengan pemuda ini, demikian bisikan hatinya yang cemburu!

   "Hemm, bocah sombong, pergilah!" Bu-beng-cu mendorong dengan tangan kirinya ke arah Hong Bu.

   Dorongan mengandung sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat, akan tetapi bukan untuk memukul melainkan untuk mendorong agar pemuda itu terdorong mundur, menjadi gentar dan pergi meninggalkan tempat itu. Angin dorongan yang amat kuat menyambar ke arah Hong Bu. Akan tetapi menghadapi serangan dorongan ini Hong Bu tidak menjadi gentar. Dia tidak mengelak, bahkan dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya dan menyambut dorongan telapak tangan Bu-beng-cu.

   "Wuuuttt...... desss!!"

   Bu-beng-cu terkejut bukan main. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda itu mampu menyambut dorongannya dengan tenaga yang cukup besar sehingga tubuh pemuda itu sama sekali tidak terdorong mundur, melainkan hanya tergetar, akan tetapi dia sendiri juga mengalami getaran yang kuat. Ini membuktikan bahwa pemuda itu memiliki sin-kang yang mampu mengimbangi kekuatannya sendiri!

   "Bagus! Kiranya engkau memiliki kepandaian? Pantas sikapmu begini sombong!" kata Bu-beng-cu.

   "Nah, mari kita lihat siapa di antara kita yang lebih unggul!" Dia lalu mulai menyerang dan dua orang itu lalu berkelahi dengan seru.

   Setelah bertanding belasan jurus, dengan kaget Bu-beng-cu mengenal ilmu silat Siauw-lim-pai yang aseli dan kokoh kuat. Ternyata pemuda itu seorang murid Siauw-lim-pai yang tingkat kepandaiannya sudah sedemikian tingginya sehingga mampu menandingi dan mengimbanginya! Dia merasa kagum dan mulai hilang kecurigaannya. Dia tahu benar bahwa murid Siauw-lim-pai biasanya berwatak gagah sebagai seorang pendekar dan rasanya tidak mungkin mempunyai niat jahat.

   Pasti dia mempunyai urusan penting dengan Hwe-thian Mo-li dan bukan berniat tidak baik. Akan tetapi setelah mereka bertanding, Bu-beng-cu yang juga suka menguji ilmu silat orang lain, mulai tertarik dan ingin melanjutkan untuk melihat sampai di mana kehebatan pendekar muda Siauw-lim-pai ini. Dia menyerang terus dan kini dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh. Setelah mereka bertanding selama limapuluh jurus, barulah tampak bahwa Hong Bu masih kalah kuat dan dia mulai mencurahkan kepandaiannya untuk bertahan dan melindungi dirinya.

   

   
Pertahanannya kokoh kuat dan sukar ditembus, merupakan ciri dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Diam-diam Bu-beng-cu menjadi semakin kagum dan dia mulai merasa suka kepada pemuda itu. Dalam keadaan terdesak, pemuda itu tidak mau mencabut pedangnya. Hal ini saja menunjukkan kegagahannya yang tidak mau melawan orang bertangan kosong dengan pedangnya! Seorang pemuda yang gagah perkasa! Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan terdengar bentakan nyaring.

   "Penjahat dari mana berani mengacau di sini?" Sinar pedang berkilat menyambar ke arah Hong Bu. Pemuda ini terkejut sekali. Dia cepat melompat ke samping sambil mencabut pedangnya. Kembali sinar kilat dari pedang di tangan Hwe-thian Mo-li menyambar ke arah lehernya. Hong Bu mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan pedangnya.

   "Tranggg......!!" Bunga api berpijar dan pedang Lui-kong-kiam di tangan Hwe-thian Mo-li terpental. Sebelum kedua orang itu saling serang, Bu-beng-cu sudah melompat dan melerai.

   "Tahan pedang! Jangan berkelahi!!"

   Karena Bu-beng-cu melompat di tengah-tengah, di antara mereka, maka baik Hwe-thian Mo-li maupun Hong Bu cepat melompat ke belakang dan menahan pedang mereka. Mereka kini berdiri saling pandang dan melihat bahwa yang menyerangnya dengan pedang secara hebat tadi adalah seorang gadis yang cantik jelita dan gagah, Hong Bu terkejut.

   "Maaf, apakah...... apakah...... Nona yang bernama Hwe-thian Mo-li......?" Nyo Siang Lan mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik.

   "Siapa engkau dan mengapa engkau mengacau di sini dan berkelahi dengan Paman Bu-beng-bu?" Bu-beng-cu segera berkata menengahi,

   "Nona, kurasa semua ini hanya merupakan salah pengertian belaka. Pemuda ini bertemu denganku di sini dan kami sama-sama saling mencurigai. Setelah bertanding, baru aku tahu bahwa dia ini murid Siauw-lim-pai yang tangguh dan aku tadi hanya ingin menguji kepandaiannya. Dia datang untuk mencarimu, Hwe-thian Mo-li."

   Mendengar ini, Hong Bu menyadari bahwa dia berhadapan dengan gadis yang dicarinya dan bahkan laki-laki gagah itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan agaknya masih keluarga dengan Hwe-thian Mo-li yang menyebutnya paman. Dia cepat menyimpan pedangnya dan mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat kepada mereka berdua.

   "Saya Chang Hong Bu mohon maaf sebesarnya kepada Paman dan juga kepadamu, Nona. Seperti dikatakan Paman tadi, semua ini hanya merupakan kesalah pahaman belaka. Sayalah yang bersalah dan mohon maaf." Hwe-thian Mo-li dan juga Bu-beng-cu merasa suka kepada pemuda ini yang ternyata selain gagah juga sikapnya sopan. Akan tetapi Nyo Siang Lan masih curiga karena belum tahu apa maksud kedatangan pemuda yang tidak dikenalnya itu ke Ban-hwa-san.

   "Paman Bu-beng-cu tadi bilang bahwa engkau datang mencari aku. Padahal aku sama sekali tidak pernah mengenalmu. Ada urusan apakah engkau mencariku?" tanya Siang Lan sambil menatap tajam wajah pemuda itu dan ia pun menyimpan kembali pedang Lui-kong-kiam ke dalam sarung pedangnya.

   "Saya datang sebagai utusan Paman Panglima Chang Ku Cing dari kota raja untuk membicarakan urusan yang amat penting dan menyampaikan surat darinya kepadamu, Nona."

   "Ah, jadi engkau adalah utusan dari panglima Chang Ku Cing? Dan engkau pun bermarga Chang, jadi......" kata Bu-beng-cu ragu.

   "Saya adalah keponakan Panglima Chang Ku Cing," kata Hong Bu sederhana.

   "Hwe-thian Mo-li, kalau begitu, dia ini membawa berita yang teramat penting. Maka, sudah sepatutnya kalau engkau membicarakan urusannya di Lembah Selaksa Bunga. Aku masih mempunyai urusan lain, maafkan, aku pergi dulu!" Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu perkelebat dan cepat menuruni lereng itu. Hong Bu memandang dengan kagum sekali.

   "Bukan main lihainya Paman itu," katanya.

   "Kalau tadi dia bersungguh-sungguh dan tidak banyak mengalah, tentu aku sudah dikalahkannya."

   "Dia itu Paman Bu-beng-cu...... sahabat baik kami. Marilah, Chang Kongcu (Tuan Muda Chang), silakan ke puncak, kita bicara di sana."

   "Baik, Nyo Siocia (Nona Nyo)," kata Hong Bu. Siang Lan berhenti melangkah dan memandang pemuda itu dengan heran.

   "Engkau mengenal namaku?"

   "Tentu saja, Nona. Namamu Nyo Siang Lan, bukan? Paman Panglima yang memberitahu dan beliau mengetahui namamu dari isteri Saudara Sim Tek Kun."

   "Ah, Lian Hong......" Siang Lan berseru.

   "Kongcu, bagaimana keadaan adikku Ong Lian Hong?"

   "Setahuku, mereka semua itu baik-baik saja. Sebelum ke sini aku diajak Paman Panglima untuk mengunjungi mereka. Paman minta kepada mereka untuk membantu Paman melakukan penyelidikan, dan menanyakan alamatmu. Setelah Paman diberitahu bahwa mungkin engkau berada di sini, Paman lalu mengutus aku untuk mencarimu di sini, Nona."

   "Apakah mereka sudah mempunyai putera?"

   "Setahuku belum, Nona," Hong Bu merasa heran melihat gadis itu seolah tidak mempedulikan urusan yang dia bawa dari panglima Chang, melainkan sibuk bertanya tentang Ong Lian Hong dan suaminya. Tentu hubungannya dengan mereka itu baik sekali. Setelah tiba di bangunan mungil di tengah perkampungan Ban-hwa-pang yang dipenuhi taman-taman bunga serba indah, Hong Bu dipersilakan duduk di sebuah ruangan terbuka di samping rumah Siang Lan.

   Gadis itu sengaja menerima pemuda itu di ruangan terbuka sehingga tampak dari sekelilingnya karena ia merasa tidak pantas mengadakan pertemuan dengan seorang pemuda asing di tempat tertutup. Keharuman bunga semerbak memenuhi ruangan itu. Begitu duduk berhadapan kembali Siang Lan menghujani pemuda itu pertanyaan-pertanyaan tentang keadaan Lian Hong dan suaminya! Akhirnya, Hong Bu mendapat kesempatan untuk menyerahkan surat pamannya kepada Siang Lan. Gadis itu membuka surat dan membacanya. Kemudian ia meletakkan surat di atas meja, memandang kepada Hong Bu dan berkata.

   "Chang Kongcu, Panglima Chang dalam suratnya minta bantuanku untuk ikut mencari pembunuh yang melakukan pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi di kota raja. Dan dia menulis bahwa engkau dapat memberi penjelasan kepadaku tentang semua peristiwa yang terjadi di kota raja. Sebetulnya, peristiwa penting apakah yang terjadi sehingga Chang Goan-swe (Jenderal Chang) sampai minta bantuanku?" Hong Bu lalu bercerita tentang pembunuhan-pembunuhan itu dengan jelas.

   "Pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi itu merupakan peristiwa gawat sehingga menarik perhatian Sribaginda sendiri. Paman Panglima mendapat tugas untuk mencari dan menemukan pembunuh-pembunuh itu."

   "Kenapa begitu penting dan apakah ada banyak pembunuh?"

   "Menurut penyelidikan, enam orang yang terbunuh itu adalah para pejabat tinggi yang setia kepada Sribaginda Kaisar sehingga pembunuh ini berbau pemberontakan atau setidaknya ada usaha untuk melemahkan pemerintah maka para pejabat tinggi yang setia dibunuh. Menurut perkiraan, yang membunuh enam orang pejabat itu ada tiga orang karena kematian mereka dengan tiga cara yang berbeda." Pemuda itu lalu menceritakan secara rinci penyebab kematian enam orang itu. Dua orang mati dengan leher terpenggal, dua orang dengan dada tertembus dan berlubang, sedangkan yang dua lagi mati dengan isi kepala hancur tanpa ada luka. Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengerutkan alisnya.

   "Hemm, kalau begitu pembunuhan-pembunuhan itu ditujukan kepada para pembantu setia Sribaginda Kaisar dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Aku tidak akan merasa heran kalau kemudian diketahui bahwa pembunuh-pembunuh itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw. Perkumpulan itulah yang biasa memberontak dan mereka memiliki banyak orang pandai."

   "Paman Panglima juga berpendapat demikian, Nona. Akan tetapi kalau mereka itu orang-orang Pek-lian-kauw, bagaimana mereka dapat bergerak bebas di kota raja? Mereka tidak mungkin dapat bersembunyi di rumah-rumah penginapan karena semua sudah diperiksa dan digeledah." Tiba-tiba terdengar suara

gaduh, lalu mereka berdua dikejutkan suara yang bergema nyaring, datangnya dari arah pintu perkampungan itu.

   "Hwe-thian Mo-li! Keluarlah engkau untuk menerima pembalasan kami!" Dengan gerakan ringan dan cepat sekali Siang Lan melompat keluar, diikuti oleh Hong Bu. Mereka segera melihat dua orang kakek berpakaian seperti pendeta yang diiringkan sepuluh orang anak buah mereka.

   Hwe-thian Mo-li terkejut karena ia mengenal dua orang kakek itu dengan baik. Mereka adalah Hoat Hwa Cin-jin, tokoh Pek-lian-kauw dan yang lain adalah Hwa Hwa Hoat-su yang merupakan datuk sakti dari Pek-lian-kauw. Tentu saja sepuluh orang di belakang mereka itu adalah para anggauta Pek-lian-kauw. Melihat mereka, Hwe-thian Mo-li segera berseru kepada para wanita anggauta Ban-hwa-pang yang sudah berlarian menuju ke situ.

   "Kalian semua mundur dan jangan turut campur!" Ia melarang anak buahnya untuk ikut menghadapi dua orang tokoh Pek-lian-kauw dan anak buahnya karena maklum bahwa anak buahnya yang belum lama ia latih ilmu silat, bukanlah tandingan orang-orang Pek-lian-kauw sehingga kalau mereka maju melawan, sama saja dengan bunuh diri!

   "Siapa mereka, Nona?" bisik Hong Bu yang belum banyak pengalaman.

   "Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw," jawab Siang Lan dan dengan tenang dan tabah ia melangkah maju menghampiri duabelas orang itu, diikuti Hong Bu yang terkejut dan waspada ketika mendengar bahwa mereka itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw. Kini dua orang muda itu sudah berhadapan dengan duabelas orang Pek-lian-kauw itu. Hwe-thian Mo-li segera menegur dengan suara nyaring.

   "Kiranya Hwa Hwa Hoat-su dan Hoat Hwa Cin-jin! Hemm, kalian berdua pemberontak-pemberontak Pek-lian-kauw, datang ke Ban-hwa-kok ini mau apakah?"

   "Iblis betina Hwe-thian Mo-li! Dosamu telah bertumpuk-tumpuk! Engkau telah membunuh Leng Kok Ho-siang yang menjadi utusan kami, juga engkau telah membunuh Cia Kun Tosu dan Cin Kok Tosu para keponakan murid kami, bahkan engkau telah membunuh Siangkoan Leng sahabat kami dan merampas Lembah Selaksa Bunga! Dosamu terlalu besar maka kami datang untuk menghukummu. Serahkan nyawamu untuk menebus dosa-dosamu!" kata Hwa Hwa Hoat-su dengan marah. Hwe-thian Mo-li tersenyum mengejek.

   "Pendeta palsu! Kalian ini memakai pakaian pendeta dan menggunakan nama pendeta, semua itu hanya seperti serigala berbulu domba! Siapa tidak tahu bahwa Pek-lian-kauw adalah pemberontak dan penjahat yang berkedok sebagai pejuang, menipu rakyat jelata?

   "Kalian ini memutar balikkan fakta. Aku membunuh Leng Kok Ho-siang karena dia jahat dan curang, membunuh guruku Pat-jiu Kiam-ong, juga dia menjadi utusan pemberontak Pek-lian-kauw. Dia sudah patut dihukum mati sampai seratus kali!

   "Aku memang membunuh Cia Kun Tosu dan Cin Kok Tosu, orang-orang Pek-lian-kauw yang bejat akhlaknya itu. Mereka itu keponakan muridmu? Pantas! Mereka itu tukang pemerkosa wanita dan sayang aku hanya dapat membunuh mereka satu kali! Juga si keparat Siangkoan Leng, dia sudah sepantasnya dibunuh! Dia itu sahabatmu, ya? Memang sudah sepatutnya, anjing bersahabat dengan serigala dan buaya!"

   


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 08

   Hong Bu sendiri sampai terkejut mendengar ucapan Siang Lan yang demikian galak dan berani! Sungguh keberanian luar biasa, memaki-maki dua orang datuk Pek-lian-kauw seperti itu! Dapat dibayangkan betapa panas dan marahnya hati dua orang datuk Pek-lian-kauw itu. Tak mereka sangka bahwa Hwe-thian Mo-li bukan saja lihai ilmu silatnya, ternyata mulutnya lebih lihai lagi berdebat sehingga mereka merasa tidak mampu menandingi ketajaman mulut yang pandai melontarkan kata-kata amat menghina dan menyakitkan hati itu.

   "Perempuan iblis keparat!" Hwa Hwa Hoat-su melemparkan kebutannya ke atas dan kebutan itu terbang meluncur ke arah Siang Lan dan menyerang dengan dahsyatnya! Namun, dengan tenang saja Siang Lan bergerak dan sinar pedangnya berkilat menangkis.

   Kebutan yang dikendalikan dengan kekuatan sihir itu mengelak, agaknya Hwa Hwa Hoat-su jerih untuk mengadu kebutannya dengan pedang lawan yang berkilat. Kemudian, pendeta ahli sihir itu sudah menerjang ke depan, membantu kebutannya dengan serangan pedangnya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti sepenuhnya sehingga pedang itu berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah leher Siang Lan. Gadis ini cepat memutar pedangnya menangkis dan karena ia sudah mengenal kelihaian pendeta ini, ia pun menangkis dengan pengerahan tenaga sakti sepenuhnya.

   "Trangggg......!!" Bunga api yang besar berpijar menyilauan mata dan Hwa Hwa Hoat-su terkejut bukan main. Dia pernah bertanding melawan gadis ini dan kini dia mendapat kenyataan bahwa tenaga sakti gadis ini agaknya jauh lebih kuat dibandingkan sekitar satu-dua tahun yang lalu.

   Kemudian belum hilang kagetnya karena pedangnya terpental dan tangannya tergetar hebat, Siang Lan sudah membalas dengan serangan-serangan yang bertubi, hebat dan dahsyat. Biarpun Hwa Hwa Hoat-su kini menangkap kebutannya dengan tangan kiri, lalu melawan dengan sepasang senjatanya, namun tetap saja dia terdesak oleh Siang Lan yang mengamuk bagaikan seekor naga betina!! Akan tetapi, Hwa Hwa Hoat-su adalah datuk Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi dan dia merupakan utusan dari Pek-lian-kauw pusat untuk memimpin gerakan Pek-lian-kauw yang diam-diam bersekutu dengan Pangeran Bouw Ji Kong di kota raja. Maka tidak mudah bagi Siang Lan untuk mengalahkannya dan kini keduanya saling serang dengan sengit dan mati-matian.

   Melihat betapa Hwa Hwa Hoat-su belum dapat mendesak gadis itu, Hoat Hwa Cin-jin segera mencabut siang-to (sepasang golok) dan melompat hendak mengeroyok. Akan tetapi tiba-tiba Chang Hong Bu melompat dan menghadapinya dengan pedang di tangan! Hoat Hwa Cin-jin tadinya memandang rendah pemuda yang datang menyambut bersama Siang Lan. Dia mengira hanya Hwe-thian Mo-li saja yang merupakan lawan tangguh. Maka melihat pemuda itu kini berani menghadapinya dengan pedang di tangan, dia membentak.

   "Bocah tolol, apakah engkau sudah bosan hidup berani menghadang Hoat Hwa Cin-jin?" Bentakannya ini mengandung tenaga sihir untuk menjatuhkan nyali lawan sehingga terdengar menggetar seperti auman seekor harimau. Namun Hong Bu tersenyum.

   "Hoat Hwa Cin-jin, engkaulah yang tidak akan selamat karena kejahatanmu!"

   "Mampus kau!" bentak Hoat Hwa Cinjin yang cepat menyerang dengan sepasang goloknya.

   Hong Bu mengelebatkan pedangnya menangkis lalu balas menyerang sehingga dua orang ini sudah berkelahi mati-matian, saling serang dengan hebat karena mereka mengeluarkan jurus-jurus maut yang amat berbahaya bagi lawan. Setelah lewat belasan jurus, Hoat Hwa Cin-jin merasa kecelik karena ternyata pemuda lawannya itu tangguh bukan main? Hoat Hwa Cin-jin kini maklum bahwa dia dan rekannya menghadapi lawan-lawan yang tangguh dan agaknya akan sukar untuk dapat mengalahkan, apalagi membunuh mereka. Maka dia lalu memberi aba-aba kepada sepuluh orang anak buahnya.

   Mendapat isyarat aba-aba ini, sepuluh orang itu lalu mencabut golok masing-masing dan mereka mulai maju mengeroyok. Lima orang mengeroyok Siang Lan dan lima orang lagi mengeroyok Hong Bu. Setelah mereka mengeroyok, baru tahulah Siang Lan dan Hong Bu bahwa sepuluh orang itu bukan anak buah Pek-lian-kauw biasa, melainkan orang-orang Pek-lian-kauw yang sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Gerakan mereka cepat, tenaga mereka juga kuat dan ilmu golok mereka lihai sekali.

   Kini Siang Lan dan Hong Bu mulai terdesak. Siang Lan tidak berani menyuruh anak buahnya yang menonton dari jarak jauh untuk mengeroyok, karena dara perkasa ini maklum bahwa anak buahnya masih terlalu lemah untuk bertanding melawan orang-orang Pek-lian-kauw yang lihai itu. Bantuan anak buahnya tidak ada gunanya baginya, bahkan akan mengambil banyak korban menewaskan para anak buahnya. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali melakukan perlawanan dengan nekat.

   Demikian pula Hong Bu. Biarpun terdesak, pemuda ini memiliki jurus-jurus pertahanan yang amat kokoh sehingga tidak mudah bagi para pengeroyok untuk melukai atau merobohkannya. Akan tetapi tentu saja sekarang dia tidak ada kesempatan untuk membalas serangan mereka yang datang bertubi-tubi itu. Demikian juga dengan Siang Lan. Walaupun ia lebih kuat dan keadaannya tidak separah Hong Bu karena ia masih mampu membalas, namun tetap saja ia terdesak hebat. Pada saat yang amat gawat bagi Siang Lan dan Hong Bu itu, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan Bu-beng-cu sudah berada di situ. Tangannya memegang sebatang ranting kayu dan dia menggunakan ranting itu untuk mengamuk.

   Mula-mula dia menerjang ke arah para pengeroyok Siang Lan dan dalam waktu beberapa jurus saja dia telah membuat lima orang anak buah Pek-lian-kauw itu terpaksa melepaskan golok karena tangan mereka terluka oleh tusukan ranting yang ternyata keras seperti baja! Setelah membuat lima orang pengeroyok Siang Lan itu tidak mampu lagi mengeroyok, dia lalu menerjang ke arah para pengeroyok Hong Bu. Seperti juga tadi, rantingnya menyambar-nyambar dan lima orang itu berteriak kesakitan dan berlompatan menjauh?

   Melihat kejadian ini, dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi terkejut dan jerih, apalagi ketika mereka mengenal laki-laki yang membantu Hwe-thian Mo-li ini sebagai orang yang dulu juga pernah membantu Iblis Betina Terbang itu ketika mereka berdua menyerangnya. Laki-laki yang bernama Bu-beng-cu! Maka, kedua orang itu maklum bahwa kalau mereka melanjutkan perkelahian, mereka berdua tentu akan celaka. Dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu berseru nyaring dan mereka membanting dua buah benda peledak.

   Terdengar dua kali ledakan keras dan tampak asap hitam mengepul tebal memenuhi tempat itu. Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, Chang Hong Bu, dan Bu-beng-cu segera berlompatan menjauhi asap karena mereka maklum bahwa bukan tidak mungkin asap dari bahan peledak itu mengandung racun karena Pek-lian-kauw memang terkenal pandai menggunakan alat peledak dengan asap beracun. Setelah asap menghilang, dua belas orang penyerang itu sudah menghilang. Siang Lan hendak mengejar bersama Hong Bu, akan tetapi Bu-beng-cu mencegah mereka.

   "Musuh yang sudah kalah dan melarikan diri tidak perlu dikejar." Siang Lan memandang Bu-beng-cu dengan sinar mata bersyukur. Betapa baiknya orang ini, pikirnya. Bukan hanya mau melatih ilmu silat kepadanya sehingga tingkatnya naik dengan cepat dan hal ini dapat ia rasakan ketika ia melawan Hwa Hwa Hoat-su tadi.

   Dahulu, satu tahun setengah yang lalu, ketika ia melawan kakek datuk Pek-lian-kauw itu, ia merasa kewalahan dan terdesak. Akan tetapi tadi ia sama sekali tidak merasa berat walaupun juga tidak mudah mengalahkan kakek itu. Ia baru repot ketika datang lima orang yang mengeroyoknya. Selain menggemblengnya dengan ilmu silat tinggi, juga Bu-beng-cu beberapa kali menolong dan menyelamatkannya dari bahaya!

   "Paman, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu. Engkau selalu muncul pada saat yang tepat. Terima kasih, Paman!" Sinar mata gadis itu jelas membayangkan kekaguman dan rasa terima kasih yang besar.

   Hong Bu juga kagum sekali kepada laki-laki itu. Ketika dia bertanding melawan Bu-beng-cu yang hendak mengujinya, dia juga sudah menduga bahwa orang ini memiliki ilmu silat yang lihai, akan tetapi tidak disangkanya setelah benar-benar bertanding, tadi dia menyaksikan betapa hanya dengan sebatang ranting Bu-beng-cu dapat membuat lima orang yang mengeroyoknya dan lima orang lagi yang mengeroyok Siang Lan, dalam beberapa gebrakan saja mundur semua! Padahal dia merasakan sendiri betapa lima orang itu juga cukup kuat dengan ilmu golok mereka yang lihai.

   "Saya juga mengucapkan terima kasih, Paman Bu-beng-cu. Kalau tidak ada Paman yang datang menolong, mungkin saya sudah celaka di tangan para pengeroyok itu," kata Hong Bu sambil memberi hormat.

   "Ah, tidak perlu berterima kasih, ilmu pedangmu sendiri juga cukup lihai," kata Bu-beng-cu sederhana.

   "Nah, sekarang aku mau turun dari sini menyelesaikan urusanku sendiri." Setetah berkata demikian, Bu-beng-cu membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi.

   "Nanti dulu, Paman!" kata Siang Lan.

   "Sore ini aku ingin mengundangmu makan di sini. Mari kita makan sama-sama, Paman, untuk merayakan kemenangan kita menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw tadi." Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya.

   "Terima kasih, Nona. Biar lain kali saja. Sekarang aku ingin memeriksa keadaan di Lembah Selaksa Bunga ini karena aku khawatir kalau-kalau pihak Pek-lian-kauw masih penasaran dan lain waktu akan datang untuk membalas kekalahannya pada Ban-hwa-pang."

   "Apa yang hendak Paman lakukan?"

   "Sebuah tempat yang menjadi pusat perkumpulan merupakan markas atau asrama atau juga benteng. Harus diperkuat, kalau perlu dengan perangkap dan jebakan agar tidak mudah diserbu orang luar. Aku akan merencanakan dan membuatkan sarana pertahanan itu dan untuk itu aku harus membuat rencana dan gambarnya. Nah, aku pergi dulu, Hwe"thian Mo-li!" Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu sudah berkelebat pergi. Hong Bu memandang kagum, kemudian menghela napas dan berkata.

   "Bukan main! Hebat sekali paman Bu-beng-cu itu. Dia seorang pendekar yang gagah perkasa, budiman, dan...... aneh."

   "Memang Paman Bu-beng-cu memiliki watak yang aneh, Kongcu......"

   "Ah, sungguh tidak enak mendengar engkau menyebutku kongcu, Nona. Setelah kita berkenalan dan menjadi sahabat, bahkan tadi telah bersama menghadapi musuh dan mungkin juga akan bersama menghadapi musuh bila membantu Paman Panglima di kota raja, haruskah engkau bersikap sungkan dan menyebutku Kongcu?"

   "Engkau ini aneh dan mau menang sendiri!" Siang Lan menegur akan tetapi sambil tersenyum manis.

   "Engkau sendiri menyebut aku Siocia (Nona), mengapa aku tidak boleh menyebutmu Kongcu (Tuan Muda)?"

   "Baiklah, aku yang bersalah. Nah, kalau engkau tidak keberatan, aku akan menyebutmu moi-moi (Adik perempuan). Bagaimana pendapatmu, Lan-moi (Adik Lan)?" Siang Lan tersenyum.

   "Baik, dan aku akan menyebutmu Koko (Kakak laki-laki). Begitu kehendakmu, Bu-ko (Kakak Bu)?"

   Hong Bu tersenyum dan jantungnya berdebar. Sejak pertama dia sudah tertarik dan kagum sekali kepada Siang Lan. Kini dia semakin kagum dan timbul perasaan suka yang mendalam, yang membuat jantungnya berdebar. Belum pernah dia merasakan hal seperti ini. Dalam usianya yang duapuluh lima tahun itu Hong Bu belum pernah bergaul dekat dengan wanita. Akan tetapi dia maklum bahwa kehadirannya di situ merupakan hal yang melanggar kesopanan karena lembah Selaksa Bunga merupakan perkampungan wanita.

   "Lan-moi, engkau baik sekali. Sekarang kukira sudah tiba saatnya bagiku untuk pulang ke kota raja. Akan tetapi aku memerlukan jawabanmu untuk kusampaikan kepada Paman Panglima."

   "Oh, ya...... akan tetapi tunggu dulu, Bu-ko. Tadi aku mengajak Paman Bu-beng-cu makan, dia tidak mau. Barang kali engkau mau makan bersamaku sore ini? Pula, hari sudah sore, sebentar lagi malam tiba. Bagaimana kalau engkau bermalam di sini semalam, besok pagi-pagi baru turun bukit dan kembali ke kota raja? Tentang jawabanku kepada Pamanmu, tentu saja aku suka membantunya dan aku pasti akan pergi ke sana mengunjungi adikku Ong Lian Hong." Hong Bu girang bukan main mendapat tawaran makan dan bermalam di situ.

   "Akan tetapi, Lan-moi...... apakah...... apakah aku tidak melanggar kesopanan kalau aku bermalam di Lembah Selaksa Bunga?" Siang Lan tersenyum dan hatinya merasa senang. Pemuda ini selain tampan gagah dan ilmu silatnya tinggi, juga sopan. Jarang terdapat pemuda seperti ini.

   "Aih, Bu-ko! Melanggar kesopanan atau tidak itu tergantung dan pikiran dan sikap seseorang. Bukankah begitu? Aku mengundangmu karena engkau tamuku, utusan Panglima Chang Ku Cing yang terhormat, karena hari hampir malam dan tidak semestinya engkau turun bukit dalam keadaan gelap. Siapa berani menganggap kita melanggar kesopanan?"

   "Terima kasih, Lan-moi. Engkau sungguh bijaksana dan baik sekali." Tanpa ragu lagi Hong Bu lalu mandi, makan, dan bermalam di situ.

   Dia merasa senang karena para anggauta Ban-hwa-pang juga terdiri dari para wanita yang bersikap gagah dan sopan. Dia tahu bahwa mereka belum memiliki ilmu silat yang tinggi karena belum lama Hwe-thian Mo-li memimpin mereka. Akan tetapi dia percaya bahwa perkumpulan Lembah Selaksa Bunga ini kelak akan menjadi perkumpulan yang besar. Ketika dia diajak makan malam di ruangan makan, muncul seorang gadis manis yang kulitnya putih mulus, bertubuh tinggi ramping dengan sepasang mata lebar. Wajahnya yang bulat dan manis itu seolah mengandung kesedihan yang tersembunyi.

   "Bu-ko, mari kuperkenalkan. Ini adalah adik angkatku, namanya Kui Li Ai. Li Ai, ini adalah Kakak Chang Hong Bu, murid Siauw-lim-pai yang malam ini menjadi tamu kita." Li Ai memberi hormat dengan gaya yang lembut dan sopan.

   "Chang Taihiap (Pendekar Chang)," katanya sopan dan lirih.

   "Kui Siocia, saya senang mendapat kehormatan berkenalan denganmu," kata Hong Bu yang merasa heran karena sikap gadis ini bukan seperti gadis gunung, melainkan penuh tata susila seperti gadis bangsawan!

   "Aih, kalian tidak perlu bersungkan-sungkan," kata Siang Lan.

   "Bu-ko, Li Ai ini adalah adik angkatku sendiri, sebut saja namanya. Dan Li Ai, tidak perlu menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada Bu-ko, sebut saja Bu-ko seperti aku."

   "Siauw-moi, (Adik Muda), maafkan kelancanganku, aku hanya menaati usul Lan-moi," kata Hong Bu.

   Setelah mereka bertiga duduk, dua orang wanita anggauta Ban-hwa-pang segera menghidangkan makanan. Mereka makan minum tanpa banyak bicara karena bagaimanapun juga, Hong Bu merasa sungkan juga makan minum bersama dua orang gadis yang demikian cantik. Baru sekarang dia mengalami hal seperti ini dan membuatnya menjadi canggung sekali. Dia melihat di bawah sinar lampu betapa Kui Li Ai memang cantik manis dan lembut sekali.

   Akan tetapi tetap saja dia lebih kagum melihat Siang Lan yang lebih matang, juga penuh wibawa dan semangat. Dia merasa betapa dia jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li! Selesai makan, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengajak Kui Li Ai yang sekarang telah menjadi adik angkatnya dan Chang Hong Bu yang menjadi tamu mereka untuk duduk bercakap-cakap di serambi depan. Bulan purnama tampak menjenguk melalui jendela, menambah semarak cahaya lampu gantung di serambi itu. Mereka bertiga duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang besar.

   "Ah, aku tadi lupa menceritakan keadaan kalian masing-masing. Sekarang aku teringat bahwa sesungguhnya kalian berdua bukanlah asing sama sekali satu terhadap yang lain karena sama-sama berasal dari kota raja dan sama-sama menjadi keluarga perwira tinggi yang setia dan berjasa terhadap Kerajaan! Bu-ko, ketahuilah bahwa adikku Li Ai ini adalah puteri dari mendiang Kui Ciang-kun (Perwira Kui), seorang perwira yang gagah perkasa dan setia, dan kalau tidak salah, dia dahulu merupakan tangan kanan atau orang kepercayaan dari panglima Chang Ku Cing. Tentu engkau pernah mengenalnya." Chang Hong Bu mengingat-ingat dan menggelengkan kepalanya, lalu berkata. Diam-diam dia berkata kepada dirinya sendiri bahwa tidak aneh kalau tadi dia melihat sikap gadis itu begitu anggun seperti sikap seorang gadis bangsawan. Kiranya puteri seorang perwira tinggi!

   "Maaf, aku tidak pernah mendapat kehormatan mengenal Kui Ciang-kun seperti yang kusebutkan tadi, Lan-moi. Ketahuilah bahwa sejak berusia sepuluh tahun aku telah meninggalkan kota raja, oleh Paman aku dikirim ke Siauw-lim-pai untuk mempelajari ilmu selama limabelas tahun. Kemudian baru beberapa minggu aku kembali ke kota raja dan langsung menerima tugas mengunjungimu ini. Akan tetapi aku merasa girang mendengar bahwa Adik Li Ai adalah puteri seorang perwira tinggi di kota raja." Tentu saja dalam hatinya dia merasa heran mengapa puteri seorang perwira tinggi sekarang tinggal di Lembah Selaksa Bunga, menjadi adik angkat Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Akan tetapi keheranan ini tidak dia tanyakan karena dia khawatir akan menyinggung perasaan orang.

   "Li Ai, ketahuilah bahwa Kakak Chang Hong Bu ini adalah keponakan dari panglima Chang Ku Cing." Tiba-tiba muka gadis itu menjadi merah sekali dan hati Hong Bu terkejut bukan main ketika dia memandang, dia melihat betapa sepasang mata indah yang memandangnya itu mengeluarkan kilatan sinar berapi penuh kemarahan dan kebencian! Li Ai bangkit berdiri dan berkata kepada Siang Lan.

   "Enci Lan, maaf, aku masuk kamar dulu, kepalaku agak pusing." Tanpa menanti jawaban dan sama sekali tidak menoleh kepada Hong Bu, Li Ai lalu meninggalkan serambi itu dengan cepat. Siang Lan menghela napas panjang. Hong Bu merasakan sesuatu yang tidak enak, maka dia segera bertanya.

   "Lan-moi, mungkin keliru penglihatanku, akan tetapi aku melihat agaknya Adik Li Ai berubah sikap dan menjadi marah ketika mendengar bahwa aku adalah keponakan Paman Panglima Chang. Benarkah dugaanku itu?" Siang Lan nnenganggu-anggukan kepalanya, dan menghela napas lagi.

   "Kasihan Adikku itu, aku tidak dapat menyalahkannya kalau ia bersikap seperti itu, walaupun tadinya aku mengira ia sudah mulai melupakannya. Ia agaknya masih menganggap bahwa Panglima Chang yang menyebabkan kematian ayahnya dan agaknya sukar ia untuk dapat melupakan hal itu, maka mendengar bahwa engkau keponakan Panglima Chang, ia merasa tidak enak dan pergi." Hong Bu terkejut sekali.

   "Paman Panglima menjadi penyebab kematian Kui Ciang-kun, ayah Adik Li Ai? Bagaimana ini? Bukankah engkau ceritakan tadi bahwa ayahnya adalah pembantu setia dari paman Panglima?"

   "Riwayat Li Ai memang menyedihkan sekali, Bu-ko. Ibu kandungnya telah meninggal dunia dan ia hidup bersama ayahnya, Perwira Kui Seng, dan ibu tirinya yang galak dan tidak suka kepadanya. Kui Ciang-kun yang menjadi pembantu setia Panglima Chang, setahun lebih yang lalu telah berjasa membasmi gerombolan Pek-lian-kauw sehingga tujuh orang tokoh Pek-lian-kauw dapat ditawan. Empat orang di antara mereka telah dihukum mati, akan tetapi yang tiga orang masih ditahan di penjara. Pada suatu hari, Li Ai diculik orang-orang Pek-lian-kauw dan Kui Ciang-kun dipaksa untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu. Kalau dia menolak, Li Ai akan dibunuh."

   "Hemm, jahat orang-orang Pek-lian-kauw itu!" kata Hong Bu gemas.

   "Karena sayang kepada puteri tunggalnya, Kui Ciang-kun terpaksa membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu. Hal ini diketahui panglima Chang yang menjadi marah dan menuduh Kui Ciang-kun berkhianat. Dengan malu dan sedih Kui Ciang-kun bunuh diri tanpa dapat dicegah lagi."

   "Ahh......!" Hong Bu terkejut sekali.

   "Sebelum mati, Kui Ciang-kun minta tolong padaku agar aku suka menolong Li Ai. Aku lalu pergi ke sarang Pek-lian-kauw di Liauw-ning dan di dalam perjalanan aku melihat Li Ai bersama dua orang Pek-lian-kauw. Aku segera menyerang dan dengan bantuan Paman Bu-beng-cu aku berhasil membunuh mereka berdua. Aku ajak Li Ai pulang dan tentu saja ia terkejut dan sedih melihat ayahnya telah meninggal dunia. Ibu tirinya dengan galak menyalahkannya sehingga terpaksa aku menghajarnya. Li Ai lalu minta kepadaku untuk ikut ke sini karena ia tidak mau tinggal dengan ibu tirinya yang galak dan membencinya. Demikianlah, Bu-ko, maka maafkan ia kalau tadi bersikap marah mendengar bahwa engkau keponakan Panglima Chang yang ia anggap penyebab kematian Ayahnya." Tentu saja Siang Lan tidak mau menceritakan bahwa Li Ai diperkosa oleh tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang dibunuhnya itu. Rahasia Li Ai takkan ia ceritakan kepada siapapun juga. Hong Bu mengerutkan alisnya.

   "Aduh, kasihan sekali Adik Li Ai! Pantas ia tadi memandangku seperti orang marah dan penuh kebencian! Akan tetapi engkau...... ah, Lan-moi, engkau sungguh bijaksana dan mulia. Engkau telah menyelamatkan Li Ai dan menampungnya di sini, bahkan menjadikan adik angkatmu. Selain itu engkau tidak ikut marah kepada Paman Panglima Chang, sehingga engkau masih mau membantunya untuk mencari para pembunuh itu. Ah, di dunia ini agaknya tidak akan mudah menemukan seorang gadis seperti engkau, Lan-moi." Siang Lan tersenyum. Bagaimana kerasnya hati Siang Lan, ia adalah seorang gadis, seorang wanita. Mendengar pujian dari seorang pemuda yang tampan gagah, seorang pendekar budinnan seperti Hong Bu, jantungnya berdebar, perasaannya senang sekali, dan ia pun menjadi malu sehingga kedua pipinya yang halus mulus itu menjadi kemerahan.

   "Ah, Bu-ko, engkau membuat aku malu. Jangan memuji terlalu berlebihan, Bu-ko. Aku hanya seorang gadis kang-ouw, sebatang kara di dunia ini, seorang gadis kasar dan liar!" Ia menghela napas panjang.

   "Aku bahkan dijuluki Iblis Betina Terbang!"

   "Hemm, mungkin yang memberi julukan itu adalah para penjahat yang pernah kautentang dan kaubasmi, Lan-moi. Aku tidak memujimu secara berlebihan. Engkau seorang gadis yang masih muda, engkau cantik jelita, engkau memiliki ilmu yang tinggi dan lihai sekali, dan di balik sikapmu yang keras itu engkau memiliki hati yang mulia, engkau bijaksana dan aku...... aku amat kagum padamu, Lan-moi."

   Ketika mengucapkan kata-kata terakhir ini" suara pemuda itu agak gemetar dan pandang matanya tampak oleh Siang Lan demikian mesra sehingga seketika itu juga gadis itu tahu benar bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta padanya! Pujian pemuda itu benar-benar meresap dalam hati sanubari gadis itu, terdengar begitu merdu bagaikan nyanyian dari sorga. Belum pernah selama hidupnya ia mendengar pujian seorang laki-laki seindah itu. Terdengar amat merdu dan indah karena ia tahu bahwa pujian itu diucapkan seorang pemuda yang baik budi, pujian yang keluar dari hati yang tulus, bukan seperti banyak pujian yang didengarnya dari mulut para pria yang mengucapkannya terdorong nafsu rendahnya.

   Pemuda ini mengucapkan pujian yang keluar dari hatinya, bukan sekedar merayu, melainkan muncul dari perasaan hati yang jatuh cinta! Betapa indahnya! Akan tetapi, Siang Lan tak dapat menipu perasaan hatinya sendiri. Ia memang merasa senang sekali, merasa bangga mendengar pujian itu. Ia tidak dapat menyangkal bahwa ia merasa kagum kepada pemuda yang tampan dan gagah serta baik budi ini, akan tetapi ia tidak merasakan cinta kasih seperti yang pernah ia rasakan terhadap Sim Tek Kun yang kini menjadi suami Ong Lian Hong!

   Tentu saja sudah lama ia membuang perasaan ini dari lubuk hatinya dan menggantikan rasa cinta dari seorang wanita terhadap pria itu dengan rasa cinta persahabatan atau lebih dari itu, cinta persaudaraan karena Sim Tek Kun kini telah menjadi suami adik angkatnya, menjadi adik iparnya! Terhadap pemuda yang duduk di depannya ini, Chang Hong Bu, ia hanya merasa kagum dan suka untuk menjadi sahabat baik, bukan sebagai kekasih atau calon suami. Maka untuk menghilangkan suasana amat romantis yang mendebarkan hati setelah pemuda itu memuji-mujinya, Siang Lan tertawa lepas dengan gembira.

   "He-he-he, Bu-ko! Sudahlah aku bisa mabok oleh pujian dan kepalaku menjadi besar sekali nanti! Sekarang, mari kita bicara tentang surat Paman Chang kepadaku. Kukira, tidak perlu aku memberi balasan surat karena yang menjadi utusan adalah engkau, keponakan Panglima Chang sendiri. Besok pagi, kalau engkau pulang ke kota raja, tolong sampaikan jawabanku kepadanya bahwa aku siap untuk membantunya. Setelah aku menyelesaikan urusan Ban-hwa-pang di sini, aku pasti akan pergi ke kota raja, menghadap Paman Panglima Chang dan sekalian mengunjungi adikku Lian Hong."

   Malam itu, Hong Bu tidak dapat tidur, gelisah di dalam kamar yang disediakan untuknya. Akan tetapi sebaliknya, Siang Lan dapat tidur nyenyak. Di atas pembaringan lain di kamar Siang Lan, Li Ai juga tidak dapat pulas. Ia masih merasa penasaran dan sakit hati, teringat akan kematian ayahnya yang disebabkan oleh Panglima Chang Ku Cing yang menuduhnya sebagai pengkhianat. Biarpun sebelum tidur tadi Siang Lan telah menghiburnya dan mengatakan bahwa Panglima Chang hanya bertindak menurut hukum militer, dan Panglima itu merasa menyesal bahwa Kui Ciang-kun membunuh diri, namun hati Li Ai masih tetap tidak tenang dan ia gelisah di atas pembaringannya.

   Pada keesokan harinya, setelah dijamu makan pagi, Hong Bu meninggalkan Ban-hwa-pang, dan Siang Lan lalu menemui Bu-beng-cu di tempat tinggal sementara pria itu untuk berlatih silat seperti biasa. Selain berlatih silat, ia juga memperbincangkan dan merencanakan pembuatan perangkap dan jebakan di Lembah Selaksa Bunga untuk menjaga keselamatan Ban-hwa-pang dari serbuan musuh. Karena pembuatan jebakan itu harus dirahasia dari orang luar, maka pembangunannya dilakukan sepenuhnya oleh para wanita anggauta Ban-hwa-pang, dipimpin oleh Siang Lan dan Li Ai. Bu-beng-cu sendiri tidak pernah muncul, dan kalaupun dia datang memeriksa, hal itu dilakukan pada malam hari atau sewaktu para anggauta Ban-hwa-pang sudah kembali ke perkampungan.

   Dia memang tidak ingin banyak terlihat di Lembah Selaksa Bunga. Li Ai yang cerdik, dapat mengatur pembangunan itu dari gambar yang dibuat oleh Bu-beng-cu. Alat-alatnya dibeli dari kota yang berada di kaki pegunungan Lu-liang-san. Beberapa orang anggauta Ban-hwa-pang sengaja belajar membakar baja, menempa dan membentuknya sesuai dengan yang digambar Bu-beng-cu untuk dipasang dan diatur sebagai perangkap dan jebakan. Hampir sebulan kemudian, setelah pembangunan taman yang penuh jebakan itu berjalan lancar, Siang Lan lalu menyerahkan pimpinan pekerjaan itu kepada Kui Li Ai dan ia minta kepada Bu-beng-cu agar ikut mengawasinya secara diam-diam.

   Setelah kesemuanya beres diaturnya, ia pun meninggalkan Lembah Selaksa Bunga dan berangkat turun gunung menuju ke kota raja. Beberapa hari kemudian, pada suatu hari menjelang tengah hari Siang Lan berjalan seorang diri dalam sebuah hutan lebat. Jalan umum yang memasuki hutan itu kasar berbatu-batu dan di situ amat sepi. Siang Lan berjalan biasa, wajahnya cerah karena ia gembira dan bersemangat membayangkan betapa ia akan bertemu dengan Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun.

   Ia dapat membayangkan betapa akan gembiranya Lian Hong kalau bertemu dengannya. Ia pun tidak akan merasa canggung bertemu Tek Kun karena bagaimanapun juga, ia belum pernah menyatakan cintanya kepada Tek Kun. Perasaan itu hanya terdapat di lubuk hatinya saja dan kini sudah hilang oleh kesadaran bahwa pemuda itu telah menjadi suami Lian Hong dan betapa kedua orang itu selain saling mengasihi juga bahkan sudah bertunangan sejak dulu. Karena melangkah dengan pikiran melayang-layang, Siang Lan kurang waspada sehingga ia tidak tahu bahwa sejak tadi, sedikitnya tigapuluh pasang mata mengamatinya.

   Mengamati dengan kagum karena mata laki-laki mana yang tidak akan kagum melihat gadis yang demikian cantik jelita berjalan seorang diri di dalam hutan lebat itu? Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan ketika itu berusia sekitar duapuluh dua tahun dengan tubuh seorang gadis yang sudah mulai matang, tingginya sedang, ramping dan denok dengan lekuk-lengkung yang sempurna menggairahkan hati pria. Rambutnya yang hitam panjang dan berikal mayang itu digelung ke atas, dihias seekor kupu-kupu dari emas permata.

   Di dahi dan pelipisnya bergantungan anak rambut yang halus melingkar menambah kemanisan wajahnya yang jelita. Sepasang matanya yang indah itu jeli, dengan sinar yang terkadang mencorong penuh wibawa. Hidungnya Mancung dan mulutnya memiliki bibir yang bentuknya menggairahkan. Di punggungnya tergantung sebatang pedang, yaitu Liu-kong-kiam (Pedang Kilat). Tiba-tiba Siang Lan sadar dari lamunannya dan cepat ia berhenti melangkah dan seluruh urat syarafnya menegang penuh kewaspadaan karena ia mendengar suara gerakan banyak orang.

   "Siapa di sana? Keluarlah kalian, tidak perlu mengintai seperti pengecut-pengecut!" bentaknya. Terdengar suara tawa dan dari empat penjuru bermunculan sekitar tigapuluh orang, dipimpin oleh dua orang yang membuat Siang Lan terkejut akan tetapi juga marah sekali. Mereka adalah Hwa Hwa Hoat-su datuk Pek-lian-kauw dan Hoat Hwa Cin-jin tokoh besar cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning, musuh-musuh besarnya yang sebulan lalu menyerbu Lembah Selaksa Bunga dan dapat ia usir bersama Chang Hong Bu, dibantu oleh Bu-beng-cu!

   "Huh, kalian jahanam Pek-lian-kauw, setan-setan berjubah pendeta! Manusia-manusia pengecut, setelah kami kalahkan, sekarang hendak mengeroyokku dengan banyak orang! Jangan dikira aku, Hwe-thian Mo-li merasa takut!"

   Setelah berkata demikian, dara sakti ini mencabut pedangnya dan tampaklah kilat pedang itu menyilauan mata. Tigapuluh orang anggauta Pek-lian-kauw itu gentar juga melihat ini karena mereka sudah mendengar betapa sakti dan ganasnya Hwe-thian Mo-li! Akan tetapi kembali Hwa Hwa Hoat-su tertawa dan suara tawanya sekali ini terdengar aneh. Kemudian ternyata bahwa tawa ini merupakan isyarat kepada para anggauta Pek-lian-kauw karena mereka segera bergerak mengepung Siang Lan dan menumpuk kayu bakar lalu membakar tumpukan kayu itu di delapan penjuru!

   Tigapuluh orang itu lalu berdoa, merupakan nyanyian yang aneh dan suara mereka bergemuruh, mereka melangkah dan mengitari Siang Lan sambil membawa sebatang obor bernyala. Hwa Hwa Hoat-su berdiri dengan rambutnya yang panjang putih itu terurai. Dia mencabut pedangnya dan menudingkan pedang itu ke atas lalu membaca mantera. Tigapuluh orang yang kini berlari mengelilingi Siang Lan itu ketika tiba dekat Hwa Hwa Hoat-su, menyentuh ujung pedang dengan obor mereka. Tak lama kemudian ujung pedang itu pun terbakar dan bernyala!

   Kemudian datuk Pek-lian-kauw itu melontarkan pedangnya yang bernyala itu ke atas dan pedang itu meluncur dan menyerang ke arah Siang Lan seperti hidup! Bukan itu saja, kini api dari obor-obor itu seolah mengikuti pedang, merupakan bola-bola api yang semua menyerang ke arah gadis itu! Siang Lan terkejut dan maklum bahwa kakek itu menggunakan ilmu sihir yang agaknya telah dipersiapkan lebih dulu. Ia tidak menjadi gentar.

   Tubuhnya berkelebatan dan sinar kilat pedangnya bergulung-gulung menangkis serangan pedang terbang, sedangkan tangan kirinya dengan tenaga sakti mendorong ke arah bola-bola api yang menyambar-nyambar ke arah tubuhnya. Akan tetapi Hoat Hwa Cin-jin kini maju mengeroyoknya dengan sepasang goloknya yang lihai. Agaknya gerakannya juga sudah diatur karena tokoh Pek-lian-kauw dari Liauw-ning ini tidak menggunakan goloknya untuk menyerang, melainkan sepasang goloknya berusaha menahan pedang Siang Lan.

   Tentu saja gadis itu kini menjadi repot karena dikeroyok banyak bola api, pedang terbang dan sepasang golok Hoat Hwa Cin-jin. Ia masih dapat menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk mengelak ke sana-sini sambil memutar pedang sebagai perisai yang menyelimuti dirinya. Akan tetapi kini Hwa Hwa Hoat-su juga melompat ke depan dan kebutannya menyambar-nyambar melakukan totokan-totokan yang amat cepat.

   Betapa pun lihainya Siang Lan yang telah menerima gemblengan Bu-beng-cu, namun menghadapi sekian banyak pengeroyok, ia tidak tahan juga. Akhirnya ujung kebutan di tangan Hwa Hwa Hoat-su yang dapat menjadi lemas atau kaku dengan kekuatan tenaga saktinya itu dapat menotok jalan darahnya di tengkuk dan tubuh gadis itu terkulai roboh dan pingsan! Hoat Hwa Cin-jin segera mengambil Lui-kong-kiam berikut sarungnya dan menyelipkan pedang itu di pinggangnya sambil tertawa senang. Kemudian dia memondong tubuh Siang Lan dan hendak membawanya pergi.

   "Cin-jin, hati-hatilah. Gadis itu lihai sekali, jangan sampai ia sadar lalu membunuhmu. Lebih cepat ia dibunuh lebih baik agar tidak menjadi penghalang kita di kemudian hari," kata Hwa Hwa Hoat-su.

   "Ha-ha-ha, Hoat-su, jangan khawatir! Aku hanya merasa sayang kalau ia dibunuh begitu saja, terlalu enak buat ia dan tidak enak untukku. Jangan khawatir, besok pagi-pagi ia sudah tinggal nama saja, akan kupenggal lehernya dan kepalanya kita pergunakan untuk upacara sembahyang saudara-saudara kita yang terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li ini!" Setelah berkata demikian, Hoat Hwa Cin-jin membawa lari gadis dalam pondongannya itu, memasuki hutan lebat.

   Air yang dingin menyiram muka dan kepala Siang Lan, membuat gadis itu siuman dari pingsannya. Ia gelagapan dan menggoyang kepala mengusir air yang menutupi kedua matanya. Ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya dan ia terkejut bukan main melihat dirinya berada dalam sebuah pondok, rebah telentang di atas tanah bertilam rumput kering dengan kaki dan tangan terpentang dan terikat pada tiang-tiang besi yang kokoh.

   Ia berusaha merenggut lepas tali-tali itu, namun tenaganya tidak dapat terkumpul semua. Tahulah ia dengan kaget bahwa dirinya telah ditotok untuk melemahkan tenaganya. Ia hanya mampu menggunakan tenaga otot saja dan tidak mampu mengerahkan sin-kang. Yang membuat ia menjadi pucat adalah ketika ia melihat betapa pakaian luarnya telah ditanggalkan dari tubuhnya dan pakaian itu bertumpuk di sudut ruangan pondok itu.

   Jantungnya mulai berdebar tegang dan...... takut! Hwe-thian Mo-li tidak pernah gentar menghadapi kematian sekalipun, akan tetapi melihat keadaan dirinya, setengah telanjang dan terikat tak berdaya, membuat ia membayangkan malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut! Ia pernah diperkosa Thian-te Mo-ong. Peristiwa itu saja sudah membuat ia hampir membunuh diri, sudah membuat hancur makna hidup ini baginya. Bagaimana mungkin ia dapat mengalami malapetaka itu untuk kedua kalinya?

   "Ha-ha-ha, engkau sudah bangun, Hwe-thian Mo-li?" terdengar suara dari luar dan masuklah Hoat Hwa Cin-jin. Kakek tinggi besar muka hitam ini tampak mengerikan sekali bagi Siang Lan, terutama karena sepasang matanya itu memandang kepadanya penuh nafsu, seolah hendak menelannya bulat-bulat dan mulutnya yang lebar menyeringai penuh ejekan.

   "Keparat Hoat Hwa Cin-jin, manusia licik, curang! Kalau engkau memang laki-laki, mari kita bertanding sampai seorang dari kita mampus!"

   "He-he-he, sebentar lagi aku akan membuktikan bahwa aku memang laki-laki sejati, Mo-li. Setelah engkau melayani aku bersenang-senang sampai sepuasku dan aku menjadi bosan, barulah engkau akan kubunuh." Siang Lan bergidik. Apa yang dikhawatirkannya ternyata benar. Pendeta palsu ini hendak berbuat keji kepadanya, hendak memperkosanya! Ia terbelalak, matanya seperti mata kelinci menghadapi auman harimau yang hendak menerkamnya.

   "Bunuh saja aku!" teriaknya.

   "Ha-ha-ha, sayang engkau begini cantik, begini mulus dibunuh begitu saja. Engkau harus melayani aku dulu...... heh-heh-heh!" Hoat Hwa Cin-jin berjongkok dekat Siang Lan dan kedua tangannya mulai meraba-raba.

   "Bunuh aku! Penggal leherku, cincang tubuhku, akan tetapi jangan memperkosaku......! Kumohon, jangan perkosa...... bunuhlah aku sekarang juga......!" Hwe-thian Mo-li menjerit-jerit dan meronta-ronta, memutar kepala ke kanan kiri untuk menghindar ketika muka yang besar hitam menyeramkan itu berusaha menciumnya. Hoat Hwa Cin-jin membelalakkan mata mendengar jeritan ini dan dia mengangkat mukanya yang tidak berhasil mencium.

   "Ha-ha! Inikah Si Iblis Betina Terbang? Ini......? Perempuan lemah yang menjerit-jerit ketakutan? Inikah Hwe-thian Mo-li yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip mata? Yang membunuhi banyak anggauta perkumpulan kami?" Dengan napas terengah dan suara gemetar Siang Lan berkata.

   "Hoat Hwa Cin-jin, bunuhlah aku...... kumohon padamu, bunuhlah aku, jangan hina aku dengan perkosaan......" Dan Siang Lan mencucurkan air mata!

   Kalau saja ia mampu bergerak, tentu ia akan melawan mati-matian, atau kalau tidak dapat melawan, ia akan dapat membunuh diri. Akan tetapi ia tidak berdaya, kaki tangannya terikat kuat. Ia lalu teringat. Ah, masih ada satu cara membunuh diri biarpun kini kaki tangannya terikat. Ia dapat menggigit lidahnya sendiri sampai putus dan ini pun dapat mendatangkan kematian! Ia akan membunuh diri dengan menggigit putus lidahnya sebelum dirinya dihina dan diperkosa! Hoat Hwa Cin-jin pada saat itu sedang dikuasai nafsu binatang yang berkobar-kobar, akan tetapi dia tetap saja tertegun karena herannya melihat wanita yang menggegerkan dunia kang-ouw ini menangis!

   "Hwe-thian Mo-li menangis? Ha-ha-ha, alangkah baiknya kalau semua orang dapat menyaksikan ini. Ha-ha-ha-ha......!"

   "Brakkkkk......!!" Tiba-tiba pondok yang tidak besar itu jebol dan roboh, terlempar seperti diterjang badai! Hoat Hwa Cin-jin terkejut sekali dan dia cepat melompat untuk menghindarkan dirinya ikut diterjang kekuatan yang dahsyat itu. Bayangan orang yang cepat sekali gerakannya melompat dekat Siang Lan yang masih rebah telentang sehingga ia tidak sampai diterjang kekuatan dahsyat itu.

   Bayangan itu ternyata adalah Bu-beng-cu, akan tetapi sebelum dia dapat melepaskan ikatan kaki tangan Siang Lan, Hoat Hwa Cin-jin yang menjadi marah sekali telah menerjangnya dengan hebat. Saking marahnya karena niatnya membalas dendam kepada Siang Lan yang sudah hampir terlaksana itu gagal, dia tidak ingat lagi bahwa Bu-beng-cu yang pernah dilawannya memiliki ilmu kepandaian tinggi, jauh lebih tangguh daripada Hwe-thian Mo-li sendiri. Kemarahan membuat dia menjadi nekat dan kini dia menyerang dengan sepasang goloknya.

   "Manusia jahanam!" Bu-beng-cu membentak dan cepat mengelak dari sambaran sepasang golok tokoh Pek-lian-kauw itu. Bu-beng-cu juga marah sekali dan dia berkelebatan di antara dua gulungan sinar golok itu. Kemudian, dengan penyaluran tenaga sakti yang amat kuat dia membalas.

   "Wuuuttt...... desss !!" Tubuh Hoat Hwa Cin-jin seperti disambar petir dan dia terlempar sampai tiga tombak lebih, jatuh terbanting dan pingsan. Hantaman tenaga yang amat dahsyat itu telah mengguncang isi dadanya sehingga dia terluka dalam yang cukup parah. Bu-beng-cu tidak peduli lagi kepada lawannya yang sudah roboh dan pingsan. Dia cepat melompat dekat Siang Lan, merenggut ikatan kedua kaki tangan gadis itu lalu membebaskan totokan yang membuat Siang Lan tidak mampu mengerahkan tenaga sin-kangnya.

   Sementara itu, ketika Bu-beng-cu melepaskan ikatan kaki tangannya, Siang Lan yang tadinya sudah bercucuran air mata, kini bagaikan air dibendung dan pecah bendungannya. Tadinya, kengerian dan ketakutan membuat ia menangis dan kini, saking lega, gembira yang amat sangat, dia menangis, mengguguk dan segera merangkul leher Bu-beng-cu! Bu-beng-cu memejamkan kedua matanya. Laki-laki yang merasa amat berdosa kepada Siang Lan ini, yang juga merasakan iba yang mendalam, tanpa disadarinya sendiri, telah jatuh cinta kepada Siang Lan.

   Dia siap melakukan apa saja, kalau perlu bahkan berkorban nyawa, untuk membahagiakan gadis ini. Biarpun usianya sudah empatpuluh dua tahun, sejak muda Bu-beng-cu atau Sie Bun Liong ini tekun mempelajari ilmu dan biasa hidup di puncak-puncak gunung yang sunyi. Belum pernah dia bergaul dekat dengan wanita, belum pernah bersentuhan, apalagi berpelukan seperti sekarang ini. Ketika dia menggauli atau memperkosa Siang Lan, hal itu dilakukan dalam keadaan terbius, hampir tidak menyadari apa yang dia lakukan.

   Sekarang Siang Lan merangkulnya sambil menangis. Dia dapat merasakan air mata gadis itu menembus bajunya, membasahi kulit dadanya dan terasa seolah menembus kulit dan menyiram hatinya. Dia merasakan kelunakan tubuh Siang Lan yang hangat ketika gadis itu merangkulnya dengan tubuh bergoyang-goyang karena isaknya. Dia dapat mencium keharuman yang khas dari tubuh yang mendekapnya itu. Kehangatan tubuh yang hanya terbungkus pakaian dalam yang tipis itu menjalar, membuat dia merasakan kehangatan yang mesra.

   Tanpa disadarinya, kedua lengannya yang kokoh kuat itu merangkul dan dia menekan kepala yang rapat dengan dadanya itu, seolah ingin membenamkan dan memasukkan kepala gadis itu ke dalam dadanya. Siang Lan merasa demikian lega dan bahagia setelah terbebas dari rasa ngeri dan takut yang hebat. Ia bahkan merasa seolah Bu-beng-cu memberi kehidupan baru padanya karena tadinya ia sudah yakin bahwa ia pasti akan mati. Ia tadinya sudah mengambil keputusan akan menggigit putus lidahnya sendiri sebelum Hoat Hwa Cin-jin dapat memperkosanya. Kini ia tiba-tiba terbebas dan hidup! Ia teringat betapa besar budi kebaikan yang telah dilakukan Bu-beng-cu kepadanya.

   Laki-laki itu bukan hanya mencegah ia membunuh diri, juga telah bersusah payah melatih ilmu silat tinggi dengan sungguh-sungguh kepadanya dan entah sudah berapa kali Bu-beng-cu menyelamatkannya dari bahaya maut. Laki-laki ini selalu muncul apabila ia berada dalam kesulitan dan ancaman bahaya. Kini, ketika ia merangkul dan merasakan betapa dirinya didekap, ia merasakan kehangatan dan merasa dalam keadaan demikian ia seperti terayun dan penuh kedamaian dan ketenangannya. Ah, betapa nikmat dan senangnya! Dan tiba-tiba ia merasa bahwa Bu-beng-cu adalah satu-satunya pria di dunia ini yang mempedulikannya, bahkan menjaga dan menyayangnya. Menyayangnya! Mencintanya!

   Baru sekarang ia menyadari hal itu. Bu-beng-cu sungguh mencintanya, cinta seorang pria terhadap wanita, cinta kasih yang demikian murni dan suci karena belum pernah sedikit pun Bu-beng-cu memperlihatkan keinginannya untuk bertindak tidak sopan kepadanya. Dan ia merasa begitu aman dalam dekapannya. Baru sekarang ia merasakan bahwa biarpun Bu-beng-cu tidak pernah memperlihatkan sikap mencintanya sebagai seorang pria, namun kini sentuhan-sentuhan jari pria itu, dekapannya yang demikian mesra, terasa hangat oleh api cinta yang hanya ia yang dapat merasakannya.

   "Paman Bu-beng-cu......" Suaranya seperti merintih namun penuh kemesraan dan kepasrahan menyelingi isak tangisnya.

   "...... Siang Lan......" Suara ini lirih sekali, menggetar penuh perasaan seperti bisikan yang keluar dari hati laki-laki itu. Siang Lan tidak merasa heran kalau Bu-beng-cu mengerti namanya karena mungkin laki-laki yang berilmu tinggi itu mendengar ketika Li Ai atau Hong Bu menyebut namanya.

   Akan tetapi yang membuat ia merasa heran adalah bahwa belum pernah Bu-beng-cu menyebutkan namanya, biasanya ia menyebut Nona atau Hwe-thian Mo-li. Ia merasa betapa sebutan namanya dengan suara seperti merintih itu seolah menggambarkan dengan jelas cinta kasih yang terkandung di dalamnya. Ia merasa terharu dan juga berbahagia dan pada saat itu ia seolah seperti seekor burung yang terbang berkeliaran tanpa tujuan kini hinggap di atas sebuah ranting yang kokoh dan yang melindunginya dari segala ancaman dan kesengsaraan hidup. Ia merasa amat senang dan ingin tinggal dalam dekapan laki-laki itu untuk selamanya!

   "Paman......" la berbisik penuh kemesraan. Ketika ia mendengar suara seperti terisak tertahan, Siang Lan membuka matanya yang basah dan ia melihat betapa Bu-beng-cu menangis! Dia menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja ada isak meluncur keluar dari mulutnya bersama beberapa tetes air mata yang melompat turun ke atas kedua pipinya!

   Akan tetapi keheranan dan keharuan hati Siang Lan itu segera terganti rasa kaget. Siang Lan mendorong tubuh Bu-beng-cu sehingga terpental ke belakang dan pada saat itu, sepasang golok yang menyambar. Tadinya sepasang golok itu menyambar ke arah kepala Bu-beng-cu yang agaknya seperti kehilangan kewaspadaannya sehingga kalau saja dia tidak didorong Siang Lan, agaknya dia akan menjadi korban bacokan yang dahsyat itu. Kiranya Hoat Hwa Cin-jin yang tadinya terpukul pingsan telah siuman. Ketika dia melihat betapa Bu-beng-cu berangkulan dengan Hwe-thian Mo-li dan keduanya menangis, dia melihat kesempatan baik sekali untuk melampiaskan dendam dan kebenciannya. Berindap-indap dia menghampiri mereka dengan sepasang golok siap di tangannya.

   Dia merasa gentar terhadap Bu-beng-cu, maka dia menghampiri mereka dari arah belakang Bu-beng-cu. Setelah jaraknya tidak jauh lagi, dia segera meloncat dan mengayun sepasang goloknya membacok kepala Bu-beng-cu! Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Bu-beng-cu itu, kebetulan sekali Siang Lan membuka mata untuk memandang wajah Bu-beng-cu sehingga ia melihat datangnya serangan dan cepat ia mendorong dada Bu-beng-cu sehingga terpental dan terhindar dari serangan maut itu. Begitu kedua tangan Hoat Hwa Cin-jin yang memegang golok itu menyambar lewat karena bacokannya luput, Siang Lan menggerakkan tangan yang dimiringkan dan "membacok" ke arah pergelangan tangan kiri Hoat Hwa Cin-jin.

   Tokoh Pek-lian-kauw yang sudah menderita luka dalam itu berteriak dan golok kirinya terlepas. Siang Lan cepat menyambar golok itu dan menyerang dengan dahsyat. Hoat Hwa Cin-jin mencoba untuk menangkis dengan golok kanannya, akan tetapi tenaganya sudah melemah sehingga goloknya terpental dan sebelum dia mampu menghindarkan diri, golok di tangan Siang Lan sudah menyambar ke arah lehernya. Hoat Hwa Cin-jin tidak sempat mengeluarkan suara lagi. Dia roboh dengan leher hampir putus dan tewas seketika. Siang Lan melampiaskan kebenciannya dengan membacoki tubuh pendeta palsu itu dengan golok rampasannya! Kepala Hoat Hwa Cin-jin hancur oleh bacokan-bacokan yang gencar itu.

   "Nona, hentikanlah!" Bu-beng-cu berseru. Akan tetapi Siang Lan seperti kesetanan dan membacok terus. Tiba-tiba sepasang lengan merangkul tubuh berikut kedua lengannya dari belakang sehingga ia tidak dapat menggerakkan lagi tangannya yang memegang golok. Ketika melihat bahwa yang mendekapnya dari belakang itu Bu-beng-cu, Siang Lan melepaskan golok itu, membalik dan terkulai pingsan dalam pelukan Bu-beng-cu.

   "Siang Lan...... ahh, Siang Lan......!" Bu-beng-cu merasa demikian terharu dan rasa kasihnya terhadap Siang Lan membakar seluruh tubuhnya. Tanpa dapat dia pertahankan lagi, dia memondong tubuh Siang Lan lalu menunduk dan menciumi muka gadis itu penuh kasih sayang.

   Akan tetapi dia segera menyadari perbuatannya yang sebagian terdorong pula oleh gairahnya sebagai seorang laki-laki, maka cepat dia menghampiri mayat Hoat Hwa Cin-jin, mengambil pedang Lui-kong-kiam milik Siang Lan yang dirampas oleh Hoat Hwa Cin-jin. Kemudian dia membawa gadis yang pingsan dalam pondongannya itu meninggalkan tempat di mana terdapat mayat Hoat Hwa Cin-jin yang mengerikan itu. Tidak lupa sebelum pergi dia menyambar pakaian luar Siang Lan yang bertumpuk di dalam pondok yang sudah roboh. Setelah agak jauh dari tempat itu, Siang Lan siuman dan mengeluh. Mendengar ini, Bu-beng-cu berhenti berlari dan menurunkan Siang Lan sehingga terduduk di atas tanah. Ia membuka matanya dan Bu-beng-cu segera menyerahkan pakaian dan pedang Lui-kong-kiam kepadanya.

   "Paman......"

   "Kenakan dulu pakaianmu, Nona," kata Bu-beng-cu, suaranya sudah seperti biasa sehingga diam-diam Siang Lan merasa kecewa.

   Ia tidak merasakan kemesraan dalam suara laki-laki yang menjadi guru dan penolongnya itu. Akan tetapi ucapan itu pun seketika mengingatkannya bahwa sejak tadi ia hanya mengenakan pakaian dalam yang serba terbuka dan tipis! Hal ini tentu saja membuat Siang Lan tersipu malu, juga terkejut mengapa ia tadi seolah tidak menyadari keadaan dirinya yang setengah telanjang itu. Dan kalau ia mengingat kembali ketika ia berangkulan dengan Bu-beng-cu...... ahh...... wajahnya berubah kemerahan dan jantungnya berdebar. Cepat ia mengenakan pakaian dan menggantungkan pedangnya.

   "Paman Bu-beng-cu!" ia memanggil dan laki-laki itu segera membalikkan tubuhnya dan menghadapinya. Siang Lan melihat betapa wajah Bu-beng-cu tampak muram dan agak pucat.

   "Paman, kembali paman telah menyelamatkanku. Bagaimana aku harus membalas budi kebaikan yang berlimpahan itu?" kata Siang Lan terharu. Bu-beng-cu menghela napas panjang. Dia merasa semakin sedih melihat betapa kini sinar mata gadis itu ketika memandangnya berbeda dari biasanya.

   Kalau biasanya pandang mata itu mengandung kekaguman dan terima kasih, kini ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang mengandung kemesraan! Dan inilah yang membuat dia bersedih. Kenyataan bahwa dia jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li sudah merupakan hal yang mendatangkan kesedihan dalam hatinya walaupun kesedihan itu akan ditanggungnya dengan tabah. Dia akan menganggap hal itu sebagai tambahan penderitaannya dan sudah semestinya untuk memberi hukuman kepadanya atas dosa yang dia lakukan kepada Siang Lan. Dia rela binasa dan menderita asalkan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan hidup berbahagia.

   ðŸŽ‹ðŸ˜€

   

   Akan tetapi sekarang, melihat bahwa agaknya gadis itu pun mencintanya, membuat dia semakin berduka. Cinta gadis itu kelak hanya akan menghancurkan kebahagiaan hidup Siang Lan. Alangkah akan hancur hatinya kalau kelak melihat bahwa jahanam yang dibencinya, yang merupakan musuh besar dan ia telah bersumpah akan membunuhnya, ternyata adalah pria yang dicintanya! Ah, dia tidak ingin melihat Siang Lan kelak menderita karena itu. Tidak, Siang Lan tidak boleh jatuh cinta padanya!

   "Hwe-thian Mo-li, tidak perlu berterima kasih. Kalau aku membantumu, hal itu sudah merupakan suatu kewajaran, bukan karena budi kebaikanku. Ketahuilah, bahwa engkau bagiku seperti keponakan sendiri, atau anak sendiri, maka sudah sepatutnya kalau aku membantumu. Sudahlah, hal itu tidak perlu kita bicarakan lagi. Yang penting kita bicarakan adalah kekejamanmu tadi yang telah mencincang mayat Hoat Hwa Cin-jin. Perbuatanmu itu sungguh kejam dan sama sekali tidak berprikemanusiaan!" Suara Bu-beng-cu menjadi keras mengandung teguran.

   Diam-diam Siang Lan terkejut dan kecewa. Tadinya, ia mengira bahwa laki-laki ini mencintanya, seperti dirasakannya tadi. Akan tetapi ternyata dugaannya keliru. Bu-beng-cu hanya sayang padanya seperti sayang keluarganya. Diam-diam ia memaki dirinya sendiri. Engkau tak tahu malu! Demikian ia berpikir dan gemas kepada pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin ia mengharapkan seorang pendekar yang demikian gagah perkasa, berkepandaian tinggi, berbudi mulia dan penuh wibawa, dapat jatuh cinta kepadanya?

   Ia seorang gadis yatim piatu yang namanya dikutuk banyak orang sebagai Iblis Betina walaupun yang mengutuk dan membencinya itu mereka yang disebut golongan sesat. Yang lebih daripada semua itu, ia bukan gadis yang perawan lagi. Kehormatannya telah ternoda lagi! Ia telah diperkosa orang. Ia telah ternoda dan kotor. Bagaimana mungkin mengharapkan menjadi isteri seorang yang hebat seperti Bu-beng-cu? Tak terasa lagi, wajahnya menjadi pucat dan tak dapat ditahannya, beberapa tetes air mata terjatuh keluar dari pelupuk matanya, mengalir di kedua pipinya yang pucat.

   "Hwe-thian Mo-li...... Nona...... kau menangis? Kenapa?" tanya Bu-beng-cu, khawatir kalau-kalau ucapannya tadi menyinggung dan menyakitkan hati gadis itu. Siang Lan menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu menggelengkan kepalanya dan memaksa diri tersenyum.

   "Aih, tidak apa-apa, Paman. Aku hanya merasa sedih tadi teringat betapa engkau begitu baik budi, sedangkan aku...... begini...... jahat......"

   "Siapa bilang begitu? Aku bukan manusia baik, aku juga jahat, bahkan jauh lebih jahat daripada engkau.

Hanya aku ingin mengingatkan engkau, cobalah hilangkan semua kebencian dari hatimu. Jangan terlalu membiarkan dendam kebencian bersarang di hatimu karena hal itu akan meracuni dirimu sendiri."

   "Akan tetapi manusia-manusia jahat dan keji seperti iblis macam Hoat Hwa Cin-jin itu, apakah tidak sepatutnya kita benci, Paman?"

   "Membenci kejahatan berarti tidak mau melakukan kejahatan itu, Nona. Kita tidak suka melihat orang berbuat kejam, tentu saja kita sendiri harus menjaga agar kita tidak berbuat kejam. Yang kita tentang adalah tindak kejahatannya, bukan manusianya. Mendendam dan membenci seseorang dapat memberi peluang kepada nafsu setan untuk mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang kejam."

   "Akan tetapi hati yang disakitkan tidak akan dapat sembuh tanpa pelampiasan dalam bentuk balas dendam, Paman."

   "Kalau melampiaskan dendam dengan cara melakukan kekejaman, lalu apa bedanya antara kita dan orang yang melakukan kekejaman kepada kita, Nona? Kita lalu akan menjadi sama kejamnya yang berarti sama jahatnya dengan orang yang melakukan kejahatan terhadap diri kita." Siang Lan menghela napas panjang. Ia merasa seperti kehilangan dan merasa menyesal. Percakapan dengan Bu-beng-cu sekarang menjadi kering, tidak ada lagi bekas-bekas kemesraan yang ia rasakan dan nikmati tadi. Akan tetapi ia harus tahu diri. Bu-beng-cu ini terlalu tinggi untuknya dan memang tidak masuk di akal kalau seorang sepandai dan semulia Bu-beng-cu dapat jatuh cinta kepadanya!

   "Paman Bu-beng-cu, aku mengerti akan maksud dari semua nasihatmu, namun aku juga merasa bahwa kiranya tidak mungkin bagiku untuk menghilangkan dendamku kepada orang-orang yang telah berbuat teramat jahat kepadaku seperti apa yang dilakukan Hoat Hwa Cin-jin tadi. Juga aku masih ada dendam yang belum juga dapat kubalas, yaitu dendamku setinggi gunung sedalam lautan kepada si jahanam busuk Thian-te Mo-ong!"

   


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 09
   "Sudahlah, Hwe-thian Mo-li, aku tidak menyalahkan engkau membunuh Hoat Hwa Cin-jin karena dia memang amat jahat dan kematiannya merupakan akibat dari kejahatannya sendiri. Yang kusesalkan adalah caramu melampiaskan kebencian dengan mencincang mayatnya. Kuharap lain kali engkau tidak akan melakukan kekejaman seperti itu lagi." Siang Lan merasa bahwa ia tadi memang lupa diri saking marahnya kepada Hoat Hwa Cin-jin. Ia menghela napas lagi dan berkata.

   "Maafkan aku, Paman. Tadi aku memang telah lupa diri dan mata gelap karena marah terhadap tokoh Pek-lian-kauw yang nyaris melakukan kekejian yang lebih mengerikan daripada maut kepadaku. Aku berjanji akan lebih bersabar dan menguasai diri, Paman. Akan tetapi bagaimana dengan tugas yang akan kulaksanakan untuk membantu Paman Panglima Chang di kota raja? Aku sedang dalam perjalanan ke sana dan aku kira di sana aku pasti akan berhadapan dengan musuh-musuh negara yang melakukan pembunuhan dan pengacauan itu. Apakah aku juga pantang membunuh mereka?"

   "Hwe-thian Mo-li, ketika engkau hendak belajar silat untuk memperdalam kepandaianmu, engkau telah berjanji, bahkan bersumpah untuk tidak membunuh orang. Tentu saja ada kecualinya, yaitu kalau engkau terpaksa melakukannya untuk membela diri. Tugas yang hendak kau lakukan sekarang adalah tugas membela negara."

   "Kalau engkau bertemu dan melawan musuh, berarti engkau bukan melawan musuh pribadi, melainkan musuh negara. Tentu saja bunuh-membunuh dalam perang tidak termasuk urusan pribadi, dilakukan untuk berbakti kepada negara dan dilakukan tanpa kebencian pribadi. Betapapun juga, sebaiknya kalau mungkin, robohkan dan tawan musuh negara itu hidup-hidup daripada membunuhnya. Kukira engkau mengerti apa yang kumaksudkan. Sekarang lanjutkanlah perjalananmu dan baik-baiklah menjaga dirimu."

   "Terima kasih, Paman." Mereka saling berpisah. Siang Lan melanjutkan perjalanannya menuju kota raja dan kini ia menggunakan ilmu berlari cepat. Bu-beng-cu cepat berlari kembali ke tempat di mana Hoat Hwa Cin-jin tewas. Dia menggali lubang dan menguburkan mayat tokoh Pek-lian-kauw itu baik-baik, lalu memberi tanda di depan gundukan tanah kuburan itu dengan sebuah batu besar yang dia ukir empat huruf berbunyi

   "HOAT HWA CIN-JIN".

   Setelah terjadi pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang menggegerkan kota raja sehingga Kaisar sendiri turun tangan memerintahkan para pembantunya untuk menyelidiki dan menangkap pembunuhnya, kota raja kini tampak aman. Tidak ada lagi kerusuhan, atau pembunuhan. Pangeran Bouw Ji Kong memang cerdik. Maklum bahwa kalau dia melanjutkan gerakannya melakukan pembersihan dengan membunuh para pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar akan membahayakan dirinya karena kini panglima Chang sudah diserahi tugas oleh Kaisar untuk menyelidiki dan menangkap pembunuh, maka dia menghentikan aksi pembunuhan itu.

   Dia bahkan menyuruh para sekutunya yang melakukan pembunuhan itu, Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, jagoan Mancu, dan Tarmalan jagoan suku Hui, untuk meninggalkan kota raja, dan bersembunyi di markas Jenderal Su Lok Ti yang menjadi komandan pasukan yang bertugas di perbatasan Utara. Panglima Chang bukan orang yang lengah dan bodoh. Diam-diam dia menaruh curiga kepada Pangeran Bouw Ji Kong yang pernah memberontak itu. Walaupun kini dia menduduki pangkat cukup tinggi sebagai penasihat Kaisar mengenai hubungan dengan suku-suku liar di Barat dan Utara, namun Panglima Chang meraguan kesetiaan pangeran yang berdarah Hui ini.

   Kelihatan sekali betapa Pangeran Bouw melindungi para suku yang berhubungan dekat dengannya. Maka, Panglima Chang diam-diam mengirim para penyelidiknya untuk menyelidiki keadaan Pangeran Bouw Ji Kong. Dulu pernah Pangeran Bouw terlibat hubungan dekat dengan pihak Pek-lian-kauw yang sejak dulu menjadi pemberontak. Akan tetapi kaisar memaafkannya setelah dia berdalih bahwa dia mendekati Pek-lian-kauw agar mereka sadar dan menghentikan pemberontakan mereka. Bahkan Pangeran Bouw pula yang menganjurkan kaisar menerima utusan Pek-lian-kauw, yaitu Leng Kok Ho-siang yang menyatakan kemauan baik Pek-lian-kauw untuk menghentikan pemberontakan itu. Kaisar masih memaafkan adik tiri yang lahir dari selir yang berbangsa Hui itu, karena anjuran itu dianggapnya sebagai kelengahan dan kebodohan Pangeran Bouw yang dapat dibohongi pihak Pek-lian-kauw.

   Akan tetapi para penyelidik itu melaporkan bahwa tidak ada yang mencurigakan dalam gedung Pangeran Bouw. Bahkan para penyelidik melaporkan bahwa Bouw-kongcu, putera tunggal pangeran Bouw adalah seorang pemuda yang baik budi dan ramah kepada semua orang. Mereka melaporkan bahwa tidak tampak ada persekutuan di rumah Pangeran Bouw. Di sana hanya ada pelayan-pelayan wanita dan pelayan pria yang sudah tua, dan pangeran itu mempunyai pengawal yang terdiri dari pendekar-pendekar terkenal, yaitu Kang-lam Jit-sian (Tujuh Dewa Kang-lam). Tidak ada tanda-tanda bahwa Pangeran Bouw mempunyai keinginan untuk memberontak, juga tidak ada tanda bahwa dia mempunyai hubungan atau terlibat dengan para pembunuh pejabat tinggi itu.

   Pada suatu malam yang gelap, sesosok bayangan berkelebat dan melayang ke atas wuwungan rumah gedung Pangeran Bouw. Bayangan ini adalah Chang Hong Bu. Seperti kita ketahui, Chang Hong Bu memenuhi perintah pamannya, Panglima besar Chang Ku Cing untuk menyampaikan permintaan bantuannya kepada Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dan tugas itu telah dilaksanakan dengan baik. Setelah dia kembali ke kota raja dan melaporkan hasil pertemuan dengan Nyo Siang Lan, pemuda murid Siauw-lim-pai yang lihai itu mendapat tugas khusus dari pamannya.

   "Para penyelidik yang kukirim untuk menyelidiki keadaan Pangeran Bouw tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan," demikian Panglima Chang memberitahu keponakannya setelah menceritakan tentang Pangeran Bouw.

   "Akan tetapi aku tetap curiga kepadanya. Karena itu, coba engkau selidiki sendiri, Hong Bu. Akan tetapi hati-hatilah karena di sana terdapat Kang-lam Jit-sian yang lihai. Sebaiknya engkau mengenakan penutup muka agar kalau ketahuan tidak akan dikenal. Aku mengutusmu karena para penyelidik itu hanya menyelidiki dari luar, tidak ada yang berani masuk. Engkau harus dapat menyelidiki dalam gedungnya untuk melihat apakah tidak ada orang luar yang bersembunyi di sana. Sebaiknya malam ini engkau melakukan penyelidikan karena malam ini kebetulan mendung dan gelap."

   Chang Hong Bu malam itu mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi mukanya dan kepalanya dengan kain sutera hitam, hanya melubangi bagian kedua matanya. Dengan gerakan ringan dia dapat melompati pagar tembok di belakang yang menembus taman. Sejenak dia mendekam dan bersembunyi di balik pohon-pohon di taman itu. Setelah merasa yakin bahwa di sana tidak terdapat orang, dia lalu bergerak mendekati gedung dan sekali tubuhnya melompat, dia sudah melayang ke atas wuwungan gedung. Bagaikan seekor kucing dia berjalan di atas genteng dan mengintai ke bawah. Ketika tiba di atas sebuah ruangan luas di bagian belakang gedung, Hong Bu mendekam dan memperhatikan keadaan ruangan itu.

   Dia melihat tujuh orang laki-laki duduk mengelilingi sebuah meja besar sambil makan kue kering dan minum arak. Mereka tertawa-tawa dan bersendau-gurau. Hong Bu memperhatikan mereka. Mereka adalah laki-laki yang berusia sekitar empatpuluh sampai limapuluh tahun, bertubuh tegap, bahkan yang kurus pun tampak kokoh dan melihat betapa mereka itu gagah dan di situ terdapat bermacam-macam senjata, ada tombak, golok, pedang, mudah diketahui bahwa tujuh orang itu tentu golongan ahli silat. Teringat dia akan keterangan pamannya tentang Kang-lam Jit-sian yang menjadi pengawal Pangeran Bouw dan dia merasa yakin bahwa mereka inilah tujuh Dewa Kang-lam itu.

   Melihat betapa tujuh orang yang sedang minum-minum itu tidak dapat mengetahui akan kedatangannya, Hong Bu dapat menilai bahwa ilmu kepandaian mereka belumlah terlalu tinggi walaupun kalau tujuh orang itu maju bersama tentu merupakan lawan yang berat juga. Dia segera melanjutkan penyelidikannya ke sebelah depan dan berhenti di bagian tengah. Di ruangan tengah tidak nampak ada orang, bahkan tidak ada pelayan. Agaknya semua orang sudah berada di kamar masing-masing karena malam itu selain mendung dan di luar gelap, juga hawanya cukup dingin membuat orang lebih suka berada di dalam kamar yang tertutup rapat dan hangat.

   Ketika dia hendak melanjuthan penyelidikannya ke bagian lain, tiba-tiba terdengar daun pintu terbuka sehingga Hong Bu tidak jadi bergerak dan mengintai lagi. Dia kini melihat seorang laki-laki tua, usianya hampir tujuhpuluh tahun dan melihat pakaiannya dia tentu seorang pelayan, keluar dari pintu yang terbuka itu. Dia melangkah, berdiri ditengah ruangan itu, menoleh ke kanan kiri seperti orang bingung. Seorang laki-laki yang gagah dan berpakaian indah muncul dari sebuah pintu lain. Biarpun dia belum mengenal laki-laki itu karena sejak kecil Hong Bu sudah meninggalkan kota raja, dia dapat menduga bahwa tentu inilah yang bernama Pangeran Bouw Ji Kong. Dia melihat betapa pelayan tua itu memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya amat dalam sambil berkata dengan suara merendah.

   "Ampunkan hamba, Pangeran, kalau hamba telah mengganggu Paduka dari tidur."

   "Ah, tidak mengapa, Paman A-kui. Aku tadi mendengar bunyi daun pintu dibuka. Apakah ada sesuatu yang membuat engkau keluar dari kamarmu?"

   "Tidak ada apa-apa, Pangeran. Harap Paduka suka istirahat kembali. Hamba hanya keluar hendak memeriksa apakah hamba tidak lupa menutupkan semua jendela di ruangan ini."

   Pangeran Bouw mengangguk dan masuk kembali ke dalam kamarnya. Kakek pelayan itu menghampiri semua jendela dan memeriksanya, lalu dia pun masuk kembali melalui pintu yang tadi dibukanya. Hong Bu tidak merasa perlu untuk menyelidiki bagian itu karena di situ agaknya merupakan kamar-kamar keluarga pangeran dan para pelayan. Dia lalu bergerak lagi melakukan pemeriksaan ke bagian samping dan depan. Akan tetapi ternyata di samping hanya merupakan tempat tinggal para pembantu rumah tangga.

   Bahkan di bagian kamar tamu yang berjumlah sepuluh kamar itu semua kosong, berarti pada waktu itu Pangeran Bouw tidak mempunyai tamu yang bermalam di situ. Selagi Hong Bu hendak meninggalkan wuwungan gedung karena tidak ada lagi yang perlu diselidiki, tiba-tiba terdengar suara bersiut dan sebuah benda hitam sebesar kepalan tangan menyambar ke arah kepalanya! Sambaran benda itu cepat bukan main sehingga untuk mengelak Hong Bu tidak sempat lagi. Maka dia segera menggerakkan tangannya untuk menangkis benda itu dengan tamparan tangan kanannya.

   "Plakk!!" Benda itu tertangkis dan terpental jauh, akan tetapi Hong Bu terkejut sekali karena merasa betapa tangannya nyeri, panas dan pedih. Bahkan ketika dia meraba dengan tangan kirinya, ternyata tangannya terluka dan berdarah!

   Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan tujuh orang yang tadi minum-minum di ruangan belakang itu berlompatan ke atas genteng. Melihat ini, Hong Bu maklum bahwa keadaannya akan berbahaya, maka cepat sekali dia melayang turun dari atas genteng ke dalam taman yang gelap lalu berlari dan melompati pagar tembok di belakang. Tujuh orang Kang-lam Jit-sian tidak mampu mengejar karena malam itu memang gelap bukan main.

   Hong Bu cepat pulang ke gedung Panglima Chang. Begitu memasuki gedung, ternyata pamannya telah menantinya. Bagaimanapun juga, Panglima Chang Ku Cing tetap saja agak gelisah menanti kembalinya keponakannya. Dia yakin akan kelihaian Hong Bu, akan tetapi dia juga maklum bahwa tidak mudah menyelidiki keadaan rumah gedung Pangeran Bouw Ji Kong yang tentu memelihara orang-orang pandai untuk menjaga keselamatannya. Ketika menyambut Hong Bu dan melihat tangan kanan keponakannya berdarah, dia terkejut.

   "Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir. Hong Bu duduk di atas kursi dan memeriksa tangannya.

   Ternyata punggung tangannya terluka, kulitnya terobek. Akan tetapi luka itu tidak beracun dan melihat lukanya, agaknya seperti terkena benda yang tak runcing atau tajam. Mungkin hanya sekepal batu yang disambitkan kepadanya. Diam-diam Hong Bu terkejut karena orang yang mampu melukai tangannya hanya dengan sambitan sepotong batu sungguh memiliki tenaga sakti yang amat kuat! Dia lalu menceritakan kepada pamannya apa yang telah dia alami ketika melakukan penyelidikan di gedung Pangeran Bouw Ji Kong.

   "Saya tidak melihat hal-hal yang mencurigakan, Paman. Yang berada di sana hanya Kang-lam Jit-sian dan para pelayan dan pembantu rumah tangga. Di kamar-kamar tamu juga tidak ada tamunya. Akan tetapi agaknya Kang-lam Jit-sian itu merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi." Panglima Chang mengerutkan alisnya dan memeriksa luka di tangan keponakannya.

   "Menurut keterangan yang sudah lama kudapatkan ketika pertama kali pangeran Bouw menerima Kang-lam Jit-sian sebagai pengawalnya, kepandaian mereka itu tidaklah terlalu tinggi. Bagaimana engkau dapat menduga bahwa ilmu mereka amat tinggi? Luka di tanganmu ini juga tidak parah."

   "Begini, Paman. Sebelum tujuh orang itu bermunculan, ada benda kecil hitam menyambar ke arah kepala saya. Saya menangkis sambil mengerahkan tenaga, akan tetapi ternyata sambitan itu amat kuat sehingga benda itu dapat membuat kulit tangan saya pecah terluka. Hal ini membuktikan bahwa benda yang saya kira hanya sepotong batu itu disambitkan oleh orang yang memiliki sin-kang kuat sekali."

   "Hemm, begitukah? Akan tetapi siapa tahu sambitan itu mungkin tidak dilakukan oleh seorang di antara Kang-lam Jit-sian, melainkan oleh orang lain."

   "Saya kira tidak, Paman, karena setelah sambitan itu, yang muncul adalah Kang-lam Jit-sian. Saya lalu meloncat dan melarikan diri." Panglima Chang Ku Cing menghela napas panjang.

   "Kalau memang Pangeran Bouw tidak perlu dicurigai, sebaiknya kita arahkan penyelidikan kepada para pejabat lain yang kesetiaannya terhadap Sribaginda Kaisar boleh diraguan."

   "Paman, apakah Paman tetap menduga bahwa pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh para pejabat yang tidak setia?"

   Panglima itu mengangguk.

   "Kukira begitulah. Biarpun para pembunuh itu jelas memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak mungkin mereka dapat berkeliaran di kota raja tanpa ketahuan. Pasti ada yang membantu mereka, yang memberi tempat persembunyian bagi mereka. Yang dibunuh adalah enam orang pejabat tinggi yang setia, ini saja sudah jelas merupakan bukti bahwa pelakunya menghendaki lemahnya pemerintah di bawah pimpinan Sribaginda Kaisar.

   "Dan yang ingin melihat pemerintah menjadi lemah tentu saja para pemberontak seperti Pek-lian-kauw dan lain-lain, juga para pejabat yang tidak setia kepada Sribaginda Kaisar. Biasanya persekongkolan seperti ini tentu ada yang menjadi pemimpinnya, dan bukan tidak mungkin pemimpinnya adalah seorang pejabat pemerintah sendiri yang bermaksud untuk merampas tahta kerajaan."

   "Hemm, ini seperti mencari musuh dalam selimut, Paman. Kalau tidak dapat segera diketahui orangnya dan ditangkap, akan berbahaya sekali!" kata Chang Hong Bu.

   "Karena itulah aku tidak memandang remeh urusan ini. Sribaginda telah menugaskan kepadaku untuk menyelidiki dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membongkar rahasia ini. Untuk itu aku mengundang para pendekar dan orang sakti yang dulu pernah membantu pemerintah, antara lain Sim Tek Kun putera Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya, Ong Liang hong. Juga Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Kalau ada para pendekar lain yang dapat membantu, lebih baik lagi. Juga aku sudah mengirim utusan untuk mencari dan mengundang Lo-cianpwe Ouw-yang Sianjin. Ketika engkau bertemu Hwe-thian Mo-li, kapan ia mengatakan akan datang ke kota raja?"

   "Saya kira tidak lama lagi ia akan datang, Paman. Ia akan membangun taman di Lembah Selaksa Bunga lebih dulu, kemudian ia akan segera ke sini menghadap Paman."

   "Baiklah, kalau begitu kita tunggu saja. Sekarang sebaiknya engkau obat luka di tanganmu itu dan pergi tidur." Setelah menerima permintaan bantuan Panglima Chang, Sim Tek Kun dan isterinya, Ong Lian Hong mulai melakukan penyelidikan. Mereka berdua mengunjungi tempat-tempat rawan di kota raja, yaitu di beberapa rumah judi dan rumah pelesir di mana biasanya menjadi tempat para golongan penjahat bersenang-senang.

   Bahkan mereka berdua sempat ribut dan berkelahi dengan para penjahat yang belum mengenal mereka sehingga ada yang berani bersikap tidak sopan kepada Lian Hong. Tentu saja para penjahat yang kurang ajar itu kecelik dan menerima hajaran keras dari Lian Hong dan Tek Kun sehingga dalam beberapa hari saja mereka menjadi gempar dan ketakutan. Akan tetapi para orang kang-ouw yang mengenal suami isteri pendekar itu, tidak berani mencari perkara, bahkan mereka siap membantu dengan keterangan yang diminta oleh suami isteri itu. Namun, para penjahat atau golongan hitam yang berkeliaran di kota raja itu tidak ada yang mengetahui tentang pembunuhan-pembunuhan rahasia itu. Maka, setelah menyelidiki selama hampir dua bulan, Tek Kun dan Lian Hong belum juga mendapat keterangan.

   Pada suatu hari, kota raja meriah sekali. Pada hari itu, di semua kota besar di mana terdapat Kwan-im-bio (Kuil Dewi kwan Im) penduduk mengadakan pesta besar untuk memperingati hari ulang tahun kwan Im Po-sat (Dewi kwan Im), yang jatuh pada Lak-gwe Cap-kau (Bulan Enam Tanggal Sembilanbelas). Sebetulnya pesta meriah hanya diadakan di kuil-kuil, namun karena pada masa itu hampir seluruh rakyat memuja Dewi kwan Im sebagai Dewi Welas Asih, maka seluruh penduduk ikut merayakan. Mereka berbondong-bondong mengunjungi Kwan-im-bio untuk bersembahyang dengan permohonan masing-masing. Ada yang mohon kesembuhan dari penyakitnya, ada yang mohon tambah rejeki, kenaikan pangkat, kemajuan perusahaannya, bahkan ada yang mohon agar segera mendapatkan jodoh, dan banyak pula suami isteri mohon diberi karunia anak laki-laki!

   Yang namanya kepercayaan memang tidak mungkin diperbantahkan atau dipersoalkan karena kepercayaan akan hal-hal yang abstrak tidak dapat diraba ataupun diselidiki melalui akal dan penalaran. Karena inilah maka di dunia muncul banyak macam agama dan kepercayaan dan masing-masing pemeluknya mempercaya semua agama masing-masing dengan sepenuh imannya. Kalau diperdebatkan maka akan terjadi pertentangan yang dapat mengakibatkan permusuhan. Sayang sekali, yang dipersoalkan adalah perbedaan kepercayaan mengenai upacara-upacaranya dan peraturan-peraturannya.

   Padahal, pada hakekatnya, semua agama dan kepercayaan memiliki inti yang tiada bedanya. lntinya adalah pemujaan dan keinginan untuk kembali kepada Sumber Kehidupan yang abadi, yaitu Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa, Yang Maha Pencipta, Maha Kasih dan selanjutnya. Untuk mencapai tujuan itu, ada agama atau kepercayaan yang mengharapkan pertolongan para perantara, seperti manusia di dunia yang ingin menghadap kaisar, raja, atau kepala pemerintahan, pendeknya orang nomor satu dalam negara, selalu melalui perantara atau para "pembantu" Sang Raja. Dan kesemuanya itu baik-baik saja asalkan mengambil jalan yang satu, yaitu jalan kebenaran, jalan kebajikan dan menjauhi jalan yang sesat dan jahat.

   Pada masa itu, banyak para dewa dipuja di Cina sejak ribuan tahun, para dewa yang dianggap dapat membantu mereka menyampaikan permohonan mereka kepada Yang Maha Kuasa. Para dewa yang dianggap memiliki kebajikan sempurna sehingga mau dan suka menolong mereka. Terutama sekali, pada waktu itu, Dewi kwan Im! Kwan Im Po-sat tidak akan menolak permohonan manusia yang membutuhkan pertolongan. Akan tetapi tetap saja ada syaratnya hakiki, yaitu si pemohon haruslah bersih, dalam arti kata, tidak melakukan perbuatan jahat. Juga semua permohonan harus bersifat bersih, bukan untuk mencelakai orang lain.

   Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong yang memperoleh pendidikan sastra, dan masa itu sastra berarti hafal akan isi kitab-kitab agama dan menjadikan mereka orang-orang yang beribadat, tidak terkecuali mereka pun percaya sekali dan memuja Kwan Im Po-sat sebagai penolong yang penuh kasih sayang. Mereka berdua juga ikut berjubel dengan orang banyak untuk mendapat kesempatan sembahyang lalu mereka menonton pertunjukan yang selalu diadakan di pekarangan depan kuil Kwan-im-hio setiap tahun sekali. Pertunjukan menginjak bara api, mandi minyak mendidih, tusuk dan potong lidah dan sebagainya yang sesungguhnya merupakan pertunjukan yang amat aneh dan tidak wajar, namun karena hal itu sudah merupakan tradisi dan kebiasaan, maka para penonton tidak merasa heran lagi.

   Sejumlah orang melakukan upacara yang amat aneh dan menyeramkan itu. Mereka sama sekali bukan pendeta, bukan orang-orang terpelajar, bahkan mereka itu terdiri dari para petani atau kuli yang tingkat keadaan hidupnya rendah. Mereka bahkan sebagian besar buta huruf dan bodoh. Justeru kebodohan dan kesederhanaan itulah yang membuat mereka dapat memiliki kepercayaan yang tebal, mutlak, dan membuta. Selain itu, juga mereka harus memiliki apa yang biasa disebut oleh para pendeta sebagai "orang bertulang baik" atau memiliki bakat untuk menjadi Tang-sin. Demikianlah orang-orang yang melakukan upacara itu disebut. Yang berarti kemasukan atau kesurupan dan Sin berarti badan. Tang-sin berarti badan yang kemasukan atau kesurupan roh (in trance).

   Di halaman kuil yang luas itu para pengurus perayaan telah menata arang membara sepanjang dua-tiga tombak. Arang itu membara dan panasnya terasa oleh penonton yang berdiri empat-lima tombak dari situ. Lima orang Tang-sin sudah berada dalam keadaan kesurupan setelah mereka bersembahyang, dipimpin seorang pendeta. Para Tang-sin itu berpakaian sederhana, dan celana mereka pendek sebatas lutut, bertelanjang kaki dan masing-masing memegang sebuah bendera. Kemudian, diiringi pukulan tambur dan canang yang riuh rendah, mereka keluar dari kuil dan berlari menuju halaman di mana terdapat arang membara itu.

   Dengan enaknya, mereka berjalan dengan kaki telanjang di atas arang membara itu, bolak-balik beberapa kali lalu kembali ke dalam kuil di mana mereka ramai bicara satu sama lain, dan anehnya, mereka bicara bukan dengan dialek mereka sendiri, melainkan dialek dari suku dari mana para roh yang memasuki mereka itu berasal! Kemudian ada pula pertunjukan mandi minyak mendidih. Sebuah kuali besar diisi penuh minyak lalu direbus sampai minyaknya mendidih. Para Tang-sin lalu mencelupkan kain ke dalam minyak panas itu dan digunakan untuk menggosok-gosok muka dan badan mereka. Sedikit pun mereka tidak kelihatan kepanasan, malah kelihatan segar seolah-olah mandi air yang dingin! Para penonton yang tebal kepercayaan mereka sudah siap dengan botol untuk diisi minyak yang dipakai mandi itu, lalu mereka bawa pulang dan dipergunakan sebagai obat!

   Ada pula pertunjukan atau upacara membagi Hu (Huruf Jimat). Untuk upacara ini dipilih beberapa orang Tang-sin yang biasa melakukan upacara yang aneh dan mengerikan ini. Dalam keadaan kesurupan mereka menggunakan pisau tajam untuk mengerat lidah mereka yang dijulurkan keluar. Tidak sampai putus, akan tetapi terluka dan darah mengucur dari luka di lidah mereka itu. Darah ini oleh para Tang-sin dipergunakan untuk menulis huruf di atas sehelai kain yang sudah dipersiapkan para penonton yang membutuhkan. Kain yang ditulis dengan tinta darah inilah yang dinamakan Hu dan biasanya mereka pergunakan untuk penangkal penyakit, penolak bala, dan sebagainya.

   Kembali semua ini hanya berdasarkan kepercayaan yang tebal kepada dewa yang mereka puja, yang terdapat dalam kuil itu sebagai pendamping atau pengiring Dewi Kwan Im. Para dewa yang dipuja dan memasuki para Tang-sin itu disebut sebagai hulubalang Dewi Kwan Im dan mereka mempunyai nama julukan masing-masing. Masih ada beberapa macam upacara yang dipertunjukkan lagi, seperti berjalan di atas tangga dari pedang tajam, tidur di atas pedang-pedang tajam, dan berbagai keajaiban lagi.

   Semua itu dilakukan oleh para Tang-sin dalam keadaan kesurupan sehingga setelah selesai pertunjukan, mereka sadar kembali dan sama sekali tidak ingat akan apa yang mereka lakukan dalam keadaan kesurupan tadi. Mereka menjadi orang biasa kembali dan seandainya kulit tubuh mereka terkena api sedikit saja pasti akan melepuh! Selain pertunjukan yang merupakan upacara dan mengandung keajaiban ini, terdapat pula pertunjukan biasa yang sifatnya hanya sebagai hiburan kesenian seperti permainan Barong-sai (Tarian Singa), tarian kilin, atau tarian Naga, juga pertunjukan wayang. Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong ikut dalam suasana pesta, nonton semua pertunjukan itu. Setelah merasa lelah, mereka lalu pergi ke rumah makan Thai Lok, sebuah rumah makan yang cukup besar di kota raja.

   Dalam suasana pesta itu, kota raja menjadi ramai karena banyak sekali tamu berdatangan untuk nonton keramaian pesta ulang tahun di Kwan-im-bio, terutama sekali dari penduduk yang tinggal di kota di mana tidak ada kuil Kwan Im. Rumah makan itu pun penuh dengan tamu yang makan siang. Suami isteri itu mendapatkan tempat di bagian luar karena di sebelah dalam sudah penuh tamu. Di ruangan bagian luar itu terdapat empat buah meja yang dikelilingi empat bangku. Tiga meja sudah ditempati tamu, tinggal satu yang kosong dan Sim Tek Kun berdua isterinya segera duduk di situ memesan makanan, kepada pelayan yang menghampiri mereka.

   Dekat mereka terdapat meja yang dikelilingi tiga orang tamu. Mereka itu agaknya sudah setengah mabok karena mereka tertawa-tawa dengan ribut. Di meja lain sebelah sana juga terdapat empat orang laki-laki yang setengah mabok. Ketika Tek Kun dan Lian Hong duduk di meja mereka, tiga orang laki-laki yang duduk di meja terdekat itu menoleh dan memandang Lian Hong sambil tersenyum-senyum. Bahkan seorang dari mereka, yang berusia sekitar empatpuluh tahun dengan sebatang pedang tergantung di punggung, pakaiannya mewah dan wajahnya cukup tampan dan gagah, memandang Lian Hong terus-terusan dengan sikap kurang ajar. Diam-diam Tek Kun memperhatikan tiga orang ini. Mereka itu jelas merupakan orang-orang kang-ouw karena ketiganya mempunyai senjata.

   Si Tampan itu mempunyai pedang, lalu orang kedua yang usianya sekitar empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang, mukanya penuh bopeng (bekas cacar), juga memiliki sebatang pedang tergantung di punggungnya. Orang ketiga berusia sebaya, mukanya seperti muka monyet dan di punggungnya ada sepasang golok. Pakaian mereka serba mewah. Tek Kun melihat betapa wajah isterinya yang jelita itu menjadi agak kemerahan. Dia mengerti bahwa perasaan isterinya agak tersinggung melihat sikap tiga orang itu yang tadi memandangnya dengan lahap, terutama sekali yang berwajah tampan dan sampai sekarang masih menatapnya sambil cengar-cengir. Pelayan datang mengantarkan kecap dan saus dalam mangkok, mendahului hidangan yang belum siap.

   Tek Kun berkedip kepada isterinya sebagai isyarat agar isterinya dapat menahan sabar dan Lian Hong mengangguk, lalu membuang muka, tidak mau berhadapan muka dengan laki-laki yang tersenyum-senyum kurang ajar itu. Akan tetapi agaknya laki-laki itu memang memiliki watak mata keranjang dan sewenang-wenang mengandalkan kepandaian dan kekuatan sendiri dan kawan-kawannya. Kecantikan Lian Hong yang memang memiliki banyak kelebihan dan mengandung daya tarik luar biasa itu membuat laki-laki yang sudah setengah mabok menjadi tergila-gila dan dia tidak mampu lagi menahan gairah hatinya. Dia lalu bangkit berdiri dan dengan langkah gontai menghampiri meja suami isteri itu. Setelah dekat, dia berdiri di sisi meja berhadapan dengan Lian Hong sambil menyeringai dan berkata.

   "Nona yang cantik jelita seperti Dewi, kalau tidak keliru dugaanku, engkau tentu Kwan Im Po-sat sendiri yang menjelma. Mari silakan, kuundang engkau untuk bersama-sama makan di mejaku. Di sana penuh hidangan dan engkau dapat makan semewahnya, daripada hanya menghadapi saus dan kecap seperti ini. Heh-heh-heh!" Muka Lian Hong sudah merah sekali. Tek Kun menyentuh lengan isterinya untuk mencegahnya turun tangan menghajar orang itu, lalu dia berkata dengan halus.

   "Sobat, engkau sudah mabok, lebih baik kembalilah ke meja teman-temanmu dan lanjutkan berpesta. Terima kasih atas penawaranmu dan harap jangan mengganggu isteriku."

   "Aih, apa salahnya kalau aku mengajak isterimu? Ia cantik jelita dan penjelmaan Kwan Im Po-sat yang selalu memenuhi permintaan orang. Sekarang aku minta agar ia menemaniku makan minum, tentu ia mau memenuhi permintaanku ini. Bukankah begitu, manis tersayang?" Laki-laki itu mendekatkan mukanya yang menghamburkan bau arak kepada Lian Hong.

   "Kwan Im Posat hanya memenuhi permintaan orang yang baik dan benar! Jahanam macam engkau ini hanya akan dipenuhi permintaanmu oleh setan dan iblis! Nih, makanlah!" Cepat bagaikan kilat tangan Lian Hong menyambar mangkok berisi saus dan menuangkan isinya dengan gerakan cepat ke arah muka laki-laki itu. Laki-laki itu sama sekali tidak pernah menyangka, maka dia tidak sempat mengelak.

   "Prattt......!" Mukanya penuh saus yang merah seperti darah! Yang celaka baginya, saus yang mengandung tomat, merica, cuka dan jahe itu memasuki mata dan hidungnya. Dia gelagapan, lalu mengaduh-aduh, menjatuhkan diri berjongkok dan berusaha membersihkan kedua matanya dengan tangan. Akan tetapi jari-jari tangannya bahkan menekan saus itu lebih merata dan dalam di matanya. Dia mengeluh dan berkaok-kaok karena kedua matanya terasa panas dan pedih luar biasa. Semua kepandaian silatnya, semua kekuatannya, ternyata tidak ada gunanya sama sekali setelah kedua matanya dimasuki saus itu!

   "Keparat......!" Dua orang temannya Si Tampan, yang bermuka bopeng dan bermuka monyet, melompat marah hendak menangkap Lian Hong. Yang seorang mencengkeram ke arah pundak Lian Hong dan Si muka monyet menampar ke arah Tek Kun untuk mencegah orang itu membantu isterinya. Kini Tek Kun tidak dapat bersabar lagi. Dia menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan tenaga, sedangkan Lian Hong juga menangkis sambil mendorong.

   "Duduk......!!" Dua orang itu terpental ke belakang dan menabrak meja mereka sendiri sehingga meja itu roboh dan semua hidangan tumpah dan jatuh ke bawah. Dua orang itu terkejut dan marah sekali. Si muka bopeng mencabut pedangnya dan Si muka monyet mencabut siang-to (sepasang golok). Bahkan empat orang laki-laki lain yang duduk di meja sebelah mereka kini bangkit dan tampak jelas hendak mengeroyok suami isteri itu.

   "Keluar!" Tek Kun berseru kepada isterinya sambil menendang meja di depannya. Meja itu melayang dan menghantam enam orang yang hendak mengeroyok itu. Akan tetapi mereka dapat memukul pecah meja itu. Tek Kun dan Lian Hong sudah berlompatan keluar dari rumah makan dan menanti di jalan raya.

   Tentu saja para tamu rumah makan itu menjadi panik dan ketakutan. Mereka segera melarikan diri dari samping dan menjauhkan diri. Tujuh orang itu kini juga keluar. Enam di antara mereka sudah memegang senjata, sedangkan yang seorang tadi masih mencoba membersihkan kedua matanya menggunakan kain yang dicelup air. Akan tetapi tetap saja matanya masih sukar dibuka dan dia berjalan seperti orang buta meraba-raba menuju keluar mengikuti enam orang temannya. Lian Hong melihat suaminya tidak membawa senjata, maka ia lalu melolos pedang tipis yang tadinya ia pakai sebagai sabuk, lalu menyerahkannya kepada suaminya.

   "Pakai pedangku ini!" kata Lian Hong. Tek Kun menerimanya karena dia tahu benar bahwa selain pedang tipis itu, isterinya memiliki senjata yang tidak kalah ampuhnya, yaitu sehelai selendang merahnya yang kini telah dilolos pula dan berada di tangan Lian Hong. Setelah enam orang itu berhadapan dengan mereka, yang tertua, berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar muka berewok yang memegang sebatang tombak kepala naga, bersikap gagah dan galak lalu berseru kepada suami isteri itu.

   "Kalian berani memukul rekan kami! Kami adalah petugas-petugas negara. Menyerahlah kalian untuk kami tangkap!" Tek Kun tersenyum.

   "Kalianlah yang membuat kekacauan dan kalian yang sepatutnya ditangkap dan dihukum!"

   "Kalian bosan hidup!" bentak Si pemegang Tombak dan bersama seorang temannya yang bersenjatakan sebatang golok besar, dia menerjang ke depan.

   "Tar-tarrrr......!!" Sinar merah melecut dan meledak-ledak di atas kepala dua orang itu, membuat mereka terkejut dan cepat melompat ke belakang. Enam orang itu segera mengepung suami isteri yang sudah siap siaga dan Lian Hong berkata kepada suaminya.

   "Hemm, mari kita hajar manusia-manusia tak tahu diri ini!" Sebelum kedua pihak saling serang, terdengar suara nyaring membentak.

   "Tahan......!!" Seorang yang bertubuh tinggi dan gemuk, berwajah angker dan mengenakan pakaian pembesar muncul. Melihat Pangeran Bouw Ji Kong, tujuh orang itu tampak jerih dan mereka segera mundur dan berdiri bergerombol walaupun wajah mereka masih muram dan mata mereka melotot ke arah Tek Kun dan Lian Hong. Melihat bahwa yang hendak dikeroyok itu adalah Sim Tek Kun dan isterinya, Pangeran Bouw Ji Kong segera menghampiri.

   "Aih, ternyata Sim Tek Kun dan isterinya yang akan dikeroyok! Kesalahpahaman apakah ini? Ketahuilah kalian berdua bahwa mereka ini adalah Kang-lam Jit-sian, para pengawal pribadiku." Sim Tek Kun memberi hormat, akan tetapi Lian Hong berkata kepada pangeran itu.

   "Paman Pangeran Bouw Ji Kong, mengapa Paman memelihara Kang-lam Jit-kauw (Tujuh Anjing Kang-lam) yang menjemukan ini?" Ia sengaja mengganti julukan Jit-sian (Tujuh Dewa) menjadi Jit-kauw (Tujuh Anjing). Mendengar ucapan isterinya yang penuh ejekan ini, Sim Tek Kun segera berkata dengan nada menghormat,

   "Paman Pangeran, mereka agaknya telah mabok dan seorang di antara mereka mengeluarkan ucapan yang kurang ajar terhadap isteri saya yang lalu menghajarnya. Akan tetapi yang lain maju dan mereka hendak mengeroyok kami."

   Pangeran Bouw Ji Kong adalah seorang cerdik. Biarpun hatinya merasa panas melihat tujuh orang jagoannya dihina bahkan Gu Mo Ek, yang termuda di antara Kang-lam Jit-sian masih "menangis" karena kedua matanya pedih dan sukar dibuka, namun dia maklum bahwa tidak menguntungkan baginya untuk membela para jagoannya dan menyalahkan Sim Tek Kun, putera dari pangeran Sim Liok Ong yang masih keponakannya sendiri. Dia menoleh kepada tujuh orang pembantunya itu dan berkata dengan marah.

   "Kalian bertujuh memang bodoh dan bandel! Sudah kularang untuk mabok-mabokan di luar akan tetapi masih nekat dan dalam keadaan mabok membuat onar di luar. Kalian tahu siapa yang kalian hadapi ini? Dia adalah Kongcu (Tuan Muda) Sim Tek Kun putera Pangeran Sim Liok Ong, dan isterinya. Mereka berdua adalah pendekar-pendekar yang amat lihai! Kalian membikin malu saja! Hayo cepat kembali ke tempat kalian!" Tujuh orang itu segera pergi seperti segerombolan anjing yang ketakutan. Gu Mo Ek yang masih memejamkan kedua matanya, dituntun oleh saudara-saudaranya. Pangeran Bouw Ji Kong lalu menghadapi suami isteri itu. Dia menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.

   "Nanda Sim Tek Kun berdua, maafkanlah para pengawalku tadi. Mereka itu orang-orang kasar dan sedang mabok. Aku akan membuat teguran keras pada mereka."

   "Tidak mengapa, Paman Pangeran. Untung isteri saya yang digoda, kalau wanita lain tentu akan ada wanita terhina. Maafkan kami." Tek Kun lalu mengajak isterinya keluar dari rumah makan itu. Pangeran Bouw Ji Kong berkata kepada pengurus rumah makan.

   "Hitung berapa jumlah semua kerugian kalian, akan kubayar semua!"

   Peristiwa itu tidak berekor panjang, namun setidaknya mendatangkan perasaan saling tidak suka kepada kedua pihak. Tek Kun dan Lian Hong semakin menaruh perhatian kepada Pangeran Bouw Ji Kong. Pangeran itu memelihara orang-orang golongan sesat dan hal ini saja sudah patut menimbulkan kecurigaan. Tosu yang bertubuh tinggi kurus dan berpakaian serba kuning itu menghela napas panjang. Dia duduk bersila di atas batu dan memandang kepada pemuda berpakaian sastrawan yang tampan lembut yang duduk berlutut di depannya. Pemuda itu tampak berduka, bahkan ada dua tetes air mata di atas kedua pipinya. Dia menangis tanpa suara! Tosu itu adalah Ouw-yang Sianjin dan pemuda itu adalah Bouw Cu An.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Cu An putera Pangeran Bouw Ji Kong yang tidak setuju dengan niat ayahnya yang hendak memberontak dan telah bersekutu dengan utusan Mancu, utusan Suku Hui, dan Pek-lian-kauw, melarikan diri meninggalkan gedung ayahnya. Diam-diam dia diikuti dan dihadang oleh Hongbacu, tokoh Mancu itu yang hendak membunuhnya. Akan tetapi dia kebetulan bertemu dan ditolong Ouw-yang Sianjin, kemudian menjadi muridnya. Kepada Ouw-yang Sian-jin, Cu An menceritakan keadaan ayahnya yang hendak memberontak.

   Pagi hari itu, Ouw-yang Sianjin menceritakan kepada muridnya bahwa kemarin ketika dia turun dari puncak bukit, dia bertemu dengan utusan Panglima besar Chang Ku Cing yang minta kepadanya untuk membantu panglima itu mencari para pembunuh yang mengacauan kota raja. Tosu itu memberitahu bahwa kini Cu An sudah cukup belajar ilmu dan sudah memiliki bekal yang cukup kuat. Mereka harus saling berpisah karena dia hendak memenuhi panggilan Jenderal Chang. Mendengar ini, Cu An menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya dan menahan tangisnya sehingga kedua pipinya basah air mata namun tangisnya tidak bersuara.

   "Cu An, engkau yang memiliki semangat besar dan tahan menderita sehingga aku suka menerimamu menjadi murid, mengapa sekarang mengeluarkan air mata seperti seorang wanita cengeng? Ada waktunya bertemu dan berkumpul, ada pula waktunya berpisah, mengapa harus disesali perpisahan yang sudah semestinya terjadi?"

   "Suhu, teecu sama sekali tidak sedih atau menyesali perpisahan ini, teecu tidak peduli akan penderitaan teecu sendiri, akan tetapi teecu berduka akan nasib yang mengancam Ayah teecu......"

   "Apa maksudmu, Cu An?"

   "Teecu sudah menceritakan kepada Suhu tentang rencana pemberontakan Ayah. Teecu hampir yakin bahwa kekacauan di kota raja itu pasti ada hubungannya dengan rencana Ayah. Sekarang Suhu hendak ke kota raja membantu Jenderal Chang menangkap pembunuh. Bagaimana teecu tidak akan merasa sedih melihat nasib buruk yang mengancam orang tua teecu, sedangkan teecu sama sekali tidak berdaya untuk menolongnya? Teecu memang tidak setuju dengan perbuatan Ayah, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah orang tua teecu!" Ouw-yang Sianjin mengangguk-angguk.

   "Hemm, lalu sekarang apa yang akan kaulakukan?"

   "Teecu tidak mungkin membantu Ayah melakukan pemberontakan, akan tetapi teecu juga tidak mungkin menentang orang tua sendiri. Teecu sedih dan bingung, Suhu, mohon petunjuk Suhu apa yang harus teecu lakukan dalam keadaan seperti ini."

   "Pinto (Aku) bangga mendapat kenyataan bahwa engkau seorang anak yang berbakti kepada orang tua akan tetapi juga engkau menentang perbuatan yang sesat. Memang engkau berada dalam keadaan yang sulit dan membingungkan, Cu An. Sekarang begini saja. Pinto akan membantumu menyadarkan Pangeran Bouw Ji Kong. Kalau ternyata benar bahwa dia terlibat dalam pembunuhan-pembunuhan itu, pinto akan menyadarkan kesalahannya dengan menceritakan bahwa engkau pernah hampir dibunuh oleh Hongbacu utusan dari Mancu itu.

   "Dan engkau sendiri, pinto beri tugas untuk menemui Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Ia adalah keponakan muridku. Sampaikan pesanku kepadanya agar ia suka pergi ke kota raja membantu pemerintah seperti yang pernah ia lakukan. Pinto juga akan menghubungi murid pinto Ong Lian Hong dan suaminya di kota raja agar membantu." Cu An mengenal siapa Ong Lian Hong dan suaminya, Sim Tek Kun yang masih merupakan saudara misannya. Akan tetapi dia tidak mengenal Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang harus dia jumpai.

   "Suhu, di mana teecu dapat menemukan Hwee-thian Mo-li Nyo Siang Lan itu?"

   "Pinto pernah mendengar bahwa ia kini telah menjadi ketua dari Ban-hwa-pang yang berada di puncak Bukit Selaksa Bunga (Ban-hwa-san) yang merupakan satu di antara bukit-bukit di pegunungan Lu-liang-san. Kaupergilah ke sana. Kalau ia mengetahui bahwa engkau muridku, ia pasti akan mendengarkan semua pesanku darimu." Demikianlah, guru dan murid itu berpisah dan mengambil jalan masing-masing. Ouw-yang Sianjin pergi ke kota raja dan Bouw Cu An pergi ke Lu-liang-san.

   Hati pemuda ini sudah agak lega karena gurunya berjanji untuk membujuk dan menyadarkan ayahnya agar tidak melanjutkan keinginannya untuk memberontak. Sebetulnya, perintah Ouw-yang Sianjin agar muridnya ini pergi menemui Hwe-thian Mo-li di Lembah Selaksa Bunga hanya untuk menghibur hati pemuda itu dan untuk mencegah agar pemuda itu tidak kembali ke kota raja. Dia tahu betapa bingung hati Cu An kalau di kota raja dia melihat ayahnya masih melakukan usaha pemberontakan yang sama sekali tidak disetujuinya itu. Setelah mendapat gemblengan dari Ouw-yang Sianjin, kini Bouw Cu An telah memiliki ilmu silat yang lumayan tinggi. Dia telah dapat menghimpun tenaga sakti yang cukup kuat sehingga dia mampu melakukan perjalanan yang cepat menuju ke Pegunungan Lu-liang-san.

   Sekarang dia hanya mengenakan pakaian biasa, seperti pakaian pemuda dusun. Tak seorang pun akan menyangka bahwa dia putera seorang pangeran yang memiliki kedudukan tinggi di kota raja. Kulitnya pun tidak terlalu putih seperti dulu karena selama berguru dan tinggal bersama Ouw-yang Sianjin, pemuda bangsawan ini mengerjakan pencangkulan dan penanaman di kebun mereka sehingga dia sering mandi sinar matahari yang membuat kulitnya menjadi agak gelap. Karena penampilannya yang biasa dan sederhana ini maka perjalanannya lancar dan tidak mendapatkan gangguan. Mereka yang biasa menghadang orang lewat dan melakukan perampokan juga tidak ada niat untuk merampok pemuda dusun yang kelihatan sederhana dan miskin ini!

   Pada suatu siang Bouw Cu An tiba di kaki pegunungan Lu-liang-san. Dari para penduduk dusun di sekitarnya, dia mendapatkan petunjuk di mana adanya bukit Selaksa Bunga. Dia lalu menuju bukit itu dan mulai pendakian. Sementara itu, matahari mulai condong ke barat dan ketika akhirnya dia tiba di lereng yang menjadi perbatasan Lembah Selaksa Bunga, cuaca mulai remang-remang. Akan tetapi Cu An masih dapat menikmati keindahan lembah itu. Dalam cuaca remang itu dia masih dapat menyaksikan ribuan bunga beraneka bentuk dan warna memenuhi seluruh lereng dari tempat itu sampai ke puncak. Keharuman yang semerbak dan aneh karena merupakan campuran ribuan bunga itu terbawa angin dan terasa nyaman dan segar.

   Cu An mulai agak ragu. Kalau dia mendaki terus, tentu dia akan sampai di puncak setelah malam tiba. Sopankah berkunjung di waktu malam? Akan tetapi kalau dia berhenti di situ melewatkan malam, sungguh tidak menyenangkan karena di lereng itu dia tidak melihat adanya pohon di bawah mana dia dapat berlindung. Kemudian dia melihat sebuah pondok seperti gubuk kecil yang dicat merah indah di lereng sebelah atas. Sebaiknya aku melewatkan malam di gubuk itu, pikirnya. Hanya naik mendaki dua lereng saja. Mulailah dia melangkah dan mendaki naik. Ketika dia mulai memasuki daerah lembah dengan bunga-bunga di kanan kiri, dia melalui jalan setapak yang diatur rapi, dengan batu-batu yang ditata sambung-menyambung sehingga mudah dilalui dan tidak perlu mencari-cari jalan karena agaknya memang jalan itu sengaja dipasang untuk memudahkan orang naik ke puncak.

   Dia melangkah dengan senang, seolah seperti sedang berjalan-jalan dalam sebuah taman yang indah. Akan tetapi tiba-tiba kakinya melanggar semacam tali melintang di jalan setapak itu. Tali itu tidak tampak karena warnanya gelap dan tiba-tiba dari kanan kiri meluncur sebatang anak panah menyerang ke arah kedua kakinya! Cu An terkejut akan tetapi tidak percuma dia mendapat gemblengan dari Ouw-yang Sianjin. Dia sudah memiliki kepekaan, kewaspadaan dan keringanan tubuh sehingga menghadapi serangan mendadak ke arah kakinya itu, dia dapat mendengar berdesirnya dua batang anak panah dari kanan kiri itu. Cepat dia melompat tinggi ke depan sehingga terhindar dari sambaran dua batang anak panah itu.

   Dia membuat pok-sai (salto) dua kali di udara dan turun agak jauh dari tempat jebakan tadi. Akan tetapi ketika kedua kakinya hinggap di atas jalan setapak itu, batu yang diinjaknya terbuka dan dia terjeblos ke dalam sebuah lubang! Akan tetapi sekali ini Cu An sudah lebih waspada setelah tadi dia mendapat serangan anak panah. Tubuhnya memang sudah terlanjur terjeblos, akan tetapi kedua tangannya dapat menekan tanah di kiri kanan lubang dan dengan mengerahkan tenaganya dia dapat mengenjot dengan kedua tangan itu sehingga tubuhnya meloncat ke atas dan dapat hinggap di atas tanah.

   Diam-diam Bouw Cu An terkejut juga. Tak disangkanya tempat seindah itu mengandung perangkap dan jebakan yang berbahaya! Dia harus berhati-hati dan semakin tetap keputusannya untuk berhenti di pondok kecil itu dan melewatkan malam di situ. Besok pagi baru dia akan melanjutkan perjalanannya. Pondok itu tidak begitu jauh dan dia mulai melangkah satu-satu dan hati-hati sekali menuju pondok. Hatinya lega karena ternyata tidak ada lagi rintangan dan dia dapat tiba di pondok itu dengan selamat. Pondok itu kecil akan tetapi bersih, merupakan beranda tanpa dinding. Atapnya tinggi dan lantainya dari papan. Beranda itu dicat merah dan di situ terdapat sebuah dipan dengan kasur bantal bertilam sutera kuning bersulamkan bunga-bunga merah. Dipan itu seperti menantang Cu An yang sudah kelelahan. Sungguh merupakan tempat yang nyaman sekali untuk duduk atau tidur. Letaknya di tengah ruangan beranda itu.

   Dengan girang Cu An lalu memasuki beranda melalui undak-undakan (tangga), lalu melangkah menuju dipan yang menantang itu. Pondok yang bersih, dengan hiasan gambar-gambar indah di dinding, dipan yang menantang, seolah menarik Cu An dan pemuda itu lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas dipan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terangkat dan dia sudah tergantung dengan kedua kaki di atas! Kiranya ketika dia duduk tadi, sehelai tali lasso telah terpasang di atas lantai dengan warna yang sama dengan lantainya sehingga tidak tampak. Kebetulan sekali kedua kaki Cu An berada di tengah lingkaran dan begitu dia duduk, lingkaran itu bergerak, mengikat kedua kakinya dan terangkat ke atas dengan kecepatan luar biasa sehingga Bouw Cu An tidak sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di tengah-tengah ruangan itu.

   Atap itu tinggi dan kini kedua kakinya berada dekat langit-langit dan kepalanya tergantung di bawah. Pada saat itu juga, tali itu ujungnya sudah membelit-belit tubuhnya sehingga bukan hanya kedua kakinya yang terikat, akan tetapi juga kedua lengannya yang terbelit-belit tali pada tubuhnya. Dia tidak mampu menggerakkan kedua lengannya dan ketika dia berusaha untuk meronta, melepaskan kedua lengan dan kakinya, ternyata tali itu kuat dan lentur sehingga sia-sia saja dia meronta. Dia tergantung seperti seekor kelelawar dengan kepala di bawah! Setelah segala usahanya untuk melepaskan diri gagal dan merasa sama sekali tidak berdaya, Cu An tidak merasa malu-malu lagi untuk berteriak-teriak!

   "Heiii. Aku bukan orang jahat, melainkan tamu yang berkunjung di Lembah Selaksa Bunga! Kalau aku dianggap bersalah, maafkanlah aku, akan tetapi harap lepaskan aku lebih dulu. Tolong..... tolong...... toloooooonnnggg......!!" Akan tetapi betapa kuat pun dia berteriak-teriak, tak seorang pun tampak datang dan dia tetap saja tergantung-gantung di tengah ruangan itu.

   Akhirnya dia mengerti bahwa, entah ada yang mendengar ataukah tidak, tidak akan ada orang menolongnya malam itu dan Cu An tidak mau berteriak-teriak lagi. Dia menenangkan hatinya dan dia malah melakukan siu-lian (samadhi) dalam keadaan jungkir balik. Keadaan seperti ini memang bukan asing baginya. Oleh gurunya, Ouw-yang Sianjin, dia pernah dilatih melakukan samadhi dengan cara tubuh tergantung jungkir balik seperti ini. Maka dia kini juga melakukan samadhi jungkir balik, walaupun sekali ini dia melakukannya dalam keadaan terpaksa! Setelah dia tergantung jungkir balik dalam keadaan samadhi, dia tidak menderita lagi, bahkan dapat beristirahat. Malam itu lewat tanpa terjadi sesuatu.

   Pada keesokan harinya, Cu An yang berada dalam keadaan samadhi seperti orang tidur nyenyak, terbangun oleh suara burung-burung berkicau di sekeliling pondok. Dalam keadaan jungkir balik itu dia membuka matanya dan melihat keindahan luar biasa di luar pondok. Sinar matahari muda yang hangat dan masih lemah keemasan menghidupkan segala sesuatu di sekitar situ. Bunga-bunga bermekaran, dan kupu-kupu beraneka warna dan macam beterbangan di atas bunga-bunga. Mereka itu seperti menari-nari dengan riang gembira, hinggap dari satu kembang ke lain kembang, bermandikan cahaya matahari pagi dan memilih madu di antara bunga-bunga.

   Betapa bahagianya kupu-kupu itu, begitu indah menciptakan pemandangan yang luar biasa, indah tanpa suara. Pencipta keindahan suara adalah burung-burung yang sukar ditangkap pandang mata karena mereka lebih suka bersembunyi di pohon-pohon, akan tetapi kicauan mereka merupakan musik yang merdu, sambung-menyambung dan mengandung kegembiraan yang membuat suasana menjadi riang gembira. Bouw Cu An, dalam keadaan tergantung jungkir balik, merasa betapa seluruh dirinya seolah berada dalam kebahagiaan yang luar biasa, bukan kesenangan akan sesuatu, melainkan perasaan kebahagiaan yang menyeluruh, terasa oleh semua inderanya! Semua inderanya merasakan berkat yang berlimpahan. Melalui matanya dia dapat menikmati pemandangan indah, kecerahan sinar matahari keemasan bunga-bunga beraneka warna dan bentuk, mekar berseri dengan kupu-kupu beterbangan di atasnya.

   Melalui hidungnya dia dapat menikmati keharuman bunga-bunga, daun-daun, rumput dan tanah yang sedap menyegarkan, menggugah semangat dan gairah hidup. Melalui telinganya dia dapat menikmati suara musik kicau burung-burung di antara desau angin mempermainkan daun-daunan menyeling gemercik air terjun yang berada tidak jauh dari pondok. Suara merdu dan indah itu membuat sukma terasa melayang-layang! Dan semua itu seolah dihidangkan kepadanya dengan cuma-cuma dan lengkap. Perasaan hati pemuda itu berbahagia dan bersyukur sehingga dia memuji kebesaran Tuhan Yang Maha Kasih. Suara wanita membuat dia sadar dari lamunannya dan menyeretnya kembali ke alam kenyataan. Betapa pahitnya kenyataannya! Dia masih tergantung seperti seekor kelelawar, ah bukan, keadaannya mengingatkan dia akan ikan-ikan besar yang setelah digarami oleh para nelayan lalu diikat ekornya dan digantung dengan kepala di bawah agar menjadi ikan asin!

   Sialan! Dia tidak berteriak lagi karena empat orang wanita yang berjalan di luar itu kini menghampiri pondok. Mereka mengenakan pakaian berpotongan sederhana namun berkembang-kembang sehingga seperti pot bunga berjalan. Usia mereka antara duapuluh lima dan tigapuluh tahun dan wajah mereka lumayan cantik. Akan tetapi sikap mereka gagah, atau galak? Benar saja dugaan dan harapannya. Empat orang wanita itu memasuki pondok dan kini mereka berada di bawah mengelilingi Cu An sambil menengadah mengamati pemuda yang tergantung dengan kepala di bawah itu seperti orang-orang mengamati seekor binatang aneh yang tertangkap jebakan yang memang banyak dipasang di daerah kekuasaan Lembah Selaksa Bunga yang kini diketuai Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.

   Tentu saja sejak pemuda itu mendaki Ban-hwa-kok, para anggauta Ban-hwa-pang sebanyak kurang lebih limapuluh orang wanita telah mengetahui dan diam-diam mengikuti gerak-geriknya. Para anggauta Ban-hwa-pang itu tentu saja kagum melihat betapa pemuda tampan itu dapat menghindarkan diri dari jebakan anak panah dan lubang. Agaknya pemuda itu sudah lelah sekali maka dengan mudah dia dapat terjebak ketika hendak tidur. Karena pada waktu itu, Sang Ketua, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan tidak berada di Ban-hwa-kok, maka yang bertugas sebagai pengganti pimpinan adalah Kui Li Ai, dibantu oleh Bwe Kiok Hwa, yang dianggap murid pertama di antara para anggauta Ban-hwa-pang. Melihat empat orang wanita itu kini hanya menonton dia sambil bicara lirih dan tertawa cekikikan dengan suara tertahan, Cu An merasa mendongkol sekali. Sialan!

   Gadis-gadis ini menjebaknya, semalam suntuk membiarkan dia tergantung seperti ikan asin dijemur, dan sekarang mereka datang menonton seperti nonton seekor binatang hutan yang terjebak sambil cekikikan! Akan tetapi pemuda yang cerdik itu maklum bahwa kalau dia hanya menurutkan nafsu amarahnya, hal itu sama sekali tidak akan menguntungkan. Semalam dia sudah membolak-balik pikirannya dan dia sudah mempertimbangkan dan mengakui bahwa sesungguhnya pihaknyalah yang bersalah. Dia telah memasuki daerah orang, telah melanggar dan memasuki Lembah Selaksa Bunga tanpa ijin lebih dulu. Bisa saja dia dianggap maling karena para penghuni lembah itu tidak mengenalnya.

   "Enci-enci yang baik, harap lepaskan jala ini dan turunkan aku. Ketahuilah aku bukan orang jahat, bukan maling bukan rampok. Aku ini datang sebagai tamu dan hendak bertemu dengan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Tolong lepaskan aku!"

   Empat orang anggauta Ban-hwa-pang itu saling pandang, tidak berani mengambil keputusan. Mereka semalam memang bertugas jaga di bagian ini dan setelah melihat ada seorang pemuda berani memasuki daerah mereka, mereka segera siap dengan jebakan mereka dalam pondok itu. Setelah berhasil menjebak dan menangkap pemuda itu mereka pun mendiamkannya saja, dengan maksud menghukum pelanggar itu sesuai dengan ketentuan dan tugas mereka. Kini mendengar pemuda itu datang sebagai tamu, tentu saja mereka merasa khawatir dan untuk membela diri seorang dari mereka membantah.

   


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 10

   "Tidak ada tamu datang berkeliaran di sini pada malam hari. Kalau engkau seorang tamu, mengapa tidak datang pada siang hari secara berterang? Kami tidak dapat membebaskanmu, harus menanti datangnya pimpinan kami." Kata-kata ini disusul tawa mereka dan keempatnya kini duduk di atas bangku dan tidak lagi mempedulikan Cu An.

   Cu An semakin mendongkol. Dia seorang pemuda yang mempelajari kesusastraan dan bahkan pandai pula membuat sajak yang dinyanyikannya dengan suara yang cukup merdu. Melihat sikap empat orang wanita itu, dia pun lalu merangkai sajak dan dinyanyikannya dengan suara lantang. Nyanyian itu isinya menyindir empat orang wanita yang mula-mula mendengarkan dengan gembira dan merasa lucu, akan tetapi akhirnya wajah mereka berubah merah setelah mengerti isi nyanyian.

   Wanita itu bagaikan bunga.
Keindahan bunga adalah kecantikannya,
keharuman bunga adalah sifatnya,
kehalusan bunga adalah wataknya.

   Sayang empat tangkai bunga di lembah ini,
cantiknya sih cantik,
akan tetapi sifatnya sama sekali tidak harum,
dan wataknya tidak lembut.

Bodoh-bodoh lagi,
tidak mengenal bahwa yang mereka jebak
adalah seorang pangeran dan
seorang adik seperguruan
dari Hwe-thian Mo-li sendiri!

   Aih, jangan-jangan tempat yang dikenal
sebagai Ban-hwa-kok ini
hanya dipenuhi bunga-bunga seperti itu!

   Empat orang itu merasa tersindir, akan tetapi diam-diam mereka juga terkejut dan heran mendengar bahwa pemuda itu seorang pangeran, bahkan masih sute (adik seperguruan) dari Hwe-thian Mo-li! Mereka merasa tegang dan khawatir. Tentu saja mereka tidak perlu percaya akan obrolan pemuda itu, akan tetapi bagaimana kalau ucapannya itu sungguh-sungguh? Kalau dia seorang pangeran masih belum berapa hebat, akan tetapi bagaimana kalau dia itu benar-benar sute dari Hwe-thian Mo-li ketua mereka? Biarpun ketua mereka tidak jahat, namun keras hati dan mereka bisa dihukum berat kalau menjebak dan menangkap seorang sutenya. Tiba-tiba masuk dua orang wanita ke dalam ruangan itu. Yang seorang adalah seorang gadis muda berusia sekitar sembilanbelas tahun, berkulit putih mulus, tinggi ramping berwajah manis sekali, sepasang matanya lebar dan wajahnya berbentuk bulat.

   Gadis ini bukan lain adalah Kui Li Ai yang kini menjadi murid dan juga mewakili Hwe-thian Mo-li memimpin anak buah di Lembah Selaksa Bunga. Adapun wanita kedua adalah Bwe Kiok Hwa, berusia sekitar tigapuluh tahun lebih yang juga berwajah cukup cantik dan bersikap keras. Ialah murid pertama dan anggauta yang diberi kekuasaan untuk mengepalai para murid dan agaknya kedudukannya ini yang membuat Bwe Kiok Hwa memiliki sikap yang agak kaku dan keras, memegang teguh peraturan sehingga ia ditakuti para anggauta lainnya. Begitu tiba di situ, Kui Li Ai menatap wajah Cu An yang tergantung membalik itu. Dua pasang mata bertemu dan mata Cu An terbelalak kagum.

   "Nona manis yang cantik jelita, kasihanilah aku yang tidak berdosa, disiksa seperti ini selama semalam suntuk oleh bunga-bunga yang baunya tidak enak ini," katanya. Tentu saja Li Ai menjadi bingung.

   "Apa maksudmu bunga-bunga yang baunya tidak enak?" bentaknya.

   "Gadis-gadis cantik ini seperti bunga akan tetapi sikap mereka sungguh tidak enak," kata Cu An.

   "Enci Bwe Kiok Hwa, bebaskan dia dari jala!" Kui Li Ai berkata kepada Bwe Kiok Hwa.

   "Akan tetapi, Kui Siocia (Nona Kui), orang ini telah melanggar wilayah kita dan sudah sepatutnya dia dihukum. Biarkan dia tergantung di sana menunggu sampai pang-cu pulang dan memberi keputusan apa yang harus kita lakukan kepadanya!"

   "Wah, bunga yang ini baunya malah lebih busuk lagi!" kata Cu An dengan hati mendongkol.

   "Baik, kita sama lihat saja apa yang akan dikatakan Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan kalau ia pulang dan melihat sutenya disiksa seperti ini!" Mendengar ini, Kui Li Ai berkata lagi, kini lebih tegas memerintah kepada Bwe Kiok Hwa.

   "Enci Bwe, cepat bebaskan dia, biar aku yang bertanggungjawab terhadap Enci Siang Lan!" Mendengar ucapan dan melihat sikap Li Ai yang bersungguh-sungguh, Bwe Kiok Hwa tidak berani membantah lagi, hanya mengomel kepada diri sendiri.

   "Hemm, laki-laki tidak sepatutnya diberi hati......"

   Dan ia lalu melompat dan sekali ia menggerakkan pedangnya, tali jala itu putus dan tubuh Cu An jatuh ke bawah. Biarpun berada dalam lipatan dan belitan tali jala, akan tetapi ketika tubuhnya terjatuh ke bawah Cu An dapat bergerak jungkir balik sehingga dapat hinggap di atas lantai dengan kedua kakinya lebih dulu. Cepat dia bergerak membuka libatan jala dan tali dan setelah membuang jala itu ke sudut ruangan, kini dia berdiri berhadapan dengan enam orang wanita itu. Hanya sekelebatan saja dia memandang Bwe Kiok Hwa dan empat orang anak buah Ban-hwa-pang, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kui Li Ai, dia tertegun dan terpesona.

   Tadi memang dia sudah tertarik sekali ketika pandang matanya bertemu dengan wajah gadis remaja yang memerintahkan agar dia dibebaskan. Akan tetapi pertemuan itu terjadi ketika kepalanya tergantung ke bawah sehingga dia tidak dapat melihat dengan jelas. Kini, setelah mereka berdua berdiri berhadapan barulah dia tertegun dan sekali gus terpesona. Bouw Cu An adalah putera tunggal Pangeran Bouw Ji Kong. Sebagai seorang putera pangeran keponakan kaisar, pemuda bangsawan yang sastrawan dan telah digembleng ilmu silat pula oleh Ouw-yang Sianjin, sudah barang tentu Cu An tidak asing dengan puteri-puteri bangsawan yang anggun dan cantik, yang lebih pandai dan lebih banyak waktu untuk merawat dan mempercantik diri dibandingkan para gadis biasa yang lebih banyak harus bekerja.

   Biarpun selama ini dia tekun mempelajari Bun (Sastra) dan sedikit Bu (Silat) kemudian selama setahun digembleng dengan keras dalam ilmu silat oleh Ouw-yang Sianjin sehingga dia tidak banyak bergaul dengan para gadis bangsawan, namun dia banyak sudah melihat gadis bangsawan yang cantik. Akan tetapi sekali ini, begitu berhadapan dengan Kui Li Ai yang berpakaian baju berkembang-kembang dengan potongan sederhana, ia terpesona sampai hanya membuka mata dan mulut tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Di lain pihak, Kui Li Ai juga tertegun. Tak disangkanya bahwa "laki-laki kurang ajar" seperti yang dilaporkan anak buah Ban-hwa-pang, yang katanya malam-malam naik ke lembah seperti maling yang tertawan,

   Setelah kini berhadapan dengannya, adalah seorang pemuda yang masih muda, berpakaian bersih namun tidak terlalu mewah, lembut dan ramah, wajahnya tampan, bentuk tubuhnya tegap sedang, sepasang matanya jernih agak lebar dan sepasang mata dan senyumnya menunjukkan kelembutan hatinya. Sebagai seorang puteri panglima yang sejak kecil hidup di kota raja dan banyak bertemu dengan orang-orang bangsawan, sekali pandang saja ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pemuda bangsawan. Dan tadi dia mendengar sendiri pemuda itu mengaku putera seorang pangeran atau bahkan seorang pangeran seperti yang ia dengar laporan anak buah yang simpang-siur.

   "Hemm, sobat, kalau benar engkau tidak mempunyai niat buruk terhadap kami, mengapa engkau malam-malam mencoba untuk menyusup ke lembah kami? Siapakah engkau dan apa artinya semua pengakuanmu tadi, terutama bahwa engkau adik seperguruan ketua kami Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan? Sobat, jangan kau main-main dengan kami! Ketahuilah bahwa lembah kami Ban-hwa-kok merupakan tempat terlarang bagi kaum pria dan apa yang telah kaulakukan ini merupakan sebuah pelanggaran besar!"

   Melihat sikap yang anggun berwibawa namun tidak kasar, dan mendengar ucapan yang teratur, bukan seperti ucapan para anggauta Ban-hwa-pang tadi yang kasar, Cu An tidak berani main-main dan ada perasaan heran dalam hatinya. Yang dia tahu dari cerita orang-orang, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu saja bersikap tegas dan kasar, dan terbukti tadi ucapan para gadis yang menjadi anak buahnya juga kasar. Akan tetapi mengapa gadis ini memiliki sikap yang demikian lembut, dan ucapannya terdengar teratur seperti seorang gadis berpendidikan? Dia lalu cepat mengangkat kedua tangan depan dada, menjura dengan hormat.

   "Harap maafkan aku, Nona. Sesungguhnya aku sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap Ban-hwa-pang. Namaku adalah Bouw Cu An dan aku tidak berbohong ketika memperkenalkan diri sebagai putera Pangeran Bouw Ji Kong yang kini menjadi penasihat Pamanda Kaisar Wan Li di kota raja. Juga aku tidak berbohong ketika mengaku sebagai sute (adik seperguruan) dari Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan karena aku menjadi murid Suhu Ouw-yang Sianjin yang menjadi sute dari mendiang Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, guru Suci Nyo Siang Lan. Biarpun aku belum pernah bertemu dengan Suci Nyo Siang Lan, akan tetapi hubungan itu membuat aku menjadi sutenya, bukan?" Mendengar penjelasan yang rinci itu, Bwe Kiok Hwa dan empat orang anak buah Ban-hwa-pang menjadi terkejut sekali dan tanpa dapat dicegah lagi wajah mereka menjadi pucat dan mereka segera memberi hormat kepada pemuda itu dan Bwe Kiok Hwa berkata dengan sikap hormat.

   "Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw), harap engkau suka maafkan kami, karena kami tidak mengenal Kongcu dan menganggap Kongcu seorang pelanggar daerah kami dan...... dan...... kami tadi tidak percaya kepada Kongcu lalu bersikap kasar." Bouw Cu An tersenyum dengan tulus.

   "Wah, sikap kalian mengakui kesalahan ini saja sudah cukup membuka mataku bahwa kalian adalah para anggauta perkumpulan yang ditangani pemimpin yang baik. Tentu saja aku melupakan peristiwa semalam dan sekarang aku bisa mengatakan bahwa bunga-bunga di lembah ini memang indah dan harum!" Mendengar ini, wajah pucat lima orang wanita itu berubah kemerahan dan bibir mereka berlumba senyum manis! Li Ai juga senang mendengar ucapan Cu An dan tidak keliru dugaannya bahwa pemuda ini bukan orang jahat maka tadi memerintahkan untuk membebaskannya. Ia membalas penghormatan Cu An dan berkata.

   "Bouw Kongcu, kalau begitu, engkau bukanlah orang lain, melainkan seorang tamu terhormat. Aku bernama Kui Li Ai, dan mari kita menuju perkampungan kami di atas, di mana kita dapat bicara dengan leluasa." Li Ai lalu mendahului pemuda itu berlari ke arah puncak dan agaknya ia sengaja hendak menguji kepandaian Cu An dengan menggunakan keringanan tubuhnya berlari cepat melalui berbagai rintangan dan jebakan.

   "Hati-hati, Bouw Kongcu, di sini memang dipasangi banyak jebakan," katanya. Cu An mengerti dan melihat gerakan ringan itu dia pun mengerahkan gin-kang agar selalu dapat menginjak bekas injakan gadis itu dan tidak sampai terperangkap.

   "Baiklah, Kui Siocia!" katanya. Lima orang wanita tadi memandang kagum, kemudian empat orang kembali ke tempat penjagaan masing-masing menanti rekan-rekan yang akan menggantikan mereka. Bwe Kiok Hwa mengikuti Li Ai dan Cu An naik ke puncak di mana perkampungan Ban-hwa-pang berada. Setelah tiba di rumah induk, Cu An dipersilakan duduk di ruangan tamu, akan tetapi sebelum pihak nona rumah mengajaknya bicara, dengan sikap ramah Li Ai berkata.

   "Bouw Kongcu, mengingat bahwa semalam engkau tidak tidur dan berada di dalam keadaan yang tidak menyenangkan, kami persilakan kongcu untuk mandi dulu dan berganti pakaian. Kemudian kita sarapan, baru kita akan bicara tentang maksud kunjunganmu ini. Bagaimana pendapatmu, Kongcu?" Bouw Cu An tersenyum, hatinya senang. Nona rumah ini ternyata penuh perhatian terhadap tamunya, ramah dan hormat.

   Sebetulnya, tanpa mengaso atau mandi juga dia merasa segar karena semalam, biarpun digantung jungkir balik, dia bersamadhi seperti yang diajarkan gurunya dan dia dapat mengaso dengan baik. Hanya saja, tentu dia akan tampak lebih bersih dan "ganteng" kalau diberi kesempatan mandi, menyisir rambut membereskan kuncirnya yang panjang dan tebal, berganti pakaian bersih. Dan berhadapan untuk bercakap-cakap dengan seorang gadis seperti Kui Li Ai yang sepagi itu sudah mandi segar dan berdandan rapi, memang perlu sekali dia mempertampan dirinya! Maka dengan girang dia lalu menuju ke kamar mandi sambil membawa buntalan pakaiannya, ditunjukkan oleh seorang anggauta Ban-hwa-pang yang sejak tadi mengikuti mereka, yaitu Bwe Kiok Hwa sendiri.

   Tak lama kemudian, Cu An sudah duduk berhadapan dengan Li Ai di ruangan makan, menghadapi meja makan di mana telah dihidangkan sarapan pagi yang cukup lengkap dan masih mengepulkan uap yang sedap dan menimbulkan selera. Tidak ada anggauta Ban-hwa-pang yang berada dalam ruangan makan itu untuk melayani. Sejak berada di situ memang Li Ai menghapuskan cara-cara bangsawan di mana kalau majikan makan harus ada pelayan yang berada di ruangan itu untuk melayani. Ia sendiri yang menuangkan air teh ke dalam cawan di depan Cu An. Mereka makan sarapan dengan santai sambil bercakap-cakap.

   "Maaf, Nona. Aku datang berkunjung untuk menghadap Ketua Ban-hwa-pang, yaitu Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Akan tetapi mengapa ia belum juga datang menemuiku? Apakah engkau ini......" Li Ai tersenyum dan menggerakkan tangan menyangkal.

   "Aih, bukan. Aku adalah Kui Li Ai, seorang...... sahabatnya, juga adik angkat dan muridnya. Enci Siang Lan pada saat ini tidak berada di sini, sedang keluar, Kongcu."

   "Wah, ia tidak ada? Kalau begitu sia-sia saja aku datang jauh-jauh mencarinya di sini!" Mereka selesai makan lalu Li Ai mengajak tamunya duduk kembali di ruangan tamu, meninggalkan meja yang akan dibersihkan para anggauta Ban-hwa-pang. Setelah mereka duduk berhadapan di ruangan tamu, Li Ai bertanya.

   "Kongcu, selama Enci Siang Lan tidak berada di sini, yang berwajib menggantikannya adalah aku sendiri, dibantu Enci Bwe Kiok Hwa tadi. Nah, sekarang engkau boleh saja menyampaikan keperluanmu itu kepadaku, siapa tahu kami di sini dapat membantumu atau kelak kalau Enci Siang Lan pulang aku dapat menyampaikan apa yang kaupesan."

   "Terima kasih, Nona. Engkau baik sekali. Sesungguhnya aku menerima perintah Suhu Ouw-yang Sianjin, yaitu Susiok (Paman Guru) dari Suci Nyo Siang Lan untuk mencari dan menemui Suci di sini. Menurut perintah Suhu, Enci Nyo Siang Lan diminta agar suka membantu Jenderal Chang Ku Cing dalam tugasnya menyelidiki dan menangkap pelaku pembunuhan enam orang pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar. Aku disuruh mohon kepada Enci Siang Lan agar ia suka pergi ke kota raja dan membantu Jenderal Chang.

   "Sore tadi, ketika tiba di kaki Ban-hwa-san, aku bingung akan tetapi mengambil keputusan untuk mencoba naik karena aku ingin segera menghadap Hwe-thian Mo-li. Siapa tahu, perangkap di sini lihai sekali sehingga aku terjebak."

   "Ah, kalau saja aku mendengar teriakan dan pengakuanmu tentang dirimu, tentu aku dapat mencegah terjadinya peristiwa itu. Sekarang enci Nyo Siang Lan tidak berada di sini, akan tetapi tugasmu memanggil Enci Siang Lan membantu pemerintah untuk menangkap pembunuh para pembesar itu bahkan terlambat, Bouw Kongcu. Ketahuilah bahwa Enci Siang Lan sudah pergi ke Kota raja untuk keperluan yang sama. Ada seorang murid Siauw-lim-pai bernama Chang Hong Bu yang datang ke sini dan dia juga disuruh oleh pemerintah untuk mengundang enci Siang Lan membantu pemerintah menghadapi para pemberontak dan pembunuh."

   "Ah, begitukah? Bagus kalau begitu. Aku tinggal memberitahu Suhu bahwa Suci Nyo Siang Lan sudah pergi ke kota raja."

   "Bouw Kongcu, apakah engkau juga merupakan pembantu dari Jenderal Chang Ku Cing?" pertanyaan ini diajukan oleh gadis itu yang tiba-tiba suaranya menjadi tidak manis. Bouw Cu An dapat menangkap suara yang kering keras ini. Dia menggelengkan kepalanya.

   "Bukan, Nona. Aku bukan pembantunya atau pembantu siapa pun kecuali membantu Suhu Ouw-yang Sianjin."

   "Akan tetapi engkau tentu mengenal Jenderal Chang Ku Cing itu, bukan?"

   "Tentu saja, siapa tidak mengenalnya? Akan tetapi aku tidak mempunyai hubungan dengan dia, aku bahkan tidak pernah berhubungan dengan orang-orang di kalangan bangsawan kota raja."

   "Akan tetapi sebagai putera Pangeran Bouw Ji Kong yang berkedudukan tinggi, engkau tentu memiliki hubungan yang luas. Aku merasa heran mengapa ketika aku masih berada di kota raja tinggal di rumah ayahku, aku tidak pernah mendengar tentang dirimu. Maaf, Bouw Kongcu, terus terang saja, setahun lebih yang lalu aku tinggal di kota raja dan banyak melihat para pemuda dan gadis bangsawan, akan tetapi aku tidak pernah bertemu denganmu." Bouw Cu An tertawa.

   "Ha, memang aku lebih suka bersembunyi dalam kamar untuk belajar sastra atau silat, hampir tidak pernah ikut Ayah dalam pesta-pesta pertemuan sehingga jarang mengenal orang-orang muda di kalangan bangsawan terutama para gadisnya. Nona, aku melihat bahwa engkau seorang gadis yang terpelajar dan sikap serta budi bahasamu menunjukkan bahwa engkau seorang gadis bangsawan pula. Salahkah dugaanku bahwa engkau juga merupakan puteri seorang pejabat tinggi, seorang bangsawan?"

   Li Ai menundukkan mukanya. Kesedihan besar menyelimuti perasaannya karena pertanyaan pemuda itu mendatangkan semua kenangan pahit dalam hidupnya. Akan tetapi, pemuda ini sudah dengan terbuka memperkenalkan dirinya, bagaimana ia dapat tidak menceritakan keadaan dirinya. Pemuda ini tampak demikian sopan, jujur dan sejak pertemuan pertama telah membangkitkan rasa suka dalam hatinya, membuat ia tertarik sekali.

   "Bouw Kongcu, aku hanya anak seorang perwira yang telah tewas setahun lebih yang lalu. Beliau adalah mendiang Perwira Kui

   "Ahh......!" Cu An bangkit berdiri dengan kaget.

   "Maksudmu...... Kui Ciang-kun, perwira tinggi pembantu Jenderal Chang Ku Cing yang...... kabarnya...... maaf...... membunuh diri di depan Jenderal Chang itu?" Li Ai menghela napas panjang, tidak merasa heran karena tentu saja peristiwa pembunuhan diri ayahnya itu telah tersebar luas di seluruh kota raja, bahkan mungkin di seluruh negeri. Menjadi kewajibannyalah untuk membela nama ayahnya!

   "Benar sekali, Bouw Kongcu. Apakah engkau mengerti, apa sebabnya Ayahku sampai membunuh diri di depan Jenderal Chang Ku Cing?" Cu An merasa kasihan sekali dan dia tidak tega untuk menjawab bahwa dia mendengar akan aib yang menimpa keluarga gadis itu. Dia hanya mengangguk sambil menundukkan pandang matanya, tidak tega menentang pandang mata yang penuh kesedihan itu.

   "Ya, kurasa semua orang mengetahui apa yang menyebabkan Ayahku membunuh diri di depan Jenderal Chang Ku Cing. Benar sekali, Ayah membunuh diri karena merasa telah berbuat salah melanggar hukum, yaitu ayah telah membebaskan tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang tertawan ketika orang-orang Pek-lian-kauw memberontak dan menyerbu kota raja. Memang Ayahku telah melakukan kesalahan besar itu, akan tetapi sekarang aku bertanya kepadamu, Bouw Kongcu. Apakah engkau mengetahui mengapa ayah yang terkenal setia kepada Kaisar melakukan hal itu? Mengapa Ayahku membebaskan tiga orang tawanan penting itu?"

   Cu An yang merasa iba sekali kepada Li Ai, menggelengkan kepala karena dia benar-benar tidak dapat menjawab pertanyaan ini. Baru sekarang dia teringat bahwa seorang perwira tinggi yang setia seperti Kui Ciang-kun sampai melakukan perbuatan yang demikian besar kesalahannya, pasti juga mempunyai alasan yang amat memaksanya. Apakah dia memang seorang pengkhianat yang berpihak kepada Pek-lian-kauw? Rasanya tidak mungkin!

   Tiba-tiba dia teringat. Jangan-jangan Perwira Kui itu masih ada hubungan persekutuan dengan ayahnya sendiri yang dia tahu juga mengusahakan pemberontakan yang amat tidak disetujuinya! Akan tetapi dia tidak berani menyatakan jalan pikirannya ini dan seperti tadi ketika menjawab "ya" dia hanya mengangguk, kini untuk menjawab "tidak" dia pun hanya menggeleng sambil kini menatap wajah gadis itu. Dia terkejut karena melihat perubahan hebat pada wajah yang jelita itu. Kalau tadi sebelum membicarakan hal ayahnya wajah Li Ai segar dan ceria seperti seekor bunga yang sedang mekar, kini wajah itu seperti bunga yang mulai layu! Pucat dan matanya kehilangan sinar gairah hidup!

   "Benar dugaanku, mungkin jarang ada orang mengetahui alasan Ayahku melepaskan tiga orang tawanan itu. Akan tetapi engkau boleh mengetahui, Bouw Kongcu. Terserah engkau mau percaya atau akan menganggap alasan ini hanya dicari-cari untuk membela Ayahku saja.

   "Ketahuilah bahwa dalam pembasmian dan penangkapan para pemberontak Pek-lian-kauw itu, yang berjasa besar adalah mendiang Ayahku yang dibantu oleh banyak pendekar, di antaranya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Nah, pada suatu hari, seorang tokoh besar Pek-lian-kauw berhasil menculik diriku. Aku dijadikan sandera, dan mereka lalu mengirim pesan kepada mendiang Ayahku agar Ayah suka membebaskan tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang ditangkap dan dipenjara itu. Kalau Ayah tidak melaksanakan permintaan itu, aku akan dibunuh mereka.

   "Bouw Kongcu, Ayah hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu aku, maka mendapatkan surat itu, dia lalu nekat dan membebaskan tiga orang tawanan itu. Kemudian Jenderal Chang Ku Cing dan pasukannya datang kepada Ayah setelah mendengar bahwa Ayah membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan menuduh Ayah berkhianat.

   "Ayah sudah memberitahu alasannya membebaskan para pimpinan Pek-lian-kauw demi menyelamatkan aku, akan tetapi Ayah tidak menyangkal kesalahannya dan untuk menebus kesalahannya, Ayah lalu membunuh diri di depan kaki Jenderal Chang Ku Cing! Nah, Bouw Kongcu, demikianlah kejadiannya, terserah engkau percaya ataukah tidak." Li Ai menghentikan ceritanya dan setelah menceritakan hal itu, hatinya terasa agak lega seperti telah memuntahkan sesuatu yang tidak enak dari dalam perutnya.

   Bouw Cu An percaya sepenuhnya kepada gadis ini. Dia pun mendengar bahwa mendiang Kui Ciang-kun adalah seorang perwira tinggi yang gagah perkasa dan amat setia kepada pemerintah. Bahkan dia yang memimpin pasukan sehingga berhasil membasmi para pemberontak Pek-lian-kauw dan menangkap para pemimpinnya. Maka mustahil kiranya kalau kemudian dia malah nekat meloloskan mereka dengan terang-terangan sehingga semua orang mengetahui bahwa dia yang melepaskan mereka! Perbuatan itu pasti memiliki alasan yang kuat, dan alasan apa yang lebih kuat daripada melihat puterinya diculik orang Pek-lian-kauw?

   "Aku percaya sepenuhnya kepadamu, Nona, dan sungguh sengsara sekali nasibmu, kehilangan ayah yang bijaksana seperti itu. Akan tetapi, maafkan pertanyaanku ini, Nona, akan tetapi mengapa engkau sekarang berada di sini, menjadi murid Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, tidak berada di rumah tempat tinggal mendiang Ayahmu?" Li Ai hampir menangis mendengar pertanyaan ini karena ia teringat akan nasib dirinya yang menjadi korban perkosaan dan akan sikap ibu tirinya. Tidak mungkin ia menceritakan aib yang menimpa dirinya. Satu-satunya manusia di dunia ini yang mengetahui akan nasibnya itu hanyalah Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan menjawab.

   "Ayah telah meninggal dan aku sudah tidak mempunyai ibu kandung sejak kecil. Ibu tiriku membenciku dan bahkan menyalahkan aku karena kematian Ayahku adalah untuk membela diriku. Maka aku lalu ikut Enci Siang Lan dan hidup bersamanya di sini."

   "Aduh, sungguh buruk nasibmu, Nona, sungguh mengenaskan. Aku ikut merasa prihatin, Kui Siocia......" kata Bouw Cu An dengan suara mengandung keharuan. Puteri seorang perwira tinggi yang terkenal, kiranya sekarang hidup seorang diri di pegunungan seperti ini! Li Ai memaksa diri tersenyum dan menghela napas panjang.

   "Aih, Bouw Kongcu, jangan mengembalikan perasaan iba diri yang sudah lama berhasil kuusir keluar dari ingatanku. Akan tetapi bagaimana dengan engkau sendiri, Kongcu? Engkau adalah putera seorang pangeran, mengapa engkau bersusah payah menjadi murid Locianpwe Ouw-yang Sianjin dan tidak memegang kedudukan tinggi di pemerintahan? Malah engkau sekarang agaknya hidup sebagai seorang pemuda kang-ouw?!"

   Pertanyaan ini juga mendatangkan pesaan sedih dalam hati pemuda itu. Bagaimana mungkin dia dapat mengaku bahwa ayahnya adalah seorang pengkhianat, seorang yang merencanakan pemberontakan terhadap Kaisar? Bahkan dia hampir saja dibunuh oleh para tokoh yang menjadi sekutu ayahnya sendiri untuk memberontak? Kalau tidak diselamatkan Ouw-yang Sianjin, dia tentu telah tewas di tangan Hongbacu, tokoh bangsa Mancu yang bersekongkol dengan Ayahnya itu.

   "Ah, aku tidak suka menjadi seorang pembesar, Nona. Kulihat di kota raja selalu berada dalam keadaan kacau, terjadi pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Saling jegal, saling fitnah, menjatuhkan lawan masing-masing yang dianggap menghalangi kehendaknya memperoleh kedudukan lebih tinggi. Persaingan yang tidak sehat. Aku melihat hal-hal yang kotor di antara para pejabat tinggi yang hanya mementingkan diri sendiri dengan cara melakukan korupsi, pemerasan, kecurangan dan lain-lain. Aku merasa muak maka aku lebih senang meninggalkan kota raja dan hidup dengan tenang tenteram mempelajari ilmu ikut Suhu Ouw-yang Sianjin." Li Ai menghela napas panjang dan perasaan sukanya kepada pemuda itu bertambah. Bouw Cu An ini tidak seperti para pemuda bangsawan yang pernah dia jumpai dan kenal di kota raja. Sama sekali berbeda!

   "Aih, memang sukar dipercaya kalau kita ceritakan kepada orang lain, Bouw Kongcu. Semua orang tentu akan menganggap bahwa kehidupan seorang anggauta keluarga para bangsawan yang berpangkat tinggi dan kaya raya di kotaraja pasti enak dan menyenangkan. Akan tetapi apa yang telah kita alami? Kepahitan dan ketidak-tenteraman, sungguh menyedihkan." Dua orang muda itu saling tertarik, bahkan mungkin saja mereka itu telah jatuh cinta pada pertemuan pertama ini. Akan tetapi diam-diam keduanya merasa tidak berharga bagi yang lain.

   Bouw Cu An merasa tidak berharga untuk menjadi pasangan Li Ai mengingat bahwa kalau Li Ai puteri seorang perwira tinggi yang jelas amat setia kepada negara dan sudah banyak dan besar jasanya, maka sebaliknya dia adalah putera seorang pangeran yang hendak mengkhianati dan memberontak kepada pemerintah! Sebaliknya, Li Ai sendiri juga merasa tidak pantas menjadi pasangan Cu An mengingat bahwa kalau Cu An putera seorang pangeran, bahkan masih keponakan kaisar, ia sendiri hanya puteri seorang perwira yang dianggap pengkhianat dan dirinya sendiri telah ternoda, bukan perawan lagi! Hampir saja ia tidak dapat menahan runtuhnya air matanya ketika ia ingat akan hal ini. Pada saat itu, tiba-tiba Bwe Kiok Hwa memasuki ruangan tamu itu dengan muka pucat dan suaranya terdengar gemetar.

   "Nona, celaka, Nona! Dari bagian utara datang segerombolan orang bekas anak buah Ban-hwa-pang yang lama menyerbu dan mereka sudah membakar tanaman di sana dan merobohkan beberapa orang anak buah! Tentu orang ini yang menjadi mata-mata mereka!" Bwe Kiok Hwa dengan marah lalu menerjang Cu An dengan pedangnya! Tentu saja Cu An cepat mengelak dan dari samping dia menendang lutut kiri Bwe Kiok Hwa. Hampir saja tendangannya mengenai sasaran, akan tetapi Bwe Kiok Hwa yang sudah memperoleh latihan yang lumayan dari Hwe-thian Mo-li dapat melompat ke belakang walaupun tubuhnya terhuyung. Sebelum ia nekat menyerang lagi, Li Ai sudah membentaknya.

   "Enci Bwe, hentikan itu! Jangan menyerang orang secara sembarangan dan menuduh membabi-buta! Bouw Kongcu adalah adik seperguruan Enci Siang Lan, dan engkau berani menyerangnya?" Ditegur begitu, Bwe Kiok Hwa menghentikan serangannya dan memandang bingung. Tadi ia memang memiliki kecurigaan dan dugaan keras bahwa kedatangan pemuda itu tentu ada hubungannya dengan gerombolan Ban-hwa-pang lama yang tiba-tiba pagi itu datang menyerbu, membakari tanaman untuk menghalau semua jebakan yang dipasang di bagian itu.

   "Mari, Kongcu, kita lihat keadaannya!" Li Ai mengajak Cu An dan mereka berdua lalu berlari cepat keluar dari bangunan induk itu, diikuti oleh Bwe Kiok Hwa yang masih memegang pedang. Tidak sukar mencari tempat yang dimaksudkan karena dari atas sudah tampak lereng di bagian utara yang mengepulkan asap tanda kebakaran. Semua anak buah Ban-hwa-pang tampak berlari-larian ke arah itu.

   "Bawa peralatan untuk memadamkan kebakaran!" teriak Li Ai.

   "Bawa kayu-kayu pemukul dan air!" teriak pula Cu An. Para anggauta Ban-hwa-pang itu mentaati perintah ini dan ramai-ramai mereka lari ke lereng utara sambil membawa alat-alat untuk memadamkan kebakaran.

   Setelah mereka berdua menuruni lereng itu, Li Ai dan Cu An melihat sekitar duapuluh orang laki-laki, dipimpin seorang laki-laki tua bermuka penuh berewok yang memegang sepasang golok, sedang berkelahi melawan puluhan orang wanita anggauta Ban-hwa-pang. Karena para anggauta wanita Ban-hwa-pang baru sekitar setahun lebih belajar ilmu silat, mereka tampak kewalahan menghadapi serbukan gerombolan laki-laki yang tampak buas itu. Namun, karena yang menggembleng mereka adalah Hwe-thian Mo-li, maka dalam setahun itu mereka telah memperoleh tenaga dan kegesitan yang lumayan sehingga walaupun terdesak hebat, mereka masih mampu melakukan perlawanan. Sementara itu, para anggauta lain sibuk memadamkan api agar jangan menjalar ke atas.

   "Kongcu, mari kita hajar mereka!" kata Li Ai dan tanpa menanti jawaban gadis ini sudah mencabut pedangnya dan menerjang para penyerbu, diikuti Cu An yang juga sudah mencabut pedangnya.

   Dua orang muda ini menerjang dan mengamuk dengan hebatnya. Biarpun Li Ai tidaklah sehebat Cu An ilmu pedangnya, namun karena marah dan penuh semangat, gerakan Li Ai amat ganas. Pedangnya berkelebatan seperti halilintar menyambar-nyambar. Juga gerakan pedang Cu An amat kuat sehingga sebentar saja enam orang penyerbu telah roboh oleh pedang sepasang orang muda ini. Hal ini membakar semangat para anggauta wanita Ban-hwa-pang dan mereka melawan dengan lebih gigih. Sebaliknya, para penyerbu menjadi terkejut bukan main. Memang sebagian besar dari mereka sudah jerih terhadap nama Hwe-thian Mo-li. Mereka baru berani diajak menyerbu oleh pemimpin baru mereka setelah mendengar bahwa Hwe-thian Mo-li sedang tidak berada di Ban-hwa-kok.

   Akan tetapi ternyata sekarang muncul sepasang orang muda yang demikian ganas dan lihai ilmu pedangnya! Hal ini membuat nyali mereka menjadi semakin mengecil. Li Ai dan Cu An kini menerjang ke arah pemimpin gerombolan yang mukanya penuh berewok itu. Dia ini dahulunya merupakan pembantu utama Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang yang telah terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li. Semua anggauta Ban-hwa-pang berikut ketuanya telah dibasmi dan dibunuh habis oleh Hwe-thian Mo-li yang menjadi seperti gila dan mengamuk setelah merasa dirinya dinodai dan Si Berewok ini adalah salah satu di antara beberapa orang saja yang sempat melarikan diri, walaupun terluka parah.

   Kini, dia mengumpulkan teman-teman para perampok untuk membalas dendam, membakar dan mencoba untuk menguasai kembali Ban-hwa-pang. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa di situ terdapat Li Ai dan Cu An yang cukup lihai sehingga pihak mereka yang kini terdesak hebat. Si Berewok cukup lihai. Andaikata yang melawannya hanya Li Ai atau Cu An sendiri, kiranya dia tidak akan mudah dikalahkan. Akan tetapi kini dua orang muda itu maju bersama dan mereka saling melindungi dan saling bantu karena memang ada perasaan yang dekat dan saling menyayang di antara keduanya, maka pertahanan maupun penyerangan mereka dapat disatukan dan menjadi terlalu kuat bagi Si Berewok.

   Setelah melawan mati-matian selama duapuluh jurus, akhirnya Si Berewok roboh terkena sabetan pedang Li Ai dan tusukan pedang Cu An. Dia roboh dan tewas. Melihat ini, sisa para gerombolan menjadi panik, sebaliknya para wanita anggauta Ban-hwa-pang menjadi semakin bersemangat. Bagaikan harimau-harimau betina mereka berteriak-teriak menerjang sisa gerombolan, dipimpin Li Ai dan Cu An sehingga akhirnya semua anggauta gerombolan yang menyerbu telah dapat dirobohkan dan ditewaskan! Para wanita itu bersorak gembira karena kemenangan ini, kemenangan dalam pertempuran yang pertama kali mempertahankan tempat kediaman mereka! Hanya ada enam orang wanita rekan mereka yang terluka. Mereka segera dirawat dan atas perintah Li Ai, semua mayat para gerombolan itu dikubur dalam beberapa lubang, jauh di kaki bukit Ban-hwa-san.

   Li Ai dan Cu An berjalan berdampingan naik kembali ke puncak Ban-hwa-kok. Sejak itu, mereka merasa semakin dekat satu kepada yang lain. Terasa suatu kemesraan yang amat membahagiakan hati mereka. Wajah mereka cerah penuh senyum, terutama setiap kali pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut. Walaupun mulut mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun sinar mata mereka telah mengutarakan seluruh isi hati mereka yang dapat mereka tangkap dan mengerti sedalam-dalamnya. Mereka saling jatuh cinta! Ada perasaan bahagia yang mendalam, namun kebahagiaan yang mendatangkan duka apabila mereka mengingat akan keadaan diri masing-masing. Li Ai teringat akan keadaan dirinya yang sudah ternoda, dan Cu An teringat akan keadaan dirinya sebagai putera seorang pengkhianat dan pemberontak!

   Akan tetapi peristiwa penyerbuan gerombolan itu membuat Cu An mendapatkan alasan dan kesempatan untuk bermalam satu malam lagi di Ban-hwa-kok, dalam waktu itu membuka peluang bagi mereka untuk saling memperlihatkan perasaan hati masing-masing, walaupun hanya melalui pandang mata dan senyum penuh madu. Tanpa bicara pun mereka yakin bahwa mereka saling mencinta. Mereka makan siang, lalu makan malam bersama. Pada keesokan harinya, setelah mandi dan makan pagi, suasananya diliputi keharuan dan kesedihan karena saatnya telah tiba bagi mereka untuk saling berpisah. Pagi itu setelah sarapan, Cu An harus meninggalkan Ban-hwa-pang, menyusul gurunya ke kota raja! Mereka berdua sarapan, akan tetapi tidaklah senikmat biasanya. Bahkan rasanya sukar menelan makanan menghadapi perpisahan di depan mata. Setelah selesai makan, Cu An berkata lirih.

   "Sekarang aku harus berkemas......"

   "...... Kongcu...... mengapa tergesa-gesa? Hari masih amat pagi."

   Cu An memandang wajah gadis itu dengan sinar mata tajam.

   "Nona Kui, setelah apa yang kita alami bersama, rasanya kaku dan tidak enak mendengar engkau masih menyebut aku Kongcu."

   "Engkau pun menyebut aku Siocia......" bantah Li Ai. Cu An tersenyum dan gadis itu pun ikut tersenyum pula. Tanpa bicara lagi mereka sudah saling mengetahui isi hati masing-masing yang ingin mendapatkan sebutan yang lebih akrab lagi, bukan sebutan bersopan-sopan seperti dua orang yang asing satu sama lain.

   "Baiklah mulai sekarang, aku akan menyebutmu Moi-moi (Adik Perempuan), bolehkah, Ai-moi?"

   "Tentu saja, dan aku akan senang kalau boleh menyebutmu An-ko (Kakak Laki-laki An)." Keduanya saling tersenyum lagi dan kini pandang mata mereka lebih leluasa mengirim sinar-sinar kasih.

   "Sekarang aku harus berkemas dan siap untuk turun dari sini, Ai-moi."

   "Baiklah, silakan An-ko." Cu An lalu memasuki kamarnya dan mengemasi buntalan pakaiannya. Setelah dia keluar, dia melihat Li Ai sudah menunggunya dan ketika dia menuruni puncak bukit itu, Li Ai mengantarnya dan berjalan di sampingnya, sebagai pengantar dan penunjuk jalan karena jalan menurun itu penuh jebakan dan perangkap. Mereka berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap.

   "Aku merasa senang dan berbahagia sekali dapat berkenalan denganmu, Ai-moi."

   "Aku pun merasa senang dan terhormat dapat bertemu dan berkenalan denganmu, An-ko. Engkau seorang putera pangeran yang terhormat dan berkedudukan tinggi, sedangkan aku......"

   "Hushh, jangan berkata begitu, Ai-moi," kata Cu An sambil memegang tangan kiri gadis itu yang berjalan di samping kanannya. Merasa betapa tangan kirinya dipegang erat, Li Ai terkejut akan tetapi biarpun hatinya menolak, jari-jari tangannya dengan hangat membalas genggaman tangan pemuda yang kokoh kuat itu.

   "Aku bicara sejujurya, An-ko. Bahkan berjalan berdua begini saja sebetulnya tidak pantas bagiku......"

   "Ai-moi......!" Cu An berhenti melangkah dan menarik gadis itu sehingga mereka berdiri berhadapan, dekat sekali dan ketika mereka saling pandang, Cu An agak menunduk dan Li Ai agak berdongak, mereka dapat merasakan hembusan napas masing-masing di muka mereka.

   "Jangan engkau sekali lagi berkata seperti itu, Ai-moi. Ucapan itu amat menyakitkan hatiku. Engkau lebih dari pantas berjalan dalam kehidupan ini di sampingku, akulah yang tidak pantas bagimu. Ai-moi, aku...... aku sayang kamu, aku cinta kamu......"

   "An-ko......!" Kini kedua tangan mereka saling bertemu dan jari-jari tangan mereka saling remas. Sejenak Li Ai yang, merasa tubuhnya lunglai, menyandarkan mukanya di dada pemuda itu yang merangkul pundaknya. Biarpun tidak lama mereka berada dalam keadaan seperti ini, namun rasanya hati mereka telah menjadi satu dan sukar untuk dipisahkan lagi. Akan tetapi Li Ai segera menyadari keadaan dirinya. Ia menjauhkan diri dan berkata lirih.

   "Dari sini ke bawah sudah tidak ada perangkap lagi, An-ko. Selamat jalan, An-ko dan terima kasih, engkau baik sekali. Nanti kalau Enci Siang Lan kembali, akan kuceritakan padanya tentang kunjunganmu." Li Ai menguatkan hatinya, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar agak gemetar karena haru dan sedih akan berpisah dari pemuda itu.

   "Baik, Ai-moi. Kurasa aku akan dapat bertemu dengannya di kota raja. Kalau aku bertemu dengannya, akan kuceritakan pembelaanmu kepada Ban-hwa-pang dari serbuan pengacau." Cu An mengambil sebuah kantung kecil yang biasa dia pergunakan untuk menyimpan uang emas, sebuah kantung kecil dari kain disulam indah dengan gambar sepasang kupu-kupu dan memberikannya kepada Li Ai.

   "Ai-moi, aku tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Harap engkau suka menerima hadiah dariku ini sebagai tanda mata atas persahabatan kita." Li Ai menerimanya dengan tangan gemetar, lalu berkata,

   "Aku pun tidak mempunyai apa-apa, An-ko, akan tetapi silakan ambil apa saja yang kausuka." Cu An mengamati gadis itu, lalu mengelus rambutnya yang hitam panjang lebat dan agak berikal itu.

   "Bolehkah aku mengambil hiasan rambutmu ini, Ai-moi?"

   "Tentu saja boleh, An-ko," jawab gadis itu dengan muka berubah kemerahan. Cu An mengambil tusuk sanggul yang berupa bunga teratai itu dan begitu dicabut sanggulnya terlepas dan rambut yang panjang itu terurai menutupi kedua pundak Li Ai.

   "Alangkah indah rambutmu, Ai-moi," Cu An mengelus rambut itu dengan mesra. Selama hidupnya baru sekali ini Li Ai merasa dicinta pria, sebaliknya juga Cu An baru sekali ini merasa dekat sekali dengan wanita. Keduanya salah tingkah dan merasa canggung, jantung berdebar tegang dan tidak tahu harus berkata dan berbuat apa.

   "Nah, selamat tinggal, Adikku sayang."

   "Selamat jalan, An-ko." Kedua tangan yang saling berpegang itu merenggang dan perlahan-lahan terlepas ketika Cu An mulai melangkah meninggalkan Li Ai. Setelah mengikuti bayangan pemuda yang menuruni lereng terakhir itu sampai bayangan itu lenyap barulah Li Ai tidak dapat menahan tangisnya.

   Ia menangis sedih, berjalan mendaki bukit sambil menangis. Ia teringat akan keadaan dirinya, yakin bahwa ia tidak akan mungkin dapat hidup berjodoh dengan Cu An, pemuda yang telah merebut cintanya. Ia teringat akan Bong Kim atau Bong Kongcu, putera Hartawan Bong di kota raja, pria pertama yang mengaku cinta dan melamarnya sebagai isteri. Mula-mula ia memang tertarik, akan tetapi setelah pemuda itu diberitahu bahwa ia bukan perawan lagi, Bong Kim malah menghinanya dan memandang rendah kepadanya dan hanya ingin mengambilnya sebagai seorang selir. Karena ia tidak mencinta Bong Kim, maka sikap Bong Kim itu tidak begitu menyakitkan hatinya, apalagi pemuda hartawan itu telah menerima hajaran keras dari Hwe-thian Mo-li.

   Akan tetapi ia benar-benar jatuh cinta kepada Bouw Cu An. Kalau sampai Bouw Cu An nanti memperlihatkan sikap seperti Bong Kim, ia tidak akan kuat menerimanya. Lebih baik mati saja! Karena itu, sebaiknya kalau ia tidak melanjutkan hubungan cintanya dengan Bouw Cu An. Bahkan, sebaiknya kalau ia tidak saling mencinta dengan pria manapun juga agar jangan sampai tersiksa hatinya kelak. Pemuda mana yang akan mau menerima jodoh seorang gadis yang bukan perawan lagi? Ah, betapa tololnya dan tidak adilnya laki-laki! Ia bukan perawan lagi bukan karena kesalahannya, bukan karena kehendaknya, melainkan karena terpaksa! Orang bernasib buru sepertinya bukannya dikasihani, malah dihina, direndahkan, dan diejek!

   Bagaimana sebaliknya kalau pria? Berapa banyaknya laki-laki yang ketika menikah bukan perjaka lagi, dan hal itu pun terjadi karena dia sengaja, karena kesalahannya, bukan karena ada yang memaksa, akan tetapi kalau laki-laki tidak ada yang menghina atau menyalahkannya! Betapa tidak adilnya ini. Pikiran seperti ini mengganggu kepalanya ketika ia mendaki pulang ke perkampungan Ban-hwa-pang sehingga setelah tiba di rumah, ia merasa pening dan segera merebahkan diri tidur dengan muka masih ada bekas air mata. Sementara itu, Bouw Cu An yang menuruni bukit itu pun dilanda perasaan campur aduk.

   Ada rasa gembira dan bahagia karena dia merasa benar bahwa dia telah jatuh cinta kepada Kui Li Ai dan dia merasa bahwa gadis itu pun membalas cintanya. Mereka berdua saling mencinta dan alangkah akan bahagianya kalau kelak dia dapat menjadi jodoh, menjadi suami gadis yang baginya paling cantik menarik di antara semua wanita di dunia ini. Akan tetapi perasaan bahagia ini dinodai ingatannya akan ayahnya. Ayahnya mempunyai niat memberontak berarti ayahnya mempunyai watak khianat terhadap pemerintah. Sebaliknya, Kui Li Ai adalah puteri tunggal mendiang Kui Ciang-kun, seorang perwira tinggi yang patriotik, seorang pahlawan yang gagah perkasa dan dihormati karena setianya kepada pemerintah.

   Kalau kemudian Li Ai mengetahui bahwa ayahnya seorang pengkhianat, apakah gadis itu sudi menjadi mantu pengkhianat? Ingatan ini membuat hati Cu An merasa berat dan sedih sekali. Dia mengambil keputusan untuk menentang ayahnya sendiri, untuk berusaha sekuatnya menyadarkan keinginan ayahnya yang hendak memberontak itu. Bagaimanapun juga, ayahnya telah mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi dari kaisar, diangkat menjadi penasihat Kaisar dalam urusan hubungan dengan para suku lain di luar daerah kekuasaan kerajaan Beng. Dengan keputusan hati yang tetap, pemuda itu lalu mempercepat perjalanannya menuju ke kota raja. Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan memasuki kota raja.

   Jantungnya berdebar juga ketika ia memasuki kota raja yang sudah dikenalnya dengan baik itu. Sudah lama ia merasa rindu sekali kepada Ong Lian Hong, adik seperguruan atau adik angkatnya sendiri, puteri dari gurunya. Dulu, ia tidak jadi singgah di rumah adiknya itu karena bagaimanapun juga, ia masih merasa tidak enak untuk bertemu dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong yang pendekar Kun-lun-pai dan kini menjadi suami Ong Lian Hong itu. Ia pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu. Sim Tek Kun merupakan pria pertama yang dicintanya, akan tetapi kemudian dia mengetahui bahwa Sim Tek Kun adalah pemuda yang sudah dijodohkan dengan Ong Lian Hong sejak mereka kecil dan ternyata keduanya juga jatuh cinta setelah bertemu pada saat mereka telah dewasa.

   Bahkan ia sendiri yang mendorong keduanya dapat saling bertemu dan berjodoh! Biarpun ia melepas cinta pertamanya itu dengan rela, namun tetap saja ada bekas luka dalam hatinya, walau kini luka itu sudah mengering. Ia merasa amat rindu kepada Ong Lian Hong dan kini ia tidak dapat menahan lagi rasa rindunya. Ia menekan perasaan tegangnya, lalu setelah mengambil keputusan, pada siang hari itu ia melanjutkan langkahnya langsung saja ke istana Pangeran Sim Liok Ong, di mana tentu saja Ong Lian Hong tinggal bersama suaminya, putera pangeran itu. Penjaga istana Pangeran Sim tentu saja tidak mengenalnya. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri sebagai Hwe-thian Mo-li dan ingin bertemu dengan suami isteri Sim Tek Kun, dua orang perajurit itu terkejut dan cepat memberi hormat lalu mempersilakan Siang Lan duduk menanti di dalam gardu penjagaan karena mereka hendak melaporkan ke dalam istana.

   Tak lama kemudian, Siang Lan melihat Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun berlari-larian keluar dari dalam istana menuju ke gardu penjagaan dekat pintu gerbang. Ia bangkit berdiri dan keluar dari gardu menyambut mereka. Hatinya terharu sekali ketika ia melihat Lian Hong masih tetap cantik dan anggun, akan tetapi agak gemuk dan setelah dekat, ia gembira sekali melihat bahwa adiknya itu ternyata agak gendut, tanda bahwa Ong Lian Hong telah mengandung! Mungkin baru beberapa bulan sehingga tidak tampak terlalu besar, namun ia dapat menduga bahwa adiknya itu telah hamil!

   "Enci Lan......!!" Lian Hong berlari dan mengembangkan kedua lengannya.

   "Hong-moi!" Siang Lan juga menyambut dan keduanya berangkulan, dan Lian Hong menangis terisak-isak.

   "Hushh......! Lian Hong, kenapa pertemuan menggembirakan ini kausambut dengan tangis?" kata Siang Lan tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah.

   "Enci...... maafkan aku......" Tiba-tiba Lian Hong merasa lengannya dipegang suaminya dan tahulah ia bahwa suaminya melarang ia membicarakan urusan lama yang hanya akan menimbulkan singgungan dalam hati, maka ia melanjutkan dengan maksud lain.

   
🎋😀

   
"......maafkan kami tidak tahu akan kunjunganmu sehingga lambat menyambutmu."

   "Aih, tidak apa-apa, Adikku. Aku pun tidak memberi kabar lebih dulu, bagaimana kalian bisa tahu?"

   "Hwe-thian Mo-li, sungguh kami merasa bahagia sekali dapat menerima kunjunganmu!" kata Sim Tek Kun dengan ramah dan gembira.

   "Kun-lun Siauw-hiap, bagaimana keadaan kalian? Engkau menjaga Adikku dengan baik-baik, bukan?" kata pula Hwe-thian Mo-li dan suaranya terdengar biasa karena hatinya kini sudah tenteram melihat bahwa mereka berdua agaknya juga tidak ingin bicara tentang masa lalu.

   "Kami dalam keadaan baik, terima kasih. Mari kita bicara di dalam saja. Hong-moi, ajak Encimu masuk ke dalam."

   "Mari, Enci Lan!" Lian Hong lalu menggandeng tangan Siang Lan dan mereka berdua lalu berjalan menuju ke istana Pangeran Sim, diikuti oleh Sim Tek Kun dari belakang. Setelah oleh Lian Hong encinya itu dipertemukan dengan Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya, Lian Hong dan Sim Tek Kun lalu mengajak Siang Lan masuk ke dalam dan di ruangan dalam mereka bertiga bercakap-cakap dengan gembira.

   "Sudah berapa bulan kandunganmu, Lian Hong?" Lian Hong menundukkan muka memandang ke arah perutnya, mukanya berubah kemerahan dan tangan kirinya mengelus perut, mengerling sambil tersenyum kepada suaminya lalu menjawab,

   "Dua bulan lebih, Enci Lan."

   "Mudah-mudahan anakmu yang pertama laki-laki, Adik Hong!"

   "Nona Nyo Siang Lan, sungguh kami berdua merasa beruntung sekali dapat menerima kunjunganmu ini. Akan tetapi kalau boleh kami mengetahui, apakah selain kunjungan persaudaraan, kedatanganmu ini ada hubungannya dengan undangan Jenderal Chang Ku Cing?"

   "Aih, benar sekali! Bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Sim Kongcu?"

   "Wah, kenapa sih kalian menggunakan sebutan seperti orang asing begitu? Aku jadi merasa tidak enak mendengarnya. Kun-ko, dan Lan-ci, kenapa kalian tidak menyebut seperti kakak dan adik saja?" tegur Lian Hong sambil tertawa. Wanita muda ini maklum bahwa terdapat kecanggungan di antara dua orang yang dulu saling memiliki hubungan batin itu, maka ia lalu mencairkan kekakuan dan kecanggungan itu. Sim Tek Kun dan Nyo Siang Lan tertawa mendengar ini.

   "Nah, kalau engkau sudah ditegur oleh isterimu yang galak ini, lalu bagaimana sikapmu, Kun-ko?" kata Siang Lan, menyebut Kun-ko (Kakak kun) tanpa canggung karena memang ia sudah lama mengenal Sim Tek Kun, bahkan sebelum Lian Hong mengenal putera pangeran itu. Sim Tek Kun tertawa.

   "Ha-ha, memang aku yang bersalah, Lan-moi. Sepantasnya memang kita tidak bersikap sungkan dan asing satu sama lain. Bukankah kita telah menjadi lebih akrab daripada sekadar teman, kini dapat dibilang menjadi keluarga? Isteriku adalah adik angkatmu, maka aku pun berarti saudaramu pula." Percakapan menjadi lebih ramah dan akrab. Siang Lan lalu menceritakan maksud kunjungannya ke kota raja, menjawab pertanyaan Tek Kun tadi.

   "Sesungguhnya memang benar bahwa Paman Jenderal Chang Ku Cing mengutus Saudara Chang Hong Bu berkunjung ke Ban-hwa-kok dan mengundangku agar aku membantu dia melakukan penyelidikan dan menangkap para pembunuh yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar. Karena kami di Ban-hwa-kok sedang membangun, maka aku minta Bu-ko, maksudku saudara Chang Hong Bu untuk kembali dulu ke kota raja, kemudian aku menyusul setelah pekerjaan di sana selesai. Setelah memasuki kota raja, sebelum menghadap Paman Jenderal Chang Ku Cing, aku ingat kepada kalian, maka aku langsung saja berkunjung ke sini lebih dulu. Kalian tentu lebih tahu apa yang telah terjadi di kota raja sehingga Paman Jenderal Chang perlu untuk mengundang dan minta bantuanku." Ong Lian Hong menjawab,

   "Paman Jenderal Chang Ku Cing juga sudah mengundang kami berdua dan minta bantuan kami, juga menanyakan alamatmu kepada kami. Kami hanya mengira-ngira saja di mana adanya dirimu, Enci Lan, karena kami telah mendengar tentang engkau yang membasmi gerombolan Ban-hwa-kok dan memimpin perkumpulan itu. Ada pun tentang pembunuhan-pembunuhan itu, memang aneh, dan agaknya suamiku dapat bercerita lebih banyak." Siang Lan memandang Tek Kun.

   "Apakah yang telah terjadi, Kun-ko?" Tek Kun menghela napas panjang sebelum menjawab.

   "Telah terjadi pembunuhan atas diri enam orang pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar dan melihat cacat yang diderita enam orang itu mudah diketahui bahwa pembunuhnya tentu ada tiga orang. Penyebab kematian itu ada tiga macam, jadi mungkin setiap orang pembunuh telah membunuh dua orang pejabat tinggi. Melihat dari cacat yang menyebabkan kematian, dan cara mereka membunuh tanpa diketahui seorang pun petugas jaga, padahal yang dibunuh adalah pejabat-pejabat tinggi yang rumahnya dijaga, maka jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi."

   "Hemm, apakah bukan orang-orang Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw yang melakukannya? Ingat, dulu pun yang melakukan pemberontakan adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak sekali tokoh lihai."

   "Jenderal Chang juga menduga demikian. Akan tetapi anehnya, begitu diadakan pembersihan dan seluruh kota raja digeledah, tidak dapat ditemukan jejak para pembunuh itu. Padahal kalau ada orang-orang Pek-lian-kauw bersembunyi di kota raja, sudah pasti dapat diketahui dan ditangkap karena penggeledahan dilakukan sampai ke pelosok-pelosok. Mereka itu seolah menghilang dan setelah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dan pemerintah mengadakan pembersihan dan pencarian, pembunuhan itu pun berhenti tiba-tiba.

   "Kami berdua juga sudah membantu sedapat kami, menyelidiki seluruh tempat, bahkan beberapa malam kami bergadang dan meronda secara diam-diam, namun tidak menemukan apapun. Melihat penjagaan yang dilakukan atas perintah Jenderal Chang, tidak mungkin ada orang asing dapat keluar masuk pintu gerbang kota raja seenaknya saja."

   "Hemm, kalau begitu, apakah tidak mungkin kalau ada pengkhianatan di dalam kota raja yang sengaja menyembunyikan para pembunuh itu?" tanya Hwe-thian Mo-li.

   "Persis, itu pun telah kami pikirkan. Dan mengingat bahwa hanya rumah-rumah pejabat yang amat tinggi kedudukannya saja yang terbebas dari penggeledahan, maka andaikata ada pengkhianat, dia pasti seorang pejabat tinggi. Akan tetapi siapa? Siapakah pejabat tinggi yang hendak mengkhianati kaisar dan bersekutu dengan pihak pemberontak?"

   "Seorang pengkhianat yang bergerak dengan diam-diam dan rahasia jauh lebih berbahaya daripada pemberontakan yang bergerak dengan terang-terangan," kata Siang Lan.

   "Apakah setelah pembunuhan enam orang pejabat tinggi itu, lalu berhenti dan tidak terjadi pembunuhan lagi?"

   "Itulah masalahnya maka amat sukar menyelidiki siapa dalang pembunuhan-pembunuhan itu. Setelah terjadi pembunuhan enam orang pejabat tinggi itu dan Jenderal Chang melakukan penyelidikan dengan ketat, pembunuhan itu berhenti dan tidak pernah terjadi lagi kerusuhan apalagi pembunuhan," kata Sim Tek Kun.

   "Hemm, agaknya dalangnya memang cerdik. Kalau menurut aku, sebaiknya kalau kita pancing dia keluar, dengan jalan memperlemah penjagaan dan penyelidikan. Kalau para pembunuh itu menganggap penjagaan menjadi lemah kemungkinan besar mereka akan bergerak lagi dan itulah kesempatan bagi kita untuk menangkapnya."

   "Akan tetapi hal itu membahayakan keselamatan para pejabat tinggi!" seru Ong Lian Hong.

   "Sebaiknya kalau engkau menghadap Jenderal Chang dan membicarakan hal ini dengan dia, Lan-moi. Hanya dialah yang berhak mengambil keputusan," kata Tek Kun.

   "Akan tetapi nanti dulu, Enci Lan. Jangan tergesa-gesa meninggalkan aku. Aku masih rindu. Biarlah engkau tinggal dulu barang sehari dua hari di sini. Aku ingin mengadakan pesta keluarga untuk menyambutmu. Setelah itu baru engkau pergi menemui Jenderal Chang dan mulai bekerja!" kata Lian Hong dan atas permintaan adik angkatnya ini tentu saja Siang Lan tidak mampu menolak. Ketika berada berdua saja di dalam kamar mereka, Lian Hong berkata kepada suaminya.

   "Kun-ko, aku ingin mengadakan pesta keluarga dan mengundang Chang Hong Bu untuk datang dan ikut dalam pesta makan untuk menyambut kunjungan Enci Lan." Mendengar sesuatu yang agak aneh dalam nada suara isterinya, Tek Kun memandang wajah Lian Hong dan alisnya berkerut.

   "Eh, Hong-moi, apa artinya ini? Apa maksudmu mengundang Chang Hong Bu ke dalam pesta keluarga kita? Dia itu tidak mempunyai hubungan keluarga dengan kita atau dengan Siang Lan!" Isterinya tersenyum manis.

   


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 11

   "Aih, suamiku! Apakah engkau tidak dapat menduga apa maksudku? Kita sudah tahu bahwa Chang Hong Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa. Dia keponakan Jenderal Chang, murid Siauw-lim-pai yang tinggi ilmu silatnya, juga seorang pemuda terpelajar dan baik budi, tampan pula. Tidakkah engkau pikir dia itu cocok sekali kalau menjadi pasangan hidup Enci Lan?"

   "Oh-oh......! Maksudmu, engkau hendak main menjadi comblang? Isteriku, jangan kau gegabah. Bagaimana kalau Siang Lan tidak setuju? Ingat, ia galak sekali, jangan-jangan ia akan marah kepadamu karena ulahmu yang nakal ini!"

   "Kun-ko, apakah engkau tidak melihat wajah Enci Lan ketika ia bercerita tentang pertemuannya dengan Chang Hong Bu di Lembah Selaksa Bunga? Kemudian ia menceritakan betapa bersama Chang Hong Bu ia dikeroyok orang-orang lihai dari Pek-lian-kauw. Ketika menceritakan tentang kegagahan Chang Hong Bu, kulihat wajahnya berseri dan sinar matanya masih membayangkan kekaguman terhadap pemuda pendekar Siauw-lim-pai itu!

"Nah, berdasarkan kenyataan ini, salahkah aku kalau aku sekarang berusaha untuk saling mendekatkan mereka? Siapa tahu mereka akan dapat menjadi jodoh yang serasi dan bahagia, seperti kita, suamiku!"

   Melihat pandang mata Lian Hong membayangkan keharuan dan kesedihan hati, Tek Kun maklum apa yang dipikirkan isterinya. Isterinya sudah dia beritahu bahwa dahulu, sebelum dia bertemu dengannya, dia telah mempunyai hubungan batin dengan Siang Lan. Hwe-thian Mo-li mencintanya, akan tetapi sengaja mengalah ketika mengetahui bahwa selain dia tunangan Lian Hong, juga saling mencinta dengan tunangannya itu. Mendengar itu, hati Lian Hong terharu dan sedih sekali. Ia merasa iba kepada Siang Lan yang amat dikasihinya seperti kakaknya sendiri. Maka kalau kini ia berusaha untuk membahagiakan hati Siang Lan dan mencoba mencarikan jodohnya yang setimpal, apa salahnya hal itu dicobanya? Dia merangkul isterinya.

   "Baiklah, isteriku, lakukanlah semua rencana baikmu itu." Lian Hong merasa girang dan mencium pipi suaminya.

   "Engkau memang suami yang paling baik, Kun-ko!" Demikianlah, malam itu diadakan pesta makan keluarga. Karena yang berpesta itu orang-orang muda dan di situ hadir pula Chang Hong Bu, maka Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya setelah selesai makan lalu masuk ke dalam, tidak ingin mengganggu kegembiraan pertemuan orang-orang muda itu.

   Kini tinggal Sim Tek Kun, Ong Lian Hong, Chang Hong Bu, dan Nyo Siang Lan berempat yang bercakap-cakap. Setelah makan selesai mereka pindah duduk di ruangan tamu dan melanjutkan percakapan di situ. Siang Lan juga terkejut namun gembira ketika melihat kedatangan Hong Bu yang diundang untuk ikut berpesta. Akan tetapi ia tidak berprasangka karena ia tahu bahwa hubungan antara keponakan Jenderal Chang dan Sim Tek Kun tentu akrab, maka undangan itu pun dianggapnya wajar saja. Sebaliknya, Hong Bu gembira sekali karena memang dia telah jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li sejak pertama kali berjumpa.

   "Wah, kalau aku tahu engkau sudah berada di kota raja, Lan-moi, aku tentu segera menemuinya di sini! Paman Jenderal Chang sudah amat menanti-nanti kedatanganmu," demikian Hong Bu berkata sambil menatap wajah yang jelita itu.

   "Sebetulnya begitu tiba di kota raja, aku ingin segera menghadap Paman Jenderal Chang, Bu-ko, akan tetapi ini, Hong-moi dan Kun-ko menahan aku."

   "Habis, kami sudah amat kangen sih!" kata Lian Hong dan mereka berempat bercakap-cakap tentang keadaan di kota raja.

   "Keadaan di kota raja memang aman-aman saja akan tetapi paman Jenderal Chang masih tetap merasa penasaran. Setelah melakukan penggeledahan dengan cermat di kota raja dan hasilnya tidak ada, kini penyelidikan mulai diarahkan keluar kota raja dan agaknya Paman Chang telah mempunyai rencana untuk melakukan gerakan pembersihan di tempat-tempat tertentu. Agaknya Paman Chang hanya menanti kedatanganmu, Lan-moi, untuk mulai dengan gerakan pembersihan itu. Oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau segera menghadap ke sana."

   Mereka lalu memutuskan untuk besok pagi pergi menghadap Jenderal Chang. Hong Bu berjanji untuk menyampaikan dulu kepada pamannya akan kedatangan Siang Lan dan besok pagi dia akan datang menjemput dan mereka berempat akan bersama-sama menghadap Jenderal Chang. Pertemuan ramah tamah dan akrab itu membuat hati Chang Hong Bu semakin tertarik kepada Siang Lan. Hal ini diketahui oleh Lian Hong dan suaminya yang menjadi girang sekali, juga dirasakan oleh Siang Lan sendiri.

   Sebetulnya ia merasa bersyukur bahwa seorang pemuda perkasa seperti Chang Hong Bu menaruh perhatian terhadap dirinya, akan tetapi ia masih sangsi. Dapatkah ia menjalin asmara dengan seorang pria? Sesungguhnya, pada saat itu hatinya sudah lebih condong kepada Paman Bu-beng-cu, laki-laki yang telah melepas banyak sekali budi kebaikan kepadanya, laki-laki yang telah menumbuhkan semangat hidupnya, dan satu-satunya laki-laki yang amat dikaguminya. Akan tetapi, kalau mengingat keadaan dirinya yang sudah ternoda, ia takut untuk menyatakan cinta kepada seorang pria. Bagaimana kalau laki-laki seperti Chang Hong Bu mengetahui bahwa ia bukan perawan lagi? Akan berubahkan sikapnya, berbalik merasa jijik dan tidak cinta lagi?

   Ah, betapa dia akan merasa terhina, marah, dan mungkin saja ia berbalik menjadi amat benci kepada Hong Bu! Panglima besar Jenderal Chang Ku Cing menerima kedatangan Nyo Siang Lan yang ditemani Chang Hong Bu, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong dengan wajah berseri gembira. Jenderal yang usianya sudah limapuluh dua tahun itu masih tampak gagah perkasa, dengan tubuh tinggi tegap, wajahnya penuh wibawa dengan kumis dan jenggot pendek dibentuk rapi, sepasang matanya yang tajam mengandung keteguhan seorang pemimpin. Akan tetapi dia tampak ramah ketika menyambut kedatangan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang memang dia kagumi.

   "Selamat datang, Hwe-thian Mo-li! Kami sudah lama menunggu kedatanganmu!"

   "Maafkan saya, Paman. Karena masih harus membenahi Lembah Selaksa Bunga, maka kedatangan saya agak terlambat," kata Siang Lan.

   "Kami kira, kalian tentu sudah mendengar dengan jelas akan peristiwa pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi kerajaan sekitar sebulan lebih yang lalu. Sejak terjadinya pembunuhan terhadap enam orang pejabat itu, sampai kini tidak ada lagi pembunuhan. Kami sudah mengerahkan semua tenaga untuk membongkar dan mencari pembunuhnya, namun selama ini kami gagal dan belum dapat menangkap para pembunuhnya.

   "Tiga orang pembunuh itu jelas merupakan orang-orang yang amat tinggi ilmu silatnya, dan tentu mereka itu mempunyai hubungan dengan pihak yang berkhianat terhadap kerajaan. Sayang sampai sekarang kami belum berhasil membongkar rahasia itu. Agaknya pihak mereka juga ketakutan dan berdiam diri tidak membuat gerakan sehingga sulit untuk dilacak."

   "Paman, seperti telah saya laporkan kemarin, bagaimana pendapat Paman tentang usul Hwe-thian Mo-li untuk mengendurkan penjagaan dan memberi kesempatan serta memancing para pembunuh agar mereka berani beraksi kembali? Dengan demikian kita dapat melacaknya," kata Hong Bu kepada pamannya. Jenderal Chang mengangguk-angguk.

   "Usul yang dikemukakan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan memang cukup baik. Akan tetapi kami kira hasilnya tidaklah sepadan dengan resikonya. Kalau kita menggunakan siasat mengendurkan penjagaan, hal ini mungkin saja mudah diketahui mereka karena seperti kami katakan tadi, para pembunuh itu tentu mempunyai hubungan persekutuan dengan orang dalam yang akan mengetahui pula tentang siasat kita mengendurkan penjagaan.

   "Padahal resikonya cukup berat. Bagaimana kalau mereka itu serentak bergerak melakukan pernbunuhan-pembunuhan lagi? Tidak, kami kira siasat itu terlalu berbahaya untuk dilakukan. Akan tetapi kami telah mendapatkan titik-titik terang.

   "Penyelidikan kami telah dapat menemukan tempat persembunyian gerombolan yang mencurigakan. Mungkin saja mereka itu adalah gerombolan Pek-lian-kauw atau Ngo-lian-kauw yang memperkuat diri dan siap di dalam hutan luar kota raja untuk sewaktu-waktu apabila saatnya tiba, akan mengadakan penyerbuan besar-besaran ke kota raja.

   "Nah, penemuan inilah yang lebih penting! Kita harus mendahului mereka, memukul mereka dan menghancurkan mereka sebelum mereka sempat bergerak. Dan untuk membantu para perwira tinggi memimpin pasukannya menyerbu dan membasmi gerombolan itu, kami minta agar kalian berempat membantu."

   Tentu saja empat orang muda itu menyatakan kesanggupan mereka untuk membantu. Mereka berlima lalu mempelajari kedudukan gerombolan yang diketahui bermarkas dalam hutan di sebelah barat kota raja, di sebuah bukit yang berhutan lebat. Mereka mempelajari gambaran peta yang telah dipersiapkan oleh Jenderal Chang dan menurut Jenderal Chang, para penyelidiknya menaksir bahwa kekuatan gerombolan itu terdiri dari sekitar empatratus orang yang telah terlatih dengan baik dan rata-rata menguasai ilmu silat.

   "Mereka adalah sisa-sisa para anggauta Ngo-lian-kauw. Para pemimpin Ngo-lian-kauw, yaitu Ngo-lian Heng-te yang dahulu berkedudukan di Poa-teng, Hopak, telah dibasmi oleh Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Kini agaknya sisa para anggauta dan pimpinan Ngo-lian-kauw mengadakan gerakan pemberontakan, bergabung dan diperkuat oleh Pek-lian-kauw."

   Setelah mereka mempelajari peta itu dengan seksama, Jenderal Chang Ku Cing lalu memanggil para perwira tinggi yang menjadi pembantunya. Mereka semua juga sudah diberi penjelasan tentang rencana penyerbuan itu dan semua perwira merasa gembira sekali dan berbesar hati ketika mendengar bahwa mereka, dalam penyerbuan itu akan dibantu oleh dua pasang orang muda yang sudah mereka ketahui kehebatannya.

   Terutama sekali dengan adanya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan di pihak mereka, hati mereka menjadi lega dan bersemangat. Tadinya mereka memang agak merasa khawatir mendengar bahwa gerombolan yang akan mereka serbu dipimpin oleh orang-orang Ngo-lian-kauw dan terutama Pek-lian-kauw yang sudah terkenal amat lihai itu. Siang Lan membantu Sim Tek Kun membujuk Lian Hong agar wanita yang sedang mengandung, walaupun baru dua bulan lebih itu, tidak usah ikut membantu penyerbuan pasukan ke hutan tempat bermarkas gerombolan. Akhirnya Lian Hong mau mengalah dan tinggal di rumah, sedangkan mereka bertiga, Siang Lan, Tek Kun, dan Hong Bu, menemani lima orang perwira tinggi memimpin sekitar tujuhratus orang perajurit melakukan penyerbuan ke hutan itu pada pagi-pagi sekali.

   Setelah berhasil melakukan pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar, Pangeran Bouw Ji Kong menghentikan aksi itu, bahkan segera menyelundupkan tiga orang sakti yang menjadi sekutunya dan yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu keluar dari kota raja. Mereka adalah Hwa Hwa Hoat-su, datuk Pek-lian-kauw, Hongbacu, tokoh Mancu utusan Nurhacu pemimpin bangsa Mancu, dan Tarmalan, datuk atau dukun bangsa Hui yang menjadi utusan bangsa Hui yang mendukung gerakan Pangeran Bouw Ji Kong yang ibunya juga puteri kepala suku bangsa Hui. Pangeran Bouw Ji Kong tidak mengadakan gerakan, maklum bahwa Jenderal Chang yang diserahi tugas menangkap para pembunuh mengadakan penjagaan yang amat ketat.

   Akan tetapi diam-diam Pangeran Bouw masih mengadakan hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw, dan persekutuan ini mengadakan pemusatan kekuatan baru di dalam hutan di Bukit Cemara yang terletak di sebelah barat kota raja. Bukit Cemara itu penuh dengan hutan lebat, maka amat baik dijadikan markas dan tempat persembunyian. Apalagi di bukit itu terdapat banyak guha-guha yang oleh para anggauta Pek-lian-kauw telah dibuat terowongan-terowongan. Juga di situ dibuat perangkap dan jebakan yang berbahaya karena para anggauta Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw memang ahli dalam membuat jebakan-jebakan dan penyebaran racun. Menurut Pangeran Bouw Ji Kong, pihak Pek-lian-kauw sudah dipesan agar jangan membuat gerakan lebih dulu karena pertahanan di kota raja amat kuat.

   Dianjurkan agar pihak pemberontak itu menanti tanda darinya karena dia hendak menyusun siasat baru agar keadaan di kota raja kacau dan dalam keadaan kacau di mana pertahanannya melemah, barulah pasukan Pek-lian-kauw akan melakukan penyerbuan. Akan tetapi pangeran Bouw Ji kong terlalu memandang remeh kecerdikan Jenderal Chang Ku Cing. Secara diam-diam jenderal yang pandai dan berpengalaman ini mengalihkan perhatiannya ke luar kota raja, menyebar para penyelidik yang pilihan sehingga akhirnya dia mendapatkan keterangan bahwa bukit Cemara menjadi sarang para gerombolan pemberontak. Bahkan tanpa adanya kebocoran gerakan pembersihan yang dilakukan pagi hari itu berjalan dengan sempurna. Para pemberontak baru tahu setelah bukit itu dikepung pasukan kerajaan!

   Bukit Cemara itupun geger! Terjadi pertempuran di seluruh permukaan bukit. Pertempuran mati-matian yang amat dahsyat, campur aduk sehingga kedua pihak tidak mungkin dapat mempergunakan senjata anak panah karena besar kemungkinan akan mengenai kawan sendiri. Banyak perajurit kerajaan terjebak perangkap dan berjatuhan, ada pula yang terkena ledakan dari alat-alat peledak yang dipasang orang-orang Ngo-lian-kauw. Akan tetapi karena jumlah pasukan kerajaan hampir dua kali lipat besarnya maka di pihak pemberontak lebih banyak lagi yang jatuh korban. Apalagi di situ ada Hwe-thian Mo-li, Sim Tek Kun, Chang Hong Bu yang membantu para perwira, mengamuk seperti tiga ekor naga sakti.

   Pangeran Bouw Ji Kong terkejut mendengar bahwa pasukan kerajaan menyerbu tempat yang dijadikan sarang kaum Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw di Bukit Cemara. Dia tentu saja mengetahui bahwa mereka itu adalah sisa para anak buah Pek-lian-kauw cabang Liauw-ning yang berada di sebelah timur Peking, dan sebagian lagi sisa anak buah Ngo-lian-kauw di Po-teng. Dia cukup cerdik sehingga pangeran itu tidak menaruh orang-orangnya di hutan itu, sehingga tidak perlu khawatir rahasianya bersekutu dengan mereka akan diketahui pemerintah. Kang-lam Jit-sian yang menjadi para jagoannya hanya dikenal sebagai para pengawal pribadinya.

   Bagaimanapun juga, Pangeran Bouw Ji Kong masih mengharapkan pertempuran itu akan merugikan pasukan kerajaan karena dia tahu bahwa di antara para pimpinan Pek-lian-kauw, terdapat beberapa orang pendeta Pek-lian-kauw yang sakti, di antaranya terdapat dua orang tokoh yang dikirim dari pusat Pek-lian-kauw, yang berjuluk Thian-te Lo-mo (Iblis Tua langit dan Bumi) terdiri dari dua orang kakek pendeta Pek-lian-kauw. Seorang berjuluk Thian Lo-mo (Iblis Tua langit) yang bermuka putih seperti kapur dan Tee Lo-mo (Iblis Tua bumi) yang bermuka hitam seperti arang. Sepasang kakek berusia sekitar enampuluh tahun ini merupakan pasangan yang amat hebat, selain memiliki ilmu silat tinggi juga mereka berdua mahir menggunakan ilmu sihir.

   Memang dua orang pendeta Pek-lian-kauw ini lihai bukan main. Ketika pasukan kerajaan datang menyerbu, mereka berdua mengamuk dan sepak terjang mereka menggiriskan semua orang. Bukan saja golok besar mereka itu bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk di angkasa, akan tetapi juga mereka berdua dapat mengadakan awan dan halilintar dari sihir mereka yang membuat para perajurit gentar dan banyak yang roboh oleh mereka. Akan tetapi tiba-tiba muncul tiga orang muda itu! Hwe-thian Mo-li sudah berkelebat dan pedang Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) di tangannya menyambar bagaikan halilintar, menangkis golok besar di tangan Thian Lo-mo.

   "Tranggg......!" Thian Lo-mo yang sedang mengamuk dan sudah membunuh delapan orang perajurit itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada halilintar menyambar dan goloknya terpental, tangan kanannya terasa panas sehingga hampir saja dia melepaskan gagang golok yang dipegangnya itu.

   Ketika dia melompat ke samping dan cepat memutar tubuh, dia berhadapan dengan seorang gadis cantik yang gagah perkasa. Gadis berusia sekitar duapuluh tiga tahun, tubuhnya padat ramping dan indah menggairahkan, rambutnya hitam panjang ikal mayang dengan anak rambut berjuntai lembut di dahi dan kedua pelipisnya. Matanya bagaikan sepasang bintang kejora. Hidungnya mancung kecil dan mulutnya merupakan daya tarik yang amat menggairahkan. Seorang gadis yang benar-benar jelita namun juga tampak gagah berwibawa. Thian Lo-mo sudah mendengar akan nama besar Hwe-thian Mo-li, maka begitu berhadapan dengan Siang Lan dan merasakan tangkisan pedang Lui-kong-kiam tadi, dia membentak.

   "Engkaukah yang berjuluk Hwe-thian Mo-li?"

   "Benar, aku Hwe-thian Mo-li yang telah datang untuk membasmi pemberontak jahat macam kalian!"

   "Perempuan hina! Engkau telah membunuh sahabat-sahabat kami Ngo-lian Heng-te dan beberapa orang saudara kami dari Pek-lian-kauw sekarang rasakan pembalasan kami! Tee Lo-mo, ini musuh kita Hwe-thian Mo-li!" teriak Thian Lo-mo dengan marah sekali.

   Pada saat itu, seorang kakek lain yang bermuka hitam arang datang menerjang dengan golok besarnya. Hwe-thian Mo-li cepat mengelak dan ia pun segera menggerakkan pedangnya, menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu. Ternyata mereka berdua itu tangguh sekali setelah maju bersama. Bukan hanya ilmu golok mereka yang amat kuat, namun juga tangan kiri mereka seringkali melancarkan pukulan dorongan jarak jauh yang mendatangkan angin kuat dan menghembuskan uap.

   Uap putih keluar dari telapak tangan Thian Lo-mo dan uap hitam keluar dari tangan Tee Lo-mo! Betapa pun lihainya, Siang Lan terdesak oleh pengeroyokan dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dua orang pemuda sudah menerjang maju membantu Siang Lan. Mereka adalah Sim Tek Kun dan Chang Hong Bu yang tadi mengamuk merobohkan banyak anak buah Pek-lian-kauw dan melihat betapa Siang Lan menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Pek-lian-kauw yang lihai, mereka berdua menerjang maju dan menyerang Thian Lo-mo!

   "Trang-cringgg......!" Thian Lo-mo terhuyung ke belakang ketika dia menangkis dua sinar pedang itu dengan goloknya. Dia terkejut sekali akan tetapi segera menghadapi serangan dua orang pemuda yang memiliki gerakan pedang amat hebat. Diam-diam dia mengeluh karena dia benar-benar menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh. Melawan seorang saja dari mereka sudah cukup berat apalagi mereka itu maju bersama. Sim Tek Kun adalah seorang murid Kun-lun-pai, sedangkan Chang Hong Bu adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai!

   Tentu saja Thian Lo-mo terdesak hebat dan hanya dapat melindungi diri dengan putaran golok besarnya sambil terus bergerak mundur. Sementara itu, ditinggalkan seorang diri melawan Hwe-thian Mo-li yang memiliki ilmu pedang amat dahsyat itu, Tee Lo-mo juga segera terdesak hebat. Pengerahan tenaga sihir dan permainan goloknya semua dikeluarkan namun sia-sia belaka, dia tidak mampu menghindarkan semua sambaran kilat halilintar dari pedang gadis itu dan setelah lewat duapuluh jurus, pedang Siang Lan menyambar lehernya dan Tee Lo-mo roboh dan tewas seketika! Siang Lan tidak mempedulikannya lagi dan cepat ia mencari dua orang pemuda yang tadi bertanding mengeroyok Thian Lo-mo. Tak jauh dari situ ia melihat dua orang itu baru saja merobohkan Thian Lo-mo yang tewas terkena sambaran pedang jago-jago muda dari Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai itu.

   Pertempuran berlangsung seru, akan tetapi setelah dua orang tokoh besar Pek-lian-kauw itu tewas, semangat para pemberontak menjadi lemah. Mereka masih melawan mati-matian dan bertahan sampai tengah hari, akan tetapi ketika satu demi satu para pimpinan mereka roboh dan banyak rekan-rekan mereka berjatuhan, mereka menjadi panik. Akhirnya, tak dapat mereka pertahankan lagi dan mulailah mereka melarikan diri cerai-berai. Ada yang mencoba untuk bertahan dalam terowongan-terowongan, ada pula yang melarikan diri menggunakan alat peledak yang mengeluarkan asap tebal. Akan tetapi, akhirnya paling banyak hanya seratus orang saja dari mereka yang berhasil lolos dan melarikan diri. Lainnya roboh tewas atau luka dan tertawan.

   Biarpun di pihak pasukan pemerintah ada pula yang gugur, namun pasukan pemerintah memperoleh kemenangan dalam pertempuran itu dan mereka bersorak gembira ketika membakar bekas-bekas sarang gerombolan di Bukit Cemara itu. Hampir semua pemimpin gerombolan tewas dalam pertempuran itu. Akan tetapi, diam-diam Hwe-thian Mo-li dan dua orang pemuda perkasa, Sim Tek Kun dan Chang Hong Bu, tiga para perwira tinggi yang memimpin pasukan pemerintah, kecewa karena mereka tidak menemukan para pembunuh yang dicari-cari oleh Jenderal Chang. Tadinya Siang Lan menduga bahwa dua orang Thian-te Lo-mo adalah pembunuh-pembunuh itu, akan tetapi setelah ia bersama Tek Kun dan Hong Bu menewaskan mereka,

   Ia menduga bahwa para pembunuh itu bukan mereka dan agaknya tidak ikut dalam gerombolan yang telah dibasmi itu. Biarpun demikian, Jenderal Chang Ku Cing merasa gembira akan keberhasilan operasi pembasmian gerombolan pemberontak itu. Hal ini setidaknya membuat para pemberontak menjadi jerih dan tidak berani main-main di kota raja. Dan dia pun tetap meningkatkan penjagaan karena siapa tahu, para pemberontak akan melakukan kekacauan seperti itu pula, ialah membunuhi para pejabat tinggi. Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan ditahan oleh Ong Lian Hong untuk sementara agar tinggal di rumah mereka. Selain Lian Hong merasa rindu kepada enci angkatnya itu, iapun mempunyai niat yang kuat untuk mendekatkan dan menjodohkan Nyo Siang Lan dengan Chang Hong Bu.

   Ia merasa bahwa pemuda keponakan Jenderal Chang itu merupakan jodoh yang tepat sekali bagi Nyo Siang Lan. Maka ia membujuk suaminya untuk menyetujui kalau mereka mengundang Hong Bu untuk datang bertamu dan bermain di rumah mereka agar memberi kesempatan sebanyaknya kepada dua orang muda itu untuk saling berkenalan lebih akrab lagi. Bahkan Sim Tek Kun terpaksa memenuhi permintaan yang sangat dari isterinya untuk diam-diam menghubungi Jenderal Chang Ku Cing dan mengajukan usul mereka untuk menjodohkan Chang Hong Bu dengan Nyo Siang Lan. Jenderal Chang Ku Cing dengan sendirinya merasa setuju sekali karena dia memang pengagum besar Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Dia menyatakan persetujuannya dan berjanji untuk membicarakan hal itu kepada keponakannya.

   "Enci Lan, aku ingin mengajakmu untuk mengunjungi Ibu kandungku dan kakek serta Nenekku. Maukah engkau?" Pada pagi hari itu Lian Hong berkata kepada Siang Lan setelah mereka sarapan pagi.

   "Kalian berdua pergilah, aku sendiri harus menghadap Paman Jenderal Chang yang kemarin memesan agar aku pagi ini berkunjung kepadanya karena ada urusan penting yang akan dibicarakan." Lian Hong tersenyum, maklum bahwa yang akan dibicarakan suaminya dan Jenderal Chang Ku Cing adalah urusan perjodohan antara Chang Hong Bu dan Nyo Siang Lan seperti yang mereka rencanakan.

   Akan tetapi ia diam saja karena hal itu masih mereka rahasiakan terhadap Siang Lan sendiri. Mereka masih khawatir kalau-kalau Siang Lan akan merasa tersinggung dan marah. Mereka menghendaki agar hubungan antara Siang Lan dan Hong Bu terjadi secara wajar dan timbul keakraban dan kasih sayang di antara mereka. Kalau sudah begitu keadaannya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengusulkan perjodohan tanpa menyinggung perasaan gadis yang keras hati itu.

   Siang Lan terkejut akan tetapi juga gembira dan tegang hatinya mendengar disebutnya ibu kandung Lian Hong. Ibu kandung Lian Hong berarti isteri mendiang gurunya, Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri!

   "Ah, aku akan merasa senang dan terhormat sekali bertemu dengan ibu kandungmu atau isteri mendiang Guruku, Hong-moi!" katanya.

   "Di mana beliau tinggal?"

   "Ibuku tinggal di rumah Kakekku, yaitu Jaksa Ciok Gun. Dahulu Kakekku adalah Jaksa di Hun-lam, akan tetapi sudah lama beliau pindah ke kota raja dan menjadi jaksa di daerah bagian selatan kota raja." Demikianlah, dengan gembira dua orang wanita itu lalu menuju ke bagian selatan kota raja, ke rumah Jaksa Ciok yang menjadi kakek Ong Lian Hong. Seperti kita ketahui, Ciok Bwe Kim, yaitu ibu kandung Ong Lian Hong, kini tinggal bersama ayahnya, Jaksa Ciok Gun itu.

   Mereka naik kereta karena Ong Lian Hong adalah mantu Pangeran Sim Liok Ong, jadi ia kini termasuk seorang wanita bangsawan yang tentu saja tidak pantas kalau melakukan perjalanan dengan jalan kaki! Dua orang wanita cantik itu disambut dengan gembira bukan main oleh keluarga Ciok. Jaksa Ciok sudah lama mendengar dan mengagumi nama besar Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, apalagi gadis perkasa itu adalah murid mantunya, mendiang Ong Han Cu. Juga Nyonya Ciok Bwe Kim yang kini telah berusia empatpuluh tahun lebih dan masih tampak cantik itu, merasa girang dan terharu sekali. Ia pun sudah banyak mendengar tentang Nyo Siang Lan, sebagai murid tersayang mendiang suaminya. Siang Lan dihormati dan disanjung, diterima dengan pesta makan keluarga sehingga gadis itu merasa senang dan berterima kasih.

   Ternyata bukan hanya mendiang gurunya saja yang baik terhadap dirinya, melainkan juga isteri gurunya dan keluarganya. Baru lewat tengah hari mereka berdua naik kereta meninggalkan gedung tempat tinggal Jaksa Ciok Gun untuk kembali ke rumah Pangeran Sim Liok Ong. Ketika kereta tiba di dekat lapangan terbuka di depan pasar, di seberang jembatan besar, Siang Lan melihat banyak orang berkerumun dan terdengar suara tambur dan canang dipukul seperti biasa dilakukan para penjual obat yang biasa mendemonstrasikan ilmu silat untuk menarik minat penonton agar suka membeli obat yang mereka tawarkan. Mendengar pukulan tambur dan canang yang berirama gagah dan mengandung tenaga, Siang Lan tertarik dan menyuruh kusir kereta menghentikan keretanya.

   Lian Hong tertawa melihat encinya seperti kanak-kanak hendak menonton penjual obat, akan tetapi ia pun ikut turun dan bergembira bersama Siang Lan menghampiri kerumunan orang banyak itu. Beberapa orang penonton memberi tempat kepada dua orang gadis itu di depan. Mereka menyingkir dengan sopan ketika melihat bahwa dua orang gadis jelita yang hendak menonton itu turun dari kereta dan melihat sikap mereka seperti gadis-gadis bangsawan. Siang Lan dan Lian Hong kini melihat dengan hati tertarik. Ternyata yang dijadikan tontonan itu adalah seorang gadis muda belia dan seorang kakek yang rambutnya sudah putih. Gadis itu cantik manis, usianya kitar tujuhbelas atau delapanbelas tahun, pakaiannya sederhana dan rapi serba ketat sehingga menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya yang laksana bunga sedang mulai mekar.

   Adapun kakek tentu sudah berusia sekitar enampuluh tiga tahun, wajahnya tampak ada garis-garis penderitaan, rambutnya putih semua, tampaknya lemah dan pakaiannya juga sederhana seperti pakaian petani. Kakek itulah yang menabuh canang, sedangkan gadis itu dengan gerakan gagah dan mengandung tenaga, menabuh tambur yang bunyinya seperti derap kaki pasukan atau seperti permainan barong-sai. Setelah melihat betapa banyak orang mengerumuninya, kakek itu memberi isyarat kepada si Gadis dan mereka menghentikan bunyi-bunyian itu. Kakek itu lalu memberi hormat sambil membungkuk ke empat penjuru. Mulailah orang-orang ramai bicara sendiri dan terdengar suara,

   "Mana obat yang dijualnya?" Setelah memberi hormat ke empat penjuru, terdengar suara kakek itu, suaranya lemah dan tidak lantang.

   "Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat. Sebelumnya kami berdua kakek dan cucu mohon maaf kepada Cu-wi. Kami bukan penjual obat, kami tidak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan dan dijual. Akan tetapi karena dalam melakukan perjalanan ini kami kehabisan bekal, maka kami hanya mohon kedermawanan Cu-wi untuk memberi sumbangan dan kami hanya dapat menyuguhkan beberapa permainan silat dari cucu kami yang masih bodoh. Sekali lagi, kalau pertunjukan cucu kami tidak berharga, mohon Cu-wi memaafkan kami." Setelah berkata demikian, kakek itu mengambil tambur dari tangan cucunya, lalu mulai menabuh tambur itu dengan pukulan yang lemah.

   Siang Lan dan Lian Hong melihat bahwa pukulan tambur kakek itu sama sekali berbeda dengan pukulan cucunya yang mengandung tenaga cukup kuat sehingga mereka berdua sudah mengetahui bahwa agaknya hanya Sang Cucu itu yang mahir ilmu silat sedangkan sang Kakek adalah seorang petani biasa yang lemah. Kini gadis manis itu berdiri tegak lalu memberi hormat keempat penjuru dengan merangkap kedua tangan depan dada. Setelah itu ia mulai bersilat. Gerakannya cukup ringan, cepat dan mengandung tenaga. Bagi Siang Lan dan Lian Hong, gerakan silat gadis itu biasa saja dan belum cukup tinggi, akan tetapi keduanya terkejut dan tertarik sekali karena mengenal bahwa ilmu silat yang dimainkan gadis itu adalah ilmu silat Kun-lun-pai! Gadis itu memiliki ilmu silat aliran Kun-lun-pai, satu perguruan dengan Sim Tek Kun!

   Tentu saja hal ini amat menarik perhatian mereka, terutama sekali perhatian Lian Hong karena gadis itu masih memiliki hubungan seperguruan dengan suaminya. Akan tetapi ketika ia hendak menyapa, lengannya dipegang Siang Lan dan Hwe-thian Mo-li memberi isyarat agar adik angkatnya itu diam dan melihat saja perkembangannya. Setelah gadis itu selesai bersilat selama belasan jurus dan berhenti bergerak, terdengar tepuk tangan memuji dari para penonton. Bagi para penonton, terutama yang tidak mahir ilmu silat, permainan silat itu cukup mengagumkan, apalagi karena memang gadis itu cukup cantik dan terutama sekali memiliki bentuk tubuh yang denok menggairahkan hati pria, terutama yang memiliki watak mata keranjang.

   Pada saat itu Sang Kakek membawa sebuah caping lebar yang ditelentangkan dan dia berjalan menghampiri para penonton dan mengelilingi tempat itu sambil mengacungkan caping mohon sumbangan. Hampir semua orang melemparkan sepotong atau sekeping uang ke dalam caping, yang diterima dengan wajah berseri dan muka mengangguk-angguk oleh kakek itu. Setelah berputar sekeliling dan sudah cukup banyak uang terkumpul dalam caping, kakek itu lalu melangkah ke tengah lapangan, meletakkan capingnya di atas tanah lalu dia memberi hormat lagi ke empat penjuru.

   "Banyak terima kasih atas sumbangan Cu-wi. Sudah sering kami mendengar bahwa para penghuni kota raja adalah orang-orang dermawan, dan baru siang hari ini kami melihat buktinya. Terima kasih banyak, sumbangan Cu-wi dapat menyambung hidup kami selama beberapa hari." Tiba-tiba muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dari kerumunan penonton. Dia seorang laki-laki berusia sedikitnya tigapuluh lima tahun, wajahnya bopeng (bekas cacar) dan matanya lebar, tubuhnya kokoh kuat dan wajahnya bengis. Dia sudah berdiri dekat kakek itu dan berkata dengan suaranya yang lantang.

   "Enak saja engkau orang tua mengumpulkan uang orang tanpa memberi sesuatu! Ini namanya penipuan! Orang menerima uang harus memberi sesuatu, akan tetapi kalian tidak memberi apa-apa, obat juga tidak. Bagaimana mau enaknya saja mengambil uang orang-orang? Engkau penipu!" Kakek itu memandang dengan kaget.

   "Tuan, maaf, kami memang tidak mempunyai apa-apa untuk diberikan. Akan tetapi cucu saya tadi sudah menghibur dengan permainan silatnya......"

   "Huh, apa artinya menonton gerakan silat yang begitu saja? Biasanya untuk menghibur orang-orang diadakan pertunjukan yang lebih ramai, setidaknya untuk permainan silat diadakan pertunjukan pi-bu (adu ilmu silat). Kalau ada pi-bu, nah, itu baru namanya pertunjukan dan kami semua akan senang mengeluarkan uang. Akan tetapi kalian ini tidak memberi pertunjukan apa-apa. Kalau mau mengemis, lakukan saja seperti biasa, duduk berjongkok di tepi jalan dan mengacungkan tangan mohon sedekah!" Di antara para penonton, terdapat pula banyak orang muda yang biasa bersikap berandalan. Mendengar ucapan itu mereka bersorak dan mentertawakan kakek yang tampak bengong ketakutan itu. Lian Hong sudah hendak maju, akan tetapi kembali Siang Lan menahan lengannya can menggelengkan kepalanya.

   Kini gadis manis itu menghampiri kakeknya dan berkata.

   "Kong-kong, minggirlah, biarkan aku yang bicara dengan Tuan ini." Mendengar ini, kakek itu minggir dengan wajah pucat dan tampaknya dia gelisah sekali akan keselamatan cucunya.

   "Tuan, kami tidak mengenal Tuan, juga kami tidak mempunyai urusan denganmu, apalagi mengganggumu. Akan tetapi mengapa sekarang engkau hendak mengganggu kami yang hanya sekedar minta bantuan kepada para budiman ini karena bekal kami telah habis. Apa sih kesalahan kami kepadamu?" Si Tinggi Besar muka bopeng itu kini memandang kepada gadis itu sambil menyeringai. Mulutnya yang lebar terbuka dan dia memperlihatkan giginya yang besar-besar dan banyak yang rusak hitam, seperti seekor orang utan menyeringai.

   "Nona, engkau seorang gadis yang masih muda dan begini cantik, sungguh sayang Kakekmu membiarkan engkau mencari uang dengan menjadi tontonan. Akan tetapi karena engkau sudah memperlihatkan ilmu silatmu, aku menjadi tertarik dan aku menantangmu untuk melakukan pi-bu."

   "Tuan, kami datang di sini bukan untuk mencari permusuhan, juga bukan untuk pamer kepandaian apalagi untuk pi-bu. Aku tidak mau melakukan pi-bu dengan siapapun juga," jawab gadis itu dengan sikap tenang.

   "Ha-ha, kalau engkau yang sudah berani memperlihatkan ilmu silat menolak pi-bu, maka berarti engkau mengaku kalah. Sekarang begini saja, aku juga bukan orang yang mau menang sendiri. Disaksikan oleh semua penonton di sini, mari kita membuat pertaruhan begini. Kita bertanding pi-bu dengan tangan kosong.

   "Kalau aku kalah, maka uang sumbangan dalam caping itu akan kutambah lagi dengan lima tail perak dan engkau boleh bebas mencari sumbangan di sini. Akan tetapi kalau engkau kalah, uang dan ditambah lima tail perak tetap kuberikan kepadamu, akan tetapi engkau harus mau menjadi kekasihku selama satu bulan! Ha-ha, adil sekali, bukan?" Wajah gadis itu berubah merah sekali, akan tetapi ia masih tenang walaupun kakeknya tampak pucat dan gemetaran.

   "Hemm, begitukah keinginanmu? Dan bagaimana tandanya kalah atau menang?" tanya Si Gadis, sedangkan para penonton menjadi tegang dan memandang penuh perhatian. Sudah biasa bagi penonton, suka sekali mereka menyaksikan ketegangan, apalagi akan menyaksikan pi-bu dan di antara mereka bahkan sudah banyak yang diam-diam ikut bertaruh!

   "Tentu saja siapa yang roboh dianggap kalah!" kata laki-laki itu.

   "Ha-ha-ha, aku Si Tinju Maut Koan Sek kalau sampai kalah oleh Nona manis ini, mau mencium kakimu yang mungil, Nona!" Dia tertawa diikuti banyak pemuda yang tertawa secara kurang ajar. Melihat Lian Hong marah-marah, Siang Lan berbisik.

   "Kita lihat saja dulu. Simpan marahmu, kalau engkau marah dan benci, jangan-jangan anakmu kelak bisa seperti dia."

   Diingatkan demikian, Lian Hong terkejut dan segera menenangkan diri karena ia merasa ngeri kalau sampai anaknya kelak keluar seperti si Bopeng itu. Diam-diam ia mengelus perutnya! Gadis itu memberi isyarat kepada kakeknya untuk menyingkirkan caping itu ke pinggir, kemudian ia mengikat sabuknya sehingga ketat melingkari pinggangnya yang ramping, menggulung lengan bajunya sampai ke siku. Kemudian ia berdiri dengan tenang, menanti lawannya dan setelah berhadapan, ia lalu menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu dan berkata dengan suara lantang dan tegas.

   "Koan Sek, buka telingamu dan dengarkan baik-baik, disaksikan oleh semua penonton di sini, nonamu she Siauw akan mengucapkan pendirianku! Boleh jadi kakekku dan aku adalah orang-orang miskin berasal dari dusun, tidak memiliki kekayaan dan tidak memiliki kepandaian, melainkan orang-orang sederhana dan bodoh. Akan tetapi, ketahuilah, hai orang yang menjadi budak nafsu, kami adalah manusia-manusia yang masih memiliki kesusilaan, kesopanan, jalan kebenaran, yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tidak sudi melakukan hal-hal yang rendah dan hina!

   "Engkau memaksa aku untuk pi-bu, kalau aku menolak tentu aku akan dianggap pengecut. Tidak, aku tidak menolak. Guruku mengajarkan aku selain ilmu silat juga tentang kegagahan dan harga diri. Kalau aku bisa menangkan pertandingan ini, aku tidak butuh uangmu, tidak butuh apa-apa darimu. Akan tetapi kalau aku kalah darimu, aku pun tidak sudi menuruti semua keinginanmu yang hina dan rendah. Kalau kau hendak bunuh aku, silakan, aku tidak takut mati membela kehormatan diriku!"

   Ucapan itu membuat Siang Lan dan Lian Hong tertegun dan terkagum-kagum. Bukan main gadis remaja ini. Demikian gagahnya seolah ia seorang pendekar besar saja! Dan agaknya banyak pula para penonton yang merasa kagum karena tepuk tangan riuh menyambut ucapan itu, membuat Koan Sek yang berjuluk Si Tinju Maut itu menjadi salah tingkah dan mukanya yang bopeng tampak hitam karena semua darah berkumpul di sana.

   "Gadis sombong, rasakan pukulan mautku!" Dia berseru dan mulai menyerang dengan pukulan yang amat kuat ke arah dada yang membusung itu. Baru pukulan ke arah dada gadis itu saja sudah merupakan cara serangan yang tidak mengenal sopan, padahal pertandingan itu hanyalah sebuah pi-bu. Jelas bahwa Koan Sek ini adalah golongan orang yang kasar dan kejam.

   "Wuuttt......!" Pukulan itu luput ketika gadis yang mengaku she Siauw itu mengelak dengan gerakannya yang cukup ringan. Akan tetapi tamparan ke arah dada yang luput itu dilanjutkan oleh Koan Sek dengan mencengkeram ke arah dada! Gadis itu menggerakkan tangan kanan dari luar dan menangkis.

   "Plakk!" Ia berhasil menangkis walaupun ia merasa betapa kuatnya lengan besar laki-laki itu sehingga tubuhnya agak condong ke samping ketika lengan mereka bertemu. Akan tetapi gadis itu dengan sigapnya lalu menggerakkan kakinya menendang ke arah lambung lawan.

   "Wuuuttt...... plakk!" Koan Sek dapat, menangkis tendangan ini dan mereka segera saling serang dengan seru. Siang Lan dan Lian Hong melihat betapa gerakan gadis itu sudah baik dan aseli merupakan ilmu silat Kun-lun-pai, akan tetapi agaknya ia masih belum menguasai ilmu silatnya dengan matang. Gerakannya cukup lincah dan tubuhnya ringan, akan tetapi tenaganya masih kurang kuat sehingga tiap kali tangan atau kaki mereka berbenturan, tubuh gadis itu terhuyung mundur.

   Melihat ini, Koan Sek sudah tertawa-tawa mengejek. Sikap sombong dan memandang rendah lawan merupakan sikap yang dipantang oleh seorang ahli silat yang sudah mendalami ilmunya karena sikap ini mendatangkan kelengahan kepada dirinya sendiri. Hal ini terbukti ketika perkelahian itu telah berlangsung belasan jurus di mana Koan Sek terus mendesak gadis itu sambil tertawa-tawa dan mengeluarkan ucapan yang tidak senonoh. Pada saat dia berhenti menyerang untuk tertawa bergelak, tiba-tiba tubuh gadis itu menyambar dengan cepat sekali sambil menendang dengan tubuh melompat tinggi! Koan Sek terkejut dan cepat ia menangkap kaki kiri gadis itu yang menyambar ke arah mukanya.

   "Plakk!" Dia berhasil menangkap pergelangan kaki kiri gadis itu, akan tetapi tiba-tiba kaki kanan gadis itu menendang dengan pengerahan seluruh tenaganya bertekankan kepada kaki kirinya yang ditangkap.

   "Wuuttt...... desss......!" Sepatu kaki kanan gadis itu tepat mengenai ulu hati Koan Sek sehingga tubuhnya terjengkang dan dia terbanting jatuh demikian kuatnya sehingga sejenak dia menjadi nanar dan matanya melihat segala sesuatu berputar-putar. Ketika mendengar sorak-sorai dan tepuk tangan penonton, dia menyadari keadaannya. Cepat dia melompat berdiri, menggoyang kepalanya mengusir kepeningan dan di lain saat dia telah mencabut sebatang golok dari pinggangnya!

   Para penonton ada yang menjerit-jerit ketika melihat Koan Sek dengan golok telanjang kini menerjang dan menyerang gadis itu membabi buta! Gadis itu mencoba untuk berloncatan ke kanan kiri mengelak dari sambaran golok, akan tetapi tiba-tiba kaki kiri Koan Sek menendang, mengenai pahanya dan gadis itu pun terpelanting. Bagaikan binatang buas, Koan Sek yang marah dan malu karena tadi dirobohkan gadis itu, mengejar dengan loncatan dan mengayun goloknya ke atas untuk dibacokkan ke arah gadis itu. Gadis itu sudah terjatuh miring dan agaknya ia tidak akan mampu menghindarkan dirinya dari bacokan, akan tetapi ia sama sekali tidak tampak takut, bahkan memandang kepada penyerangnya dengan mata mencorong penuh kemarahan! Golok di tangan Koan Sek terayun turun dan......

   "Desss......!!" tubuh Koan Sek terpental dan dia terbanting jatuh di atas tanah. Dia hanya merasa dirinya disambar halilintar sehingga tidak dapat melihat jelas bahwa sesungguhnya tadi ada seorang pemuda gagah perkasa melompat dan menendangnya sambil melompat. Pemuda itu bukan lain adalah Chang Hong Bu. Pemuda yang kebetulan sedang lewat di situ dan melihat rame-rame itu lalu datang menonton dan melihat Koan Sek hendak menyerang seorang gadis dengan goloknya, dia menjadi marah dan sekali terjang, tubuh Koan Sek terlempar!

   Pada saat itu, muncul dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun. Mereka ini adalah kakak-kakak seperguruan dari Koan Sek. Mereka bertiga pada hari itu memasuki kota raja untuk pelesir dan bersenang-senang. Karena mereka adalah tiga orang seperguruan yang biasa memaksakan kehendak melakukan kekerasan dan merasa diri mereka jagoan, maka tadi melihat gadis manis itu, Koan Sek menjadi iseng dan ingin memamerkan kepandaiannya, juga ingin mempermainkannya karena dia termasuk seorang laki-laki hidung belang yang suka mempermainkan wanita. Kini, melihat adik seperguruan mereka ditendang seorang pemuda, dua orang kakak seperguruan Koan Sek menjadi marah dan mereka sudah melompat memasuki kalangan sambil mencabut golok masing-masing.

   "Keparat, jangan main keroyokan!" bentak orang yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat seperti berpenyakitan. Akan tetapi orang kedua, yang bertubuh pendek gemuk dan matanya sipit sekali seperti terpejam, sudah menyerang Chang Hong Bu dengan goloknya. Permainan golok Si pendek Gendut itu ternyata cepat dan kuat sekali, jauh lebih cepat dibandingkan gerakan Koan Sek. Akan tetapi dengan mudah saja Hong Bu mengelak. Sementara itu, Si Tinggi kurus muka pucat juga sudah menggerakkan goloknya hendak mengeroyok, akan tetapi Lian Hong sudah melompat ke dalam lapangan itu dan membentak.

   "Jahanam-jahanam busuk dari mana berani mengacau di sini?" Melihat wanita yang cantik jelita muncul di depannya, Si Tinggi kurus menyeringai.

   "Ah, kalau harus melukaimu, aku tidak tega, Nona manis! Minggirlah jangan sampai golokku melukai kulitmu yang lembut dan mulus!" Lian Hong marah sekali.

   "Keparat busuk!" Dan ia pun sudah menerjang dengan tamparan tangan kirinya yang mendatangkan angin dahsyat sehingga Si Tinggi kurus terkejut bukan main dan melompat ke belakang. Kini Koan Sek yang melihat kedua suhengnya maju, mendapat hati dan dia pun sudah bangkit berdiri lalu melangkah lebar menghampiri gadis pemain silat tadi dengan golok masih di tangan. Akan, tetapi tiba-tiba tampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan sudah berada di depannya. Koan Sek yang mata keranjang sampai bengong melihat gadis yang cantik ini berdiri di depannya.

   "Manusia busuk, mampuslah kau!" Siang Lan berseru, tubuhnya berputar dan kaki kirinya mencuat dalam tendangan berputar.

   "Syuuttt...... desss......!!" Tubuh Koan Sek terkena tendangan tepat di dadanya sehingga tubuhnya terlempar dan dia jatuh terbanting dengan keras! Sebelum dia dapat merangkak bangun, sekali tubuh Siang Lan melayang ia sudah tiba di depan laki-laki muka bopeng itu dan kembali kakinya menendang. Kini yang menjadi sasaran adalah pergelangan tangan kanan Koan Sek yang memegang golok.

   "Wuuttt...... krekk!" Tulang pergelangan tangan itu patah-patah dan goloknya terlempar jauh.

   "Aduhh......!" Koan Sek menjerit dan memegangi pergelangan tangan kanan dengan tangan kirinya. Sementara itu, pertandingan antara si Tinggi kurus melawan Lian Hong juga berat sebelah. Baru tiga kali membacok dan selalu luput, tangan kiri Lian Hong menampar dan tepat mengenai pipi kanan si Tinggi kurus.

   "Wuutt...... krekk......!" Tulang rahang pipi kanan si Tinggi kurus patah-patah dan tendangan kedua membuat goloknya terlempar. Si Tinggi kurus menjerit kesakitan dan terpelanting keras, memegangi rahangnya yang pecah-pecah berdarah.

   Demikian pula, si Gendut Pendek bukan lawan Hong Bu. Baru dua gebrakan saja dia pun sudah roboh tertendang dan goloknya juga terpental jauh. Si Tinggi kurus yang mencoba bangun, kembali harus terbanting oleh tendangan susulan Lian Hong. Demikian pula Si pendek Gendut dijadikan bola ditendang ke sana sini oleh Hong Bu sehingga dia berkaok-kaok kesakitan. Pada saat itu, banyak orang mengenal tiga orang muda perkasa ini. Melihat Siang Lan, ada yang berteriak.

   "Ah, ia adalah Hwe-thian Mo-li! Mampuslah orang-orang jahat ini!" Mendengar disebutnya nama Hwe-thian Mo-li, Koan Sek dan dua orang suhengnya terkejut setengah mampus. Nyali mereka terbang dan mereka bertiga segera menjatuhkan diri berlutut menghadapi tiga orang itu, menyembah-nyembah dan membenturkan dahi mereka ke atas tanah berulang-ulang seperti tiga ekor ayam sedang makan beras.

   "Ampunkan hamba...... ampunkan hamba...... ampunkan hamba......" berulang-ulang mereka bergumam dan tentu saja suara si Tinggi kurus muka pucat itu tidak karuan karena rahangnya yang pecah-pecah membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara dengan jelas.

   Si Pendek Gendut saking takutnya mengeluarkan suara seperti seekor babi gendut disembelih dan yang lucu dan mengherankan adalah Koan Sek sendiri. Orang tinggi besar berwajah menyeramkan ini saking takutnya kini menangis, mengguguk seperti anak kecil dan melihat betapa di bawah tubuh mereka basah, sukar diketahui siapa di antara mereka yang mengompol saking takutnya. Mungkin ke tiganya! Para penonton melihat betapa jauh bedanya sikap tiga orang ini dengan sikap gadis manis tadi. Dalam keadaan terancam maut, gadis tadi bersikap gagah perkasa dan sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman maut, sedangkan tiga orang yang sombong dan tampak gagah ini, begitu terancam maut menjadi ketakutan seperti orang-orang yang berjiwa pengecut! Kini Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan telah dapat mengenal gadis manis itu.

   Melihat kakek itu dan gadis ini, ia tidak ragu lagi bahwa gadis itu adalah Siauw Kim, gadis yang pernah ditolongnya dari tangan Hartawan Siong Tat yang hendak memaksa gadis itu menjadi pemainannya. Ia berhasil membunuh Siong Tat dan menghajar para jagoannya, membebaskan Siauw Kim dan kakeknya itu yang bernama Lim Bun, seorang petani dari dusun Kang-leng. Siang Lan masih sangsi karena setahunya, tiga-empat tahun yang lalu Siauw Kim adalah gadis remaja yang lemah dan tidak pandai silat. Sekarang, walaupun ilmu silatnya belum matang, namun jelas ia memiliki dasar ilmu silat aliran Kun-lun-pai! Mengingat akan nasib Siauw Kim dan melihat kegagahannya, hati Siang Lan menjadi panas sekali kepada tiga orang laki-laki jahat itu. Diambilnya golok mereka yang tergeletak di atas tanah, lalu ia berseru.

   "Sebetulnya tiga orang jahanam macam kalian tidak berhak hidup di dunia ini karena hanya akan menimbulkan kekacauan dan kejahatan. Akan tetapi aku, Hwe-thian Mo-li tak pernah memberi ampun kepada jahanam laki-laki yang memandang rendah wanita tanpa memberi hukuman yang setimpal." Setelah berkata demikian, golok di tangannya berkelebat tiga kali bagaikan halilintar menyambar dan tiga orang penjahat itu menjerit kesakitan, bukit hidung mereka terbabat buntung dan darah muncrat membasahi muka mereka!

   "Nah, pergilah kalian anjing-anjing keparat! Kalau aku melihat muka kalian muncul di kota raja lagi, kepalamu yang akan kubuntungi!" Setelah berkata demikian, kaki Siang Lan menendang tiga kali dan tubuh mereka terpental dan jatuh bergulingan.

   Sambil menangis kesakitan tiga orang itu lalu terhuyung-huyung setengah merangkak, melarikan diri dari tempat itu. Para penonton merasa senang akan tetapi juga merasa ngeri sehingga satu demi satu mereka membubarkan diri meninggalkan tempat itu. Ketika Siang Lan memandang dan mencari gadis tadi, ternyata gadis itu bersama kakeknya kini sedang berlutut di depan kaki Chang Hong Bu. Agaknya gadis itu menangis dan terdengar suaranya yang penuh keharuan.

   "Kalau tidak ada Tai-hiap yang menolong saya dan kong-kong, kami berdua tentu telah tewas di tangan orang-orang jahat itu. Kami berhutang budi dan nyawa kepada Tai-hiap, dan kami bersedia mengorbankan jiwa raga kami untuk membalas kebaikan Tai-hiap. Kalau kami tidak mampu membalasnya, kami akan bersembahyang setiap hari mohon kepada Thian (Tuhan) agar Dia yang membalas budi kebaikan Tai-hiap kepada kami." Melihat gadis itu dan kakeknya berlutut di depan kakinya, Hong Bu menjadi serba salah. Untuk membangunkan gadis itu, dia harus menyentuhnya dan hal ini dia tidak mau melakukannya karena tentu dianggap kurang sopan. Kalau tidak dibangunkan, dia merasa rikuh sekali dua orang kakek dan cucu itu berlutut seperti itu di depan kakinya.

   "Nona dan engkau, Kakek yang baik, bangkitlah dan jangan berlutut seperti ini!" katanya, akan tetapi gadis itu tidak mau bangkit dan kakeknya pun agaknya hanya ikut-ikutan tidak mau bangkit berdiri. Melihat Siang Lan dan Lian Hong memandang ke arah mereka, Hong Bu lalu berseru kepada Siang Lan.

   "Lan-moi, tolonglah, bangkitkan mereka......" Siang Lan menghampiri dua orang yang masih berlutut itu sedangkan Hong Bu sudah mundur menjauhkan diri sehingga mereka tidak lagi berlutut di depan kakinya.

   "Siauw Kim, engkaukah ini? Dan bukankah ini kakek Lim Bun yang dulu tinggal di Kang-leng?"

   Gadis itu memang Siauw Kim adanya dan kakeknya adalah Kakek Lim Bun. Tiga empat tahun yang lalu ketika dalam keadaan miskin, terpaksa untuk mengobati cucunya Kakek Lim Bun menggadaikan cucunya, Siauw Kim, kepada Hartawan Siong Tat, hampir saja Siauw Kim menjadi korban kejahatan Siong Tat yang mata keranjang dan hampir Kakek Lim Bun bunuh diri. Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan menolong mereka, bahkan membunuh Hartawan Siong Tat dan menghancurkan rumah tangga gadai, menghajar para anak buah pegadaian itu.

   Ketika Siauw Kim memandang dan melihat Siang Lan, segera ia teringat maka ia pun menubruk kaki Siang Lan sambil menangis. Juga Kakek Lim mengenal Siang Lan.

   "Ah, kiranya engkau juga yang menolong kami, Li-hiap!" katanya. Siang Lan menarik bangun Siauw Kim dan memandangi gadis itu dengan kagum. Gadis remaja dahulu itu kini telah dewasa dan cukup cantik manis dan gagah.

   "Bagaimana kalian dapat berada di kota raja dan mengapa kalian tadi mencari sumbangan?"

   "Aih, Li-hiap. Panjang ceritanya......" kata Siauw Kim.

   "Enci Lan, tidak baik bicara di sini. Mari kita ajak Adik ini dan kakeknya ke rumah dan kita bicara di sana! Kakak Chang Hong Bu, karena sudah saling bertemu di sini secara kebetulan, mari engkau ikut dengan kami."

   Ajakan Lian Hong ini diterima senang oleh Hong Bu karena memang tadinya Hong Bu bermaksud pergi mengunjungi Siang Lan, gadis yang telah memikat hatinya. Setelah tiba di rumah Pangeran Sim Liok Ong, mereka disambut oleh Sim Tek Kun dan mereka semua mengajak Siauw Kim dan kakeknya ke dalam ruangan tamu. Lian Hong menceritakan dengan singkat kepada suaminya tentang Siauw Kim dan kakeknya. Kemudian tiba giliran Siang Lan untuk bercerita kepada mereka tentang Siauw Kim dan Lim Bun yang ditolongnya sekitar tiga tahun lebih yang lalu di Kang-leng. Setelah itu, Siang Lan memegang tangan Siauw Kim dan bertanya.

   "Nah, sekarang tiba giliranmu, Siauw Kim. Ceritakan keadaan dirimu sejak kita saling berpisah. Bagaimana engkau kini dapat menjadi murid Kun-lun-pai dan bagaimana pula engkau sampai tiba di kota raja." Siauw Kim lalu menceritakan riwayatnya. Setelah dulu ditolong Siang Lan, gadis remaja itu masih mengalami banyak kesengsaraan lagi.

   Ibunya dan tiga orang adiknya mati satu demi satu karena wabah penyakit yang mengamuk. Kakek Lim Bun terpaksa membawa cucunya yang tinggal seorang itu pergi meninggalkan dusun Kang-leng yang diserang wabah. Akan tetapi di tengah perjalanan yang sengsara itu, tiba-tiba Kakek Lim Bun jatuh sakit pula. Agaknya wabah itu telah menular kepadanya juga. Mujur baginya, dalam keadaan setengah mati di lereng sebuah bukit, mereka berdua bertemu dengan seorang pertapa miskin sederhana yang dapat mengobati kakek Lim Bun sampai sembuh. Mendengar riwayat Siauw Kim yang penuh kesengsaraan, pertapa itu lalu mengijinkan Siauw Kim dan kakeknya tinggal di bukit tempat dia bertapa, hidup sederhana dan Siauw Kim lalu dilatih ilmu silat olehnya.

   "Akan tetapi sungguh nasib kami amatlah buruknya, Li-hiap," kata Siauw Kim dan tiba-tiba gadis itu menangis. Lim Bun juga menundukkan mukanya yang telah keriputan dan menghela napas berulang-ulang.

   ðŸŽ‹ðŸ˜€

   

   "Nanti dulu, Nona!" tiba-tiba Sim Tek Kun berkata.

   "Siapakah pertapa yang melatih silat kepadamu itu? Apakah dia seorang tokoh Kun-lun-pai?" Dia tadi sudah mendengar dari isterinya bahwa Siauw Kim tadi memperlihatkan ilmu silat Kun-lun-pai.

   Siauw Kim menyusut air matanya.

   "Nama Suhu hanya saya ketahui julukannya saja karena beliau tidak pernah menceritakan nama aselinya. Julukannya Kim-gan-liong......" Tentu saja Tek Kun, Lian Hong, dan Siang Lan terkejut sekali mendengar ini.

   "Ah, kiranya gurumu itu adalah Susiok Kim-gan-liong!" seru Tek Kun,

   "Dan di mana beliau sekarang?" Siauw Kim menangis lagi.

   "Itulah, nasib kami sungguh selalu buruk. Setelah hidup tenang dan tenteram bersama Suhu, walaupun dalam keadaan sederhana sekali, selama hampir tiga tahun, Suhu...... meninggal dunia......"

   


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 12
   "Beliau meninggal......?" Tek Kun berseru kaget.

   "Akan tetapi kenapa? Bagaimana beliau yang belum tua benar sampai meninggal?" Siauw Kim menggelengkan kepala dengan sedih.

   "Sejak hidup bersamanya, kami melihat Suhu seperti hidup dalam timbunan duka. Beliau tidak pernah tampak gembira, bahkan seringkali tampak gelisah dan berduka, dan kesehatannya sering terganggu. Akhir-akhir ini beliau sering batuk-batuk dan...... kalau batuk terkadang mengeluarkan darah...... dan pada suatu malam, sekitar empat bulan yang lalu, Suhu meninggal dunia......"

   "Aih, kasihan susiok......" Sim Tek Kun menghela napas panjang. Lian Hong dan Siang Lan juga menundukkan muka mereka.

   Dahulu, mereka menganggap bahwa Kim-gan-liong merupakan seorang di antara musuh besar yang mengeroyok dan membunuh guru mereka, Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu ayah kandung Ong Lian Hong. Akan tetapi kemudian Siang Lan mengetahui bahwa Kim-gan-liong sama sekali tidak ikut mengeroyok, melainkan dia mengajak pi-bu Pat-jiu Kiam-ong karena memang pi-bu merupakan kesukaan Kim-gan-liong. Agaknya peristiwa itu, walaupun dia tidak ikut mengeroyok namun menjadi penyebab tewasnya Pat-jiu Kiam-ong yang diracuni dan dikeroyok banyak orang. Hal itu meracuni hatinya sehingga dia sakit-sakitan, menjadi pertapa dan dalam usia yang belum tua, baru sekitar limapuluh empat tahun, telah meninggal karena digerogoti penyakit yang timbul dari penyesalan dan duka!

   "Siauw Kim, setelah gurumu meninggal, lalu engkau dan kakekmu pergi ke kota raja?" Siang Lan bertanya. Seperti yang telah dilakukan sejak tadi dan ini tidak luput dari perhatian Siang Lan, Siauw Kim mengerling ke arah wajah Chang Hong Bu, kerling tajam yang mengandung penuh kekagumanan terima kasih!

   "Sebelum meninggal dunia Suhu memesan kepada saya, karena saya sudah tidak mempunyai keluarga lain kecuali kong-kong, Suhu memerintahkan saya untuk pergi ke kota raja. Kami orang miskin, Suhu juga tidak mempunyai apa-apa. Setiap hari kami hanya makan dari tanaman di lereng bukit. Maka ketika kami berangkat kami tidak membawa bekal uang, hanya membawa bahan makanan.

   "Akan tetapi setelah bahan makanan habis, terpaksa kami...... minta sumbangan dan untuk balas jasa, saya memperlihatkan ilmu silat yang pernah saya pelajari dari Suhu selama tiga tahun ini. Saya dan kong-kong tidak tahu bagaimana harus mencari uang untuk sekedar makan dan kami hanya mengharapkan belas kasihan dan kedermawanan orang.

   "Setiba kami di sini, kami kehabisan uang dan terpaksa tadi saya dan kong-kong minta sumbangan sekadarnya. Sama sekali tidak kami sangka akan muncul tiga orang jahat itu. Ah, kalau saja tidak ada...... In-kong (Tuan Penolong) ini...... ah, tentu kami kakek dan cucu telah menjadi korban......"

   "Nanti dulu, Siauw Kim. Kenapa gurumu menyuruh engkau dan kakekmu pergi ke kota raja? Apa tujuan kalian datang ke kota raja ini?" tanya Siang Lan.

   "Suhu berpesan agar kami mencari seorang murid keponakan suhu yang berada di kota raja dan suhu mengharapkan agar murid keponakannya itu dapat membantu dan memberi jalan demi kebaikan hidup kami kakek dan Cucu."

"Siapakah murid keponakan Gurumu itu, Siauw Kim?" tanya Siang Lan sambil mengerling kepada Sim Tek Kun. Sim Tek Kun dan isterinya juga memandang Siauw Kim dengan hati tegang karena mereka berdua sudah menduga siapa yang dimaksudkan Siauw Kim sebagai murid keponakan Kim-gan-liong itu.

   "Kata Suhu, murid keponakannya itu adalah putera seorang pangeran dan bernama Sim Tek Kun," kata Siauw Kim yang sama sekali tidak pernah mengira bahwa orang yang disebut namanya itu berada di depannya.

   "Hemm, Siauw Kim, apakah engkau pernah bertemu dengan murid keponakan Gurumu itu?" desak Siang Lan. Siauw Kim menggelengkan kepalanya dan lagi-lagi ia mengerling kepada Chang Hong Bu yang ikut mendengarkan.

   "Nah, kalau begitu kuperkenalkan. Dia inilah putera pangeran yang bernama Sim Tek Kun dan ini adalah isterinya, Ong Lian Hong adikku," kata Siang Lan sambil menudingkan telunjuknya kepada Tek Kun. Tentu saja Siauw Kim terkejut bukan main dan ia pun cepat menjura dengan hormat kapada Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong.

   "Ah...... kiranya Paduka......"

   "Hushh, jangan menyebut Paduka kepada suamiku, Siauw Kim," kata Lian Hong.

   "Bagaimanapun juga, engkau masih merupakan adik misan seperguruan dari suamiku. Engkau dan suamiku satu perguruan, sama-sama murid Kun-lun-pai, maka engkau adalah Sumoinya (Adik Perempuan seperguruan) dan suamiku adalah Suhengmu (Kakak laki-laki Seperguruanmu)."

   "Ah, mana saya pantas menjadi adik seperguruan beliau......?" bantah Siauw Kim dengan sungkan.

   "Sumoi Siauw Kim, jangan bersikap begitu. Isteriku benar, bagaimanapun juga engkau adalah murid mendiang Susiok Kim-gan-liong, berarti engkau adalah Sumoiku dan aku adalah Suhengmu." Siauw Kim merasa terharu bukan main. Sambil mengusap air matanya, ia berkata.

   "Ah, engkau sungguh seorang yang berbudi mulia dan isterimu juga seorang yang baik sekali, Suheng. Ternyata benar seperti yang diceritakan mendiang Suhu, bahwa Suheng seorang bangsawan tinggi akan tetapi berwatak seorang pendekar sejati."

   "Pangeran...... terimalah hormat dan terima kasih kami!" kata Kakek Lim Bun sambil menjura dengan hormat.

   "Cukup, Kakek Lim Bun, tidak perlu memakai banyak peradatan," kata Sim Tek Kun.

   "Akan tetapi, Sumoi, aku masih merasa heran dan tidak mengerti, apa maksud mendiang Susiok Kim-gan-liong menyuruh engkau dan kakekmu datang kepadaku. Apa yang dapat kami lakukan untukmu?" Mendengar pertanyaan ini, Siauw Kim tampak bingung dan ia saling berpandangan dengan kakeknya, lalu dengan suara lirih ia berkata.

   "Suheng...... Suhu hanya berpesan agar kami menghadap suheng dan...... dan mohon petunjuk dan menolong kami...... ah, saya...... saya tidak tahu harus bilang apa......" Kakek Lim Bun segera membantu cucunya.

   "Pangeran, saya mohon dapat diberi pekerjaan. Pekerjaan apa saja, yang penting kami berdua mendapatkan tempat tinggal dan dapat makan setiap hari......" Siauw Kim memotong ucapan kakeknya.

   "Suheng, kami berdua tidak membutuhkan yang berlebihan. Kami hanya butuh pekerjaan yang tetap agar kami berdua tidak perlu lagi merantau tanpa tempat tinggal yang tetap dan minta-minta sumbangan untuk biaya hidup kami sehari-hari. Saya siap untuk membantu keluarga dan rumah tangga Suheng, menjadi pelayan misalnya...... dan kakek saya juga dapat membantu, menjadi tukang kebun atau apa saja. Kami tidak takut bekerja keras......"

   Semua orang terharu mendengar ucapan gadis yang lugu dan bersemangat itu. Chang Hong Bu yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian merasa kasihan akan tetapi juga kagum. Baru sekali ini dia bertemu seorang gadis dusun sederhana yang demikian gagah berani, jujur dan bersemangat tinggi menjaga nama dan kehormatannya, juga tidak segan untuk bekerja keras agar dapat menghidupi dirinya sendiri dan kakeknya. Benar-benar seorang gadis yang walaupun belum terlalu tinggi ilmunya, namun sudah memiliki jiwa pendekar!

   "Aih, kebetulan sekali!" tiba-tiba Siang Lan berseru.

   "Hong-moi, sebentar lagi engkau akan membutuhkan bantuan orang yang dapat kaupercaya sepenuhnya. Tiga-empat bulan lagi saja engkau sudah harus menjaga dirimu baik-baik. Bagaimana kalau kalian menerima Siauw Kim membantumu di sini? Adapun kakek Lim Bun tentu saja dapat membantu mengawasi para pelayan di gedung ini!" Lian Hong tersenyum dan memandang suaminya.

   "Bagaimana pendapatmu dengan usul Enci Siang Lan, Kun-ko?" Sim Tek Kun tersenyum.

   "Terserah kepadamu, aku sih setuju saja dan kurasa Ayah dan Ibu akan menyetujuinya pula." Mendengar ini, Siauw Kim dengan girang menjatuhkan diri berlutut lagi di depan Tek Kun dan isterinya.

   "Terima kasih, Suheng berdua sungguh telah membangkitkan gairah hidup baru kepada kami!" Kakek Lim Bun juga berlutut, akan tetapi Tek Kun cepat membangunkannya dan Lian Hong juga mengangkat bangun Siauw Kim yang berlutut di depannya.

   "Sumoi, kami menerima bantuanmu untuk mengatur rumah tangga di sini dan membantu pekerjaan isteriku, akan tetapi kami tidak suka kalau engkau bersikap sebagai seorang pelayan. Engkau kuterima sebagai Sumoiku, maka kalau engkau bersikap merendahkan diri sebagai seorang pelayan, hal itu berarti merendahkan kehormatanku sebagai Suhengmu. Mengertikah engkau?" kata Sim Tek Kun dengan suara tegas.

   "Baik Suheng dan maafkan sikap kami tadi," kata Siauw Kim.

   "Bagus, urusan ini sudah dapat diselesaikan dengan baik. Engkau bekerjalah dengan baik, Siauw Kim, dan kakek Lim Bun, kalian berdua menerima budi kebaikan adikku Ong Lian Hong dan suaminya, maka kuharap kalian berdua mampu membalas budi kebaikan mereka itu dengan menjadi orang-orang yang dapat dipercaya dan setia. Seandainya kelak engkau tidak ingin bekerja di sini, engkau boleh ikut denganku ke Lembah Selaksa Bunga dan membantu aku di sana. Akan tetapi karena lembah Selaksa Bunga merupakan tempat tinggal khusus untuk wanita, maka tentu saja Kakekmu tidak mungkin dapat ikut tinggal di sana." Tiba-tiba Siang Lan teringat akan sesuatu dan ia berkata kepada Siauw Kim.

   "Siauw Kim, tahukah engkau siapa penolongmu ini?" Ia menuding kepada Chang Hong Bu. Siauw Kim memandang wajah Hong Bu dan menggelengkan kepalanya.

   "Saya tidak berani menanyakan nama In-kong," katanya lirih.

   "Ketahuilah bahwa dia ini bernama Chang Hong Bu, pendekar muda murid Siauw-lim-pai yang amat lihai dan dia adalah keponakan dari Jenderal Chang Ku Cing yang terkenal." Mendengar ini, Siauw Kim terkejut sekali dan cepat ia memberi hormat sambil menjura kepada pemuda yang amat dikaguminya itu.

   "Maaf kalau saya bersikap kurang hormat kepadamu, Chang In-kong!" Disebut Chang In-kong (Tuan Penolong Chang) Hong Bu menjadi merah mukanya dan dia cepat berkata.

   "Nona, jangan sebut aku In-kong karena bukan aku saja yang tadi mengusir tiga orang jahat itu, akan tetapi terutama sekali Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dan Adik Ong Lian Hong. Pula tentu sebagai murid Kun-lun-pai engkau juga mengetahui bahwa menentang orang-orang jahat merupakan kewajiban bagi seorang murid perguruan silat yang baik. Jadi, dalam peristiwa tadi tidak ada hutang budi maupun tuan penolong."

   "Terima kasih dan maafkan saya, Chang Tai-hiap," kata Siauw Kim. Dengan hati merasa bahagia sekali Siauw Kim lalu dengan rajin mulai membantu pekerjaan rumah tangga di gedung Pangeran Sim Liok Ong. Pangeran itu dan isterinya menerima Siauw Kim dan kakeknya dengan senang hati karena dua orang itu sungguh merupakan orang-orang yang tahu diri dan rajin bekerja.

   Malam itu, Nyo Siang Lan tak dapat tidur. Ia gelisah rebah di atas pembaringan dalam kamarnya, memikirkan tentang dirinya. Ia sungguh merasa bingung dan gelisah. Keadaan dirinya sendiri sudah ternoda dan ia merasa dirinya tidak berharga dan membawa aib. Ia merasa benar bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta kepadanya. Rasanya tidak akan sukar untuk jatuh cinta kepada seorang pendekar muda seperti Chang Hong Bu. Masih muda, gagah dan tampan, keponakan seorang jenderal besar yang terkenal bijaksana dan pandai, memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Ah, tidak banyak pemuda sehebat Hong Bu. Ia merasa kagum dan suka kepada pemuda yang sopan itu. Akan tetapi cinta?

   Ia meragukan dirinya sendiri. Rasanya sulit ia dapat jatuh cinta kepada seorang laki-laki setelah ia menjadi korban kebuasan dan kekejian laki-laki, yaitu Thian-te Mo-ong! Tiba-tiba wajah Bu-beng-cu terbayang depan matanya. Wajah seorang laki-laki yang matang dan sudah dewasa benar. Usia Bu-beng-cu tentu sudah sekitar empatpuluh empat tahun. Wajah yang lembut penuh pengertian, sinar mata yang mengandung kebijaksanaan dan senyumnya yang penuh kesabaran. Kepada Bu-beng-cu ia menaruh kepercayaan besar sekali, bahkan Bu-beng-cu merupakan satu-satunya orang di samping Kui Li Ai yang telah ia ceritakan tentang dirinya yang sudah dinodai orang. Dan apa kata Bu-beng-cu? Bahwa kalau dapat ia harus memaafkan pemerkosanya atau kalau tidak dapat mengampuninya, bunuh saja!

   Siang Lan terkenang akan pengalamannya yang aneh. Ketika dia ditangkap Hoat Hwa Cin-jin dan nyaris diperkosa orang lagi, muncul Bu-beng-cu menyelamatkannya bahkan ia berhasil membunuh Hoat Hwa Cin-jin. Pada saat itu, rasa haru dan juga lega karena terhindar dari nasib diperkosa orang lagi, ia merangkul gurunya dan pada saat itulah ia merasa betapa perasaan hatinya dekat sekali dengan Bu-beng-cu. Baru ia menyadari bahwa tanpa ia ketahui ia telah jatuh cinta kepada Bu-beng-cu. Sungguh aneh dan mengherankan hatinya. Mengapa bertemu dengan pemuda-pemuda yang tampan dan gagah perkasa ia tidak jatuh cinta? Bahkan cintanya kepada Sim Tek Kun dahulu tidaklah sedalam apa yang ia rasakan terhadap Bu-beng-cu!

   Apakah karena laki-laki itu teramat baik kepadanya, berkali-kali membela dan menolongnya, melindunginya bahkan dengan sungguh-sungguh menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya agar kelak dapat membalas dendam sakit hatinya kepada Thian-te Mo-ong? Ia sendiri tidak tahu. Akan tetapi awan gelap menyelubungi hati gadis itu ketika ia teringat betapa sikap Bu-beng-cu seolah tidak menyambut cintanya! Hal ini memang juga dapat diterimanya karena bagaimana mungkin seorang gadis yang sudah ternoda seperti dirinya pantas menjadi pasangan hidup seorang pendekar besar yang bijaksana seperti Bu-beng-cu? Siang Lan teringat lagi kepada Chang Hong Bu. Tidak, ia tidak akan membiarkan dirinya terjerat cinta dengan pemuda itu! Tidak mungkin! Kalau ia menerima dan membalas cinta pemuda itu, ia harus bersikap jujur, harus berani mengaku kepadanya bahwa dirinya bukan perawan lagi, bahwa ia telah diperkosa seorang penjahat.

   Dan ia sudah dapat membayangkan. Bibir pemuda yang murah senyum itu akan berjebi mengejeknya, sedangkan matanya yang bersinar tajam berwibawa itu tentu akan memandang rendah! Ah, kalau sampai demikian, ia tentu akan berubah amat membenci pemuda itu! Ah, tidak! Lebih baik ia tidak melibatkan diri dalam cinta dengan seorang laki-laki. Ia sudah tidak layak untuk menjadi isteri orang karena tidak akan tahan melihat suaminya kelak memandang rendah dan hina kepadanya! Ia lalu teringat akan Siauw Kim! Gadis itu jauh lebih layak menjadi jodoh Chang Hong Bu. Biarpun gadis itu seorang gadis dusun namun ia memiliki watak gagah seorang pendekar tabah dan berani menjaga kehormatannya yang lebih dihargainya daripada nyawa. Dan ia melihat sinar mata penuh kagum dari sepasang mata gadis itu kepada Chang Hong Bu!

   Lebih baik ia segera kembali ke Lembah Selaksa Bunga. Mendadak saja hatinya merasa rindu kepada gurunya? Bu-beng-cu, gurunya pernah mengatakan bahwa setahun lagi belajar dengan tekun, ia pasti akan mampu menandingi Thian-te Mo-ong! Baru sekarang ia merasa betapa setelah berada di kota raja, jauh dari Bu-beng-cu, ia merasa kehilangan dan hidupnya terasa tidak lengkap! Dengan pikiran mengambil keputusan ini akhirnya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dapat tidur pulas. Malam hari itu terjadi peristiwa yang penting di istana Pangeran Bouw Ji Kong. Pangeran itu telah menyuruh para datuk yang membantunya, yaitu Hongbacu tokoh Mancu, Tarmalan tokoh suku bangsa Hui, dan Hwa Hwa Hoat-su datuk Pek-lian-kauw, untuk sementara keluar dari kota raja dan bersembunyi.

   Sejak malam itu, Pangeran Bouw Ji Kong lebih banyak termenung dalam kamarnya dalam keadaan murung. Dia melihat betapa perkembangan usahanya untuk merebut tahta kerajaan tidak berjalan mulus. Pihak pemerintah terlampau kuat, bukan saja di sana ada Jenderal Chang Ku Cing yang gagah perkasa dan pandai, juga masih ada Menteri Yang Ting Ho yang bijaksana dan yang merupakan pembantu terpercaya dari kaisar Wan Li selain itu juga dihormati dan disegani para pejabat tinggi. Bukan kenyataan ini saja yang membuat hati pangeran Bouw Ji Kong menjadi risau, akan tetapi juga melihat betapa para sekutunya dari Mancu dan Pek-lian-kauw, terutama sekali para pendukungnya, merupakan orang-orang yang memerasnya.

   Banyak sekali permintaan mereka berupa uang dan harta benda lain sehingga dia sudah mengeluarkan banyak harta simpanannya untuk menyenangkan hati mereka agar mereka tetap mendukungnya. Adapun hal yang paling menyakitkan hatinya adalah lenyapnya putera tunggalnya, Bouw Cu An! Puteranya hanya seorang itu, anak-anaknya yang lain adalah perempuan. Tentu saja dia merasa amat sayang kepada puteranya itu yang sejak kecil sudah dia panggilkan ahli-ahli sastra dan tata negara, dia persiapkan agar kelak puteranya itu pantas menjadi seorang pangeran mahkota calon kaisar! Bahkan juga puteranya telah dilatih ilmu silat yang cukup memadai.

   Biarpun akhirnya Bouw Cu An memperlihatkan sikap menentangnya dalam urusan melaksanakan rencananya merebut tahta kerajaan, namun kemarahannya kepada puteranya hanyalah di luarnya saja agar terlihat oleh para pendukungnya. Di dalam hatinya, tetap saja ayah ini amat sayang kepada puteranya. Maka, mendengar laporan Hongbacu bahwa puteranya telah diculik Ouw-yang Sianjin dan sampai sekarang belum juga dapat ditemukan, hati pangeran Bouw Ji Kong menjadi gelisah sekali. Dia melihat rencana pemberontakannya, selain kurang maju perkembangannya, juga amat merugikannya.

   Tentu saja selama ini, tindakan dan rencana pemberontakan Pangeran Bouw Ji Kong dia anggap sebagai "perjuangan", demi rakyat demi mengubah pemerintah sang korup menjadi pemerintah yang bersih, dan sebagainya yang muluk-muluk lagi. Akan tetapi sesungguhnya, Pangeran Bouw Ji Kong mempunyai jiwa dan watak pedagang! Watak pedagang membuat dia dalam segala tindakannya mendasari dengan untung rugi. Kalau tindakannya itu menguntungkan, hal ini memperkuat semangatnya untuk melanjutkan apa yang dia perjuangkan, akan tetapi kalau kenyataannya merugikan, dia kehilangan semangat dan mulai memikirkan tindakan apa yang harus dia lakukan untuk menghindarkan dirinya dari kerugian.

   Pemimpin seperti ini, dan sebagian terbesar seperti yang tercatat dalam sejarah memang demikian, selalu akan mabok kemenangan dan menyelam ke dalam lautan kesenangan kalau usahanya berhasil, melupakan rakyat yang tadinya dijadikan tulang punggung untuk mendukung "perjuangannya". Malam yang dingin itu Pangeran Bouw Ji Kong duduk termenung seorang diri di dalam kamarnya, tidak dapat tidur memikirkan kegagalannya, terutama sekali dengan hati rindu dan sedih memikirkan puteranya yang hilang. Semua penghiburan yang diberikan isteri dan para selir ditolaknya dan dia malam itu tidak mau diganggu, duduk termenung seorang diri dalam kamarnya yang besar. Angin malam yang berhembus memasuki kamar melalui celah-celah dinding bagian atas membawa hawa dingin menyusup tulang.

   Tiba-tiba daun jendela kamar itu terkuak dari luar, menimbulkan suara berderit. Pangeran Bouw Ji Kong terkejut dari lamunannya, menoleh ke arah jendela dan cepat dia melompat berdiri sambil menyambar pedang yang diletakkan di atas mejanya. Pangeran ini memang memiliki ilmu silat yang cukup tangguh dan ilmu silatnya itulah yang pernah dia ajarkan pula kepada Bouw Cu An, putera tunggalnya. Jendela itu terbuka dan sesosok tubuh melayang memasuki kamar. Pangeran Bouw Ji Kong siap untuk menyerang, akan tetapi pemuda yang telah berada di depannya itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sang Pangeran.

   "Ayah......!" Pedang yang sudah diangkatnya itu turun kembali dan bahkan dilemparnya di atas meja. Dalam suaranya terkandung kemarahan dan kerinduan serta kegembiraan sekaligus.

   "Cu An......! Ke mana saja selama ini engkau pergi?"

   "Maafkan saya, Ayah. Selama ini saya memperdalam ilmu silat saya. Maafkan saya yang pergi tanpa pamit kepada Ayah."

   "Tidak perlu minta maaf, Anakku. Bangkit dan duduklah, dan ceritakan apa yang terjadi! Apakah pendeta jahanam itu yang telah menculikmu, tidak mengganggumu?" Bouw Cu An bangkit, duduk di depan ayahnya dan memandang dengan mata terbelalak heran.

   "Pendeta jahanam yang menculik saya, Ayah? Apa dan siapa yang Ayah maksudkan?"

   "Siapa lagi kalau bukan pendeta jahat Ouw-yang Sianjin yang telah menculikmu!" Cu An menjadi semakin heran.

   "Ayah, darimana Ayah mendengar bahwa saya diculik oleh Ouw-yang Sianjin?"

   "Ketika malam itu engkau pergi, Hongbacu datuk Mancu itu mengejarmu dan dialah yang melaporkan bahwa engkau diculik Ouw-yang Sianjin dan dia tidak berhasil menolongmu."

   "Aduh! Makin ketahuan sekarang betapa Ayah telah bekerja sama dengan orang-orang jahat. Hongbacu menolong saya? Ayah telah dibohongi dan ditipu. Hongbacu bukan menolong saya melainkan mencoba untuk membunuh saya!"

   "Hahh......?" Pangeran Bouw Ji Kong terbelalak.

   "Benarkah? Apa...... apa yang terjadi, Cu An......?"

   "Ayah agaknya telah mendengarkan fakta yang diputarbalikkan. Begini kejadiannya, Ayah. Malam itu saya merasa kesal dan terus terang saya tidak dapat menyetujui rencana Ayah hendak merebut tahta kerajaan, apalagi Ayah bersekutu dengan orang-orang Mancu dan perkumpulan-perkumpulan pemberontak jahat seperti Pek-lian-kauw, Ngo-lian-kauw dan lain-lain. Karena hati saya kesal dan tidak setuju, maka malam itu saya meninggalkan rumah ini dengan hati sedih. Tiba-tiba muncul Hongbacu yang hendak membunuh saya karena saya dianggap merintangi niat Mancu untuk memanfaatkan Ayah dan merebut tahta kerajaan. Saya tentu sudah mati karena tidak mampu melawan Hongbacu, kalau saja pada saat itu tidak muncul Suhu Ouw-yang Sianjin. Dialah yang telah menyelamatkan saya, mengalahkan dan membuat Hongbacu melarikan diri. Sungguh saya tidak mengerti, mengapa Ayah begitu tega untuk menyuruh Hongbacu membunuh saya, Ayah......" Suara pemuda itu mengandung isak kesedihan.

   "Ah, tidak......! Sama sekali tidak, Cu An! Aku sama sekali tidak menyuruh untuk membunuhmu, hanya menyuruh dia memanggilmu kembali. Dia kembali dan mengatakan bahwa engkau diculik Ouw-yang Sianjin......"

   "Karena saya mengira bahwa Ayah benar-benar tega untuk menyuruh membunuh saya, maka saya tidak berani pulang dan saya lalu ikut Suhu Ouw-yang Sianjin, memperdalam ilmu silat saya." Pangeran Bouw Ji Kong mengepal tangan kanannya.

   "Keparat busuk Hongbacu! Dia membohongiku! Berani dia hendak membunuh puteraku!" Sang Pangeran yang marah itu merasa tidak terdaya karena pada saat itu Hongbacu tidak berada di situ, sudah menyembunyikan diri keluar kota raja menanti berita darinya.

   "Sekarang engkau pulang, lalu apa kehendakmu, Cu An?"

   "Ayah, setelah saya menjadi murid Ouw-yang Sianjin, saya semakin menyadari bahwa Ayah telah mengambil jalan yang keliru sama sekali. Saya pulang ini untuk menyadarkan Ayah. Orang-orang yang mendukung niat Ayah memberontak itu semua bukan orang baik-baik dan mereka itu hanya ingin membonceng dan memanfaatkan Ayah demi keuntungan mereka sendiri. Harap Ayah menyadari benar hal ini." Tiba-tiba terdengar suara lembut dari luar kamar itu, suara lembut namun beribawa dan terdengar jelas seolah pembicaranya berada di dalam kamar itu.

   "Semua yang diucapkan Bouw Cu An itu benar dan bijaksana. Masih belum terlambat bagi orang yang bertindak salah untuk memperbaiki tindakannya! Mengubah langkah dan bertaubat sebelum terlambat, itulah tindakan yang bijaksana."

   "Suhu......" kata Bouw Cu An lirih. Pangeran Bouw Ji Kong menoleh ke arah jendela yang masih terbuka. Wajahnya agak pucat ketika mendengar bahwa Ouw-yang Sianjin berada di luar kamarnya. Tentu saja anggapan bahwa Ouw-yang Sianjin merupakan seorang musuh yang berbahaya masih menguasai perasaannya. Akan tetapi dia percaya kepada puteranya, maka dia berseru ke arah jendela.

   "Ouw-yang Sianjin, kalau engkau sudah berada di sini, masuklah dan beri penjelasan kepada kami!"

   Sesosok bayangan yang ringan dan cepat berkelebat. Ouw-yang Sianjin sudah berada dalam kamar itu, berdiri menghadap Pangeran Bouw Ji Kong dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan. Pangeran Bouw melihat seorang berpakaian sebagai tosu, pakaian sederhana serba kuning, usianya sekitar empatpuluh delapan tahun, bertubuh tinggi kurus dan punggungnya tergantung sebatang pedang terbuat dari bambu! Tosu sederhana namun sikapnya lembut dan berwibawa. Dia segera bangkit berdiri dan membalas penghormatan tosu itu.

   "Pangeran, maafkan kalau pinto datang tanpa diundang karena pinto memenuhi permintaan puteramu, Bouw Cu An." kata Ouw-yang Sianjin.

   "Duduklah, Totiang. Kami senang Totiang suka datang ke sini karena pada saat ini kami membutuhkan penjelasan. Semua orang sudah mengetahui bahwa jalan yang kita ambil masing-masing tidak sama bahkan berlawanan, akan tetapi mengapa Totiang menolong putera kami dan suka datang ke sini malam ini?" Ouw-yang Sianjin duduk berhadapan dengan Pangeran Bouw dan Bouw Cu An.

   "Pangeran, pinto menjadi saksi akan kebenaran apa yang diceritakan puteramu Bouw Cu An tadi. Secara kebetulan dan agaknya Yang Maha Kuasa sudah menentukan demikian. Pada malam itu pinto (saya) melihat puteramu sedang diserang dan akan dibunuh oleh Hongbacu tokoh Mancu itu. Pinto segera turun tangan membelanya dan berhasil menggagalkan usaha Hongbacu yang jahat itu dan mengusirnya. Pada waktu itu juga, pinto minta kepada Bouw Cu An untuk kembali ke rumah orang tuanya, akan tetapi dia tidak mau pulang dan ingin memperdalam ilmu silatnya, juga menceritakan tentang cita-cita Pangeran yang ditentangnya. Nah, hari ini, dia pulang dan minta kepada pinto untuk membantu dia menyadarkan Pangeran agar kembali ke jalan benar." Pangeran Bouw Ji Kong yang tadinya mengalami kekecewaan, bahkan kemerosotan semangat itu kini menatap wajah tosu itu dengan penuh selidik.

   "Totiang, engkau mengatakan hendak menyadarkan kami agar kami kembali ke ja1an benar? Hemm, dalam hal apakah totiang menganggap kami melalui jalan yang salah? Anak kami mungkin belum mengetahui benar akan keadaan pemerintah dan bangsa, maka dia bisa menyalahkan kami. Akan tetapi Totiang adalah seorang yang berpengalaman. Bagaimana totiang dapat menganggap bahwa kami salah jalan?"

   "Siancai, agaknya Pangeran mendasarkan sikap dan perbuatan Pangeran kepada apa yang dianggap benar! Pangeran, dipandang dari sudut mana pun, perbuatan kekerasan dengan maksud untuk mengadakan pemberontakan jelas perbuatan yang salah sama sekali. Yang sudah jelas Pangeran adalah anggauta keluarga dekat Sribaginda Kaisar, bahkan telah diberi kedudukan tinggi dan terhormat sebagai penasihat Kaisar di bidang hubungan dengan luar negeri. Maka, pemberontakan yang Paduka lakukan itu merupakan suatu pengkhianatan terhadap pemerintah dan keluarga sendiri. Pinto yakin Paduka tidak mau disebut sebagai seorang pengkhianat, bukan?" Wajah Pangeran Bouw berubah merah dan alisnya yang tebal dikerutkan.

   "Ouw-yang Sianjin, tahu apa engkau tentang perjuangan? Siapa orang-orang yang telah berkhianat terhadap nusa dan bangsa? Mereka itulah, para penguasa, para pembesar dan pejabat tinggi, yang melakukan kecurangan, korupsi, mencuri uang negara, menindas rakyat untuk memperkaya diri sendiri, mereka adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa dan negara. Kalau sekarang ada orang yang berusaha untuk menghancurkan mereka dan mengubah keadaan, mendirikan pemerintahan yang sehat dan bersih, yang dikelola para pejabat yang benar-benar berjiwa patriot yang lebih mementingkan kesejahteraan bangsa daripada kemakmuran diri sendiri dan keluarganya, bukankah hal itu merupakan perbuatan yang gagah perkasa dan mulia? Orang-orang yang memegang kekuasaan boleh menamakannya pemberontak dan pengkhianat, namun sesungguhnya mereka itu pejuang sejati demi kesejahteraan rakyat dan menentang kelaliman para penguasa!" Ouw-yang Sianjin tersenyum tenang dan sabar, membiarkan Pangeran itu menumpahkan segala kemarahan hatinya. Setelah Pangeran Bouw Ji Kong berhenti bicara, dia bertanya.

   "Sudah cukupkah Pangeran bicara? Pinto akan menjawab semua pernyataan Paduka tadi. Agaknya Paduka hanya memandang dari segi baiknya dan untungnya, akan tetapi lengah bahkan mengabaikan segi buruknya dan kerugiannya bagi rakyat. Mari kita telaah bersama. Kita mulai dari segi baik dan untungnya sebuah pemberontakan. Kebaikan dan keuntungannya itu hanya baru bayangan dan harapan belaka, yaitu akan terjadi kesejahteraan bagi rakyat kalau: Satu, kalau pemberontakan itu berhasil seperti yang diidamkan, dan dua, kalau kelak para pejabat dari pemerintahan baru benar-benar terdiri dari orang-orang bijaksana yang patriotik dan tidak suka korupsi atau menyeleweng atau lalim mengandalkan kekuasaan mereka! Hanya dua itu keuntungannya, itupun kalau keduanya berhasil seperti yang diharapkan. Padahal untuk dapat berhasil bukanlah hal semudah dibicarakan. Pertama, amat sukar untuk mengalahkan pemerintah yang memiliki balatentara kuat, memiliki panglima-panglima lihai seperti Jenderal Chang Ku Cing dan lain-lain, masih dukung para pendekar pula. Harapan menang dalam perebutan tahta kerajaan amatlah tipis. Kemudian yang kedua, andaikata pemberontakan berhasil dan dibentuk pemerintahan baru, apakah Paduka kira sudah pasti akan menemukan orang-orang bijaksana yang akan menduduki kursi jabatan? Bagaimana kalau mereka malah lebih berengsek daripada pejabat yang sekarang? Nah, dua segi baik dan untungnya itu masih amat diragukan. Sekarang segi buruk dan ruginya yang tidak dapat diraguan lagi pasti timbul. Pertama, kelak nama Paduka akan tercatat dalam sejarah sebagai seorang pemberontak dan anggauta keluarga yang mengkhianati keluarga sendiri. Kedua, dalam perang pemberontakan sudah pasti akan jatuh banyak sekali korban orang-orang yang sama sekali tidak berdosa, perajurit-perajurit biasa yang kalau kalah mereka tewas kalau menangpun mungkin hanya mendapat sekadar pujian kosong belaka. Ketiga, kalau terjadi perang maka kehidupan rakyat akan menjadi kacau, para penjahat akan bermunculan untuk mengail di air keruh, melakukan kejahatan tanpa ada yang merintangi karena semua petugas pemerintah sibuk dengan perang. Keempat, Paduka akan menanam bibit permusuhan, dendam-mendendam dan balas-membalas yang tiada hentinya. Dan bukan hanya itu, sekarang orang-orang yang mendukung Paduka itu sudah bertindak keji, diam-diam hendak membunuh putera Paduka tanpa setahu Paduka. Nah, pikirkanlah baik-baik, Pangeran, sebelum mengambil keputusan apakah Paduka hendak melanjutkan langkah yang keliru atau tidak."

   "Ouw-yang Sianjin, ingin sekali kami mengetahui, bagaimana sikap para pendeta, pendekar atau tokoh kang-ouw yang mengutamakan keadilan dan kebenaran, bersikap kalau melihat para pimpinan pemerintahan, dari kaisar sampai pejabat tinggi dan rendah, bertindak sewenang-wenang, curang dan korup, tidak adil dan hanya mementingkan kekayaan diri dan keluarganya sendiri? Bagaimana kalian akan bersikap? Memberontak tidak baik katamu, lalu apakah kita rakyat ini harus tinggal diam saja, menerima keadaan dengan segala penderitaannya, hanya mengeluh kepada Tuhan dan sama sekali tidak berusaha untuk memperbaiki keadaan? Coba jawab pertanyaanku itu dengan jelas. Totiang!" Suara Pangeran Bouw Ji Kong penuh teguran dan sekaligus tantangan. Ouw-yang Sianjing tersenyum dan memandang kepada Bouw Cu An.

   "Cu An. kita sudah membicarakan urusan yang ditanyakan Ayahmu itu secara panjang lebar. Harap engkau saja yang menjawab pertanyaan Ayahmu itu." Pangeran Bouw Ji Kong kini menatap wajah puteranya dengan alis berkerut. Dia merasa penasaran akan tetapi juga ingin sekali mengetahui pendapat puteranya yang dianggapnya masih kanak-kanak dan kurang pengalaman.

   "Ayah, harap Ayah memaafkan saya kalau jawaban saya dianggap tidak benar dan lancang, akan tetapi sesungguhnya pengertian akan hal ini telah saya bicarakan dengan semasak-masaknya dengan suhu Ouw-yang Sianjin dan saya merasa yakin bahwa semua pendapatnya itu benar. Begini, Ayah, Suhu dan saya, tentu tidak dapat membenarkan kalau para pejabat dari kaisar sampai bawahannya melakukan penindasan, bertindak sewenang-wenang, korup dan bersaing memperkaya diri dan keluarganya sendiri. Juga adalah tidak benar kalau kami sebagai warganegara, terutama para pejabat yang menyadari akan ketidakbenaran itu tinggal diam dan tidak ada usaha untuk mengubahnya. Tidak, kita memang harus bertindak! Akan tetapi bukan dengar cara memberontak! Kita dapat saja melakukan kritik dan protes, sebagai wakil rakyat yang tidak berani bicara sendiri, dan kita himpun kekuatan suara kita melalui persatuan para pejabat pemerintah yang setia kepada bangsa dan negara. Kalau kita dapat memperlihatkan dengan bukti-bukti bahwa tindakan para pejabat tinggi, terutama Kaisar itu tidak benar, akhirnya Kaisar dan para pembantunya pasti lambat laun akan merasa malu dan sadar. Kita patut mencontoh sikap Menteri Yang Ting Ho dan Panglima Chang Ku Cing yang bijaksana, adil dan jujur, yang tangannya bersih dari kotoran korupsi dan menyalah-gunakan kekuasaan. Siapakah yang meraguan kesetiaan dan kebijaksanaan mereka? Nama mereka kelak pasti akan tercatat dalam sejarah dengan tinta emas, akan menjadi pujaan bangsa sebagai patriot-patriot sejati yang berjuang benar-benar demi kesejahteraan rakyat, bukan untuk menumpuk harta bagi keluarga sendiri atau untuk mengangkat nama dan kekuasaan mereka sendiri. Kalau saja Ayah mau bertindak mencontoh kedua orang pejabat tinggi yang bijaksana itu, saya siap membantu ayah dan rela berkorban nyawa sekalipun." Pangeran Bouw Ji Kong termenung, diam-diam dia terharu karena jalan pikiran puteranya itu ternyata membayangkan budi pekerti yang luhur.

   "Hemm, kau kira begitu mudahnya? Kurang bagaimana pemerintah mengadakan peraturan dan hukum untuk menjadikan para pembesar itu setia kepada negara dan bangsa, akan tetapi apa buktinya? Mereka bukan berlumba membuat jasa yang baik untuk negara dan bangsa, melainkan berlumba menumpuk kekayaan pribadi!"

   "Suhu dan saya mengerti, Ayah. Akan tetapi apa artinya diadakan seribu satu macam peraturan dan hukum kalau semua itu tidak dilaksanakan dengan tertib, bahkan dilanggar sendiri oleh si pembuat hukum? Seolah hukum itu dibuat demi kepentingan mereka yang berkuasa dan diberlakukan kepada rakyat kecil. Suhu mengingatkan saya akan apa yang diajarkan Guru Besar Khong Cu dalam Kitab Tiong-yong Pasal 21 ayat 12: Ada sembilan syarat untuk dapat memimpin negara dan bangsa, yaitu: 1. Memperbaiki diri sendiri lahir batin. 2. Menghargai orang-orang bijaksana dan pandai. 3. Mencinta sanak saudara dan keluarga. 4. Menghargai pejabat-pejabat tinggi. 5. Tenggang rasa terhadap para pejabat biasa. 6. Mencinta rakyat seperti anak sendiri. 7. Mengkaryakan sebanyak mungkin ahli pembangunan. 8. Ramah tamah terhadap para tamu negara. 9. Mengikat hubungan baik dengan negara lain."

   "Hemm, apakah semua itu akan menjamin para pejabat dari yang tinggi sampai yang rendah akan dapat mentaati apa yang dikehendaki pemimpin besar mereka, yaitu Kaisar? Bicara memang mudah, akan tetapi pelaksanaannya tidaklah semudah itu!"

   "Suhu dan saya menyadari akan hal itu, Ayah. Memang semua teori itu mudah dan sama sekali tidak ada gunanya kalau tidak dipraktekkan. Akan tetapi kita benar-benar jujur dan ingin menjadi hamba Tuhan, menjadi manusia yang utama, dan kita laksanakan semua teori itu, sudah pasti akan berhasil. Sekarang bukan jamannya lagi untuk menjejali rakyat dengan slogan-slogan, dengan pelajaran-pelajaran, dengan hukum-hukum kalau semua itu hanya omongan kosong belaka dan tidak dilaksanakan dengan tertib dari yang paling atas sampai yang paling bawah. Rakyat tidak butuh nasihat tentang kebaikan lagi, melainkan membutuhkan TAULADAN, membutuhkan CONTOH dari mereka yang mengeluarkan slogan, pelajaran, dan nasihat itu. Para pimpinan negara merupakan Bapak bagi rakyat dan menjadi suri tauladan. Apa artinya Sang Bapak menasihatkan anak-anaknya untuk hidup sederhana dan hemat kalau Si Bapak sendiri hidupnya serba mewah, royal dan menghamburkan uang? Akan tetapi rakyat sebagai anak melihat Pemimpinnya sebagai bapaknya hidup sederhana, tidak usah disuruh lagi mereka tentu akan hidup sederhana pula! Jadilah tauladan, jangan hanya penasihat tanpa tanggung jawab. Kalau seorang pejabat tinggi bertangan bersih, para bawahannya otomatis tidak berani bertangan kotor karena atasannya yang bertangan bersih tentu akan menindaknya. Sang bawahan ini setelah dia sendiri mencontoh atasan bertangan bersih, tentu akan menjaga agar bawahannya sendiri juga bertangan bersih. Demikian pula seterusnya, terus dari atas memberi contoh dan menindak bawahan sehingga petugas yang paling bawah pun disegani rakyat karena bertangan bersih. Otomatis rakyat pun akan patuh dan taat karena semua yang dikerjakan pemerintah demi kesejahteraan rakyat, termasuk diri dan keluarga mereka sendiri yang juga sebagian dari rakyat. Akan tetapi kalau atasannya bertangan kotor, bagaimana mungkin dia dapat mencegah bawahannya bermain kotor pula? Bahkan dia akan dijadikan tauladan, tauladan berbuat buruk dan korupsi, oleh bawahannya tanpa dia berani menegur karena dia sendiri bertangan kotor, kemudian bawahannya juga "bertoleransi" kepada bawahannya lagi, demikian terus menurun menjadi budaya korupsi yang turun menurun sampai rakyat menjadi terbiasa dengan keadaan semacam itu."

   "Maafkan saya, Ayah, pandangan ini bukan sekadar teori, akan tetapi dapat dibuktikan dan dipraktekkan dalam kelompok yang paling kecil seperti sebuah keluarga dalam sebuah rumah tangga. Kalau Sang Ayah menghendaki anak-anaknya tidak menjadi penjudi, apa artinya kalau dia hanya menegur dan marah akan tetapi dia sendiri menjadi penjudi? Bukan teguran atau nasihat yang dibutuhkan sang Anak dari orang tuanya, atau rakyat dan bawahan dari atasannya, melainkan tauladan yang baik! Rakyat sudah kenyang bahkan muak dengan slogan-slogan dan petuah-petuah, akan tetapi rakyat rindu akan para pemimpin rakyat yang bersih dan patut dijadikan panutan. Kalau para pemimpin kerajaan bersih dan bijaksana, maka kekayaan negara tidak akan bocor dan digerogoti tikus-tikus berpakaian pembesar sehingga negara menjadi kaya dan kekayaan ini dapat dimanfaatkan demi kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya, di mana dicukupkan sandang pangan papan dari SETIAP warga negara kerajaan ini. Alat-alat negara yang bersih dapat bertindak tertib dan melaksanakan semua hukum tanpa pandang bulu, tidak dapat dipengaruhi suap dan hubungan sahabat atau keluarga. Kalau sudah begini, kami kira para pejabat akan kehilangan keberaniannya, apalagi karena mencari sandang pangan papan menjadi mudah. Rakyat akan menjadi senang dan taat kepada pemerintah, dan tidak mungkin lagi ada rakyat yang mau diajak memberontak terhadap pemerintah yang dicinta rakyat karena keadilan dan kebijaksanaannya."

   Mendengar ucapan yang panjang lebar penuh semangat dari puteranya itu, Pangeran Bouw Ji Kong terkagum-kagum dan terheran-heran, akan tetapi dia mulai dapat menangkap intinya yang berlandaskan kepada kebenaran. Ucapan puteranya itu sama sekali bukan didasari perasaan iri, dengki ataupun benci, melainkan membuka kenyataan bukan sekedar teori yang muluk-muluk. Melihat pangeran itu termenung, dengan harapan bahwa pangeran itu akan dapat menyadari kesalahannya, Ouw-yang Sianjin segera berkata dengan suaranya yang lembut penuh kesabaran.

   "Pangeran, maafkan puteramu kalau bicaranya terlampau tegas, akan tetapi di jaman seperti ini kita seluruh rakyat hanya menggantungkan harapan kepada kaum mudanya. Hanya para mudanya yang memiliki semangat dan keberanian, memiliki pandangan yang kritis, untuk membawa kita semua keluar dari kemelut keadaan yang tidak sehat ini. Kalau kita orang-orang tua masih berpegang kepada peraturan lama, menjadi lemah dan tidak berdaya, lalu para mudanya juga kehilangan semangat dan hanya mengejar kesenangan dan foya-foya belaka, apa akan jadinya dengan tanah air dan bangsa kita tercinta ini!

   "Para arif bijaksana di jaman dahulu berkata bahwa pembangunan di atas segala bidang tidak akan berhasil kecuali kalau pembangunan dasar manusia, yaitu pembangunan jiwanya dilaksanakan lebih dulu sampai berhasil. Manusia yang sudah terbangun jiwanya berarti manusia yang mengenal jati dirinya sebagai mahluk hamba Tuhan yang memiliki tugas di dunia ini, yaitu menyejahterakan dunia dan semua isinya. Jiwanya terbangun kalau seorang manusia selalu dekat dengan Tuhannya, taat dan cinta akan perbuatan bajik dan takut serta pantang akan perbuatan jahat.

   "Hanya manusia-manusia yang sudah terbangun jiwanya sajalah yang akan mampu menjadi pemimpin-pemimpin rakyat karena kebajikannya akan menjadi tauladan bagi rakyat. Kalau sudah begitu, kemakmuran bagi suatu bangsa bukan hal yang langka lagi karena bangsa yang sudah terbangun jiwanya pasti dikasihi Tuhan dan apa yang dinamakan kemakmuran adalah suatu keadaan dan perasaan yang merupakan karunia dari Tuhan, tidak mungkin dibuat manusia."

   Mendengar semua ini, tanpa disadarinya kedua mata Pangeran Bouw Ji Kong menjadi kemerahan dan basah air mata. Teringat dia akan semua nafsu keinginan dan perbuatannya, betapa dia sudah bersekutu dengan para golongan sesat pemberontak seperti Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw, dengan suku ibunya, yaitu suku Hui, dan bahkan dengan bangsa Mancu yang jelas merupakan musuh dan ancaman bagi kerajaan Beng. Dia teringat pula betapa dia telah menyuruh bunuh enam orang pejabat tinggi yang sama sekali tidak bersalah, hanya karena mereka adalah orang-orang atau pejabat-pejabat yang setia kepada Kaisar! Dan yang lebih lagi, dia tidak tahu bahwa puteranya sendiri, nyaris dibunuh seorang sekutunya, yaitu Hongbacu datuk Mancu.

   Belum tercapai keinginannya, dalam keadaan masih berjuang saja sekutunya dari Mancu sudah tega untuk membohonginya dan hampir membunuh puteranya! Apalagi kalau mereka sudah berhasil, dapat dia bayangkan betapa para sekutunya itu tak dapat diragukan lagi akan saling berebut, memperebutkan hasil pemberontakan mereka! Teringat pula dia bahwa sekarang, kedudukannya sudah terhormat sebagai penasihat Kaisar. Kalau perjuangannya memberontak yang penuh resiko itu gagal, bukan hanya dia yang celaka, melainkan seluruh keluarganya! Makin dikenang dan dipikir, makin jelas Pangeran Bouw Ji Kong dapat melihat segala isi hati, pikiran, dan semua yang mendorong perbuatannya.

   Kini dia mulai melihat bahwa semua apa yang dia anggap sebagai "perjuangan" untuk menyejahterakan rakyat dengan mengambil alih tahta kerajaan itu sesungguhnya hanyalah merupakan ambisi pribadi belaka. Nafsu keinginan untuk mendapatkan yang lebih daripada apa yang dimilikinya sekarang, ya kekuasaan, ya kemuliaan, ya harta kekayaan. Semua ambisi pribadi itu tertutup oleh apa yang dianggapnya sebagai perjuangan suci demi kemakmuran rakyat! Kini dia merasa dirinya seperti ditelanjangi oleh ucapan puteranya sendiri dan Ouw-yang Sianjin. Maka dia teringat akan seorang hwesio yang pernah mengajarkan ilmu silat dan juga tentang budi pekerti kepada dia dan para murid lain.

   "Pinceng (aku) tidak ingin melihat murid-muridku menjadi orang-orang pintar, berkuasa, atau kaya raya kalau kalian tidak memiliki kebenaran! Orang pintar yang jiwanya tersesat dan jahat hanya akan menggunakan kepintarannya untuk menipu orang-orang yang bodoh. Orang kuat berkuasa yang tidak benar hanya akan menggunakan kekuatan dam kekuasaannya untuk menindas orang-orang yang lemah. Orang kaya raya yang jahat dan tidak benar hanya akan menggunakan kekayaannya untuk memuaskan nafsu-nafsunya mengejar kesenangan dan menghina orang yang miskin.

   "Pinceng hanya menginginkan murid-murid yang menjadi orang-orang benar! Orang-orang yang benar, berjiwa bersih, baik budi, hatinya penuh dengan rasa cinta sesama dan berbelas kasihan, baik dia itu miskin atau kaya, bodoh atau pintar, kuat kuasa atau lemah, orang yang begini adalah kekasih Yang Maha Kuasa. Semua prilaku dan tindakannya mendatangkan berkat bagi sesama dan dialah yang pantas menjadi pembantu dan penyalur berkat Tuhan, dan hanya orang-orang begini yang berhasil sebagai manusia dan selalu disinari kebahagiaan." Demikianlah antara lain hwesio yang menjadi gurunya itu berkata. Dan dia telah membuktikan bahwa dia sama sekali tidak termasuk orang-orang yang seperti dikehendaki gurunya itu! Dia penuh keinginan, penuh ambisi dan untuk mencapai keinginan itu, dia tidak pantang menggunakan cara apa pun, bahkan cara yang jahat!

   Bouw Cu An diam saja dan hanya memandang ayahnya yang menutupi muka dengan kedua tangan itu. Ayahnya menangis! Dia merasa terharu akan tetapi juga lega. Tangis ayahnya itu mungkin sekali timbul dari penyesalan dan mudah-mudahan ayahnya akan sadar bahwa pemberontakan itu adalah salah! Ouw-yang Sianjin tersenyum dan dia duduk bersila di atas kursi sambil memejamkan kedua mata. Tosu ini melakukan samadhi sambil menanti tuan rumah memulihkan gejolak hatinya. Baru setelah menjelang pagi, Pangeran Bouw Ji Kong menurunkan kedua tangannya. Dia menggunakan ujung lengan baju mengusap sisa air mata yang membasahi kedua pipinya, lalu dia menoleh dan memandang Bouw Cu An yang masih duduk menunggui ayahnya.

   "Ayah!" Pemuda itu memanggil dengan lirih. Mendengar ini, Ouw-yang Sianjin juga membuka matanya dan memandang kepada pangeran itu. Pangeran Bouw Ji Kong kini berkata kepada mereka dengan suara serak dan lirih.

   "Ouw-yang Sianjin dan Cu An, sekarang aku menyadari akan semua kekeliruanku dan aku merasa menyesal sekali telah menuruti hati yang dipenuhi iri dan nafsu kemurkaan. Sekarang, beritahu aku, apa yang seharusnya kulakukan?"

   "Ayah, saya tidak berani memberi nasihat kepada Ayah. Sebaiknya Suhu Ouw-yang Sianjin yang menjawab pertanyaan Ayah itu......" kata pemuda itu dengan suara terharu karena dia merasa lega dan girang bahwa akhirnya ayahnya dapat menyadari kesalahannya.

   "Siancai! Apa yang sepatutnya dilakukan oleh seorang yang telah menyadari akan kekeliruannya? Pinto kira hanya dua, yaitu pertama menghentikan perbuatan yang keliru itu dan bertaubat."

   "Bertaubat dengan cara bagaimana?" tanya Pangeran Bouw Ji Kong.

   "Pangeran, Paduka bersalah terhadap Sribaginda Kaisar, maka sewajarnyalah kalau Paduka bertaubat dengan pengakuan kesalahan di depan Sribaginda dan mohon pengampunan," kata pula pendeta itu. Pangeran Bouw Ji Kong mengerutkan alisnya lalu menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, Totiang, itu terlalu mudah bagiku, terlalu ringan bagi kesalahanku yang besar. Kalau aku hanya mohon pengampunan, andaikata Kaisar mengampuniku, juga namaku akan tercoreng dalam sejarah dan rakyat akan mengutuk namaku. Aku harus melakukan aksi balik yang tepat untuk menebus kesalahanku dan aku hanya dapat mengharapkan Totiang untuk membantu rencanaku sehingga akan berhasil baik."

   "Apa yang Paduka maksudkan, Pangeran?"

   "Begini, Totiang. Kesesatanku telah mengakibatkan jatuhnya korban. Aku harus membalas semua kejahatan yang dilakukan para sekutuku itu atas rencanaku yang jahat. Maka, aku ingin menjebak mereka, mengundang mereka berkumpul kemudian engkau dan Cu An mengatur dan mengumpulkan para pendekar, juga para panglima dan pasukannya dan tentu saja engkau dapat minta bantuan Panglima Chang Ku Cing untuk keperluan itu. Nah, setelah aku berhasil membasmi mereka yang tadinya bersekutu denganku, para pengkhianat yang sama dengan aku, orang-orang Pek-lian-kauw, wakil Mancu, dan suku Hui, barulah aku akan menyerah dan akan menerima hukuman apa pun yang dijatuhkan kaisar kepadaku. Dengan demikian, setidaknya aku telah melakukan sesuatu untuk menghancurkan mereka yang memusuhi kerajaan. Aku tidak takut namaku sendiri kotor karena memang apa yang kulakukan itu salah, akan tetapi aku merasa sedih kalau sampai nama keturunanku menjadi ternoda karenanya." Ouw-yang Sianjin mengangguk-angguk dan dapat menerima usul itu.

   Demikianlah, Pangeran Bouw Ji Kong mengajak Ouw-yang Sianjin berunding dan mengatur rencana untuk menjebak mereka yang tadinya mendukungnya untuk memberontak. Baru setelah pagi, Ouw-yang Sianjin meninggalkan istana Pangeran Bouw Ji Kong, Cu An sendiri tetap berada di rumah orang tuanya karena dia akan membantu ayahnya dalam rencana menjebak dan membasmi para pemberontak. Sepekan kemudian, di sebuah bukit kecil yang penuh hutan, berdatanganlah banyak orang. Karena bukit di sebelah timur kota raja itu berada di daerah yang tandus dan sunyi dan di daerah itu tidak terdapat dusun, maka mereka yang berdatangan di situ tidak diketahui umum. Sejak pagi, tokoh-tokoh besar yang berilmu tinggi, berdatangan di tempat tersembunyi itu, di mana telah dibangun tenda-tenda besar yang disediakan oleh Pangeran Bouw Ji Kong.

   Di antara mereka yang datang berkumpul di situ terdapat Hwa Hwa Hoat-su, datuk Pek-lian-kauw, Hongbacu, tokoh Mancu utusan istimewa Nurhacu pemimpin besar Mancu, Tarmalan datuk suku Hui yang dukun ahli sihir. Selain tiga orang sakti yang dulu melakukan pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi, juga tampak beberapa orang panglima yang sudah dipengaruhi pangeran Bouw Ji Kong dan mendukung rencana pemberontakan dengan janji imbalan kedudukan yang lebih tinggi apabila pemberontakan itu berhasil. Pangeran Bouw Ji Kong memang hanya mengundang para komandannya saja dan mereka diminta agar tidak mengerahkan pasukan. Setelah semua undangan berkumpul di tempat itu, muncul Pangeran Bouw Ji Kong.

   Sekitar tigapuluh orang, para pendukung pemberontakan yang lengkap, telah berkumpul dan setelah Pangeran Bouw Ji Kong datang, semua berkumpul di tenda besar di mana telah dipersiapkan meja yang disambung-sambung memanjang dan kursi-kursi berhadapan terhalang meja. Pangeran Bouw Ji Kong menempati kursi kehormatan yang berada di ujung deretan meja sehingga semua orang duduk di depannya di kanan kiri meja dan memandang kepadanya. Wajah Pangeran Bouw Ji Kong tidak cerah seperti biasa, melainkan tampak seperti orang marah. Semua orang yang hadir memandang heran, apalagi ketika pangeran Bouw Ji Kong bangkit berdiri dan berkata nyaring, tangannya menuding ke arah Hongbacu, tokoh Mancu yang duduk di deretan terdepan bersama Tarmalan dukun suku Hui dan Hwa Hwa Hoat-su tokoh Pek-lian-kauw.

   "Saudara-saudara para panglima dan pejabat, kita telah dikhianati oleh orang-orang yang datang dari luar dan mengaku sebagai pendukung kita! Hongbacu orang Mancu ini telah berusaha hendak membunuh puteraku! Kita telah disesatkan oleh golongan Mancu, suku Hui, dan golongan Pek-lian-kauw. Mereka itu masing-masing hendak menguasai kita dan kalau gerakan berhasil, mereka tentu akan berusaha menyingkirkan kita dan menguasai negara!" Hongbacu terkejut dan marah, demikian pula Tarmalan dan Hwa Hwa Hoat-su.

   "Pangeran!!" bentak mereka bertiga.

   "Pangeran, bukan aku yang berkhianat, melainkan puteramu sendiri! Dia menentang gerakan dan perjuangan kita, tentu saja seorang pengkhianat yang berada di antara kita amat berbahaya. Akan tetapi dia melarikan diri dan diculik Ouw-yang Sianjin......"

   "Bohong!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncul Bouw Cu An.

   "Hongbacu berusaha membunuhku, dan suhu Ouw-yang Sianjin bahkan yang menyelamatkan aku dari tangan keji Hongbacu!"

   "Nah, Saudara-saudara para panglima dan pejabat, kita selama ini telah bertindak keliru. Kita dipengaruhi oleh gerombolan bangsa Mancu, gerombolan Hui, dan gerombolan pemberontak Pek-lian-kauw. Padahal mereka itu hanya akan memanfaatkan kita dan kalau pemberontakan berhasil, pasti mereka itu akan saling memperebutkan kekuasaan seperti tiga anjing kelaparan memperebutkan tulang. Dan kita yang menjadi korban berikutnya.

   "Cita-cita kita adalah untuk mendirikan pemerintahan yang sehat dan adil, kesejahteraan rakyat. Untuk itu, kalau ada pejabat tinggi yang bertindak sewenang-wenang, kita dapat mengajukan protes keras. Bukan dengan cara memberontak, karena kalau begitu kita tidak ada bedanya dengan tiga gerombolan itu!" Tempat itu menjadi gaduh karena semua orang, terutama para panglima dan pejabat, terkejut bukan main mendengar ucapan Pangeran Bouw Ji Kong.

   "Pangeran Bouw Ji Kong sudah menjadi gila!" teriak Hwa Hwa Hoat-su.

   "Saudara-saudara, kita maju terus! Tanpa Pangeran Bouw Ji Kong kita masih dapat merebut tahta kerajaan ini. Pangeran pengkhianat ini dan puteranya sudah sepatutnya dihukum mati!" Setelah berkata demikian, Hwa Hwa Hoat-su maju menyerang Pangeran Bouw Ji Kong dengan pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri. Hongbacu tokoh Mancu juga sudah menggunakan golok gergajinya untuk menyerang Bouw Cu An.

   "Tranggg......!" Pangeran Bouw Ji Kong menangkis serangan pedang Hwa Hwa Hoat-su dan cepat mengelak dari sambaran kebutan. Akan tetapi Hwa Hwa Hoat-su terus mendesaknya dengan serangan yang gencar dan dahsyat. Sebentar saja pangeran itu terdesak karena memang tingkat kepandaian dan tenaganya masih kalah jauh dibandingkan lawannya.

   "Cringg......!" Bouw Cu An juga menangkis golok gergaji dengan pedangnya. Hongbacu tokoh Mancu ini memang lihai sekali sehingga sekali menangkis saja Bouw Cu An sudah terhuyung ke belakang. Ketika Hongbacu melompat dan menerjangnya kembali, tiba-tiba berkelebat bayangan kuning.

   
🎋😀

   
"Trakk!" Golok gergaji di tangan Hongbacu terpental ketika bertemu dengan pedang bambu di tangan Ouw-yang Sianjin yang melindungi muridnya. Sementara itu, ketika Pangeran Bouw Ji Kong terdesak, tiba-tiba tampak sinar kilat menyambar dan menangkis pedang tokoh Pek-lian-kauw itu.

   "Cringg......!" Hwa Hwa Hoat-su terkejut sekali dan melihat bahwa yang membuat pedangnya terpental adalah tangkisan Lui-kong-kiam (Pedang halilintar) di tangan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Dia terkejut dan melangkah ke belakang untuk siap siaga menghadapi lawan tangguh. Pada saat itu terdengar bentakan nyaring.

   


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 13

   "Tahan senjata!" dan kini muncullah seorang panglima yang berusia sekitar limapuluh dua tahun, tinggi tetap dengan kumis jenggot pendek rapi dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang panglima besar. Semua panglima dan pejabat yang berada di situ terkejut mengenal bahwa dia adalah Panglima Besar Chang Ku Cing dan bersama panglima ini tampak pula Sim Tek Kun, Ong Lian Hong, Chang Hong Bu dan di belakang mereka tampak ratusan orang perajurit dengan belasan orang perwira tinggi.

   "Para pemberontak, kalian sudah terkepung rapat! Menyerahlah atau terpaksa kami akan membasmi kalian semua!"

   Para panglima dan pejabat tinggi yang tadinya mendukung pemberontakan, segera melepaskan senjata mereka dan membuangnya sebagai tanda menaluk karena mereka tahu akan percuma saja melakukan perlawanan. Apalagi tadi mereka sudah mendengar ucapan Pangeran Bouw Ji Kong yang jelas menghentikan pemberontakannya, bahkan menentang para wakil dari Mancu, Hui, dan Pek-lian-kauw. Sementara itu, Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, dan Tarmalan yang melihat betapa tempat itu sudah dikepung ratusan orang perajurit dan di situ terdapat pula pendekar-pendekar muda yang mereka tahu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, terutama sekali Hwe-thian Mo-li, mereka merasa bahwa melawan sama saja dengan membunuh diri.

   Hwa Hwa Hoat-su yang tampak tenang, tidak seperti wakil suku Hui dan Mancu yang agak pucat, segera membuang senjata tanda takluk. Dia bahkan tersenyum karena dia merasa yakin bahwa Pek-lian-kauw tidak akan membiarkan dia dihukum mati. Melihat Hwa Hwa Hoat-su menyerah, Tarmalan dan Hongbacu juga merasa percuma saja kalau melawan, maka mereka juga menyerah. Demikianlah, para gembong pemberontak itu menyerah tanpa perlawanan. Mereka semua digiring sebagai tawanan dan dijebloskan penjara. Kalau para panglima dan pejabat tinggi menjadi tawanan biasa, adalah tiga orang pimpinan itu, ialah Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, dan Tarmalan, dimasukan dalam tempat tahanan istimewa.

   Pangeran Bouw Ji Kong yang sebelumnya sudah melepaskan pemberontakannya, atas jaminan puteranya, Bouw Cu An dan Ouw-yang Sianjin, oleh Panglima Besar Chang Ku Cing diperbolehkan pulang. Akan tetapi bukan berarti dia bebas dari tuntutan. Panglima besar yang tegas dan adil itu tetap saja akan menuntutnya di depan pengadilan kelak, dan dia harus mempertanggung jawabkan kesalahannya. Malam itu gelap dan sunyi. Seminggu sudah lewat sejak pemberontak-pemberontak itu ditangkapi dan ditahan oleh Panglima besar Chang Ku Cing dengan bantuan yang diatur oleh Pangeran Bouw Ji Kong yang tadinya menjadi pimpinan pemberontak namun kemudian dapat disadarkan oleh puteranya sendiri, Bouw Cu An.

   Penduduk kota raja, terutama sekali para pejabat pemerintah dapat bernapas lega setelah tadinya mereka dicekam ketakutan karena adanya banyak pembunuhan terhadap para pejabat tinggi. Para pejabat, juga para penduduk, seolah berpesta atas dibasminya pemberontak. Selama seminggu mereka berpesta dan bergembira ria, dapat tidur nyenyak kalau malam. Malam ini, semua orang tidur setelah seminggu lamanya berpesta dan bersenang-senang. Bahkan para perajurit yang bertugas jaga di istana malam itu lengah karena mereka semua yakin bahwa setelah semua pimpinan pemberontak ditangkap, tidak ada lagi bahaya yang mengancam.

   "Siapa berani mengganggu istana?" Malam yang gelap dan sunyi. Setelah lewat tengah malam, tidak ada lagi suara orang di istana. Para petugas jaga juga duduk mengantuk di tempat penjagaan, malas meronda. Apalagi malam itu mendung tebal menutupi langit. Sebuah pun bintang tidak tampak dan udara teramat dingin. Setelah lewat tengah malam, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di lingkungan istana.

   "Kebakaran! Kebakaran!" Teriakan itu berulang-ulang dan segera disambut teriakan banyak orang.

   "Kebakaran! Kebakaran!" Anehnya, api yang berkobar dengan asap tebal yang mengepul ke angkasa bukan terjadi di satu tempat saja, melainkan di empat penjuru sekeliling bangunan induk istana! Berkobarnya api susul-menyusul dan seisi istana menjadi gempar.

   Semua orang terbangun dan segera berlari-larian, ada yang karena panik berlari-lari kebingungan, akan tetapi sebagian besar lari ke arah kebakaran untuk membantu memadamkan api. Ada yang menggunakan air, ada pula yang menggunakan tongkat panjang. Teriakan mereka semakin menggegerkan seluruh istana. Sesungguhnya empat tempat kebakaran itu tidaklah seberapa besar, akan tetapi karena kegaduhan dan teriakan-teriakan panik itu menimbulkan kegemparan. Semua perajurit pengawal membantu untuk memadamkan api. Tiga tempat yang terbakar tidak begitu sukar dipadamkan, akan tetapi gudang dekat istal di mana terdapat banyak jerami kering dan tumpukan kayu berkobar besar dan agak lama baru dapat dipadamkan.

   Sebelum semua kebakaran dapat dipadamkan, Panglima Chang Ku Cing yang menerima laporan, malam itu juga sudah tiba di istana. Juga Sim Tek Kun, Ong Lian Hong, Nyo Siang Lan, dan Chang Hong Bu bermunculan di istana setelah mendengar berita bahwa istana kebakaran. Ouw-yang Cin-jin tidak tampak karena setelah pemberontakan diatasi, dia segera meninggalkan kota raja. Melihat bahwa empat tempat kebakaran itu sudah hampir dapat dipadamkan, tinggal bagian gudang yang masih berkobar, Panglima besar Chang Ku Cing lalu memerintahkan para pendekar muda dan para perwira yang berada di situ untuk tenang.

   "Hati-hati, mungkin ini siasat orang jahat. Mari kita cepat memeriksa ke dalam istana!"

   Ketika mereka semua memasuki istana, mereka terkejut bukan main. Tidak kurang dari duapuluh orang perajurit pengawal yang bertugas di dalam istana, juga para Thai-kam (sida-sida) menggeletak malang-melintang dalam keadaan tewas! Ada yang tewas tanpa luka, dan ternyata mereka itu ada yang mengisap hawa beracun semacam gas, ada yang terluka dalam karena pukulan sakti, ada yang retak

kepalanya. Pendeknya mereka semua tewas oleh orang atau orang-orang yang memiliki kesaktian tinggi. Didahului oleh Hwe-thian Mo-li, para pendekar muda cepat berlari ke bagian paling dalam, ke tempat di mana terdapat kamar-kamar pribadi kaisar dan keluarganya.

   Panglima Chang Ku Cing yang berlari di samping Siang Lan, menemukan lagi beberapa orang Thai-kam penjaga di bagian itu sudah menggeletak tewas. Padahal, para Thai-kam ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang lumayan. Jelas bahwa pembunuhan dilakukan orang-orang yang lihai sekali. Mereka memasuki kamar tidur Kaisar dan melihat beberapa dayang dan pelayan wanita yang menggeletak malang-melintang, akan tetapi mereka itu ternyata hanya tertotok, tidak dibunuh seperti para penjaga. Mungkin karena mereka tidak melakukan perlawanan. Ketika Siang Lan membebaskan totokan mereka, mereka menangis dan mengatakan bahwa Kaisar telah diculik orang!

   "Cepat katakan, apa yang telah terjadi!" bentak Panglima Chang Ku Cing, terkejut dan marah sekali mendengar bahwa Kaisar diculik orang. Dengan tubuh dan suara gemetar, seorang pelayan wanita setengah tua sambil berlutut memberi laporan.

   "Tadi hamba para dayang dan pelayan terkejut dan terbangun dari tidur ketika mendengar ribut-ribut orang berteriak kebakaran dan sebagian dari para perajurit pengawal berlari keluar. Tiba-tiba hamba melihat beberapa orang Thai-kam penjaga berkelahi melawan seorang bertubuh kurus yang berpakaian serba hitam dan mukanya ditutupi kain. Akan tetapi para Thai-kam itu roboh satu demi satu.

   "Orang bertopeng itu lalu memasuki kamar tidur Sri Baginda Kaisar dan keluar lagi sambil memondong Sribaginda. Kami berteriak akan tetapi penjahat itu lalu menepuk kami satu demi satu dan kami tak mampu bergerak lagi. Dia lalu melompat keluar dengan amat cepat seperti terbang. Demikianlah apa yang hamba ketahui, Thai-ciangkun!" Panglima besar Chang Ku Cing cepat memerintahkan para komandan pasukan untuk mengerahkan pasukan masing-masing, melakukan penjagaan di empat penjuru kota raja, memeriksa semua orang-orang keluar masuk melalui pintu-pintu gerbang kota raja dan melakukan penggeledahan ke dalam setiap rumah di kota raja! Juga dia minta bantuan para pendekar muda, yaitu Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong, Sim Kun Tek, dan Chang Hong Bu untuk bantu mencari jejak penculik yang melarikan kaisar.

   Putera Bouw Ji Kong, pangeran yang memberontak kemudian sadar itu, tidak ikut karena pemuda itu yang merasa terpukul dan malu atas perbuatan ayahnya, setelah pemberontakan gagal dan dia berhasil menyadarkan ayahnya, lalu nekat meninggalkan kota raja dan ikut dengan gurunya, Ouw-yang Sianjin. Bagi Bouw Cu An memang serba salah. Kalau dia tidak membela ayahnya di pengadilan tidaklah pantas karena dia putera tunggal Pangeran Bouw Ji Kong. Kalau membelanya, apanya yang harus dibela karena jelas ayahnya telah melakukan kesalahan besar, yaitu pemberontakan. Maka dia memilih lebih baik pergi dan dia hanya mengharapkan kebijaksanaan Panglima Chang Ku Cing untuk meringankan hukuman terhadap ayahnya yang pada akhirnya menyadari akan kesalahannya dan membantu pemerintah menjebak para pemberontak.

   Penjagaan yang dilakukan para komandan dengan pasukan mereka amat ketat. Bukan hanya di pintu gerbang saja diadakan penjagaan dan penggeledahan pada setiap orang yang keluar masuk, akan tetapi juga di sekeliling tembok kota raja diadakan perondaan yang ketat sehingga agaknya tidak mungkin ada orang dapat membawa Kaisar yang terculik keluar dari kota raja! Juga para pendekar muda mencari dengan teliti, akan tetapi sampai beberapa hari lamanya tidak ada jejak ditinggalkan penculik itu. Penculik dan kaisar yang diculiknya bagaikan lenyap ditelan bumi! Ketika Panglima Chang Ku Cing sendiri, ditemani Nyo Siang Lan, mengunjungi gedung tempat tinggal Pangeran Bouw Ji Kong untuk bertanya kepada pangeran bekas pemberontak itu, mereka disambut wajah duka dari Nyonya Bouw.

   "Thai-ciangkun, kami sekeluarga di sini sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan Sribaginda Kaisar karena suami saya sendiri juga menghilang dan kami tidak tahu ke mana perginya." Panglima Chang Ku Cing mengerutkan alisnya.

   "Pangeran Bouw Ji Kong menghilang? Sejak kapan dia menghilang?"

   "Sudah tiga hari."

   "Tiga hari? Kalau begitu bersamaan waktunya dengan diculiknya Sribaginda Kaisar?"

   "Begitulah, Thai-ciangkun. Kami khawatir sekali......"

   "Hemmm......!" Panglima Chang Ku Cing tentu saja menjadi curiga dan menduga bahwa tentu terculiknya Kaisar itu merupakan perbuatan pangeran itu pula. Agaknya Nyonya Bouw memaklumi isi hati panglima itu karena ia sambil menangis berkata,

   "Thai-ciangkun, mohon jangan curigai suami saya. Sungguh, saya berani bersumpah bahwa suami saya pasti tidak terlibat dalam penculikan Sribaginda Kaisar itu! Suami saya sudah benar-benar menyadari kesalahannya. Ahh, saya bingung sekali, Thai-ciangkun. Kalau saja Cu An berada di sini......" Nyonya itu menangis sedih. Tiga orang wanita pelayan yang berada di situ ikut menangis walaupun tanpa suara melihat nyonya majikan mereka menangis sedih. Terdengar suara batuk-batuk dan ketika Panglima Chang Ku Cing dan Siang Lan menengok, mereka melihat di sudut ruangan itu seorang kakek sedang membersihkan perabot dalam ruangan itu dengan sehelai kain. Melihat panglima itu menoleh kepadanya, kakek yang usianya sudah sekitar tujuhpuluh tahun itu segera membungkuk.

   "Mohon maaf, Thai-ciangkun, hamba sekalian para pelayan merasa ikut berduka dengan Hu-jin...... ugh-ugh......" Dia kembali terbatuk-batuk kecil. Panglima Chang Ku Cing memandang kakek itu pernuh perhatian, demikian pula Siang Lan. Kakek yang sudah tua itu bertubuh kurus dan lemah, akan tetapi bekerja dengan teliti, dan sikapnya menghormat.

   "Bouw Hujin, siapakah dia?" tanya Panglima Chang kepada Nyonya rumah sambil menunjuk ke arah kakek itu.

   "Dia itu Kakek A-kui, pelayan kami yang setia," jawab Nyonya Bouw lirih namun suaranya jelas mendukung sehingga kecurigaan panglima itu dan Siang Lan lenyap.

   "Apakah tidak ada tanda-tanda akan hilangnya Pangeran Bouw? Apakah sebelumnya dia mengatakan sesuatu kepadamu?"

   "Tidak ada yang aneh, Chang Thai-ciangkun. Semua biasa-biasa saja dan tiba-tiba, ketika saya bangun pagi, dia sudah lenyap dan tidak ada yang tahu ke mana dia pergi, sampai sekarang tidak ada beritanya. Akan tetapi sekali lagi, mohon jangan menyangka bahwa dia terlibat dengan terculiknya Sribaginda Kaisar, Thai-ciangkun. Saya yakin bahwa dia tidak bersalah......" Panglima Chang yang tadinya mencurigai pangeran Bouw Ji Kong, percaya kepada nyonya itu.

   Pula, apa perlunya Pangeran Bouw melakukan penculikan terhadap kaisar setelah dia sadar akan kesalahannya, bahkan telah membantu pemerintah membasmi para pemberontak? Kalau dia melakukannya, sama sekali tidak ada untungnya baginya, yang ada hanya kerugian besar karena selain dia menjadi buronan dan kalau tertangkap akan dihukum berat, juga keluarganya akan ikut menderita karena dihukum. Bukan, pasti bukan Pangeran Bouw Ji Kong yang melakukannya atau yang mendalangi diculiknya kaisar. Panglima Chang dan Siang Lan pamit dan pergi. Setelah mereka pergi, Nyonya Bouw Ji Kong menjatuhkan diri di atas kursinya dan menangis. Tiga orang pelayan wanita itu mencoba menghiburnya. Kakek A-kui, pelayan tua itu, berkata lirih.

   "Bagus, Hujin. Sikap dan tindakan Hujin tepat dan bagus sekali." Setelah berkata demikian, karena semua perabot di situ sudah dibersihkannya, dia meninggalkan ruangan tamu untuk bekerja di ruangan lain. Biarpun Panglima Chang Ku Cing sudah melarang mereka yang berada dalam istana agar jangan menceritakan tentang terculiknya kaisar, tetap saja berita itu bocor dan membuat rakyat menjadi gempar, khawatir dan ketakutan.

   Hal ini dapat dirasakan ketika Panglima Chang dan Siang Lan berjalan keluar dari gedung Pangeran Bouw. Di jalan raya dia melihat sikap rakyat yang rata-rata berwajah muram dan gelisah. Dia tidak dapat menyalahkan siapa-siapa karena berita seperti itu tentu segera tersiar, bahkan mungkin sampai jauh di luar kota raja. Kaisar diculik orang! Berita ini tentu amat mengguncangkan hati rakyat. Mengingat belum diperolehnya hasil dari semua penjagaan ketat dan pencarian yang amat teliti, wajah Panglima Chang Ku Cing menjadi murung. Biarpun pencarian terhadap kaisar yang hilang itu menjadi tanggung jawab semua pejabat, namun dia merupakan pucuk pimpinan sehingga di tangannyalah terletak pertanggungan jawab itu.

   "Paman Bu-beng-cu......!" Tiba-tiba Siang Lan berseru girang ketika seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang, wajahnya bersih dan tampan, sepasang matanya mencorong namun senyumnya penuh kelembutan, berada di depannya. Laki-laki itu adalah Bu-beng-cu, yang menggembleng Siang Lan dengan ilmu-ilmu yang lihai. Panglima Chang Ku Cing memandang penuh perhatian dan Siang Lan segera memperkenalkan.

   "Paman, ini adalah Panglima Chang Ku Cing! Paman Chang ini adalah Paman Bu-beng-cu yang membimbing saya untuk memperdalam ilmu silat." Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) segera memberi hormat kepada panglima yang sudah lama dia kenal namanya dan amat dikaguminya itu. Panglima Chang membalas penghormatan itu.

   "Paman Panglima, kebetulan sekali paman Bu-beng-cu berada di sini. Kalau dia membantu kita, tentu lebih besar harapan kita untuk dapat menemukan Sribaginda Kaisar!" Panglima Chang menatap wajah Bu-beng-cu penuh perhatian.

   "Saudara Bu-beng-cu, apakah engkau sudah mendengar peristiwa itu?"

   "Tentang hilangnya Sribaginda Kaisar? Saya sudah mendengarnya, Thai-ciangkun. Justeru karena itulah saya berada di sini karena saya tahu bahwa Nona Nyo Siang Lan ini pasti sedang sibuk untuk ikut mencari. Saya ingin membantunya sedapat mungkin."

   "Bagus! Marilah ikut dengan kami dan di sana kita bicarakan bersama apa yang harus kita lakukan."

   "Maaf, Thai-ciangkun. Saya lebih suka bekerja sendiri karena dengan cara diam-diam si penculik tidak akan mengenal saya dan tidak akan tahu bahwa saya juga ikut mencari Sribaginda. Saya akan minta penjelasan dari Hwe-thian Mo-li saja." Panglima Chang mengangguk-angguk setelah dia memandang Siang Lan dan melihat gadis itu mengangguk kepadanya.

   "Hemm, kami kira gagasan itu baik sekali. Selama ini kami mencari beramai-ramai dan tentu saja si penculik, kalau memang dia masih berada di dalam kota raja, akan mudah melihat gerak gerik kami. Baiklah, kalau begitu, engkau yang memberi keterangan kepadanya, Siang Lan. Aku akan mengadakan rapat dengan para perwira pembantuku." Panglima itu lalu meninggalkan mereka berdua.

   Siang Lan merasa gembira bukan main melihat Bu-beng-cu muncul di kota raja. Semua kekecewaan dan kemurungannya karena tidak berhasil menemukan kaisar yang diculik orang, lenyap terganti harapan dan kegembiraan. Diam-diam ia merasakan perubahan pada perasaannya ini dan kembali hampir merasa yakin bahwa sesungguhnya ia telah jatuh cinta kepada orang yang selama ini bersikap demikian baik, membelanya dan bahkan mau menggemblengnya dengan sungguh-sungguh agar ia kelak dapat membalas dendamnya kepada musuh besarnya yaitu Thian-te Mo-ong!

   "Paman, mari kucarikan tempat menginap untukmu."

   "Tadi begitu memasuki kota saja aku langsung mencari rumah penginapan dan sudah menyewa sebuah kamar di rumah penginapan Hok An di ujung selatan kota, Siang Lan," kata Bu-beng-cu.

   "Kalau begitu, mari kita ke sana dan kita bicara di sana agar lebih leluasa, Paman."

   Mereka berdua lalu pergi ke rumah penginapan yang tidak berapa besar itu. Bu-beng-cu membuka pintu kamarnya dan membiarkan pintu itu terbuka lebar sehingga tidak akan tampak janggal atau tidak sopan kalau seorang gadis seperti Siang Lan memasuki kamarnya. Melihat daun pintu dibuka lebar sehingga tampak dari luar, Siang Lan juga tidak ragu ragu lagi memasuki kamar itu bersama Bu-beng-cu. Di atas meja terdapat buntalan pakaian dan juga segulung kain seperti sebuah lukisan. Karena ingin tahu, Siang Lan menghampiri meja.

   "Ini lukisan apakah, Paman?" Ia merasa heran sekali karena tiba-tiba laki-laki itu menyambar gulungan lukisan itu dan melemparkannya ke atas pembaringannya.

   "Jangan, Siang Lan. Gambar itu tidak kuperlihatkan kepada orang lain!" Siang Lan menjadi penasaran. Aneh, sebuah lukisan saja mengapa dirahasiakan?

   "Aih, lukisan apakah itu maka aku tidak boleh melihatnya, Paman?"

   "Lukisan...... seorang wanita!" Siang Lan merasa seolah-olah ada batu besar menghimpit hatinya dan ia merasa betapa mukanya menjadi panas. Hatinya merasa tidak enak sekali.

   "Seorang perempuan, Paman?" tanya Siang Lan sambil mengerling ke arah gulungan kain bergambar itu.

   "Akan tetapi paman pernah bilang bahwa Paman tidak mempunyai isteri, tidak mempunyai keluarga. Apakah itu gambar isteri paman?" Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya.

   "Bukan, aku belum pernah beristeri." Kembali Siang Lan merasakan suatu perasaan lega yang baginya kini tidak aneh lagi karena ia hampir yakin bahwa ia sesungguhnya mencinta laki-laki ini dan tentu saja merasa cemburu.

   "Lalu siapakah yang berada di gambar Paman? Kalau gambarnya Paman bawa ke mana-mana, tentu ia seorang yang...... penting bagimu."

   "Ya...... ia memang seorang yang amat penting bagiku."

   "Siapakah ia, Paman?" Siang Lan bertanya penuh ingin tahu, akan tetapi ia menyadari bahwa tidak sepantasnya ia mendesak karena hal itu sama saja dengan memperlihatkan kecemburuannya, maka cepat-cepat disambungnya.

   "Ah, sudahlah, kalau engkau tidak ingin mengatakan dan ingin merahasiakannya dariku, Paman."

   "Siang Lan, lebih baik sekarang kauceritakan yang jelas tentang penculikan atas diri Sribaginda Kaisar itu." Siang Lan teringat akan tugasnya, lalu ia menceritakan tentang kebakaran di istana sehingga menggegerkan seisi istana lalu setelah api dapat diatasi ternyata para pengawal dalam istana dan seberapa orang Thai-kam terbunuh dan Sribaginda Kaisar lenyap.

   "Menurut para pelayan wanita yang pingsan, mereka hanya melihat seorang berpakaian serba hitam dengan muka tertutup kain, bertubuh tinggi kurus, menculik kaisar dan seperti terbang meninggalkan istana."

   "Bagaimana ciri-ciri para perajurit yang terbunuh?"

   "Pada mayat-mayat itu tampak bekas tangan seorang yang memiliki kesaktian tinggi. Mereka semua tewas tanpa luka senjata tajam, agaknya semua terbunuh oleh pukulan jarak jauh yang amat kuat."

   "Mungkinkah penculik itu membawa lari kaisar ke luar kota raja?"

   "Agaknya tidak mungkin, Paman, karena selain penjagaan di pintu gerbang ketat, malam itu juga Panglima Chang memerintahkan para komandan untuk mengerahkan pasukannya melakukan penjagaan dan perondaan sehingga betapa pun tinggi ilmu kepandaian penculik itu, rasanya tidak mungkin kalau dia dapat membawa Kaisar keluar dari kota raja."

   "Dan apakah ada tanda-tanda berapa kiranya jumlah mereka dan apakah meninggalkan tanda bahwa mereka itu terdiri dari pria atau wanita?"

   "Menurut pelayan istana, penculik itu hanya seorang saja. Akan tetapi mereka tidak dapat mengatakan apakah penculik itu pria atau wanita karena memakai pakaian hitam dan penutup muka hitam, tubuhnya kurus, mungkin pria dan mungkin juga wanita."

   "Hemm, kalau dia dapat melakukan pembakaran di empat penjuru lalu melakukan penculikan, membunuh banyak perajurit, jelas dia memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan tentu dia mengenal keadaan dalam istana. Jadi menurut pendapat Panglima Chang dan pendapatmu, penculik itu masih berada di dalam kota raja dan menyembunyikan Sribaginda Kaisar di suatu tempat?"

   "Kami memang mengira demikian, Paman. Akan tetapi selama tiga hari ini kami menggeledah hampir semua rumah dan hasilnya nihil. Kami tidak menemukan jejak penculik itu. Sribaginda Kaisar seolah lenyap ditelan bumi. Kami khawatir sekali kalau-kalau, entah dengan cara bagaimana, penculik itu berhasil membawa Kaisar keluar dari kota raja. Kalau benar demikian, maka akan sulit untuk dilacak." Bu-beng-cu mengerutkan alisnya dan berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya.

   "Aku kira dia belum membawa Kaisar keluar dari kota, Siang Lan. Resikonya ketahuan besar sekali kalau dia melakukan hal itu. Tentu dia mempunyai tempat persembunyian rahasia yang amat baik dan sukar ditemukan. Dan aku hampir yakin orang itu menyamar seperti orang biasa sehingga tidak dicurigai.

   "Dan agaknya dia melakukan pekerjaan amat berbahaya bagi dirinya itu sudah pasti dia mempunyai pamrih. menculik dan membunuh Kaisar sekalipun, apa untungnya bagi dia? Tentu ada apa-apanya di balik perbuatannya yang nekat ini. Bagaimana dengan Pangeran Bouw Ji Kong? Apakah Panglima Chang tidak mencurigainya?"

   "Inilah yang aneh, Paman. Panglima Chang dan aku memang mencurigainya karena dia merupakan bekas pemberontak yang menunggu diadili. Kami pergi ke sana dan apa yang kami temukan? Keluarganya menangis dan mengatakan bahwa Pangeran Bouw lenyap pada saat terjadinya penculikan terhadap Kaisar itu."

   "Hemm, mencurigakan sekali! Pasti ada hubungannya antara terculiknya Kaisar dan hilangnya Pangeran Bouw!" kata Bu-beng-cu.

   "Kami juga berpikir demikian, akan tetapi Nyonya Bouw merasa yakin bahwa suaminya tidak terlibat dalam penculikan itu dan wanita itu tampak khawatir sekali. Entah ke mana hilangnya Pangeran Bouw, Paman, diliputi rahasia seperti juga terculiknya Kaisar."

   "Hemm, aku juga berpendapat bahwa Kaisar tentu disembunyikan di suatu tempat dalam kota raja. Sekarang kita berbagi tugas. Sebaiknya engkau menyelidiki ke gedung Pangeran Bouw......"

   "Akan tetapi panglima Chang dan aku sudah ke sana tadi, Paman."

   "Maksudku, kau datangi tempat itu malam ini secara rahasia. Kau tadi mengatakan bahwa Nyonya Bouw tampak khawatir atau ketakutan, mungkin ia berbohong atau karena tertekan dan terancam maka ia terpaksa berbohong. Selidiki malam nanti, siapa tahu akan ada kebocoran kalau keluarga itu menyimpan rahasia. Sedangkan aku sendiri, tolong mintakan surat dari panglima Chang untukku agar aku dapat memasuki tempat di mana mereka ditawan. Aku akan menanyai mereka dan aku punya cara untuk memaksa mereka mengaku kalau mereka tersangkut dan mengetahui akan penculikan ini."

   "Baiklah, Paman. Sekarang juga akan kumintakan surat itu. Paman tunggu saja di sini, sehingga sebentar akan kuantarkan ke sini." Siang Lan lalu pergi ke kantor Panglima Chang dan segera mendapatkan surat yang diinginkan Bu-beng-cu, kemudian menyerahkan surat itu kepada Bu-beng-cu yang menanti di rumah penginapan Hok An.

   Bu-beng-cu menanti sampai malam tiba, baru dia pergi ke penjara di mana Hwa Hwa Hoat-su ditahan. Dia tidak ingin mengunjungi para tawanan lain seperti Kang-lam Jit-sian bekas pengawal Pangeran Bouw yang juga ditawan, atau Hongbacu tokoh Mancu dan Tarmalan dukun suku Hui. Dia menduga bahwa kalau ada kawan-kawan dari para pemberontak yang menculik kaisar, tentu datang dari golongan Pek-lian-kauw yang memiliki banyak orang sakti. Maka dia sengaja malam itu mengunjungi Hwa Hwa Hoat-su. Karena berbekal surat perintah Panglima besar Chang Ku Cing, dengan mudah saja tanpa dihalangi Bu-beng-cu dapat memasuki penjara dan langsung menuju ke kamar tahanan Hwa Hwa Hoat-su yang kokoh kuat. Atas permintaannya, para perajurit penjaga menjauhkan diri dan tidak ada yang dapat melihat atau mendengarkan percakapannya dengan Hwa Hwa Hoat-su.

   Hwa Hwa Hoat-su sedang duduk bersamadhi dalam kamar tahanan itu. Sebuah lampu yang cukup terang tergantung dalam kamar yang tidak memiliki perabotan lain kecuali sebuah bangku panjang yang menjadi tempat duduk dan tempat tidur. Dindingnya tebal dan dilapisi baja, bagian depannya merupakan jeruji baja yang sebesar lengan orang, amat kokoh. Biasanya, di depan kamar tahanan ini masih terdapat lima orang perajurit jaga yang menjaga secara bergiliran, siap dengan senjata tombak dan panah. Akan tetapi malam ini, para penjaga itu pun menjauhkan diri atas permintaan Bu-beng-cu. Suara terbukanya pintu membuat Hwa Hwa Hoat-su membuka mata dan memandang ke arah pintu. Pintu kamar tahanannya terbuka dan di ambang pintu tampak seorang laki-laki yang dengan sinar mata mencorong menatapnya.

   Mula-mula Hwa Hwa Hoat-su merasa girang sekali karena dia mengira bahwa tentu Pek-lian-kauw telah mengirim seseorang untuk membebaskannya dari tahanan. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya karena tidak mengenal laki-laki itu. Bagaimanapun dia melihat kesempatan meloloskan diri. Kalau yang datang ini bukan kawan yang hendak membebaskannya, mudah saja baginya untuk membunuhnya dan menggunakan kesempatan selagi kamar tahanan terbuka dan tidak tampak ada penjaga, untuk melarikan diri. Maka dia cepat melompat turun dari atas bangku panjang dan kini berdiri berhadapan dengan Bu-beng-cu yang sudah melangkah masuk. Sejenak kedua orang ini saling berpandangan dan Bu-beng-cu berkata tenang.

   "Hwa Hwa Hoat-su, apakah keadaanmu baik-baik saja di tempat ini?" Hwa Hwa Hoat-su memandang penuh selidik, lalu bertanya.

   "Siapakah engkau dan apa perlumu memasuki kamar tahanan ini?"

   "Siapa adanya aku tidaklah penting, Hwa Hwa Hoat-su. Aku datang mewakili panglima besar Chang Ku Cing dan minta agar engkau mau berterus terang mengaku siapa yang melakukan penculikan atas diri Sribaginda Kaisar!" Sepasang mata Hwa Hwa Hoat-su, terbelalak, lalu dia tertawa bergelak.

   "Kaisar diculik? Ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali!"

   "Hwa Hwa Hoat-su, dengarlah baik-baik. Kalau penculikan itu dilakukan seorang temanmu, hal itu sama sekali tidak menguntungkan engkau atau Pek-lian-kauw. Seratus orang kaisar boleh kalian culik dan binasakan, akan tetapi seratus orang kaisar lain akan bermunculan dan pemerintah Kerajaan Beng akan masih tetap berdiri teguh. Akibatnya, engkau dan teman-temanmu tidak mungkin akan mendapatkan pengampunan lagi, bahkan pemerintah pasti akan berusaha keras untuk membasmi Pek-lian-kauw. Karena itu, katakan saja siapa yang telah menculik Sribaginda Kaisar!"

   "Ha-ha-ha, orang macam engkau dapat memaksa aku mengaku?" Tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw itu menyerang dengan dorongan kedua telapak tangannya.

   Sejak tadi dia memang diam-diam sudah mengumpulkan sin-kang (tenaga sakti) dan kini dia bermaksud sekali serang membuat orang di depannya itu tewas agar dia dapat melarikan diri keluar dari tempat tahanan. Angin bagaikan badai menyambar ketika dia menyerang Bu-beng-cu dengan pukulan jarak jauh yang dahsyat itu. Akan tetapi tentu saja Bu-beng-cu bukan seorang yang bodoh dan lengah. Sejak semula dia sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang selain lihai, juga terkenal licik. Maka sejak masuk kamar tahanan itu, dia sudah membekali dirinya dengan pengerahan sin-kang. Maka begitu lawan menyerang, dia sudah siap dan dia pun mendorongkan kedua telapak tangannya menyambut serangan dahsyat itu.

   "Syuuuuttt...... blaarrrr......!" Tubuh Hwa Hwa Hoat-su terlempar ke belakang dan membentur dinding lalu terjatuh. Dia terbelalak dan cepat bangkit berdiri, heran dan terkejut bukan main. Dipandangnya lawannya. Hanya seorang laki-laki yang belum tua benar, baru sekitar empatpuluh dua tahun usianya, akan tetapi bagaimana mungkin dia bukan hanya mampu menandingi tenaga saktinya, bahkan membuat dia terlempar? Kemudian teringatlah Hwa Hwa Hoat-su.

   "Keparat! Kiranya engkau yang dulu membantu dan melindungi Hwe-thian Mo-li!" Dia merasa penasaran sekali dan menyesal bahwa kedua senjatanya, yaitu pedang dan kebutan putih, telah dirampas sehingga dia tidak dapat menggunakan senjata untuk melawan orang yang dia tahu amat tangguh ini.

   "Siapakah engkau?" Bu-beng-cu tersenyum.

   "Hwa Hwa Hoat-su, bukan baru sekali itu saja kita bertemu. Lupakah engkau ketika sekitar enam-tujuh tahun yang lalu kita saling bertemu di See-ouw dan ketika itu engkau tidak kubunuh dan kubebaskan setelah engkau bersumpah untuk tidak melakukan kejahatan lagi?" Tiba-tiba wajah Hwa Hwa Hoat-su yang biasanya pucat itu menjadi semakin pucat sehingga kehijauan dan sinar matanya menjadi redup kehilangan semangat.

   "Kau...... kau...... Thai-lek-sian (Dewa bertenaga besar) Sie Bun Liong?" Sie Bun Liong atau Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) mengangguk.

   "Sekarang terserah kepadamu, Hwa Hwa Hoat-su. Kaukatakan siapa penculik Sribaginda Kaisar dan aku tidak akan mengganggumu, atau kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku tidak akan mengampunimu lagi."

   Terbayanglah dalam benak Hwa Hwa Hoat-su akan peristiwa enam tahun lebih yang lalu. Ketika itu dia atas nama Pek-lian-kauw bersama belasan orang anak buahnya mengadakan kegiatan di sekitar See-ouw (Telaga barat), seperti biasa membujuk rakyat untuk mendukung gerakan Pek-lian-kauw, lalu minta kepada rakyat di dusun-dusun untuk menyerahkan sumbangan untuk biaya "perjuangan". Mereka yang membantah atau tidak menaati lalu disiksa, bahkan ada yang ibunuh. Pada waktu itu, Sie Bu Liong yang mendengar akan hal ini, apalagi mendengar betapa beberapa orang pendekar yang mencoba menentang Hwa Hwa Hoat-su semua dikalahkan datuk Pek-lian-kauw itu, segera datang ke tempat itu. Dia mengobrak-abrik semua anak buah Pek-lian-kauw dan akhirnya bertanding dengan Hwa Hwa Hoat-su.

   Akhirnya Hwa Hwa Hoat-su roboh dan dia tertotok dengan Ilmu Penghancur Tulang yang membuat dia menderita kesakitan yang amat hebat. Seluruh isi tubuhnya seperti ditusuk-tusuk pisau, nyeri, panas dan pedih yang hampir tak tertahankan. Celakanya, dia tidak pingsan atau tewas sehingga siksaan itu membuat dia mohon ampun dan bersumpah untuk tidak melakukan kejahatan lagi. Demikianlah kenangan itu dan kini kembali dia berhadapan dengan Thai-lek-sian Sie Bun Liong yang tadi sudah membuktikan bahwa tingkat kepandaian pendekar itu masih tetap lebih tinggi daripada tingkatnya. Dia merasa ngeri sekali.

   "Thai-lek-sian, aku tidak mungkin dapat memenuhi permintaanmu, lebih baik kau bunuh saja aku!" katanya. Bu-beng-cu menggelengkan kepala.

   "Kalau engkau tidak mau mengaku, terpaksa aku akan memukulmu dengan Ilmu Penghancur Tulang lalu meninggalkanmu di sini. Engkau akan tersiksa selama empatpuluh hari baru akan mati." Ancaman itu membuat Hwa Hwa Hoat-su mati kutu. Dia merasa ngeri sekali dan akhirnya dia mengaku setelah menghela napas berulang-ulang.

   "Biarpun aku sendiri tidak dapat membuktikan, namun aku yakin bahwa satu-satunya orang yang mampu melakukan penculikan terhadap Kaisar, kalau orang itu dari Pek-lian-kauw, adalah suhengku (kakak seperguruanku) Cui-beng Kui-ong (Raja Setan Pengejar Arwah). Dialah yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara kami."

   "Hemm, bagus engkau mau mengaku. Sekarang katakan di mana dia berada dan di mana pula dia menyembunyikan Sribaginda Kaisar!" Hwa Hwa Hoat-su menggelengkan kepalanya.

   "Thai-lek-sian, aku telah tertawan dan ditahan di sini, sama sekali tidak mendapatkan hubungan luar penjara. Bagaimana aku dapat mengetahui di mana dia berada dan di mana pula Kaisar disembunyikan? Tadinya pun aku hanya menduga saja bahwa Suhengku yang melakukannya. Biar engkau paksa bagaimana pun, mana mungkin aku dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya?"

   Bu-beng-cu berpikir sejenak. Alasan Hwa Hwa Hoat-su ini tak dapat disangkal kebenarannya. Bagaimana dia bisa tahu kalau dia berada dalam tahanan? Tentu sebelum dia tertawan, tidak ada rencana untuk menculik kaisar karena Pek-lian-kauw tadinya hanya mendukung dan membantu pemberontakan Pangeran Bouw Ji Kong! Pangeran Bouw! Agaknya dia mengetahui akan rahasia ini maka dia menghilang! Mudah-mudahan Siang Lan dapat menemukan sesuatu, demikian Bu-beng-cu berpikir.

   "Baiklah, Hwa Hwa Hoat-su. Aku percaya keteranganmu!" Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu keluar dari kamar itu dan mengunci lagi pintu tahanan lalu memanggil para penjaga. Dia pun keluar dari penjara itu.

   Bagaimanapun juga, dia tidak gagal sama sekali. Dia dapat mengetahui siapa kiranya yang menculik kaisar. Cui-beng Kui-ong, datuk terbesar Pek-lian-kauw. Dia belum pernah bertemu dengan datuk itu, akan tetapi pernah mendengar kebesaran namanya dan kehebatan ilmu kepandaiannya. Dia harus segera lapor kepada Panglima Chang Ku Cing. Dia kembali ke rumah penginapan menanti datangnya pagi. Dia akan menanti sampai Siang Lan datang berkunjung, baru bersama gadis itu akan mengunjungi panglima Chang. Malam itu, sesuai dengan hasil perundingan dengan Bu-beng-cu, Siang Lan mengunjungi gedung Pangeran Bouw Ji Kong. Ia menanti sampai lewat tengah malam. Setelah suasana amat sepi ia melompati pagar tembok gedung yang mewah seperti istana itu, lalu dengan gerakan ringan ia melompat ke wuwungan rumah.

   Ia mulai mengintai dari atas genteng, berpindah-pindah, mendengarkan mereka yang masih belum tidur bicara. Akan tetapi ia hanya dapat mendengar mereka yang sedang melakukan penjagaan saja, dan para penjaga itu tidak membicarakan sesuatu yang penting mengenai Pangeran Bouw Ji Kong, juga tidak ada yang bicara tentang hilangnya kaisar yang terculik orang. Sampai menjelang fajar ia menyelidiki namun tidak berhasil menemukan sesuatu yang penting. Ketika ia mengambil keputusan untuk meninggalkan atap gedung itu, tiba-tiba ia mendengar suara wanita menangis. Cepat ia melayang turun dan menghampiri kamar dari mana terdengar suara tangis itu. Cuaca masih gelap sehingga ia dapat bersembunyi di balik jendela, melubangi daun jendela dan mengintai ke dalam kamar.

   Ia melihat Nyonya Bouw, isteri pangeran Bouw Ji Kong sedang duduk di kursi dan menangis tersedu-sedu. Ia merasa tertarik sekali. Pasti nyonya ini mengetahui sesuatu, mungkin mengetahui di mana suaminya berada dan mengapa suaminya menghilang. Ia ingin masuk dan mendesak agar nyonya itu mau mengaku. Akan tetapi ia menahan gerakannya karena tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dengan suara keras, agaknya didorong dari luar dan masuklah seorang kakek tua yang kurus berpakaian pelayan. Kakek tua itu adalah kakek pelayan yang pernah ia lihat dan menurut Nyonya Bouw bernama A-kui, seorang kakek yang tampak lemah. Akan tetapi sekarang ia sama sekali tidak tampak sebagai pelayan yang taat dan lembut karena ia membentak dengan suara bengis.

   "Sudah berapa kali aku melarang engkau menangis! Apa kau ingin melihat kepala suamimu kupenggal dan kubawa di depanmu?" Wanita itu menahan jeritnya dan ia meratap.

   "Ampuni aku...... ampuni suamiku...... ah, jangan bunuh suamiku......!"

   "Kalau begitu, diam dan jangan menangis. Sekali lagi aku mendengar engkau menangis, kepala suamimu akan kulempar di depan kakimu!"

   Setelah berkata demikian,

   "pelayan" itu keluar dari kamar meninggalkan Nyonya Bouw yang menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menyembunyikan mukanya di bantal untuk menahan suara tangisnya. Cepat sekali Siang Lan lalu melompat dan memasuki kamar itu melalui pintu yang terbuka tanpa mengeluarkan suara. Ia menepuk tengkuk Nyonya Bouw sehingga wanita itu terkejut dan mengangkat mukanya memandang Siang Lan akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara karena Siang Lan telah menotoknya. Ia memberi isyarat agar wanita itu tidak terkejut dan mengeluarkan suara, kemudian setelah membantu wanita itu duduk, ia membebaskan totokannya dan berkata lirih.

   "Bouw Hujin, cepat katakan di mana suamimu berada?"

   Dengan tubuh gemetar nyonya itu menuding ke arah bagian belakang rumah.

   "Di ruangan bawah tanah...... ruangan rahasia suamiku......"

   "Di mana letaknya?"

   "Di kamar suamiku, dua pintu dari sini...... akan tetapi ruangan itu tersembunyi...... putar arca singa di sudut kamar dan ada pintu rahasia di belakang almari terbuka......"

   "Jangan khawatir, aku akan menolong suamimu. Apakah Sribaginda Kaisar juga berada di situ?"

   Wanita itu mengangguk dan Siang Lan segera meninggalkan kamar itu. Hatinya berdebar tegang karena selain merasa girang sekali telah menemukan di mana Kaisar disembunyikan, juga amat khawatir akan keselamatan Sribaginda Kaisar. Ia segera mencari kamar Pangeran Bouw Ji Kong seperti yang ditunjukkan Nyonya Bouw tadi dan mudah saja menemukan kamar yang besar itu. Melihat pintunya saja sudah lain karena pintunya terhias ukir-ukiran indah. Akan tetapi tiba-tiba daun pintu itu terbuka dari dalam. Secepat kilat Siang Lan menyusup ke belakang pot tanaman yang besar dan bersembunyi sambil mengintai. Ia melihat kakek kurus tadi memegang sapu dan di pundaknya tersampir sehelai kain yang biasa dipergunakan untuk membersihkan perabotan rumah. Kakek itu berjalan dengan langkah terseok lemah menuju ke bagian depan sambil menyeret sapunya.

   "Jahanam busuk!" Siang Lan mengutu dalam hatinya. Siapa dapat menyangka kakek yang tampak seperti seorang pelayan tua lemah itu yang telah menculik kaisar, bahkan telah menyekap Pangeran Bouw Ji Kong ke dalam ruangan bawah tanah! Kalau menurutkan kemarahannya, ingin Siang Lan langsung menyerangnya. Akan tetapi ia bukan seorang gadis yang bodoh. Sebelum menghajar penculik itu, ia harus lebih dulu melihat keadaan kaisar dan menolongnya. Menyelamatkan Sribaginda Kaisar harus didahulukan dan ini lebih penting daripada menghajar penculik itu. Maka ia diam saja sampai kakek itu memasuki ruangan lain yang cukup jauh dan tidak tampak lagi. Baru ia memasuki kamar tidur Pangeran Bouw.

   Mudah saja menemukan arca singa di atas meja di sudut kamar. Cepat didekati meja itu lalu diputarnya arca itu. Terdengar bunyi berderit perlahan dan sebuah almari yang menempel pada dinding tiba-tiba bergerak dan bergeser. Di belakang almari itu kini terbuka pintu menuju tangga ke bawah! Dengan jantung berdebar tegang namun penuh kewaspadaan Siang Lan menuruni tangga itu. Setelah tiba di bawah ia memasuki lorong dan tiba di sebuah ruangan bawah tanah. Dilihatnya Sribaginda Kaisar dan Pangeran Bouw Ji Kong duduk di atas lantai dalam keadaan terikat kaki tangan mereka. Mereka berdua tampak pucat namun dalam keadaan sehat dan masih hidup!

   "Yang Mulia!" Siang Lan berseru dengan gembira dan terharu. Cepat ia melepaskan ikatan kaki tangan kaisar, lalu melepaskan pula ikatan kaki tangan Pangeran Bouw karena kini ia yakin bahwa pangeran itu tidak bersalah dalam hal penculikan kaisar, bahkan dia sendiri juga ditawan. Sementara itu, setelah Siang Lan meninggalkannya, Nyonya Bouw Ji Kong menjadi khawatir sekali. Ia lalu menyelinap keluar gedung melalui pintu belakang, membangunkan kusir dan memerintahkan kusir cepat menyiapkan kereta. Kemudian, Nyonya ini menunggang kereta dan minta kusirnya membalapkan kereta keluar halaman gedung.

   "Bawa aku cepat ke rumah Panglima Chang Ku Cing!" perintahnya dengan tubuh dan suara gemetar. Para pelayan yang terbangun tidak ada yang berani bertanya dan kusir itu biarpun menjadi keheranan tidak berani bertanya pula.

   Setelah tiba di pintu gerbang halaman gedung Panglima Chang, para penjaga menghentikan kereta itu. Akan tetapi mereka mengenal Nyonya Bouw dan ketika wanita itu mengatakan hendak menghadap Panglima Chang karena urusan penting sekali mereka membuka jalan. Pada waktu itu, hari masih pagi sekali. Akan tetapi sepagi itu, Panglima Chang Ku Cing sudah bangun dan bahkan pada saat itu sudah menerima seorang pengunjung yang diterima di kamar tamunya. Pengunjung itu bukan lain adalah Bu-beng-cu. Seperti kita ketahui, Bu-beng-cu berhasil memaksa Hwa Hwa Hoat-su mengaku bahwa mungkin sekali yang menculik kaisar adalah seorang datuk Pek-lian-kauw bernama julukan Cui-beng Kui-ong, akan tetapi Hwa Hwa Hoat-su tidak tahu di mana datuk itu menyembuyikan kaisar.

   Bu-beng-cu menceritakan kepada Panglima Chang betapa lihai dan berbahayanya datuk berjuluk Cui-beng Kui-ong itu. Dia juga menceritakan bahwa dia berbagi tugas dengan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang kini menyelidiki gedung Pangeran Bouw. Tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika seorang pengawal melaporkan bahwa Nyonya Bouw datang berkunjung. Ketika wanita itu diijinkan masuk, ia lari memasuki ruangan tamu dan menjatuhkan diri di atas lantai sambil terengah-engah dan tubuhnya menggigil saking tegang dan takutnya. Panglima Chang segera menghampiri dan membantu nyonya itu bangkit dan dipersilakan duduk.

   ðŸŽ‹ðŸ˜€

   

   "Bouw Hujin, apakah yang terjadi......?" tanyanya.

   "Celaka, Chang Thai-ciangkun...... celaka......" Nyonya Bouw bicara gemetar dan bercampur tangis.

   "...... suamiku...... Sribaginda Kaisar...... mereka...... mereka ditawan......" Wanita itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena tangisnya mengguguk. Panglima Chang berkata penuh wibawa.

   "Tenanglah, Nyonya. Katakan, di mana Sribaginda Kaisar ditahan? Dan oleh siapa?"

   "Yang menculik Sribaginda...... dan menawan suamiku...... dia adalah...... pelayan kami...... kakek A-kui...... mereka ditawan dalam ruangan bawah tanah...... di bawah...... kamar suamiku......" suaranya semakin lemah dan nyonya itu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk terus memberi keterangan.

   "...... tadi...... tadi...... ada seorang nona...... ia hendak menolong...... akan tetapi...... ahh, saya...... saya...... khawatir sekali......" Ia pun terkulai lemas dan pingsan!

   "Thai-ciangkun, saya pergi menyusul Hwe-thian Mo-li!" Bu-beng-cu berpamit dan sekali berkelebat tubuhnya lenyap dari ruangan tamu itu. Panglima Chang cepat memanggil perwira pembantu dan memerintahkannya agar segera mempersiapkan pasukan dan mengepung rumah gedung Pangeran Bouw Ji Kong.

   Perwira itu cepat melaksanakan perintah dan sebentar saja sepasukan perajurit terdiri dari duaratus orang sudah berlari-larian dalam barisan menuju rumah Pangeran Bouw. Panglima Chang Ku Cing memanggil pelayan setelah mereka menyadarkan kembali Nyonya Bouw, wanita itu diminta untuk bercerita kepada Panglima Chang. Nyonya Bouw bercerita dengan suara gemetar. Ternyata tiga hari yang lalu, pada suatu malam A-kui, pelayan tua mereka itu memasuki kamar tidur suami isteri ini. Ketika Pangeran Bouw terbangun dan melihat A-kui dalam kamar memutar arca singa sehingga pintu rahasia terbuka, dia terkejut. Apalagi ketika melihat A-kui memanggul tubuh Kaisar di pundak kirinya. Tentu saja dia merasa heran dan terkejut bukan main.

   "Mengapa Pangeran Bouw terkejut dan heran? Apakah dia tidak tahu bahwa kakek itu seorang yang lihai dan telah menculik kaisar?" tanya Panglima Chang.

   "Dia tidak tahu, Panglima, kami semua dahulu menerima A-kui sebagai pelayan, sama sekali tidak tahu bahwa dia seorang yang demikian sakti dan jahat. Suamiku mencoba untuk merampas Sribaginda Kaisar, akan tetapi dengan sebelah tangan saja A-kui telah mendorong dan memukul suamiku sehingga roboh dan pingsan.

   "Kemudian dia membawa Sribaginda Kaisar dan suamiku ke dalam ruangan bawah tanah dan mengancam bahwa kalau saya membuka rahasianya, dia akan membunuh Kaisar dan suamiku. Karena itulah, Thai-ciangkun, saya sama sekali tidak berani menceritakan hal itu kepada siapapun juga, bahkan seisi rumah selain saya tidak ada yang mengetahuinya.

   "Akan tetapi ketika Nona pendekar tadi datang dan bilang hendak menolong, saya memberitahu kepadanya di mana Sribaginda Kaisar disembunyikan.. Setelah ia pergi, saya menjadi ketakutan. Bagaimana ia, seorang gadis muda, akan dapat mengalahkan A-kui? Sedangkan suami saya sendiri begitu mudah dirobohkan!" Panglima Chang lalu menyuruh isteri dan para pelayan untuk mengurus Nyonya Bouw dan menghiburnya, sedangkan dia sendiri segera membawa pasukan pengawal menyusul ke gedung Pangeran Bouw Ji Kong.

   "Yang Mulia, harap Paduka tenang dan menanti di sini dulu. Pangeran Bouw Ji Kong, harap engkau suka menjaga Sribaginda Kaisar di sini, aku akan mencari dan menangkap penculik jahanam itu!" kata Siang Lan. Kaisar mengangguk, akan tetapi pangeran Bouw berkata.

   "Nona, berhati-hatilah. A-kui itu ternyata adalah seorang yang amat sakti sekali."

   "Jangan khawatir!" kata Siang Lan. Tidak bisa terlalu disalahkan kalau Siang Lan memandang ringan A-kui karena memang penampilan kakek itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bahkan sebaliknya, dia tampak lemah dan lugu.

   Setelah mencabut Lui-kong-kiam, Siang Lan lalu berlari keluar dari ruangan bawah tanah melalui tangga yang menembus kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong. Akan tetapi begitu keluar dari pintu rahasia di balik almari yang terbuka sejak tadi, dia melihat A-kui memasuki kamar itu dan sekali ini wajah A-kui tidak lagi lemah dan lugu, melainkan beringas dan sepasang matanya mencorong seperti mata setan, mengeluarkan sinar yang mengejutkan.

   "Jahanam busuk!!" Siang Lan memaki dan tanpa banyak bicara lagi ia sudah menyerang dengan dahsyat, menusukkan Lui-kong-kiam yang berubah menjadi sinar kilat itu ke dada kakek yang hanya dikenalnya sebagai A-kui. Serangan Siang Lan ini hebat sekali, serangan mematikan karena ia langsung menyerang dengan jurus Kiam-sian-sia-ciok (Dewa Pedang Memanah Batu).

   Pedangnya meluncur seperti anak panah menuju ulu hati kakek itu. Akan tetapi kakek yang tampak lemah itu ternyata lihai bukan main. Dia memutar tubuh, mengelak sambil membalikkan tubuhnya dan tangan kanannya bergerak memutar dari samping, dengan jari terbuka menangkis pedang dengan jurus Sin-liong-kian-wi (Naga Sakti Sabetkan Ekor). Tangkisan dengan tangan kosong seperti ini terhadap sebatang pedang pusaka seperti Lui-kong-kiam, apalagi yang dimainkan oleh seorang gadis yang memiliki sin-kang luar biasa kuatnya seperti Siang Lan, amatlah berbahaya. Kalau Si penangkis tidak memiliki tenaga amat dahsyat, mungkin saja tangannya akan terbabat putus.

   "Tinggg......!" Pedang Lui-kong-kiam itu berbunyi seperti dipukul baja. Siang Lan terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar hebat. Namun, gadis yang tak mengenal takut ini sudah siap menyerang lagi.

   "Tahan, agaknya engkau ini yang berjuluk Hwe-thian Mo-li?" tiba-tiba A-kui berseru. Siang Lan menahan pedangnya.

   "Benar, aku orangnya!"

   "Jadi, engkau yang telah membunuh murid keponakanku Hoat Hwa Cin-jin?"

   "Benar pula! Dan kalau engkau tidak menyerah, engkau pun akan kupenggal batang lehermu!"

   "Heh-heh, gadis sombong dan liar! Justeru engkau yang akan kutawan menambah jumlah sandera!"

   "Kalau begitu mampuslah kau!" Siang Lan menyerang lagi dengan bacokan dari samping ke arah leher lawan dengan jurus Hun-in-toan-san (Awan Melintang Memotong Gunung). Pedangnya yang menjadi sinar kilat saking cepatnya digerakkan itu menyambar dahsyat. Akan tetapi tahu-tahu di tangan kiri kakek itu telah terpegang seuntai tasbeh hitam dan tasbeh itu berubah menjadi gulungan sinar hitam ketika menangkis sabetan pedang Lui-kong-kiam yang mengarah lehernya.

   "Cringgg!" Kembali Siang Lan merasa tangannya tergetar ketika tasbeh hitam itu menangkis pedangnya. Tiba-tiba ada sinar merah menyambar dari depan ke arah matanya. Itu adalah sehelai kain merah di tangan kakek itu yang meluncur ke arah mukanya sehingga membuat pandang matanya silau. Akan tetapi Siang Lan tidak menjadi gugup.

   Gerakannya yang amat ringan karena kini gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dikuasainya sudah mencapai tingkat tinggi berkat bimbingan Bu-beng-cu, membuat gadis itu dapat menghindar dengan lompatan ke belakang. Kemudian tanpa melewatkan sedetik pun, tubuhnya sudah berkelebat lagi ke depan, pedangnya menyerang dengan gerakan Liu-seng-kan-goat (Bintang Cemara Mengejar Bulan). Jurus ini amat dahsyat karena terdapat serangan beruntun enam kali yang amat berbahaya dan susul-menyusul. Namun kakek itu benar-benar sakti. Kini bukan hanya tasbehnya yang menangkis sehingga mengeluarkan bunyi berkencringan berulang-ulang, akan tetapi juga sabuk merahnya menangkis dan sekaligus berusaha membelit pedang Lui-kong-kiam.

   Siang Lan tentu saja tidak membiarkan pedangnya terampas, maka ia membantu pedangnya dengan pukulan telapak tangannya yang membuat sabuk merah itu tertiup dan tidak dapat membelit pedang. Serang menyerang terjadi dalam kamar tidur Pangeran Bouw yang luas itu. Meja kursi terlempar oleh tendangan kedua orang yang sedang bertanding. Ternyata dalam hal ilmu silat, kedua orang ini memiliki tingkat berimbang. Siang Lan memang sedikit lebih menang dalam hal kecepatan gerakan, namun ia kalah kuat dalam penggunaan tenaga sakti. Apalagi karena kakek itu mencampur sin-kang dengan Hoat-sut (sihir), maka sering kali Siang Lan terhuyung oleh pengaruh sihir melalui bentakan kakek itu. Bagaimanapun juga, kakek itu merasa penasaran sekali.

   Dia adalah datuk nomor satu di Pek-lian-kauw dan mungkin tingkat kepandaiannya hanya kalah sedikit dibandingkan para pemimpin jajaran tingkat atas dari Pek-lian-kauw pusat. Masa kini melawan seorang gadis saja dia tidak mampu mengalahkannya? Setelah bertanding lebih dari tigapuluh jurus dan mereka saling menyerang dan belum ada yang tampak terdesak, tiba-tiba kakek itu berteriak seperti bunyi seekor burung gagak dan kain merah di tangan kanannya melayang dan ujungnya menyambar ke arah ubun-ubun kepala Siang Lan. Serangan ini berbahaya sekali karena kalau sampai ubun-ubun kepala terkena patukan atau totokan ujung kain merah, Siang Lan pasti akan tewas. Gadis ini cepat mengelak ke kiri sambil menyabetkan pedangnya ke arah ujung kain merah itu.

   "Pratt!" Ujung kain merah itu putus, akan tetapi tiba-tiba ujung itu mengeluarkan uap berwarna merah yang menyerang dan mengenai muka Siang Lan.

   Gadis itu tidak keburu menahan napasnya sehingga ada uap merah yang terhisap olehnya. Seketika kepalanya pening, pandang matanya kabur dan ia pun terhuyung ke belakang, ke arah pintu rahasia terbuka! Cui-beng Kui-ong atau A-kui, kakek itu, tertawa dan dia sudah menyambar tubuh Siang Lan yang pingsan, lalu membawanya turun ke ruangan bawah tanah. Dia marah sekali karena rahasianya ketahuan. Dia teringat kepada Nyonya Bouw dan memaki.

   "Anjing perempuan itu pasti yang membocorkannya. Ia pantas mampus!" Dia lalu menotok punggung Siang Lan dan melemparkan tubuh gadis itu ke atas lantai, tidak mempedulikan pedang Lui-kong-kiam yang ikut terlempar, dan seolah tidak melihat bahwa Kaisar dan Pangeran Bouw telah lepas dari ikat mereka.

   Dia terlalu memandang rendah tiga orang tawanannya, apalagi setelah Siang Lan dia buat tidak berdaya dengan totokannya. Nafsu amarah membuat dia lengah dan kakek itu cepat melompat keluar dari ruangan bawah tanah, lalu menutupkan kembali pintu rahasia yang hanya dapat dibuka dengan memutar arca singa itu. Setelah pintu tertutup, dia lari mencari Nyonya Bouw. Akan tetapi dia tidak dapat menemukannya, maka bagaikan gila dengan kejam dia membunuhi siapa saja yang ditemukannya. Kegilaannya itu membuat tujuh orang pelayan, lima wanita dan dua pria, yang bertahan di situ ketika yang lainnya sudah pergi meninggalkan keluarga Pangeran Bouw, dibantai Cui-beng Kui-ong!

   Dengan kemarahan masih meluap-luap, kini Cui-beng Kui-ong yang kedua tangannya berlepotan darah karena membantai para pelayan dengan tangan kosong, memecahkan kepala, menusuk dada dengan tangan dan jarinya, berlari memasuki kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong. Sementara itu, melihat Siang Lan roboh dan tidak mampu bergerak, Pangeran Bouw Ji Kong yang memiliki tingkat ilmu silat cukup tinggi, segera memeriksanya. Dia tahu bahwa gadis itu masih pingsan dan dalam keadaan tertotok. Cepat ia mengambil air yang disediakan untuk minum di ruangan itu dan membasahi muka Siang Lan dengan air. Gadis itu mengeluh dan siuman, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Pangeran Bouw berusaha untuk membuka totokan itu, akan tetapi dia selalu gagal.

   "Nona, tahukah engkau bagaimana membuka totokan pada tubuhmu ini?"

   "Totokan ini rasanya aneh, aku sendiri tidak tahu," jawab Siang Lan lirih.

   Pada saat itu, terdengar suara gerengan dan kakek A-kui yang kini tampak menyeramkan seperti orang gila, sudah menuruni tangga. Melihat ini, Pangeran Bouw cepat memungut pedang Lui-kong-kiam milik Siang Lan yang ikut terlempar ke lantai dan dia sudah berdiri melindungi kaisar. Dengan pedang di tangan Pangeran Bouw menghadang lalu berkata dengan suara garang.

   


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 14

   "Kakek A-kui, siapakah sebenarnya engkau dan mengapa engkau menculik Sribaginda Kaisar?"

   "Heh-heh-heh, mau tahu aku siapa? Aku adalah Cui-beng Kui-ong, datuk dari Pek-lian-kauw! Aku memang diselundupkan menjadi pelayanmu untuk bertindak kalau-kalau pemberontakanmu gagal. Siapa kira, engkau malah mengkhianati perjuangan sendiri sehingga suteku Hwa Hwa Hoat-su terjebak dan tertawan. Kalian semua akan kubunuh, kucincang agar dendam kami Pek-lian-kauw terbalas......" Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring memasuki ruangan bawah tanah itu.

   "Cui-beng Kui-ong......!" Suara itu terdengar jelas sekali, menandakan bahwa suara itu diteriakkan orang yang menggunakan tenaga khi-kang sehingga mengandung getaran yang amat kuat, dapat terdengar dari jauh.

   "Rumah ini sudah terkepung ratusan perajurit! Engkau menyerahlah dan bebaskan Sribaginda Kaisar!!" Kakek itu terkejut dan sekali tubuhnya berkelebat, dia sudah meluncur seperti terbang keluar dari ruangan bawah tanah, kemudian dari dalam kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong dia menjawab dengan suara yang sama nyaringnya karena dia juga mengerahkan tenaga dari dalam pusarnya.

   "Hai kalian yang berada di luar! Bebaskan dulu Hwa Hwa Hoat-su dan semua kawan kami yang tertawan, baru kami akan membebaskan kaisar!" Beberapa saat lamanya tidak terdengar jawaban karena Bu-beng-cu yang tadi mengeluarkan teriakan itu berunding dengan Panglima Chang Ku Cing lebih dulu sebelum menjawab. Kemudian dia mengerahkan khi-kang dan menjawab dengan suara melengking.

   "Cui-beng Kui-ong, dengar baik-baik! Kalau engkau sekarang membebaskan Sribaginda Kaisar dan mempersilakan beliau keluar menemui kami, maka kami berjanji akan membebaskan Hwa Hwa Hoat-su dan teman-temannya yang kami tawan."

   "Tidak? Harus kalian yang lebih dulu membebaskan Hwa Hwa Hoat-su dan teman-temannya, baru Kaisar akan kubebaskan!" terdengar jawaban kakek itu.

   "Dengar, Cui-beng Kui-ong! Syarat kami tidak dapat ditawar lagi! Kalau engkau mengganggu Sribaginda Kaisar apalagi sampai membunuhnya, kami akan menyiksa semua temanmu di penjara sampai mati dan engkau juga akan kami hukum mati dan kepalamu akan kami gantung di depan pintu gerbang agar semua orang dapat melihat dan menghinamu!"

   "Ha-ha-ha? Kalian kira aku takut akan ancaman itu? Aku akan membawa Kaisar keluar dan siapa berani menentangku dan tidak mau membebaskan kawan-kawanku, aku akan membunuh Kaisar di depan hidung kalian!!"

   Setelah berkata demikian, Cui-beng Kui-ong lalu memasuki pintu rahasia dengan niat membawa Kaisar keluar sebagai sandera. Dia percaya bahwa kalau dia mengancam nyawa kaisar di depan semua panglima itu, pasti tidak ada yang berani menyerangnya dan dia dapat memaksa mereka membebaskan semua tawanan. Akan tetapi begitu dia menuruni anak tangga untuk membawa kaisar keluar, Pangeran Bouw Ji Kong sudah menghadangnya dengan pedang Lui-kong-kiam di tangannya! Siang Lan masih dalam keadaan tertotok dan ia merasa lemah sekali. Gadis perkasa ini maklum bahwa ia telah keracunan berat oleh uap merah dan juga totokan yang dilakukan kakek itu bukan totokan biasa, melainkan sejenis pukulan yang membuat ia terluka oleh hawa beracun yang amat berbahaya.

   "Hemm, Pangeran Bouw, aku hendak membawa Kaisar keluar. Engkau berani mencegah aku?" seru Cui-beng Kui-ong dengan marah dan juga heran akan sikap pangeran ini. Seorang yang tadinya hendak memberontak, hendak membunuh kaisar dan merampas tahta kerajaan, kini berbalik malah hendak melindungi kaisar!

   "Jangan engkau berani menyentuh Sribaginda Kaisar! Aku siap membelanya dengan taruhan nyawaku untuk menebus dosa-dosaku!" kata Pangeran Bouw Ji Kong dengan sikap tegas. Siang Lan hanya dapat memandang dengan hati panas dan khawatir, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.

   "Heh-heh-heh, pangeran tolol, memang engkau akan mampus lebih dulu!"

   "Hyaaatt!!" Pangeran Bouw Ji Kong menyerang dengan pedang Lui-kong-kiam sambil mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan jurus paling ampuh.

   Begitu menyerang, dia menggunakan ilmu silat pedang simpanannya, yaitu Kan-seng-sin-kiam-hoat (Ilmu Pedang Sakti mengejar Bintang). Namun, tingkat ilmu pedangnya masih jauh di bawah tingkat kepandaian kakek itu. Cui-beng Kui-ong hanya mengelak dan menangkis dengan tangan dari samping sambil berusaha menangkap pedang dan merampasnya. Akan tetapi dia tahu bahwa pedang Lui-kong-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh, maka dia juga berhati-hati agar tangannya jangan sampai terluka. Hal ini membuat Pangeran Bouw dapat bertahan sampai belasan jurus.

   Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan tasbehnya dan melontarkan ke atas. Tasbeh itu bagaikan hidup
berputar-putar dan melayang di udara, mengeluarkan suara berkeritikan dan menyambar ke arah kepala Pangeran Bouw. Pangeran ini berusaha membacok dengan pedangnya, akan tetapi tasbeh itu seperti seekor burung hidup, dapat mengelak dan menyambar-nyambar, membuat Pangeran Bouw mencurahkan perhatiannya ke atas untuk menangkis serangan tasbeh. Pada saat itu, Cui-beng Kui-ong mengeluarkan sabuk merahnya dan sekali sabuk itu meluncur seperti sinar merah, leher Pangeran Bouw tepat tertotok oleh ujung sabuk. Pangeran itu roboh seketika, pedangnya terlepas dari tangannya dan dia tewas karena totokan ujung kain merah itu selain dahsyat sekali mengenai tenggorokannya, juga dari ujungnya keluar hawa atau uap beracun.

   Kaisar yang juga melihat perkelahian itu duduk dengan sikap tenang di atas lantai sambil bersila. Agaknya dia memang pantas menjadi seorang kaisar, sama sekali tidak tampak takut biarpun dia tahu bahwa kini dirinya tidak mempunyai pelindung lagi. Sementara itu, Siang Lan sudah hampir tidak dapat menahan rasa nyeri di dadanya dan pernapasannya juga sesak terengah-engah. Ia menyadari bahwa semakin ia berusaha untuk mengerahkan sin-kang (tenaga sakti), rasa nyeri dalam dadanya makin menghebat. Maka kini ia hanya diam menahan diri menenangkan hatinya namun ia masih dapat melihat sikap kaisar dan diam-diam ia merasa kagum dan juga terharu.

   "Hayo, engkau ikut denganku keluar dan perintahkan mereka untuk membebaskan semua temanku yang ditawan!" kata Cui-beng Kui-ong sambil melangkah menghampiri kaisar. Siang Lan memaksa diri berseru.

   "Keparat busuk, jangan ganggu Sribaginda!"

   "Heh-heh, engkau iblis betina Hwe-thian Mo-li! Engkau juga harus mati untuk menebus dosamu membunuhi banyak orang Pek-lian-kauw. Terimalah ini!" Kakek itu melemparkan tasbehya yang berputar dan melayang ke arah kepala Siang Lan.

   "Wirrr...... pyarrrr......!!" Tiba-tiba sebuah benda sebesar kepala orang menyambar ke arah tasbeh dan begitu bertemu dengan tasbeh, benda itu pecah berkeping-keping, akan tetapi tasbeh itu sendiri juga putus untaiannya dan biji-biji tasbeh jatuh berhamburan di atas lantai.

   "Paman......!" Sian Lan berseru gembira akan tetapi segera terkulai pingsan lagi. Ia tadi menggunakan terlalu banyak tenaga sehingga lukanya di dalam dada semakin parah. Sementara itu, Cui-beng Kui-ong marah dan terkejut bukan main melihat tasbehnya putus berhamburan. Dia melihat bahwa benda yang dilontarkan orang menangkis tasbehnya adalah arca singa di dalam kamar tidur Pangeran Bouw yang kalau diputar menjadi pembuka pintu rahasia ruangan bawah tanah itu. Cepat dia memutar tubuhnya dan berhadapan dengan Bu-beng-cu.

   "Keparat, siapa engkau?" Cui-beng Kui-ong bertanya dengan suara galak karena dia marah sekali telah kehilangan tasbehnya.

   "Cui-beng Kui-ong, engkau tidak perlu tahu aku siapa. Yang jelas aku adalah orang yang menentang perbuatanmu yang kejam dan jahat! Karena itu, engkau lebih baik menyerah agar diadili, daripada engkau mati konyol. Engkau tidak mungkin dapat melarikan diri keluar dari gedung ini!"

   Diam-diam Bu-beng-cu menjadi terkejut dan merasa khawatir sekali ketika dia melihat Siang Lan rebah di atas lantai, dekat tubuh Pangeran Bouw Ji Kong yang biarpun tidak kelihatan terluka namun melihat keadaan wajahnya jelas sudah tewas. Dia melihat Siang Lan masih bernapas, akan tetapi pernapasannya tersendat-sendat dan wajahnya pucat sekali. Bu-beng-cu yang sudah lama dapat menguasai nafsu-nafsunya itu, melihat keadaan Siang Lan, tidak dapat menahan kemarahannya.

   "Jahanam busuk engkau, Cui-beng Kui-ong!" bentaknya dan bagaikan seekor naga mengamuk, Bu-beng-cu menerjang dengan pukulan tangan kanannya. Angin menyambar seperti badai ke arah Cui-beng Kui-ong, membuat kakek itu terkejut bukan main karena dari pukulan ini saja maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang yang lihai bukan main, yang memiliki pukulan seperti halilintar menyambar dan mengandung tenaga yang amat kuat. Dia tidak berani menyambut pukulan dahsyat ini dan cepat melompat ke belakang mengelak.

   "Blarrr......!" Dinding di belakangnya yang disambar angin pukulan itu tergetar hebat dan kalau tidak dilapisi baja, tentu akan jebol. Demikian hebatnya pukulan yang dilontarkan Bu-beng-cu!

   Karena ruangan bawah tanah itu kurang luas, Cui-beng Kui-ong yang mulai merasa gentar, cepat melompat ke anak tangga dan melesat keluar, ke dalam kamar tidur Pangeran Bouw Ji Kong yang lebih luas. Niatnya kalau ada kesempatan, dia akan meloloskan diri. Akan tetapi begitu tiba di dalam kamar, dari daun pintu dan jendela yang telah terbuka, dia melihat ratusan orang perajurit dipimpin belasan orang perwira tinggi sudah mengepung kamar itu. Tidak mungkin dapat melewati barisan yang demikian banyak. Maka dia menjadi nekat. Ketika mendengar gerakan Bu-beng-cu yang sudah mengejarnya, dia membalik dan sinar merah meluncur dari tangannya ketika dia menggerakkan kain merah yang ujungnya sudah terbabat putus oleh pedang Siang Lan tadi.

   Bu-beng-cu dapat menduga bahwa seorang datuk besar golongan sesat seperti Cui-beng Kui-ong pasti tidak menggunakan senjata sembarangan seperti sehelai kain merah biasa. Tentu kain itu mengandung racun. Akan tetapi dia tidak merasa gentar dan dia bahkan menyambut serangan itu dengan menggerakkan tangannya secepat kilat dan tahu-tahu kain merah itu telah dapat dia cengkeram! Bu-beng-cu mempertahankan ketika Cui-beng Kui-ong berusaha menarik lepas kain itu. Terjadi tarik menarik dan adu tenaga sakti melalui kain merah yang panjangnya tinggal sekitar lima kaki itu.

   "Prettt......!!" Tiba-tiba kain merah itu putus bagian tengahnya dan uap merah mengepul. Akan tetapi Bu-beng-cu yang sudah waspada meniup dengan mulutnya sehingga uap merah itu menyambar ke arah muka Cui-beng Kui-ong sendiri! Akan tetapi tentu saja Raja Iblis ini sudah menggunakan obat anti racun sehingga uap merah yang mengenai mukanya tidak mempengaruhinya. Dia semakin marah. Kedua senjatanya telah rusak.

   Setelah membuang potongan kain merah itu, dia lalu menerjang ke arah lawan dengan kedua tangan kosong. Bu-beng-cu menyambut dan kini kedua orang yang sama-sama lihainya itu bertanding dengan tangan kosong. Seru dan hebat bukan main perkelahian di antara mereka. Para perwira tinggi yang nonton dari luar, termasuk Panglima besar Chang Ku Cing yang datang kemudian, terbelalak menyaksikan perkelahian tingkat tinggi yang membuat gedung itu seolah tergetar hebat. Biarpun kedua orang itu memiliki tingkat kepandaian yang sama, Cui-beng Kui-ong memiliki kelemahan dibandingkan dengan lawannya. Dia sudah berusia hampir tujuhpuluh tahun sedangkan lawannya baru berusia empatpuluh dua tahun, dan selama ini, Cui-beng Kui-ong hidup lebih banyak menuruti hawa nafsunya, berbeda dengan Bu-beng-cu yang hidup bersih mengendalikan nafsunya sehingga keadaan jiwanya lebih bersih daripada Cui-beng Kui-ong.

   Hal ini didukung oleh tenaga saktinya yang murni dan datang dari kekuasaan Tuhan, tidak seperti Cui-beng Kui-ong yang telah banyak mengandalkan tenaga sihir atau ilmu hitam yang datang dari kekuasaan setan atau daya-daya rendah yang memperhambanya. Kekejaman dan pembunuhan yang sering dia lakukan membuat jiwanya semakin bergelimang kekotoran. Maka, setelah mereka bertanding sekitar limapuluh jurus, Cui-beng Kui-ong semakin panik. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, maka timbul akalnya yang memang selalu siap untuk bertindak curang dan licik.

   "Tahan dulu, aku mau bicara!" Cui-beng Kui-ong berseru.

   Mendengar ini, untuk tidak melanggar etika dunia persilatan, Bu-beng-cu menahan gerakannya, siap mendengarkan. Akan tetapi tiba-tiba, begitu dia menghentikan gerakan dan menahan tenaga saktinya, tanpa diduganya, Cui-beng Kui-ong menerjang dengan amat cepat dan kuat! Bu-beng-cu terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi sebuah pukulan telapak tangan kiri Cui-beng Kui-ong tetap mengenai pundaknya sehingga tubuhnya terjengkang. Dia masih dapat mencegah tubuhnya terbanting, dengan berjungkir balik dan dia dapat berdiri, walaupun terhuyung ke belakang. Cui-beng Kui-ong tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Lawannya sudah terluka, maka dia pun menubruk maju sambil mendorongkan kedua telapak tangannya.

   "Mampus kau!" Bu-beng-cu menyambut dengan kedua telapak tangannya dan kini kedua telapak tangan mereka bertemu dan melekat.

   Mereka saling dorong dan saling serang melalui kedua tangan mereka dengan mengerahkan tenaga sakti mereka. Kalau dilihat begitu, seolah-olah dua orang itu sedang main-main. Mereka berdiri dengan kedua lutut agak ditekuk, kedua tangan dijulurkan ke depan dan dua pasang telapak tangan itu saling menempel, mata mereka mencorong saling pandang dan tubuh mereka sama sekali tidak bergerak. Dua orang perwira tinggi yang berdiri paling dekat di ambang pintu, melihat keadaan demikian itu, segera melompat maju dan menyerang Cui-beng Kui-ong dari belakang. Seorang menusukkan pedangnya ke punggung dan seorang lagi membacokkan pedangnya ke tengkuk kakek itu.

   "Trak-trakkk!" Pedang-pedang itu seperti bertemu baja yang amat kuat dan bukan hanya dua batang pedang itu patah, akan tetapi dua orang perwira itu terpental ke belakang dan roboh pingsan!

   Kiranya pada saat itu, Cui-beng Kui-ong sedang mengerahkan seluruh tenaga sin-kang (tenaga sakti) sehingga ketika dua orang perwira itu menyerangnya, tenaga dua orang perwira itu membalik dan selain pedang mereka patah, juga tenaga mereka yang membalik itu menghantam diri mereka sendiri sebelah dalam, membuat mereka roboh pingsan. Masih baik bahwa mereka memiliki tenaga yang tidak begitu besar karena semakin besar tenaga serangan itu, semakin parah pula kalau tenaga itu membalik dan menghantam diri sendiri! Akan tetapi, gangguan ini membuat perhatian Cui-beng Kui-ong terbagi dan pada saat yang bersamaan, Bu-beng-cu mengerahkan seluruh tenaga dan serangannya.

   "Wuuuttt...... desss......!!" Tubuh Cui-beng Kui-ong terdorong ke belakang seperti disambar angin badai, menabrak dinding kamar itu yang menjadi jebol dan dia pun roboh dan tewas! Tanpa mempedulikan orang lain Bu-beng-cu segera melompat masuk ke pintu rahasia, menuruni tangga dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi sambil memondong tubuh Siang Lan yang pingsan. Dia tidak lupa membawa pedang Lui-kong-kiam milik gadis itu.

   "Bu-beng-cu Tai-hiap (Pendekar Besar), kenapa Siang Lan itu dan hendak kaubawa ke mana?" Panglima Chang Ku Cing bertanya dengan khawatir melihat keadaan Siang Lan terkulai lemas dengan muka sepucat muka mayat.

   "Thai-ciangkun, ia terluka parah dan akan saya bawa untuk saya obati. Maafkan saya!" Dia melompat sambil memondong tubuh gadis itu dan cepat menghilang.

   Panglima Chang diikuti para perwira tinggi lalu memasuki ruangan bawah tanah dan menemukan kaisar dalam keadaan selamat dan sehat. Dengan girang mereka lalu memberi hormat dan mengantarkan kaisar kembali ke istana. Tinggal keluarga Pangeran Bouw Ji Kong yang setelah tahu bahwa sang pangeran itu tewas dalam ruangan bawah tanah, menangis sedih dan berkabung. Siang Lan membuka kedua matanya. Ia agak bingung melihat betapa ia rebah di atas sebuah pembaringan, dalam sebuah kamar yang tidak dikenalnya. Ia hendak bangkit walaupun tubuhnya terasa lemas.

   "Jangan bangkit dulu, engkau masih lemah, Siang Lan." terdengar suara yang amat dikenalnya. Ia menoleh dan melihat Bu-beng-cu duduk bersila di atas lantai, yang ditilami tikar. Ada bantal pula di situ, menunjukkan bahwa gurunya itu agaknya tidur di situ karena pembaringannya ia pakai tidur.

   "Paman...... di mana aku? Apa yang telah terjadi......?" Ia bertanya, masih bingung.

   "Tenanglah, Siang Lan. Bahaya maut yang mengancam dirimu telah lewat. Hawa beracun dalam tubuhmu telah lenyap, hanya engkau masih lemah. Engkau berada dalam kamar penginapan Hok An yang kusewa, ingat?" Siang Lan teringat. Ia pernah berkunjung ke kamar ini.

   "Akan tetapi, apa yang terjadi, Paman? Seingatku, aku rebah tertotok oleh A-kui, kakek setan yang lihai itu, dalam ruangan bawah tanah gedung Pangeran Bouw Ji Kong. Ahh, kasihan Pangeran Bouw! Dia telah mengorbankan nyawa demi membela Sribaginda Kaisar......"

   "Benar, Siang Lan. Engkau terluka yang mengandung hawa beracun dan engkau pingsan ketika kubawa ke sini. Tiga hari engkau tidak sadarkan diri di sini dan baru pagi ini engkau sadar."

   "Tiga hari? Aih, setelah aku pingsan di ruangan bawah tanah itu, lalu apa yang terjadi, Paman? Bagaimana engkau dapat menemukan aku di sana dan membawaku ke sini? Ceritakanlah, Paman!"

   "Baiklah, aku akan bercerita lebih dulu, nanti giliranmu menceritakan pengalamanmu. Tiga hari yang lalu, kita berpencar. Engkau menyelidiki gedung Pangeran Bouw Ji Kong dan aku akan menemui Hwa Hwa Hoat-su di penjara membawa surat perintah Panglima Chang yang kau dapatkan untukku. Nah, aku menemui Hwa Hwa Hoat-su dan aku berhasil memaksanya untuk mengaku siapa yang telah menculik Sribaginda Kaisar. Dia tidak tahu pasti akan tetapi dapat memastikan bahwa yang dapat melakukannya tentu Cui-beng Kui-ong, datuk paling terkenal di antara para tokoh Pek-lian-kauw. Akan tetapi dia tidak tahu di mana Cui-beng Kui-ong bersembunyi dan di mana pula Sribaginda disembunyikan. Aku lalu cepat pergi menjelang pagi itu ke gedung Panglima Chang dan membicarakan hasil penyelidikanku. Selagi kami berdua bicara, datang Nyonya Bouw yang menceritakan bahwa yang menculik Sribaginda Kaisar adalah pelayannya yang bernama A-kui dan bahwa suaminya, Pangeran Bouw, juga ditawannya. Ia menceritakan bahwa engkau datang pula hendak menolong Sribaginda. Mendengar itu, aku segera menyusulmu ke sini karena aku tahu bahwa yang disebut A-kui itu tentu Cui-beng Kui-ong yang amat lihai dan aku mengkhawatirkan dirimu."

   "Hemm, jadi setan tua yang mengaku A-kui itu adalah Cui-beng Kui-ong?" kata Siang Lan.

   "Benar, dengan cerdiknya orang-orang Pek-lian-kauw dapat menyelundupkan dia ke kota raja, bukan itu saja, bahkan berhasil membuat dia diterima sebagai seorang pelayan yang kelihatan setia kepada Pangeran Bouw Ji Kong. Ketika aku tiba di sana, aku melihat dia hendak membunuhmu dengan senjata tasbehnya......"

   "Ah, aku ingat sekarang! Seperti dalam mimpi saja! Aku melihatmu datang, Paman, aku memanggilmu dan...... selanjutnya entah aku tidak ingat lagi."

   "Agaknya engkau jatuh pingsan, Siang Lan. Lukamu parah karena mengandung hawa beracun yang amat jahat. Aku lalu berkelahi dengan Cui-beng Kui-ong. Dia lari keluar dari ruangan bawah tanah, kukejar dan kami berkelahi di kamar Pangeran Bouw. Akhirnya dengan susah payah aku berhasil merobohkannya. Dia tewas terkena pukulannya sendiri yang membalik.

   "Aku lalu memasuki ruangan bawah tanah dan membawamu ke sini. Kudorong keluar hawa beracun dari dalam dadamu dengan pengerahan sin-kang dan setelah dua hari dua malam, barulah aku berhasil membersihkan hawa beracun dari dalam tubuhmu. Begitulah ceritanya, Siang Lan." Dengan hati terharu Siang Lan memegang kedua tangan Bu-beng-cu yang menghampiri pembaringan ketika ia memberi isyarat agar laki-laki itu mendekat.

   "Paman, berulang kali engkau menyelamatkan nyawaku. Kalau tidak ada engkau, sudah lama Nyo Siang Lan tidak berada di dunia ini lagi."

   "Hushh, jangan bicara begitu, Siang Lan. Mati hidupnya setiap orang berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak menghendaki seseorang itu mati, siapa dan apa pun tidak mungkin dapat membunuhnya. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang mati, siapa dan apa pun tidak akan mampu mencegahnya! Jadi kalau kebetulan aku datang menolongmu, itu adalah kehendak Tuhan."

   "Bukan kebetulan, Paman. Akan tetapi memang engkau selalu membela dan melindungi aku. Aih, budimu sudah bertumpuk-tumpuk, Paman. Entah bagaimana aku akan dapat membalas budi kebaikanmu itu." Wajah Bu-beng-cu menjadi merah.

   "Sudahlah, sekarang ceritakan pengalamanmu ketika menyelidiki gedung Pangeran Bouw." Siang Lan lalu menceritakan apa yang dialaminya di gedung itu sampai ia melihat sikap A-kui terhadap Nyonya Bouw sehingga akhirnya Nyonya Bouw memberitahu kepadanya bahwa A-kui telah menawan Sribaginda Kaisar dan Pangeran Bouw di dalam ruangan bawah tanah. Ia menceritakan betapa ia bertanding melawan A-kui dan roboh terkena hawa beracun dan totokan kakek yang amat lihai itu.

   "A-kui melihat sendiri betapa Pangeran Bouw membela Sribaginda dengan mati-matian. Dia bukan lawan kakek itu akan tetapi aku tidak dapat bergerak. Aku melihat dia terbunuh."

   "Ah, sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Bagaimanapun juga, Pangeran Bouw telah menerima hukuman dari pengkhianatan dan pemberontakannya dan perbuatannya yang terakhir itu sedikit banyak telah menebus dosanya terhadap Sribaginda Kaisar. Aku yakin bahwa setelah peristiwa itu, Sribaginda akan mengampuni keluarganya dan mereka akan dibebaskan dari hukuman akibat pemberontakan Pangeran Bouw."

   "Kuharap begitu, Paman." Siang Lan hendak bangkit duduk, akan tetapi kembali Bu-beng-cu mencegahnya.

   "Jangan bangkit dulu, Siang Lan. Engkau sudah sembuh, akan tetapi badanmu masih lemah. Engkau perlu minum obat penguat badan. Tinggallah di sini dulu, aku akan membelikan obat itu di toko obat." Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu keluar dari kamar itu dan menutupkan daun pintu kamar dari luar. Siang Lan rebah telentang dan termenung memikirkan Bu-beng-cu. Laki-laki itu terlalu baik kepadanya dan kini ia semakin yakin bahwa ia mencintai Bu-beng-cu. Dan melihat semua perlindungan dan pembelaan yang diberikan pria itu kepadanya, juga pemberian latihan ilmu silat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, ia hampir yakin bahwa sebenarnya Bu-beng-cu juga mencintanya.

   Akan tetapi gambar wanita yang selalu dibawa-bawa Bu-beng-cu itu! Siapakah itu? Pria itu mengakui bahwa itu adalah gambar seorang wanita yang teramat penting baginya. Walaupun dia tidak mengaku bahwa dia mencinta wanita dalam gambar itu, namun Siang Lan sudah dapat menduganya. Bu-beng-cu tidak pernah menikah, jadi gambar itu bukanlah gambar isterinya. Apakah itu gambar seorang kekasihnya dan dia merasa malu untuk mengaku? Timbul keinginan yang besar sekali dalam hatinya untuk melihat gambar wanita itu. Ia menenangkan jantungnya yang berdebar, lalu menguatkan hati dan badannya, bangkit dan biarpun dengan lemah, ia menghampiri almari yang berada di sudut kamar. Dibukanya almari itu. Tidak banyak benda yang berada di dalamnya. Hanya buntalan pakaian dan...... gulungan gambar itu!

   Dengan jari-jari tangan gemetar karena merasa bahwa ia mencuri, Siang Lan mengambil gambar itu lalu membuka gulungannya. Ia memandang gambar seorang wanita dan sepasang matanya terbelalak, kedua tangan yang memegang gambar menggigil sehingga gambar itu terlepas dari tangannya, bergulung kembali dan menggelinding ke bawah meja. Ia menjatuhkan diri duduk di atas kursi, jantungnya berdebar penuh kejutan dan perasaan bahagia memenuhi hatinya. Kemudian, setelah ia dapat menenangkan jantungnya yang berdebar, ia memungut lagi gulungan gambar itu dan dibentangkannya, dipandangnya dengan teliti seolah ia belum percaya akan penglihatannya sendiri. Gambar itu adalah lukisan seorang wanita, lukisan dirinya!

   "Paman Bu-beng-cu!" Bibirnya berbisik dan senyum penuh kebahagiaan mengembang di bibirnya. Tidak salah dugaannya. Bu-beng-cu mencinta dirinya!

   Ia adalah wanita yang amat penting itu, wanita yang gambarnya selalu dibawa ke mana pun Bu-beng-cu pergi! Bu-beng-cu mencintanya! Pengetahuan ini membuat cintanya terhadap pria itu semakin mendalam. Ia lalu teringat bahwa Bu-beng-cu hendak menyembunyikan rahasia hatinya itu. Maka ia segera mengembalikan gulungan gambar itu ke dalam almari, lalu ia merebahkan diri lagi, telentang di atas pembaringan dengan perasaan yang demikian bahagianya sehingga ia lupa akan semua perasaan lemahnya dan ingin rasanya ia menari dan bernyanyi! Tak lama kemudian Bu-beng-cu membuka daun pintu kamar dari luar dan masuk. Dia melihat Siang Lan merintih lirih, mengaduh sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya.

   "Aduh...... aduh......!" gadis itu mengerang kesakitan. Bu-beng-cu melompat dekat pembaringan, duduk di tepi pembaringan dengan wajah kaget dan khawatir.

   "Kenapa Siang Lan?"

   "Kepalaku...... ah, kepalaku...... sakit sekali......" Bu-beng-cu cepat memeriksa kepala gadis itu dengan kedua tangannya, meraba seluruh kepala, merasakan denyutnya dengan ujung jari-jarinya dan terheran-heran karena dia tidak menemukan sesuatu yang tidak beres.

   "Bagaimana rasanya? Di bagian mana yang nyeri?" Bu-beng-cu bertanya penuh perhatian, sambil memijit-mijit kepala itu dengan sentuhan lembut.

   "Ah...... semua sakit...... akan tetapi sekarang mendingan, terasa enak kalau dipijit-pijit......" kata Siang Lan manja, namun suaranya masih terdengar seperti merintih. Mendengar ini, Bu-beng-cu lalu memijati kepala Siang Lan dengan kedua tangannya, membuat gadis itu membuka dan memejamkan matanya karena nikmat.

   "Aduhh...... aduh......" Siang Lan mengerang dan kini ia menggerak-gerakkan kaki kirinya seolah kaki itu kesakitan.

   "Ah, apanya lagi yang nyeri?" Bu-beng-cu bertanya heran.

   "Kakiku yang kiri...... aduh...... kakiku sakit sekali......" gadis itu merintih. Bu-beng-cu cepat mengalihkan kedua tangannya, dari kepala kini pindah ke kaki kiri Siang Lan, memeriksa dengan teliti. Akan tetapi, dia tidak menemukan sesuatu yang tidak wajar.

   "Maaf, harus kuperiksa dengan teliti!" katanya dan dia menggulung celana kiri itu ke atas sampai lutut. Jari-jari tangannya memijat dan mengurut, merasakan betapa lembut dan putih mulus betis kaki itu. Akan tetapi lagi-lagi dia tidak menemukan apa-apa yang tidak beres. Dia memijat-mijat dan mengurut dengan lembut dan perlahan-lahan Siang Lan berhenti mengeluh.

   "Apa sekarang sudah tidak nyeri lagi?" Dia bertanya.

   "Sekarang sudah sembuh karena kau pijit dan urut, Paman. Terima kasih......" kata Siang Lan menyembunyikan kegirangannya.

   Tentu saja ia tadi hanya berpura-pura untuk melihat bagaimana reaksi pria itu kalau ia merintih kesakitan. Ternyata Bu-beng-cu memperhatikan dengan penuh kekhawatiran dan ini membuatnya bahagia sekali. Ingin rasanya ia bangkit dan merangkul pria itu yang tidak ia ragukan lagi cintanya. Akan tetapi ia tidak mau melakukannya. Pertama, ia tidak mau membuat Bu-beng-cu menjadi malu karena rahasianya ketahuan olehnya dan kedua, ia masih mempunyai ganjalan dalam hatinya, yaitu belum dapat membunuh musuh besarnya, yaitu Thian-te Mo-ong. Kalau ia sudah dapat membunuh jahanam itu, baru ia akan mencurahkan seluruh perhatiannya akan hubungan cintanya dengan Bu-beng-cu!

   Bu-beng-cu menurunkan lagi gulungan celana Siang Lan itu dan karena dia merasa penasaran, sekali lagi dia memeriksa keadaan tubuh Siang Lan akan tetapi dia mendapat kenyataan bahwa kesehatan tubuh gadis itu sudah pulih dan tidak ada lagi gangguan apa pun kecuali masih lemah. Bu-beng-cu merasa aneh akan tetapi sedikit pun dia tidak menaruh curiga atau menduga gadis itu berpura-pura. Biarpun terkadang Siang Lan memperlihatkan perhatian kepadanya dan terkadang ada terpancar dalam matanya kekaguman dan rasa suka, dia tetap tidak percaya dan tidak dapat menerima dalam akalnya bahwa gadis itu dapat jatuh cinta kepadanya.

   "Tunggu, aku masakkan obat ini untukmu, Siang Lan," kata Bu-beng-cu, lalu dia pergi ke dapur rumah penginapan itu untuk minta kepada pelayan memasakkan obat yang dibelinya dari toko obat. Setelah dia meninggalkan kamar, Siang Lan rebah telentang sambil tersenyum bahagia. Pria itu sungguh amat sayang kepadanya, begitu penuh perhatian dan tampak khawatir sekali ketika ia beraksi pura-pura merasa sakit di kepalanya dan di kakinya.

   Pijatan dan belaiannya masih terasa olehnya, begitu lembut dan hangat! Ketika Bu-beng-cu memasuki kamar membawa semangkok obat, dengan taat Siang Lan meminumnya sampai habis. Selama dua hari Siang Lan tinggal di kamar itu memulihkan tenaganya. Kalau malam Bu-beng-cu tidur di atas lantai bertilam tikar sehingga Siang Lan merasa tidak enak sekali. Diam-diam ia semakin kagum karena Bu-beng-cu sedikit pun tidak memperlihatkan sikap kurang sopan terhadap dirinya. Padahal ia sudah tidur sekamar selama lima malam! Pada keesokan harinya setelah selama dua hari minum obat penguat dan merasa kekuatannya pulih kembali, Bu-beng-cu tahu-tahu tidak berada dalam kamarnya.

   Sepucuk suratnya berada di atas meja dengan pemberitahuan bahwa dia hendak pulang lebih dulu karena Siang Lan sudah sembuh dan tidak ada urusan lagi baginya di kota raja. Siang Lan termenung duduk di atas kursi sambil memegangi surat itu. Tiba-tiba saja ia merasa begitu kesepian sehingga rasanya ingin ia berteriak dan menangis! Segala sesuatu tampak demikian hambar dan tidak menyenangkan setelah Bu-beng-cu tidak berada didekatnya! Ia pun mengambil keputusan tegas. Hari itu juga ia harus pulang agar dapat berada di tempat yang dekat dengan Bu-beng-cu. Apalagi Bu-beng-cu sudah berjanji akan menurunkan ilmunya yang terakhir, memperkuat tenaga sakti dan mengajarkan pukulan Thai-lek-sin-ciang (Tenaga Sakti Tenaga besar).

   Menurut keterangan Bu-beng-cu, kalau ia sudah menguasainya, besar kemungkinan ia akan mampu mengalahkan musuh besarnya, yaitu Thian-te Mo-ong. Ia harus segera pulang ke Ban-hwa-kok, Lembah Selaksa Bunga yang menjadi tempat tinggalnya itu dan mempelajari ilmu yang dijanjikan Bu-beng-cu kepadanya. Setelah berkemas dan mendapat penjelasan pelayan rumah penginapan bahwa sewa kamar telah dibayar oleh Bu-beng-cu, Siang Lan lalu pergi ke rumah gedung Pangeran Sim Liok Ong, ayah Sim Tek Kun. Ia berpamit kepada Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong yang merasa gembira melihat gadis itu dalam keadaan sehat dan selamat. Setelah berpamit, Siang Lan lalu berangkat pulang, meninggalkan kota raja menuju ke Lembah Selaksa Bunga.

   Akan tetapi, di tengah perjalanan sebelum meninggalkan kota raja, Panglima besar Chang Ku Cing menghadangnya dan menyampaikan perintah kaisar yang mengundang Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan agar datang menghadap Sribaginda Kaisar! Biarpun tidak ingin menghadap, terpaksa Siang Lan tidak berani menolak dan ia ditemani panglima Chang menuju ke istana menghadap Sribaginda Kaisar Wan Li. Kaisar menerimanya dengan ramah dan memuji-muji kegagahan Siang Lan yang begitu berani berusaha menyelamatkan Sribaginda dari sekapan Cui-beng Kui-ong sehingga mengorbankan diri sendiri roboh dan terluka oleh kakek iblis itu. Juga Kaisar berterima kasih dan hendak memberi hadiah yang boleh dipilih sendiri oleh Siang Lan, yaitu pangkat tinggi atau harta benda.

   Siang Lan yang cerdik tidak menginginkan hadiah pangkat tinggi atau harta benda. Ia hanya mohon kepada Kaisar agar diberi hak memiliki Bukit Ban-hwa-san di daerah Pegunungan Lu-liang-san. Kaisar memenuhi permintaannya dan memerintahkan Menteri Urusan Tanah untuk membuatkan pernyataan hal milik itu kepada Siang Lan. Di samping itu, juga Kaisar memberi sekantung emas yang tidak dapat ditolak oleh Siang Lan. Setelah meninggalkan istana, Panglima Chang Ku Cing minta kepada Siang Lan untuk singgah di gedungnya dan di sini panglima Chang bersama isterinya secara langsung meminang Siang Lan untuk dijodohkan dengan keponakan panglima itu, ialah Chang Hong Bu.

   "Keponakan kami itu, Chang Hong Bu. sudah berusia duapuluh lima tahun dan sudah cukup dewasa untuk berumah tangga. Kami lihat engkau juga sudah cukup dewasa dan engkau sudah mengenal baik keponakan kami itu. Hong Bu juga dengan terus terang mengaku kepada kami bahwa dia mencintamu, Siang Lan. Karena itu, dalam kesempatan ini kami berani mengajukan usul perjodohan ini kepadamu, sekiranya engkau belum......"

   "Thai-ciangkun, saya sudah mempunyai seorang calon suami!" Siang Lan memotong singkat.

   "Ah......?" Suami isteri itu terkejut dan kecewa.

   "Mengapa Hong Bu tidak menceritakan kepada kami?"

   "Dia memang tidak mengetahui, Paman."

   "Hemm, kalau boleh kami mengetahui, siapakah calon suamimu yang berbahagia itu?"

   "Dia...... dia adalah Bu-beng-cu." Siang Lan berkata demikian bukan hanya karena memang benar ia dan Bu-beng-cu saling mencinta, akan tetapi terutama sekali agar panglima dan isterinya tidak bicara lagi tentang perjodohan yang mereka usulkan itu. Panglima Chang Ku Cing dan isterinya tampak kecewa sekali, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani lagi menyinggung urusan pinangan mereka yang otomatis tidak mungkin dilanjutkan.

   Setelah meninggalkan kota raja, Siang Lan melakukan perjalanan cepat. Dalam perjalanan itu ia melamun. Ia memang sudah tahu bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta kepadanya. Sebetulnya, memiliki calon suami seperti Chang Hong Bu amatlah menyenangkan dan membanggakan. Pemuda itu tampan gagah dan berbudi baik, seorang pendekar sejati. Selain itu, juga dia keponakan Panglima Chang Ku Cing yang terkenal bijaksana. Gadis mana yang tidak akan bangga mempunyai suami seperti Chang Hong Bu? Akan tetapi kalau ia mengingat keadaan dirinya yang sudah bukan perawan lagi, ia merasa ngeri membayangkan Hong Bu menolaknya setelah mengetahui keadaan dirinya!

   Dan penolakan itu akan membuat ia merasa terhina dan mungkin ia akan membunuh Hong Bu kalau pemuda itu menolaknya karena ia bukan perawan lagi! Lebih baik dari sekarang menolak pinangan itu daripada kelak ada kemungkinan terjadi hal itu. Sebaliknya, Bu-beng-cu telah tahu bahwa ia bukan perawan lagi. Ia telah menceritakan kepadanya, namun biarpun sudah mengetahui keadaan dirinya, tetap saja Bu-beng-cu mencintainya. Dia melindunginya, membelanya, mengajarkan ilmu-ilmunya kepadanya, bahkan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Ia tidak meragukan lagi cinta Bu-beng-cu kepadanya, bukan hanya terbukti dari sikapnya, melainkan juga dari gambarnya yang dibawa ke mana pun dia pergi!

   "Paman Bu-beng-cu......!" Ia berbisik, sama sekali tidak merasa janggal bahwa ia jatuh cinta kepada seorang laki-laki yang jauh lebih tua daripadanya sehingga ia menyebutnya paman.

   Ia segera mempercepat larinya agar dapat segera tiba di Ban-hwa-san atau lebih tepat lagi, agar dapat segera bertemu dengan Bu-beng-cu. Kui Li Ai duduk seorang diri di antara ratusan bunga di taman yang diatur dan dipeliharanya sendiri di bagian belakang rumah induk di perkampungan Ban-hwa-kok. Biasanya, kalau ia duduk seorang diri sambil menikmati keindahan bunga-bunga itu, ia merasa berbahagia sekali. Akan tetapi pagi hari ini ia tampak tidak gembira, bahkan sejak tadi termenung.

   Ia teringat akan keadaan dirinya dan merasa betapa kesialan menimpa dirinya secara bertubi-tubi. Gadis yang usianya baru kurang dari duapuluh tahun itu, yang tubuhnya tinggi ramping, dengan kulit putih mulus, wajahnya manis sekali dengan bentuk bulat dan sepasang matanya lebar bersinar seperti sepasang bintang, kini tampak agak murung. Betapa ia tidak akan sedih kalau mengingat masa lalunya. Ayahnya membunuh diri untuk menebus kesalahan telah membebaskan orang-orang Pek-lian-kauw yang ditawan pemerintah. Baru saja ayahnya membunuh diri karena kesalahan yang terpaksa dilakukan untuk membebaskan dirinya yang ditawan orang-orang Pek-lian-kauw, ia sendiri diperkosa oleh dua orang Pek-lian-kauw.

   Peristiwa kedua ini saja sudah membuat ia putus asa dan tentu ia telah membunuh diri kalau tidak dicegah oleh Hwe-thian Mo-li yang menolongnya dan yang membunuh dua orang Pek-lian-kauw yang memperkosanya. Kemudian, dua peristiwa yang menghancurkan hatinya ini disambung dengan sikap ibu tirinya yang menghina dan menyalahkannya, dikatakan bahwa ia penyebab kematian ayahnya. Sikap ibu tirinya ini yang kemudian dihajar oleh Hwe-thian Mo-li membuat ia tidak mungkin dapat tinggal di rumah ayahnya yang kini dikuasai oleh ibu tirinya. Ia lalu ikut Hwe-thian Mo-li dan tinggal di Ban-hwa-kok. Kemudian menyusul lagi peristiwa yang menyakitkan hatinya. Bong Kongcu atau nama lengkapnya Bong Kim, pemuda hartawan di kota raja, yang sejak dulu tampak mencintanya, oleh Hwe-thian Mo-li didesak untuk melamarnya.

   Biarpun ia tidak bisa mengatakan cinta kepada pemuda itu, hanya rasa suka karena pemuda itu amat memperhatikannya, bersedia menerima lamarannya. Ketika Bong Kim datang melamar dan ia mengaku bahwa dirinya telah diperkosa orang, pemuda itu berbalik menghinanya dan hanya akan mengambilnya sebagai selir. Hwe-thian Mo-li menghajar pemuda itu dan kembali Li Ai menderita tekanan batin yang hebat. Berturut-turut dan bertubi-tubi kesialan hidup menimpa dirinya. Sekarang ia merasa terhibur dan senang hidup di Ban-hwa-san bersama Hwe-thian Mo-li dan anak buah Ban-hwa-pang. Akan tetapi muncul Bouw Cu An, putera seorang pangeran yang jatuh cinta kepadanya. Dan, baru sekali ini selama hidupnya Li Ai juga jatuh cinta kepada seorang pemuda.

   Ia mencinta Bouw Cu An dan mereka berdua sudah saling mengetahui bahwa mereka saling mencinta. Bahkan ketika Bouw Cu An hendak meninggalkan Lembah Selaksa Bunga, mereka sudah saling menukar tanda mata. Bouw Cu An memberi sebuah kantung bersulam kupu-kupu yang indah, sedangkan pemuda itu memilih tusuk sanggul rambutnya berupa bunga teratai sebagai tanda mata. Biarpun tidak terucapkan, pemberian tanda mata itu bagi mereka mempunyai arti yang khusus, yaitu bahwa mereka saling mencinta dan secara batiniah saling terikat satu sama lain! Li Ai menghela napas panjang dan membelai kantung bersulam kupu-kupu indah yang sejak tadi dipegangnya, Bagaimana mungkin ia dapat berjodoh dengan putera pangeran itu?

   Ia sudah ternoda. Kalau kelak Bouw Cu An mendengar bahwa ia bukan perawan lagi, apakah pemuda itu dapat menerimanya? Apakah dia tidak akan memandangnya rendah dan menghinanya seperti yang pernah dilakukan Bong Kim, pemuda hartawan dari kota raja itu? Penghinaan dari Bong Kim itu hanya membuatnya marah, akan tetapi kalau sampai Bouw Cu An menolak dan menghinanya, ia tidak akan sanggup menerimanya. Hatinya akan hancur dan hidup tidak ada artinya lagi baginya karena ia sungguh mencinta pemuda itu! Tidak, lebih baik hubungan itu diputuskan sekarang yang hanya mengakibatkan kecewa dan duka. Kalau putus karena pemuda itu mengetahui keadaannya, menolak dan menghinanya, akibatnya akan terlalu berat dan hebat baginya.

   "Tidak ini tidak boleh terjadi. Tidaaakk......!" Ucapan "tidak" yang terakhir itu keluar sebagai jeritan hati yang terucapkan oleh mulutnya.

   "Heii, apanya yang tidak, Moi-moi?" tiba-tiba terdengar suara laki-laki. Li Ai terkejut dan cepat menoleh ke belakang dan...... ia melihat Bouw Cu An melangkah menghampirinya! Cepat ia menyelipkan kantung bersulam itu ke ikat pinggangnya dan bangkit berdiri, menyongsong kedatangan pemuda itu.

   "Koko!" Li Ai berseru dan girang bukan main.

   "Eh, bagaimana engkau dapat tiba-tiba muncul di sini? Bagaimana dapat melalui jebakan-jebakan rahasia kami?" Cu An tersenyum.

   "Untung sekali di bawah sana aku bertemu dengan seorang anggauta Ban-hwa-pang yang telah mengenal aku maka ia mau menjadi penunjuk jalan sehingga aku dapat naik ke sini, Ai-moi."

   "Mari kita masuk dan bicara di dalam rumah, An-ko."

   "Tidak, Moi-moi. Keadaan di sini sungguh indah dan hawanya begini sejuk dan cerah. Aku ingin bicara denganmu di sini saja."

   "Duduklah, An-ko." Li Ai mempersilakan pemuda itu duduk di atas bangku panjang dan ia duduk di sebelahnya, agak jauh.

   "Ada apakah, An-ko? Aku melihat ada sesuatu yang membuatmu seperti orang bersedih." Memang gadis itu melihat biarpun mulut pemuda itu tersenyum namun pandang matanya seperti orang sedang berduka, sinar mata itu sayu. Cu An menghela napas panjang. Dia lalu dengan terus terang menceritakan tentang pemberontakan ayahnya sampai akhirnya ayahnya berhasil dibujuknya dan berbalik menjebak para sekutunya sehingga pemberontakan itu dapat dihancurkan.

   "Aku merasa malu sekali, Moi-moi, mengapa Ayahku sampai melakukan pengkhianatan dan pemberontakan, padahal dia sudah mendapatkan kedudukan tinggi sebagai penasihat Kaisar dalam hubungan pemerintah dengan suku-suku asing dan luar negeri." Suasana menjadi hening setelah Cu An menceritakan keadaan ayahnya dengan panjang lebar. Ketika Li Ai memandang wajah pemuda itu yang kini tampak sedih sekali, ia merasa terharu dan berkata menghibur.

   "An-ko, sudahlah jangan terlalu bersedih. Setidaknya ayahmu telah menyesal dan menyadari kesalahannya, bahkan memperlihatkan penyesalannya dengan membantu pemerintah menjebak para sekutu pemberontak sehingga dapat dihancurkan. Hal itu merupakan hiburan besar bagimu, Koko."

   "Benar memang, Moi-moi. Akan tetapi apa artinya perbuatan Ayahku itu kalau dibandingkan dengan dosa-dosanya? Dialah yang mendalangi terbunuhnya enam orang pembesar yang baik dan setia kepada Sribaginda Kaisar. Ah, aku malu sekali, Moi-moi.''

   "Sudahlah, An-ko. Setelah Ayahmu berhasil membantu pemerintah menumpas pemberontak dan seperti kauceritakan tadi, engkau dan gurumu Ouw-yang Sian-jin membantu pula, mengapa sekarang engkau meninggalkan kota raja dan datang ke sini? Bukan aku tidak senang engkau datang berkunjung, akan tetapi kenapa Enci Siang Lan belum pulang?"

   "Hwe-thian Mo-li tentu masih banyak urusan di sana dan aku sengaja datang ke sini untuk menemuimu, Ai-moi. Aku ingin menceritakan semua ini kepadamu dan sekalian mengucapkan selamat tinggal dan selamat berpisah untuk selamanya......" suaranya gemetar. Mendengar ini, saking kagetnya, wajah Li Ai menjadi pucat dan tanpa disadarinya ia memegang lengan pemuda itu erat-erat sambil menatap wajahnya.

   "Koko, mengapa engkau mengucapkan selamat tinggal? Apa maksudmu......?" Gadis itu memandang dengan khawatir sekali. Bouw Cu An diam sejenak, agaknya seperti mengumpulkan kekuatannya karena dia tenggelam dalam kesedihan. Kemudian dengan suara lirih dan gemetar dia berkata.

   "Moi-moi...... aku...... aku sungguh malu sekali kepadamu. Engkau puteri seorang pahlawan yang patriotik sedangkan aku...... aku hanya anak seorang pengkhianat, seorang pemberontak......" Cu An bangkit berdiri dan memutar tubuhnya untuk menyembunyikan air matanya yang menitik turun ke atas pipinya.

   "Aku...... aku...... tidak pantas berdekatan denganmu, tidak pantas menjadi sahabatmu...... apalagi ...... menjadi...... ah, aku tidak boleh mencintaimu......" Li Ai merasa terharu sekali. Ia maklum bahwa pemuda itu menangis dan hendak menyembunyikan tangisnya. Hal dapat ia ketahui dari suaranya dan pemuda itu mengangkat tangan ke muka, tentu untuk menghapus air matanya. Li Ai merasa terharu dan tanpa terasa lagi ia pun mencucurkan air mata.

   "Tidak, Koko...... mendiang Ayahku juga melakukan kesalahan! Ayahku juga pernah membebaskan tawanan......"

   "Akan tetapi beliau melakukannya untuk menyelamatkanmu dan telah ditebusnya dengan nyawanya. Sedangkan Ayahku...... dia memberontak untuk mencari kedudukan, untuk dirinya sendiri......"

   "Akan tetapi Ayahmu juga sudah insaf dan membantu pemerintah membasmi para pemberontak."

   "Jangan membela Ayahku, Moi-moi, aku...... aku merasa rendah dan hina sebagai anak pengkhianat yang akan selalu dikutuk. Aku tidak berhak dan tidak boleh mendekatimu...... engkau akan ikut tercemar...... aku tidak layak menjadi...... menjadi......" Cu An tidak dapat melanjutkan, lalu menjatuhkan diri duduk di atas bangku dengan tubuh lemas dan dia menggunakan kedua tangannya untuk menutupi mukanya. Li Ai tidak dapat menahan keharuan dan kesedihannya mendengar ucapan itu. Ia memegang lengan pemuda itu dan memaksanya berputar sehingga mereka saling berhadapan. Dengan air mata membasahi sepasang matanya dan mengalir menuruni sepasang pipinya yang agak pucat, Li Ai berkata.

   "Koko, jangan berkata begitu. Aku tetap menghormatimu karena engkau memang layak dihormati. Jangan bilang engkau tidak pantas. Akulah yang tidak pantas mendekati. Akulah gadis yang hina......"

   ðŸŽ‹ðŸ˜€

   

   "Moi-moi!" Cu An berseru kaget.

   "Benar, Koko...... dengarlah baik-baik, akulah yang tidak layak mendapat cintamu, tidak pantas mencintamu...... aku sama sekali tidak berharga untuk menjadi sisihanmu...... aku adalah seorang gadis yang sudah ternoda, aku...... aku bukan perawan lagi...... aku telah diperkosa orang......" Tiba-tiba Cu An bangkit berdiri, mukanya merah karena marah sehingga Li Ai merasa hancur hatinya karena ia mengira bahwa seperti juga Bong Kim dahulu, pemuda itu pun akan memandang rendah dan menghinanya, maka ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis tersedu-sedu.

   "Siapa dia? Katakan, Ai-moi, siapa laki-laki yang melakukan perbuatan biadab itu? Cepat katakan, sekarang juga akan kuhancurkan kepalanya si jahanam terkutuk itu!!" Mendengar betapa pemuda itu marah kepada si pemerkosa dan tidak memandang rendah atau menghinanya, Li Ai menahan tangisnya dan berani memandang muka pemuda itu dengan muka pucat yang basah air mata, lalu berkata lirih diseling isak.

   "Mereka...... adalah dua orang...... Pek-lian-kauw...... akan tetapi mereka...... sudah dibunuh oleh Enci Siang Lan......" Cu An menarik napas panjang, tampak lega mendengar ini.

   "Aah, kalau begitu, dendam sakit hatimu telah terbalas impas, Ai-moi. Mengapa engkau masih juga bersedih?"

   "...... akan tetapi...... aku...... aku sudah ternoda...... terlalu hina untukmu, An-ko......"

   "Uhh, siapa bilang? Engkau sama sekali tidak bersalah. Engkau dipaksa dan engkau sama sekali tidak hina bagiku!"

   "Tapi...... tapi...... aku...... bukan perawan lagi......" Li Ai menangis. Cu An bergerak maju dan merangkul gadis itu. Meledaklah tangis gadis itu sehingga terisak-isak dan ia tidak mampu bicara lagi. Cu An mendekap muka gadis itu ke dadanya sehingga air mata Li Ai membasahi dada bajunya, menembus baju bahkan seolah menembus kulit dadanya dan menyejukan hatinya.

   "Li Ai, kaukira aku ini laki-laki macam apa? Aku bukan hanya mencintai keperawananmu. Aku sayang kamu, aku cinta kamu lahir batin, bukan hanya mencinta badanmu melainkan engkau seluruhnya. Engkau sama sekali tidak hina bagiku, engkau tetap bersih, tetap murni dan aku bahkan semakin mencintamu. Li Ai, jawablah, maukah engkau menjadi teman hidupku selamanya, menjadi isteriku, isteri seorang anak pangeran pemberontak?"

   "Koko Bouw Cu An......!" Saking bahagia dan terharunya mendengar ucapan itu, Li Ai tiba-tiba terkulai dan cepat ia merangkul pinggang pemuda itu. Kalau Cu An tidak memeluknya erat, mungkin ia akan jatuh terguling. Ia hampir pingsan dan menjadi lemas dalam pelukan Cu An.

   "Moi-moi, jangan khawatir, aku akan melindungimu dan menyayangmu selamanya," bisik Cu An sambil mendekap kepala itu erat-erat seolah hendak memasukan gadis itu ke dalam dirinya sehingga mereka tidak akan dapat saling berpisah lagi. Cinta sejati memang indah karena cinta seperti ini merupakan kasih sayang yang murni, sebagai pijar dari api kasih yang datang dari Tuhan. Cinta kasih seperti ini bebas dari keinginan untuk menyenangkan diri sendiri.

   Semua diperuntukkan orang yang dikasihi, demi kebahagiaan orang yang dikasihi, dan cinta seperti ini baru dapat dirasakan kalau diri sendiri tidak diperbudak oleh nafsu dan pementingan diri sendiri. Sebaliknya, cinta yang sepenuhnya didorong oleh nafsu hanya mementingkan diri sendiri, hanya bertujuan untuk menyenangkan diri sendiri. Kalau diri sendiri tidak lagi mendapat kesenangan dari orang yang dicintai, maka cinta itu akan berubah, lenyap atau bahkan berbalik menjadi benci. Bukan berarti bahwa cinta sejati tidak mengenal nafsu berahi. Seperti juga nafsu-nafsu lain, nafsu berahi sudah ada pada setiap orang manusia yang sehat dan wajar. Hanya bedanya, dalam cinta kasih sejati itu nafsu berahi menjadi pelayan kita. Sebaliknya dalam cinta nafsu, nafsu berahi menjadi majikan kita.

   Cinta kasih yang berada dalam diri Bouw Cu An dan Kui Li Ai adalah contoh cinta sejati. Cinta seperti ini adanya hanya keinginan untuk saling membahagiakan. Sampai lama mereka saling rangkul dengan ketat seolah telah menjadi satu, lupa tempat dan waktu, bahkan lupa akan diri sendiri. Tiba-tiba terdengar suara batuk seorang wanita. Suara ini cukup untuk menarik kedua orang yang sedang asyik-masyuk itu ke dalam sadar. Mereka menengok dan melihat bahwa di situ telah berdiri seorang wanita dengan sikap hormat dan ragu. Wanita itu adalah Bwe Kiok Hwa, kepala pembantu dan murid tertua di Ban-hwa-kok yang usianya sudah tigapuluh satu tahun. Melihat Bwe Kiok Hwa, kedua orang muda itu saling melepaskan rangkulan dan wajah keduanya berubah kemerahan.

   "Eh, Enci Bwe Kiok Hwa......" kata Li Ai. Bwe Kiok Hwa tampak ragu dan sungkan.

   "Nona Kui Li Ai...... saya kira engkau sudah tahu akan peraturannya......" Li Ai mengangguk.

   "Aku tahu dan mengerti, Enci kiok Hwa. Jangan khawatir, aku yang akan laporkan kepada Enci Nyo Siang Lan kalau ia pulang." Bwe Kiok Hwa mengangguk.

   "Maaf, bukan maksud saya untuk mengganggu." Setelah memberi hormat kepada sepasang orang muda itu, ia lalu pergi.

   "Ai-moi, apa sih artinya ucapanmu kepadanya tadi?" tanya Bouw Cu An.

   "Begini, An-ko. Setelah Enci Siang Lan menjadi pemimpin Ban-hwa-pang yang anggautanya semua wanita, yang tidak menikah, ia mengadakan peraturan bahwa siapa yang menikah harus keluar dari Ban-hwa-kok. Setiap orang anggauta Ban-hwa-kok tidak boleh bergaul dengan pria kalau tidak akan menjadi suami isteri, dan kalau ada pria yang berani mempermainkan anggauta Ban-hwa-pang, akan dibunuh. Maka setelah tadi Enci Bwe Kiok Hwa melihat kita, ia peringatkan padaku tentang peraturan itu. Akan tetapi, kita tidak perlu khawatir, bukan, An-ko?" Cu An tersenyum dan memegang kedua tangan kekasihnya.

   "Tentu saja tidak, Moi-moi. Kita berdua tidak main-main, dan aku akan memberitahu orang tuaku agar mengajukan pinangan secara resmi. Akan tetapi, karena...... Ayah dan Ibu kandungmu telah tiada, kepada siapakah orang tuaku harus mengajukan lamaran? Menurut ceritamu, tentu engkau tidak ingin orang tuaku melamar kepada ibu tirimu, bukan?"

   "Aih, jangan! Aku tidak sudi dinikahkan oleh wanita berengsek itu! Kalau orang tuamu datang melamar, kuminta agar melamar kepada Enci Nyo Siang Lan, karena ialah yang kini menjadi waliku, kakak angkatku, juga guruku."

   "Bagus, kalau begitu, aku akan menanti di sini sampai ia datang. Bolehkah aku bermalam di sini, Ai-moi?"

   "Tentu saja boleh, An-ko, akan tetapi di kamar tersendiri, kamar tamu."

   "Tentu saja! Aku belum gila untuk minta sekamar denganmu, Moi-moi!"

   "Aih, bukan begitu maksudku." Li Ai tertawa senang karena kelakar itu menunjukkan penghormatan dan penghargaan yang tersembunyi.

   "Akan tetapi sebetulnya ini melanggar peraturan, akan tetapi......"

   "Kalau begitu, biar aku bermalam di kaki bukit saja, Ai-moi. Jangan sampai engkau mendapat marah dari Hwe-thian Mo-li!"

   "Tidak, An-ko. Kalau aku membiarkanmu bermalam di kaki bukit, di tempat terbuka, aku malah pasti akan ditegur Enci Siang Lan. Engkau boleh bermalam di sini atas tanggunganku, hanya saja, engkau tidak boleh keluar dari rumah induk, paling jauh engkau hanya boleh memasuki tempat ini." Cu An tersenyum.

   "Baiklah, aku akan menaati peraturan Ban-hwa-pang. Tidak apa dikeram dalam rumah asal setiap hari dapat melihatmu!"

   Demikianlah, dengan hati berbunga-bunga sepasang kekasih itu lalu memasuki rumah induk dan Li Ai lalu mempersiapkan kamar tamu yang berada di bagian belakang untuk Bouw Cu An. Kepada Bwe Kiok Hwa dan para anggauta Ban-hwa-pang lainnya Li Ai mengaku terus terang bahwa pemuda itu adalah tunangannya calon suaminya yang menanti kembalinya ketua mereka dan akan sementara tinggal di situ sampai Hwe-thian Mo-li pulang. Ia yang akan bertanggung jawab kalau ketua mereka marah. Karena baik Li Ai maupun Cu An bersikap wajar dan sopan, menjaga sikap mereka satu sama lain tetap sopan dan tidak memperlihatkan cinta mereka secara mencolok, maka para anggauta Ban-hwa-pang merasa tenang dan tetap menghormati sepasang kekasih ini.

   Kasih yang mendasari satu saja keinginan yaitu membahagiakan orang yang dikasihi sungguh mendatangkan perasaan yang luar biasa. Melihat kebahagiaan terpancar pada sinar mata dan senyum di wajah kekasihnya membuat mereka merasa luar biasa senang dan bahagianya. Karena itu, dengan hanya saling pandang tanpa ungkapan dengan sentuhan atau kata-kata cinta karena hendak menjaga kesopanan dalam pandangan para anggauta Ban-hwa-pang, bagi mereka berdua lebih dari cukup. Senyum di bibir sang kekasih seolah menambah keindahan segala sesuatu yang tampak, menambah hangat dan cerahnya sinar matahari, menambah indah dan harum bunga-bunga di taman dan hati mereka diliputi kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

   Dua minggu kemudian Siang Lan pulang. Ketika para anggauta Ban-hwa-pang menyambut di lereng bukit, tak seorang pun dari mereka berani memberitahu akan kehadiran Cu An yang sudah dua minggu menjadi tamu di rumah induk yang menjadi tempat tinggal Ketua Ban-hwa-pang itu. Ketika Siang Lan tiba di rumah dan disambut oleh Li Ai dan Cu An, ia agak terkejut dan merasa heran karena ia mengenal pemuda itu yang telah menjadi murid Ouw-yang Sianjin. Ia pun tahu bahwa pemuda itu adalah putera Pangeran Bouw Ji Kong.

   


LEMBAH SELAkSA BUNGA JILID 15
   "Hei, bukankah engkau Bouw Cu An putera Pangeran Bouw Ji Kong? Setelah pemberontakan dapat dipadamkan berkat bantuan Ayahmu, mengapa engkau pergi menghilang dan kini tahu-tahu berada di sini?" Siang Lan bertanya, suaranya mengandung teguran karena pemuda itu menjauhkan diri sehingga tidak tahu akan malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya.

   "Aku...... aku ikut dengan suhu Ouw-yang Sianjin......" kata Cu An, agak canggung mendengar teguran Hwe-thian Mo-li.

   "Enci Siang Lan, sebelum engkau nanti mengetahui dan marah-marah kepada Koko Bouw Cu An, sebaiknya aku lebih dulu mengaku kepadamu bahwa dia sudah tinggal di sini selama dua minggu untuk menunggumu pulang dan akulah yang menanggung dan bertanggung jawab, yang minta dia tinggal di sini selama ini, maka akulah yang melanggar peraturan dan aku siap menerima hukuman."

   "Aih-aih, mengapa engkau begini nekat, Li Ai?" Siang Lan bertanya heran karena setelah ia mengalami perkosaan kemudian dihina oleh Bong Kim, Li Ai seolah menjadi pembenci laki-laki.

   "Karena...... karena kami berdua ahh......" sukar bagi Li Ai untuk mengaku saling mencinta dengan Cu An. Melihat kekasihnya kebingungan, Cu An segera membantu.

   "Pang-cu......" Siang Lan tidak merasa aneh dipanggil Pang-cu (ketua) karena ia memang merupakan Pang-cu dari Ban-hwa-pang.

   "Terus terang saja, Adik Kui Li Ai dan aku saling mencinta dan kita merencanakan perjodohan. Karena yang menjadi walinya, menurut pengakuan Adik Li Ai adalah engkau, maka aku sengaja menanti engkau pulang agar kalau engkau sudah setuju, aku akan minta kepada orang tuaku untuk mengirim lamaran resmi kepadamu." Siang Lan membelalakkan kedua matanya, bukan marah melainkan heran dan juga ragu. Ia memandang kepada Li Ai yang menundukkan mukanya sambil tersenyum malu-malu.

   "Akan tetapi engkau, Li Ai......"

   "Jangan khawatir, Enci Siang Lan. Aku telah menceritakan dan mengaku terus terang kepada An-ko tentang malapetaka yang menimpa diriku, bahwa aku telah diperkosa dua orang Pek-lian-kauw yang kaubunuh itu." Kini wajah Siang Lan berseri karena ia merasa gembira sekali mendengar keterangan Li Ai itu. Ia memandang kepada pemuda itu dengan kagum dan bertanya.

   "Bouw Kongcu, benarkah engkau rela dan mau menerima Li Ai sebagai calon isterimu setelah ia......"

   "Pang-cu, aku bahkan merasa kasihan dan semakin cinta kepada Li Ai, sama sekali tidak memandang rendah. Yang kucinta adalah manusianya, pribadinya bukan hanya jasmaninya. Cinta itu bagiku urusan hati, bukan sekedar urusan jasmani. Pula, kalau mau bicara tentang kerendahan dan kehinaan, akulah yang rendah dan hina, tidak sepadan dengan Adik Li Ai. Ia puteri seorang pahlawan, sebaliknya aku hanya anak seorang pengkhianat dan pemberontak."

   "Hushh! Jangan sekali-kali kau ulangi kata-katamu itu, Bouw Cu An!" Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan membentak sehingga Cu An dan Li Ai memandang kaget.

   "Biarpun pernah melakukan kesalahan besar, namun akhirnya mendiang Pangeran Bouw Ji Kong adalah seorang pahlawan besar!" Wajah Cu An berubah pucat sekali. Biarpun hatinya merasa lega dan ada sinar kegirangan mendengar Siang Lan memuji ayahnya sebagai pahlawan, namun ayahnya disebut mendiang oleh gadis itu.

   "Mendiang......? Apa...... apa maksudmu...... Pang-cu?" tanyanya dengan muka pucat dan suara tergagap. Baru Siang Lan teringat bahwa pemuda ini belum mengetahui bahwa ayahnya telah tewas, maka ia menghela napas panjang dan mengajak mereka berdua duduk.

   "Bouw Kongcu, setelah engkau pergi meninggalkan kota raja, terjadi peristiwa yang amat besar dan gawat. Para pemberontak itu, seperti kau ketahui karena yang membujuk Ayahmu adalah engkau dan susiok (Paman Guru) Ouw-yang Sianjin, dapat dibasmi atas bantuan Ayahmu. Akan tetapi urusannya bukan hanya berhenti sampai di situ. Tiba-tiba saja Sribaginda Kaisar diculik orang dan banyak pengawal dan pelayan istana terbunuh. Penculiknya tidak ketahuan siapa dan tidak diketahui pula ke mana Sribaginda Kaisar disembunyikan. Kemudian setelah melakukan penyelidikan, kiranya yang menculik Sribaginda dan juga Ayahmu yang hilang pula, adalah seorang pelayan di gedung Ayahmu, seorang pelayan tua yang tampak lemah......"

   "Ah...... Kakek A-kui?" tanya Cu An yang masih pucat.

   "Dia adalah Cui-beng Kui-ong yang menyamar dan berhasil menyusup menjadi pelayan di rumah
Pangeran Bouw Ji Kong. Dia menyembunyikan Sribaginda yang diculiknya ke ruangan bawah tanah di bawah kamar tidur Ayahmu. Karena Ayahmu hendak menentangnya, maka dia pun menangkap Ayahmu dan menahannya di ruangan bawah tanah itu."

   "Aduh...... semua ini salahku. Kalau aku tidak meninggalkan rumah, tentu aku dapat mencegahnya......"

   "Tidak, Bouw Kongcu, bahkan mungkin engkau pun terancam bahaya maut. Cui-beng Kui-ong itu sakti bukan main. Dengarkan ceritaku selanjutnya. Aku mendengar dari Ibumu bahwa Sribaginda dan Ayahmu disembunyikan di ruangan bawah tanah itu. Aku terlalu memandang rendah Kakek A-kui, maka aku segera menyerbu. Akan tetapi A-kui muncul di kamar Ayahmu dan kami berkelahi. Akibatnya, aku sendiri tertawan olehya, tertotok dan dimasukkan dalam ruangan bawah tanah itu. Ibumu lalu melarikan diri dari rumah dan melapor kepada Panglima Chang Ku Cing tentang A-kui. Kebetulan ketika itu panglima Chang kedatangan Paman Bu-beng-cu. Paman Bu-beng-cu segera menuju ke rumah Ibumu dan Panglima Chang mengerahkan pasukan mengepung rumah itu. Ketika itu, Cui-beng Kui-ong alias A-kui tahu bahwa Ibumu pergi meninggalkan rumah. Dia menjadi marah dan tahu bahwa tentu tempat persembunyian itu akan ketahuan dan akan diserbu, maka dia membunuh tujuh orang pelayan di rumahmu dan pada saat itu terdengar teriakan Paman Bu-beng-cu dari luar yang minta kepada Cui-beng Kui-ong untuk menyerah. Cui-beng Kui-ong menjawab dan berteriak minta agar para tawanan pemberontak dibebaskan. Kalau tidak dia akan membunuh Sribaginda Kaisar. Ketika permintaannya ditolak, dia hendak membunuh Sribaginda, akan tetapi Ayahmu, Pangeran Bouw Ji Kong yang memungut pedangku yang terjatuh, membela Sribaginda Kaisar dengan gagah berani. Akan tetapi Cui-beng Kui-ong terlalu lihai sehingga Ayahmu kalah dan tewas di tangan Cui-beng Kui-ong. Setelah membunuh Ayahmu, kakek sakti itu juga hendak membunuh aku yang tidak mampu bergerak karena tertotok dan luka dalam. Untung pada saat yang amat gawat bagi keselamatanku itu muncul Paman Bu-beng-cu dan setelah melalui perkelahian yang amat hebat, akhirnya Cui-beng Kui-ong roboh dan tewas."

   "Nah, bukankah Ayahmu telah menebus kesalahannya dengan dua hal yang amat hebat. Pertama, membantu pemerintah membasmi para pemberontak dan kedua, telah mengorbankan nyawa demi melindungi Sribaginda Kaisar? Maka jangan kau berani mencaci Ayahmu dengan kata-kata yang keji, Bouw Kongcu!"

   "Ayah......!" Bouw Cu An lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis! "Maafkan aku, Ayah!"

   "An-ko, jangan terlalu bersedih......!" Li Ai juga berlutut di dekat pemuda itu dan memegang pundaknya, akan tetapi kedua matanya juga basah air mata. Ia ikut merasa terharu dan sedih melihat kekasihnya menangis. Melihat ini, Siang Lan tersenyum, diam-diam merasa berbahagia sekali bahwa Li Ai telah menemukan laki-laki yang benar-benar mencintainya walaupun dia sudah tahu akan keadaan Li Ai yang telah ternoda.

   Cu An merupakan calon suami yang baik sekali bagi Li Ai dan ia merasa ikut berbahagia! Maka, melihat keduanya bertangisan, ia lalu meninggalkannya, memasuki kamarnya. Dalam kamar, Siang Lan termenung. Ia teringat kepada Bu-beng-cu. Bu-beng-cu juga amat mencintanya, seperti cinta Cu An kepada Li Ai. Bu-beng-cu juga sudah tahu bahwa ia telah dinodai orang, akan tetapi tetap mencintanya! Akan tetapi, sebelum ia membuka perasaan hatinya kepada pria yang juga menjadi gurunya itu, ia harus menyelesaikan dulu masalah yang teramat penting bagi hidupnya, yaitu membalas dendam kepada Thian-te Mo-ong (Raja Iblis Langit Bumi) yang telah memperkosanya itu. Setelah ia berhasil membunuh Thian-te Mo-ong, barulah ia akan menyatakan hubungan cintanya dengan Bu-beng-cu?

   Pinangan terhadap Kui Li Ai yang dilakukan oleh utusan Nyonya Bouw Ji Kong kepada Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan segera tiba setelah Bouw Cu An kembali ke kota raja. Pinangan itu diterima dengan baik dan tiga bulan kemudian, pernikahan antara Bouw Cu An dan Kui Li Ai dirayakan di kota raja dengan meriah, dihadiri para perwira dan pejabat tinggi, dan juga hadir pula Nyo Siang Lan, Ong Lian Hong dan suaminya, Sim Tek Kun. Panglima Chang Ku Cing juga hadir bersama keponakannya, Chang Hong Bu. Mengingat akan pembelaan terakhir Pangeran Bouw Ji Kong terhadap Sribaginda Kaisar, maka keluarganya selain mendapat pengampunan juga mendapatkan kehormatan dari para pejabat tinggi. Bahkan Menteri Yang Ting Ho juga memerlukan hadir dalam pesta pernikahan itu.

   Setelah tinggal di kota raja selama beberapa hari, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan segera kembali ke Ban-hwa-kok dan langsung saja ia menemui Bu-beng-cu yang tinggal di guhanya, tak jauh dari Bukit Ban-hwa-pang. Bu-beng-cu bersikap biasa saja seperti biasa, namun kini tampak jelas oleh Siang Lan betapa besar kasih sayang laki-laki itu kepadanya yang dapat ia rasakan melalui pandang matanya, kata-kata yang keluar dari mulutnya, dan gerak geriknya. Akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan ia sendiri juga bersikap biasa. Bahkan ia kini berlatih semakin tekun karena hari yang ditentukan oleh Thian-te Mo-ong yang akan datang mengunjungi setahun sekali untuk mengadu kepandaian tinggal beberapa bulan lagi.

   Sekali ini ia harus dapat membunuh musuh besar itu. Setelah musuh besar dapat dibunuhnya untuk membalas dendam, barulah ia akan mengaku kepada Bu beng-cu bahwa ia sudah tahu dan yakin benar akan rasa cinta pria itu terhadap dirinya! Demikian tekun, rajin dan keras Siang Lan berlatih sehingga diam-diam Bu-beng-cu merasa terharu. Dia maklum benar betapa besar semangat dan keinginan Siang Lan untuk mengalahkan dan membunuh musuh besarnya yang bukan lain adalah dirinya sendiri! Dapat dibayangkan betapa hal ini menghancurkan perasaan hatinya. Bu-beng-cu bukanlah seorang bodoh. Dia pun dapat merasakan bahwa sesungguhnya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mencintainya, seperti juga dia mencinta gadis itu, cinta yang timbul mula-mula karena penyesalan dan kasihan.

   Kemudian setelah bergaul dengan gadis itu, dia benar-benar jatuh cinta secara mendalam. Akan tetapi dia tidak tega untuk mengakui cintanya walaupun dia tahu benar cintanya sudah pasti akan diterima oleh Siang Lan yang juga jelas mencintainya. Ngeri dia membayangkan betapa hati gadis yang dicintanya itu akan hancur kalau kemudian mengetahui bahwa pria yang saling mencinta dengannya itu adalah juga musuh besarnya, laki-laki yang amat dibencinya karena telah memperkosanya? Tidak, dia akan menebus kesalahannya yang membuat hancur kebahagiaan gadis itu dengan nyawanya. Biarlah gadis itu berhasil membalas dendam dengan adil dan sesungguhnya, bukan karena dia mengalah. Karena itu, dia pun menurunkan semua ilmunya kepada Siang Lan dan tidak akan berhenti sebelum gadis itu mampu mengalahkannya.

   Setelah dengan tekun penuh perhatian menurunkan semua ilmunya kepada Siang Lan, pada suatu sore setelah mereka berlatih dan bertanding selama puluhan jurus, Bu-beng-cu menghentikannya dan mereka duduk di bawah pohon depan guha melepaskan lelah dan menyusut keringat. Siang Lan memandang Bu-beng-cu dengan pandang mata penuh rasa syukur dan mesra. Bu-beng-cu semula juga menatap wajahnya dan biarpun mulut mereka tidak mengucapkan sesuatu, sinar mata mereka seperti mengandung seribu bahasa menyinarkan kasih sayang yang mendalam. Akan tetapi Bu-beng-cu segera menundukkan mukanya, menghela napas panjang lalu berkata dengan suara lirih dan tenang.

   "Siang Lan, semua yang kuketahui tentang ilmu silat telah kuajarkan kepadamu. Dalam latihan bertanding tadi aku mendapat kenyataan bahwa aku tidak lagi dapat mengalahkanmu. Karena itu, hari ini merupakan hari terakhir. Aku tidak dapat mengajarkan apa-apa lagi kepadamu dan kuharap dengan kepandaianmu sekarang, engkau akan mampu mengalahkan musuh besarmu." Diingatkan tentang musuh besarnya, bangkit semangat Siang Lan dan pandang matanya yang tadinya mengandung kasih sayang seketika berubah. Dia memandang ke atas, membayangkan wajah bertopeng Thian-te Mo-ong dan matanya mengeluarkan sinar kebencian yang mendalam.

   "Hemm, sekali ini akan kulawan dia mati-matian, Paman! Karena aku tidak mungkin mendapatkan tambahan ilmu lagi, maka pertandingan nanti merupakan yang terakhir. Dia atau aku yang akan mati! Biasanya, dia muncul di hari ke limabelas, pada saat bulan purnama di waktu malam. Dan hari itu kalau tidak salah tinggal tiga hari lagi. Aku akan menantinya!" Ia berkata dengan kedua tangan dikepal dengan marah.

   "Semoga sekali ini engkau akan menang dan dapat membalas dendammu kepada musuh besarmu, Siang Lan. Akan tetapi apakah engkau tidak bisa memaafkan perbuatannya kepadamu itu?"

   "Tidak mungkin, Paman! Jahanam itu telah merusak hidupku dan hanya kematiannya yang akan dapat mencuci bersih aib yang dijatuhkan kepadaku. Noda itu harus dicuci dengan darahnya!"

   "Terserah kepadamu, Siang Lan. Sekarang aku hendak mengucapkan selamat berpisah...."

   "Selamat berpisah....?" Siang Lan terkejut dan menatap wajah Bu-beng-cu dengan pandang mata penuh selidik.

   "Apa maksudmu, Paman? Engkau... hendak pergi ke mana?"

   "Aku berada di sini hanya untuk memenuhi janjiku mengajarkan ilmu silat kepadamu, Siang Lan. Sekarang, semua ilmuku sudah kuajarkan, maka aku hendak pergi merantau."

   "Ke manakah engkau hendak pergi, Paman?" tanya Siang Lan dengan gelisah.

   "Ke mana......?" Bu-beng-cu menerawang ke arah langit.

   "Ke mana saja nasib membawa diriku......"

   Hening sejenak. Siang Lan merasa betapa jantungnya berdebar. Ia ingin sekali menahan Bu-beng-cu dan mengatakan apa yang berada di dalam hatinya, apa yang dirasakannya terhadap pria itu. Akan tetapi ia menahan diri. Ia sudah mengambil keputusan untuk tidak membicarakan urusan itu sebelum ia dapat membunuh musuh besarnya, yaitu Thian-te Mo-ong. Kalau hal itu belum terlaksana, maka dendamnya akan selalu menjadi penghalang kebahagiaannya. Tidak mungkin ia dapat hidup tenang dan bahagia apabila ia masih dihimpit dendam sakit hati yang teramat besar itu. Ia akan membunuh dulu musuh besarnya, barulah ia akan memikirkan hidup selanjutnya dan kebahagiaannya.

   "Paman Bu-beng-cu......"

   "Ya......?"

   "Paman, kuharap engkau jangan meninggalkan tempat ini dulu, Paman. Tunggu sampai tiga hari lagi! Berjanjilah padaku bahwa engkau tidak akan pergi sebelum aku bertemu dan bertanding melawan musuh besarku. Aku ingin Paman melihat hasil pertandingan itu, baik kalau aku menang dan berhasil membunuhnya atau sebaliknya aku mati di tangannya. Biarlah kalau aku sampai kalah, aku yang mengucapkan selamat tinggal padamu, Paman, bukan engkau yang meninggalkan aku." Ucapan itu keluar dari mulut Siang Lan dengan suara gemetar mengandung keharuan dan kesedihan. Bu-beng-cu dapat merasakan ini dan dia pun menundukkan kepalanya, menghela napas panjang dan menjawab.

   "Baiklah, Siang Lan. Aku akan menunggu sampai engkau berhasil membalas dendammu." Setelah meninggalkan Bu-beng-cu, Siang Lan membuat persiapan di Ban-hwa-kok. Setiap hari ia tekun berlatih menghimpun tenaga saktinya untuk menjaga agar tubuhnya tetap dalam keadaan sehat dan siap. Ia yakin bahwa Thian-te Mo-ong pasti akan muncul.

   Jahanam itu amat sakti sehingga jebakan-jebakan yang menghalangi orang luar naik ke puncak Ban-hwa-san tidak akan mampu mengganggunya. Jahanam itu pasti akan muncul di Ban-hwa-kok seperti tahun-tahun yang lalu. Maka ia pun selalu siap siaga dan pedang Lui-kong-kiam tidak pernah terpisah darinya. Ia pun sudah berpesan kepada semua anggauta Ban-hwa-pang agar jangan ada yang menyerang apabila musuh besar yang bertopeng itu muncul di Ban-hwa-kok. Selain itu ia tahu bahwa para anggauta Ban-hwa-kok sama sekali bukan lawan Thian-te Mo-ong dan kalau menyerangnya sama dengan bunuh diri karena jahanam itu tentu dengan mudah akan mampu membunuh mereka semua, juga ia memang tidak ingin orang lain mencampuri urusannya dengan Thian-te Mo-ong.

   Bahkan kepada Bu-beng-cu saja ia tidak mau minta bantuannya untuk menghadapi musuh besar itu. Urusannya dengan Thian-te Mo-ong adalah urusan pribadi, orang lain tidak boleh mencampuri. Para anggauta Ban-hwa-pang juga mengetahui akan saktinya musuh ketua mereka. Mereka tahu bahwa beberapa kali ketua mereka kalah melawan orang bertopeng itu. Maka, maklum bahwa sewaktu-waktu musuh besar itu akan muncul, hati mereka semua diliputi ketegangan dan kekhawatiran. Apalagi ketika pagi hari tadi ketua mereka mengumpulkan mereka semua dan berkata dengan suara tegas.

   "Dengarkan baik-baik kalian semua! Sekali lagi kutegaskan, kalau terjadi perkelahian antara aku dan musuh besarku, jangan ada di antara kalian yang mencampuri. Syukurlah kalau aku mampu merobohkan dan membunuh musuh besarku. Akan tetapi seandainya terjadi sebaliknya, aku yang kalah dan tewas, maka Ban-hwa-pang harus dibubarkan. Kalian boleh membagi-bagi semua harta milik kita di antara kalian dan boleh hidup dan tinggal di mana pun sesuka kalian." Demikianlah pesan ketua mereka dan tentu saja mereka menjadi gelisah karena pesan itu seolah merupakan pesan terakhir orang yang akan mati!

   Malam itu bulan purnama bersinar dengan indahnya karena udara bersih dan langit tidak tertutup awan. Siang Lan menanti sampai tengah malam, namun musuh besarnya tidak muncul. Ia lalu tidur untuk menyimpan tenaga karena ia merasa yakin bahwa besok pagi musuhnya tentu akan muncul. Pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah mandi dan bertukar pakaian. Hari itu merupakan hari yang amat penting baginya, maka ia mengenakan pakaian baru yang indah walaupun ringkas dan ketat membungkus badannya agar ia dapat bergerak dengan leluasa. Rambutnya yang telah dicuci bersih itu disisir dan digelung rapi. Pedang Lui- kong-kiam tergantung di punggungnya.

   Ia tampak cantik jelita. Setelah rambutnya yang panjang ikal mayang itu digelung, anak rambut yang halus lembut melingkar dan berjuntai di kedua pelipis dan di dahinya. Matanya bersinar-sinar penuh semangat. Tak seorang pun akan menyangka bahwa gadis ini sedang menghadapi sebuah perkelahian mati-matian menyabung nyawa melawan musuh yang amat sakti. Kalau mereka melihatnya seperti itu, ia lebih pantas sebagai seorang gadis yang menyongsong kedatangan kekasihnya, demikian cantik, rapi dan penuh semangat! Suasana di Ban-hwa-pang sunyi sekali. Padahal hari itu, tidak ada seorang pun anggauta Ban-hwa-pang yang keluar dari perkampungan mereka. Tidak ada yang bekerja seperti biasa. Mereka semua berkumpul, duduk di lapangan tempat berlatih tak jauh dari rumah induk, memandang ke arah halaman depan rumah itu dengan hati tegang.

   Tak seorang pun mengeluarkan suara sehingga suasana menjadi sunyi. Bunyi yang ada hanya gemercik air di belakang perkampungan, desah angin membelai daun-daun pohon, dan ayam biang berkotek memanggil anak-anaknya. Bahkan burung-burung tidak berbunyi lagi karena karena mereka semua telah pergi menuju ke sawah ladang mencari makan. Setelah sinar matahari mulai mengusir sisa kabut di puncak Ban-hwa-san itu, sinarnya yang hangat seakan membangunkan bumi yang tidur semalam, menggugah ribuan bunga di lembah itu, datanglah orang yang dinanti-nanti oleh Siang Lan, dan juga oleh para anggauta Ban-hwa-pang. Kedatangannya saja membuat para anggauta Ban-hwa-pang merasa ngeri. Mula-mula berhembus angin lalu disusul suara yang menggelegar.

   "Hwe-thian Mo-li, aku datang......!!" Sesosok bayangan berkelebat dan Thian-te Mo-ong sudah tampak di pekarangan depan rumah induk yang menjadi tempat tinggal Siang Lan.

   Pakaiannya yang dari kain kasar dan agak terlalu besar itu membuat tubuhnya tampak besar menyeramkan. Mukanya tertutup sebuah topeng dari kulit batang pohon, bentuknya seperti muka setan. Muka itu sama sekali tertutup dan yang tampak hanya sepasang mata mencorong yang sinarnya keluar dari lubang di depan kedua mata itu. Mendengar suara itu, Siang Lan melompat dari dalam rumah. Hanya tampak bayangan berkelebat dan gadis itu sudah berhadapan dengan musuh besarnya. Sepasang mata yang indah itu seolah menyinarkan api ketika ia menatap wajah bertopeng itu, topeng yang selalu muncul mengganggu dalam mimpi, topeng yang amat dibencinya.

   "Thian-te Mo-ong, hari ini kalau tidak engkau, akulah yang menggeletak kehilangan nyawa. Aku tidak akan berhenti berkelahi sebelum salah seorang di antara kita mati!" Setelah berkata demikian, Siang Lan lalu mengerahkan seluruh tenaga saktinya, menekuk kedua lututnya dan mendorongkan ke arah lawan.

   "Hyaaaattt......!" Pukulan ini hebat sekali. Angin dahsyat menyambar ke arah Thian-te Mo-ong. Orang bertopeng itu menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.

   "Wuuuuttt...... blaarrr......!" Keduanya terpental ke belakang sejauh tiga langkah! Ternyata tenaga mereka seimbang dan Siang Lan merasa girang sekali. Timbul semangatnya karena kini ia sudah mampu mengimbangi sin-kang lawan yang dulu membuatnya kewalahan. Ia lalu nencabut Lui-kong-kiam dan jiwa kependekarannya membuat ia menahan serangannya melihat lawan bertangan kosong.

   "Cabut senjatamu! Aku tidak mau menyerang orang yang tak memegang senjata, tidak sudi menjadi pengecut macam engkau!" Siang Lan memaki, teringat betapa orang ini dulu memperkosanya selagi ia tidak berdaya. Thian-te Mo-ong tidak menjawab, hanya tertawa bergelak lalu tubuhnya melompat ke atas, ke arah pohon.

   Terdengar suara dahan patah dan ketika dia turun, tangannya sudah memegang sebatang ranting pohon sebesar lengan dan panjangnya seperti sebatang pedang. Sekali dia menggetarkan ranting itu, daun-daunnya terlepas dan meluncur jauh! Hal ini saja sudah menunjukkan betapa dia mampu menyalurkan tenaga saktinya kepada ranting itu sehingga daun-daun yang menempel pada ranting itu terlepas dan bahkan terpental kuat sehingga meluncur jauh! Akan tetapi Siang Lan tidak menjadi gentar. Setelah kini musuh besarnya memegang tongkat ranting pohon, ia lalu mengeluarkan pekik melengking dan menyerang dengan dahsyatnya. Pedang Lui-kong-kiam itu berubah menjadi sinar kilat menyambar ke arah dada lawan. Thian-te Mo-ong menggerakkan ranting itu menangkis.

   "Trangg......!" Pertemuan antara pedang pusaka dan pedang kayu itu menimbulkan suara nyaring seolah Lui-kong-kiam itu bertemu dengan pedang lain yang sama ampuhnya! Kemudian terjadi perkelahian ilmu silat pedang yang amat hebat. Gerakan nnereka sama gesitnya dan dalam gin-kang (ilmu meringankan tubuh) mereka memiliki tingkat seimbang. Juga agaknya sin-kang (tenaga sakti) mereka tidak berselisih jauh, mungkin tenaga Thian-te Mo-ong lebih kuat sedikit, namun hampir tidak terasa oleh Siang Lan. Kini mereka mengadu ilmu silat dan dalam hal ini ternyata Siang Lan lebih untung.

   Perlu diingat bahwa Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan adalah murid terkasih dari Pat-jiu Kiam-ong (Dewa Pedang Lengan delapan) Ong Han Cu dan dewa Pedang yang kini telah tiada itu telah menurunkan semua ilmu pedangnya kepada Siang Lan yang amat dikasihinya. Maka, setelah kini Siang Lan mendapat gemblengan dari Bu-beng-cu sehingga gin-kang dan sin-kangnya maju pesat, ilmu pedangnya menjadi semakin dahsyat. Para anggauta Ban-hwa-pang hanya berani menonton. Biarpun mereka merasa gelisah sekali dan juga tegang, namun mereka tidak berani mendekat, apalagi membantu ketua mereka. Kalau saja Siang Lan tidak memesan kepada mereka, tentu mereka sudah maju mengeroyok dan mereka tidak takut kalau sampai roboh dan tewas.

   Mereka rela berkorban nyawa demi ketua mereka yang mereka sayang dan hormati. Akan tetapi Siang Lan telah melarang mereka sehingga kini mereka hanya berani menonton dari jauh dengan jantung berdebar-debar. Perkelahian itu sudah berlangsung delapanpuluh jurus lebih! Akan tetapi belum juga ada yang terdesak. Mereka masih saling serang dan matahari mulai naik tinggi sehingga panasnya mulai menyengat, tubuh kedua orang yang bertanding mati-matian itu mulai basah oleh keringat. Tubuh Siang Lan melompat ke atas, berjungkir balik di udara lalu meluncur turun, pedangnya menyambar ke arah kepala Thian-te Mo-ong.

   Thian-te Mo-ong menggerakkan ranting menangkis, akan tetapi tanpa diduga, tangan kiri Siang Lan menghantam dengan pukulan tenaga sakti ke arah muka. Ini merupakan serangan yang amat dahsyat dan berbahaya sekali. Thian-te Mo-ong menggeser tubuh ke kanan sehingga dia dapat menyambut dorongan tangan kiri gadis itu dengan tangan kirinya pula dan begitu kedua telapak tangan bertemu, Siang Lan menggunakan kesempatan itu untuk menggerakkan pedangnya menusuk dada! Thian-te Mo-ong mengelak ke kiri, akan tetapi agak kurang cepat sehingga Lui-kong-kiam sempat menusuk pundaknya.

   "Cappp......!!" Siang Lan cepat mencabut pedangnya yang menembus pundak dari depan ke belakang. Tubuh Thian-te Mo-ong terpelanting dan dia rebah telentang, rantingnya terlepas dari tangan kanan yang terasa lumpuh karena pundaknya terluka parah. Bagaikan seekor burung cepatnya, tubuh Siang Lan sudah turun di depan tubuh lawan dan pedangnya sudah menodong leher lawan. Ujung pedang Lui-kong-kiam yang runcing tajam itu menempel pada kulit leher bagian tenggorokan.

   "Hwe-thian Mo-li, aku sudah kalah. Bunuhlah aku untuk menebus kesalahanku!" terdengar Thian-te Mo-ong berkata. Siang Lan meragu, karena ia merasa heran. Thian-te Mo-ong yang biasanya bersikap sombong dan tekebur, akan tetapi sekarang sikapnya berubah, tidak sombong lagi, juga tidak ketakutan, melainkan dengan tenang dan gagahnya minta dibunuh untuk menebus kesalahannya! Timbul keinginan tahunya dan ia berseru.

   "Sebelum kubunuh engkau, ingin aku melihat macam apa rupanya jahanam keji seperti engkau ini!" Pedangnya digerakkan ke atas dan topeng kayu itu terbuka dan terlempar. Pedang itu sudah diangkat, siap untuk memenggal leher. Tiba-tiba Siang Lan melepaskan pedangnya yang jatuh ke atas tanah, sepasang matanya terbelalak lebar, mukanya pucat sekali. Ia kini menatap muka yang tidak lagi tertutup topeng itu, muka yang dagu bawahnya robek oleh ujung pedangnya ketika ia membuka topeng dan yang pundaknya bercucuran darah, muka yang memandang kepadanya dengan sedih dan pasrah, muka yang pucat karena kehilangan banyak darah.

   "Paman Bu-beng-cu......!" Ia menjerit sambil berlutut dekat tubuh Thian-te Mo-ong yang kini telah kehilangan topengnya dan berubah menjadi Bu-beng-cu itu.

   "Paman...... ahhh...... apa artinya ini......? Mengapa begini......?" Akan tetapi Bu-beng-cu terkulai lemas tak sadarkan diri, bukan hanya karena lukanya melainkan terutama sekali karena kesedihan dan terguncangnya hatinya.

   "Paman......!!" Siang Lan lalu mengangkat tubuh pria itu, mengerahkan tenaga dan memondongnya, lalu membawanya lari memasuki rumahnya. Para anggauta Ban-hwa-pang terkejut sekali melihat bahwa laki-laki bertopeng yang menakutkan itu ternyata adalah Bu-beng-cu yang telah mereka kenal sebagai guru ketua mereka. Mereka ikut kebingungan karena sama sekali tidak tahu mengapa guru ketua mereka itu menyamar sebagai orang bertopeng dan menjadi musuh besar ketua mereka.

   Melihat Siang Lan membuang pedangnya dan juga melepaskan ikatan sarung pedang, Bwe Kiok Hwa lalu mengambil pedang Lui-kong-kiam dan sarung pedangnya, memasukan pedang itu ke sarungnya lalu membawanya ke dalam rumah induk. Hanya Bwe Kiok Hwa yang berani memasuki rumah itu akan tetapi ia pun hanya menunggu di ruangan luar, tidak berani memasuki ruangan dalam di mana Siang Lan membawa Bu-beng-cu, bahkan gadis itu merebahkan Bu-beng-cu di atas pembaringannya dalam kamar. Siang Lan benar-benar terpukul. Hatinya diliputi keresahan dan kebingungan akan kenyataan yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini. Ia memang membenci setengah mati kepada Thian-te Mo-ong yang telah memperkosanya dan menantangnya bertanding setiap tahun.

   Akan tetapi bagaimana mungkin ia membenci Bu-beng-cu, pria yang dicintanya, pria yang dengan tekun melatih silat kepadanya selama ini dan berulang-ulang menyelamatkannya dari ancaman maut, yang selalu membela dan melindunginya? Akan tetapi mengapa Bu-beng-cu menjadi Thian-te Mo-ong? Ia tidak percaya kalau laki-laki sebijaksana Bu-beng-cu melakukan perkosaan atas dirinya itu? Melihat luka pada pundak kanan yang cukup parah dan terus mengeluarkan darah, juga bawah dagunya berlepotan darah, Siang Lan menjadi panik dan cepat ia mengambil obat luka. Setelah menotok jalan darah di dekat pundak untuk menghentikan terbuangnya darah, ia lalu mengoleskan obat luka berupa bubukan itu kemudian ia membalut luka di pundak Bu-beng-cu.

   Kemudian ia mengenakan lagi baju pada tubuh bagian atas laki-laki itu menggunakan sehelai jubahnya berlengan panjang karena baju Bu-beng-cu tadi robek dan berlepotan darah. Ia melakukan semua ini dengan air mata terkadang menetes dari kedua matanya karena merasa terharu dan kasihan. Akan tetapi ia tidak khawatir karena setelah diperiksanya, maka luka tusukan pedangnya yang menembus pundak itu tidak merusak otot besar dan tidak mematahkan tulang. Setelah mengobati luka dan mengganti pakaian atas Bu-beng-cu dan melihat pria itu masih pingsan, sepasang matanya terpejam dan mulutnya terkatup, pernapasannya agak lemas. Siang Lan lalu duduk bersila di atas pembaringan, menempelkan kedua telapak tangannya di dada Bu-beng-cu lalu mengerahkan tenaga sakti untuk membantu pria itu memulihkan tenaganya.

   Akhirnya setelah beberapa lamanya pernapasan Bu-beng-cu mulai normal kembali, hanya mukanya masih agak pucat dan dia masih belum siuman. Siang Lan lalu mengambil saputangan yang bersih, mencelupkannya ke dalam air minum dan memberi minum Bu-beng-cu melalui perahan air di saputangannya. Akhirnya Bu-beng-cu membuka kedua matanya dan begitu dia siuman dan melihat dirinya di atas pembaringan dan Siang Lan duduk di dekatnya, dia segera bangkit duduk. Akan tetapi Siang Lan memegang pundaknya dan dengan lembut mendorongnya agar rebah kembali.

   "Paman, jangan bangkit dulu. Engkau masih lemah dan perlu beristirahat dulu. Engkau kehilangan banyak darah...... ah, Paman, mengapa semua ini harus terjadi......?" Siang Lan tak dapat menahan tangisnya. Ia tidak tahu harus berkata apa, bahkan tidak tahu harus berpikir bagaimana. Semua serba membingungkan. Bu-beng-cu memejamkan kedua matanya dan ketika membukanya kembali, kedua matanya itu basah.

   "Siang Lan...... kenapa...... kenapa engkau tidak...... membunuhku......?"

   "Paman......!" Bu-beng-cu menjadi semakin sedih melihat gadis itu kini menangis tersedu-sedu.

   "Jangan menangis, Siang Lan. Engkau membikin hatiku semakin pedih dan hancur......" Siang Lan menguatkan hatinya dan memandang wajah pria itu melalui genangan air matanya.

   "Paman Bu-beng-cu, apa artinya semua ini? Benarkah Paman ini Thian-te Mo-ong yang telah...... ah, aku tidak percaya! Dan mengapa Paman menyamar sebagai Thian-te Mo-ong? Berilah penjelasan, Paman, aku bingung sekali dan hal ini bisa membuat aku menjadi gila! Kalau paman ini Thian-te Mo-ong, mengapa Paman selalu membela dan melindungiku, bahkan menurunkan ilmu paman kepadaku agar aku dapat mengalahkan dan membunuh Thian-te Mo-ong? Akan tetapi kalau paman ini benar-benar Bu-beng-cu seperti yang kukenal, bagaimana mungkin menjadi Thian-te Mo-ong yang demikian jahat?" Bu-beng-cu menghela napas panjang.

   "Ahh...... aku telah melakukan dosa besar kepadamu, dosa yang akan menggangguku seumur hidup dan yang hanya dapat ditebus kalau aku tewas di tanganmu. Akan tetapi ternyata Thian (Tuhan) agaknya tidak menghendaki aku mati di tanganmu. Sekarang dengarkanlah pengakuanku yang akan menjelaskan semua pertanyaanmu tadi.

   "Sesungguhnya, Thian-te Mo-ong dan Bu-beng-cu bukanlah namaku. Namaku adalah Sie Bun Liong yang sejak muda merantau di barat dan selatan dan dijuluki orang sebagai Thai-lek-sian (Dewa bertenaga besar). Aku adalah kakak tiri dari Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang yang menyeleweng dan yang telah kaubunuh itu."

   "Kakak tiri Siangkoan Leng yang jahat itu......?" Siang Lan bertanya heran.

   "Benar, telah bertahun-tahun aku tidak pernah berhubungan dengan adik tiriku itu sehingga tidak tahu bahwa dia telah mengambil jalan sesat. Ketika aku datang berkunjung, engkau menjadi tawanannya dan dia hendak memaksa engkau menjadi isterinya. Agaknya dia takut melihat kedatanganku karena kalau aku tahu tentang dirimu yang ditawan, pasti dia akan kularang dan kumarahi. Maka, ketika dia menjamu aku dalam pesta, agaknya dia mencampurkan obat perangsang yang amat kuat dalam minumanku.

   "Aku seperti terbius dan dalam keadaan mabok kehilangan kesadarannya dia merebahkan aku di dekatmu, maka...... terjadilah hal terkutuk itu di luar kesadaran dan kemampuanku untuk mencegahnya. Setelah sadar aku merasa menyesal sekali dan pergi seperti telah menjadi gila. Kemudian aku baru tahu bahwa engkau mengamuk, membunuh Siangkoan Leng dan anak buahnya. Memang hal itu patut kusesalkan, akan tetapi semua itu terjadi karena kesalahannya sendiri telah mengambil jalan sesat." Siang Lan memejamkan matanya, mengenang kembali semua peristiwa itu dan ia masih kadang-kadang terisak.

   "Aku lalu membayangimu dan melihat betapa kesedihanmu membuat engkau putus asa, aku mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu agar engkau tidak bunuh diri, agar engkau dapat memuaskan hatimu untuk balas dendam dan agar aku dapat menebus dosaku. Maka aku lalu memakai topeng menemuimu, mengaku bahwa aku sebagai Thian-te Mo-ong yang melakukan perbuatan terkutuk atas dirimu.

   "Sengaja engkau kukalahkan dan kutantang untuk bertanding setiap tahun agar engkau menjadi penasaran dan marah, memberimu semangat untuk memperdalam ilmu silatmu agar dapat mengalahkan Thian-te Mo-ong. Kemudian aku muncul sebagai Bu-beng-cu untuk memberikan semua ilmuku kepadamu.

   "Akhirnya terjadi seperti yang kuharapkan, engkau dapat mengalahkan Thian-te Mo-ong, akan tetapi sayang, engkau tidak jadi membunuhnya, tidak membunuhku sehingga dendammu belum impas dan aku pun belum dapat menebus dosaku. Karena itu, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, inilah aku, Sie Bu Liong yang dulu telah melakukan perbuatan keji dan terkutuk kepadamu. Sekarang bunuhlah aku untuk membalas dendam sakit hatimu dan untuk memberi kesempatan kepadaku menebus dosaku padamu......" Tangis Siang Lan kini mengguguk kembali. Ia menutupi mukanya dengan kedua tangannya, tubuhnya bergoyang-goyang karena sedu-sedannya.

   "Paman...... bagaimana..... bagaimana aku..... dapat membunuh orang...... yang mencintaku demikian mendalam...... sepertimu......?"

   "Apa maksudmu? Aku...... aku tidak......"

   "Tidak perlu menyangkal lagi, Paman. Aku sudah melihat lukisan wanita yang selalu kaubawa-bawa itu?" Kini suara Siang Lan lancar walaupun masih parau karena tangisnya.

   "Engkau membawa lukisan diriku ke mana-mana......"

   "Ah...... engkau melihatnya......"

   "Paman, bagaimana aku dapat membunuhmu? Kalau sejak dulu aku tahu bahwa engkau yang melakukan hal itu, kaulakukan di luar kesadaranmu, aku...... aku tidak mungkin akan menaruh dendam......"

   "Akan tetapi aku telah merusak kebahagiaan dan harapan hidupmu, Siang Lan."

   "Tidak, Paman. Engkau bukan hanya dapat menebusnya dengan membiarkan aku membunuhmu, akan tetapi engkau dapat menebusnya dengan...... dengan cintamu. Paman, belum yakinkah hati paman bahwa, aku juga...... mencintamu? Kalau kita saling mencinta, peristiwa yang lalu itu tidak ada artinya lagi, bukan? Kalau kita menjadi suami isteri...... maka tidak ada masalah lagi. Apalagi aku tidak dapat menyalahkanmu karena apa yang kaulakukan itu terjadi di luar kesadaranmu."

   "Siang Lan...... kau...... kau benarkah engkau bersedia menjadi jodohku?"

   "...... Sudah lama aku mengharapkannya, Paman......"

   "Paman? Bagaimana mungkin seorang paman berjodoh dengan keponakannya? Jangan menyebutku paman, Lan-moi (Dinda Lan)!"

   "Kanda Sie Bun Liong...... Liong-ko......!"

   Bu-beng-cu atau Sie Bun Liong mengangkat kedua lengannya merangkul. Siang Lan membalas dan kedua orang itu berangkulan. Mata mereka basah karena mereka menangis karena haru dan bahagia. Sampai lama Siang Lan merebahkan kepalanya di dada Sie Bun Liong. Mereka tidak bicara karena kata-kata pada saat yang asyik masyuk seperti itu memang tidak ada gunanya lagi. Detak jantung masing-masing seolah telah bicara dalam seribu bahasa. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar. Mendengar ini, keduanya seperti baru tersentak sadar dari pesona yang membahagiakan dan membuat mereka lupa segala itu. Siang Lan bangkit duduk dan ia cepat mencegah Sie Bun Liong yang hendak bangkit pula.

   "Kau rebahlah saja di sini, Liong-ko. Biar aku yang melihat apa yang terjadi di luar." Setelah berkata demikian, dengan gerakan ringan dan cepat, seringan hatinya yang penuh bahagia, Siang Lan berkelebat keluar dari dalam kamarnya. Setibanya di luar, Bwe Kiok Hwa menyambutnya sambil menyerahkan Lui-kong-kiam dengan sarung pedangnya.

   "Pang-cu, di luar ada seorang kakek mengamuk dan menantang Pang-cu!" Siang Lan menerima pedangnya dan segera berkelebat keluar dari rumahnya. Di halaman rumah itu ia melihat seorang kakek sedang dikeroyok puluhan orang anak buahnya. Sai-kong itu membawa sebatang tongkat ular, akan tetapi ia hanya mengebut-ngebutkan tangan kirinya ke sekelilingnya dan para anggauta Ban-hwa-pang yang mengepung dan mengeroyoknya itu roboh berpelantingan seperti sekumpulan daun kering dihempas angin badai.

   "Berhenti berkelahi!" Siang Lan berseru.

   "Kalian semua mundurlah!" Ia memerintahkan anak buahnya.

   Para wanita Ban-hwa-pang itu pun menjauhkan diri, saling tolong dengan mereka yang tadi terbanting roboh. Melihat tidak ada di antara mereka yang tewas atau terluka parah, dapat diketahui bahwa kakek itu bukan seorang yang ganas dan kejam. Siang Lan cepat melompat dan berdiri berhadapan dengan kakek itu. Kakek itu tentu sudah sekitar tujuhpuluh tahun usianya. Rambut, jenggot dan kumisnya sudah putih semua. Rambutnya digelung ke atas dan diikat kain. Baju di dadanya bergambar simbol Im-yang. Pakaiannya gaun panjang berwarna putih dengan sabuk merah, berlengan panjang. Di bagian luarnya dia memakai jubah kebiruan dengan renda kuning emas di tepinya. Pakaian yang cukup mewah bagi seorang pertapa atau pendeta.

   Matanya mencorong tajam dan tangan kanannya memegang sebuah tongkat ular kering. Kakek itu pun memandang dengan penuh perhatian. Gadis yang muncul di depannya sungguh cantik. Mukanya kemerahan dan sepasang matanya masih agak sembab oleh tangis. Hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah sekali, juga sebagai akibat tangisnya tadi. Kedua pipinya kemerahan. Rambut yang hitam panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan pita sutera merah. Baju dan celananya dari sutera putih dan jubahnya berwarna biru dengan ikat pinggang kuning. Gadis cantik jelita itu memegang sebuah pedang bersarung di tangan kirinya dan memandang kepadanya dengan alis berkerut.

   "Hemm, kulihat engkau orang tua berpakaian sebagai seorang pendeta. Mengapa seorang pendeta yang sepatutnya hidup bersih kini datang membuat kekacauan di tempat kami perkumpulan wanita Ban-hwa-pang? Siapakah engkau?" tanya Siang Lan, tidak begitu galak karena ia melihat bahwa tidak ada anak buahnya yang terluka parah atau tewas. Kakek itu tersenyum lebar.

   "Heh-heh, pinto (aku) adalah Im Yang Hoat-su. Pinto datang hendak mencari Hwe-thian Mo-li, akan tetapi anak-anak perempuan tadi menghalangi pinto!"

   "Akulah Hwe-thian Mo-li! Im Yang Hoat-su, ada keperluan apakah engkau mencariku?"

   "Bagus! Kiranya Hwe-thian Mo-li adalah seorang gadis cantik yang masih muda. Sungguh mengherankan bagaimana sahabatku Cui-beng Kui-ong dapat terbunuh oleh seorang anak perempuan sepertimu?"

   "Hemm, kiranya engkau sahabat Si Jahat Cui-beng Kui-ong? Jadi kedatanganmu ini hendak membalaskan kematiannya?" Siang Lan bertanya dengan suara menantang.

   "Hemm, kiranya tidak pantas kalau pinto seorang tua menantang engkau yang sepatutnya menjadi cucuku. Akan tetapi karena pinto adalah sahabat baik Cui-beng Kui-ong dan karena engkau telah membunuhnya, pinto tentu akan dikecam dunia kang-ouw kalau pinto tidak membela kematiannya oleh seorang gadis muda yang sudah dapat membunuh sahabatku itu."

   "Im Yang Hoat-su, sahabat dari Cui-beng Kui-ong yang jahat sudah tentu bukan manusia baik-baik. Sambut pedangku!" Siang Lan mencabut Lui-kong-kiam dengan tangan kanannya lalu ia maju menyerang kakek itu dengan sarung pedang di tangan kiri dan pedang Lui-kong-kiam di tangan kanan. Serangannya hebat sekali karena sarung pedang itu pun bukan benda lemah, apalagi digerakkan dengan tangan kiri yang mengandung tenaga sakti. Ketika sarung pedang itu menyambar ke arah dadanya, kakek itu mundur dan miringkan tubuhnya sambil mengangkat tongkat ular kering lurus di belakang lengan kanannya ke atas.

   "Trakk!" Tongkat ular kering itu menangkis sarung pedang. Akan tetapi Siang Lan dengan cepat menusukkan Lui-kong-kiam ke lambung kanan lawan.

   "Wuuutt...... tranggg!" Kembali tongkat ular menangkis pedang dan tangkisan itu membuat tangan Siang Lan tergetar dan dari pertemuan tongkat dan pedang tampak bunga api berpijar. Mereka segera bertanding, saling serang dengan dahsyat. Kakek itu ternyata lihai bukan main. Sebetulnya Siang Lan tidak kalah lihai, akan tetapi karena gadis itu baru saja menghamburkan banyak tenaga sakti untuk mengobati Sie Bun Liong, maka ia menjadi jauh lebih lemah daripada biasanya. Ia segera terdesak ketika Im Yang Hoat-su memainkan tongkatnya secara dahsyat sekali. Pada saat itu terdengar bentakan dari depan rumah. Bentakan yang menggelegar dan menggetarkan tempat itu.

   "Im Yang Hoat-su! Apa yang kaulakukan di sini?" Kakek itu terkejut dan cepat melompat ke belakang. Siang Lan juga kaget dan khawatir melihat Sie Bun Liong yang ia tahu masih lemah itu telah keluar dari rumah. Im Yang Hoat-su kini memandang kepada Sie Bun Liong dan dia terbelalak.

   "Thai-lek-sian Sie Bun Liong! Engkau di sini? Aku...... aku menantang bertanding Hwe-thian Mo-li karena ia telah membunuh sahabatku Cui-beng Kui-ong!"

   "Kalau engkau membela Cui-beng Kui-ong, berarti engkau membela penjahat besar!"

   "Dia bukan penjahat. Dia hanya berusaha untuk membebaskan para sahabatnya yang ditawan di kota raja."

   "Ya, dan dia menculik Sribaginda Kaisar, bahkan hendak membunuh Beliau!"

   "Ahh......!" Im Yang Hoat-su terkejut sekali mendengar ini.

   "Pula, bukan Hwe-thian Mo-li yang membunuhnya, melainkan aku! Akulah yang membunuh Cui-beng Kui-ong untuk melindungi Sribaginda Kaisar! Nah, engkau hendak menuntut balas? Tuntutlah aku!" Hati Im Yang Hoat-su menjadi gentar. Dia sudah mengenal Thai-lek-sian dan tahu benar akan kelihaian pendekar ini. Tadi, melawan Hwe-thian Mo-li saja dia sudah menemukan lawan seimbang. Kalau kini Thai-lek-sian maju, berarti dia mencari penyakit atau bahkan mencari kematiannya. Apalagi dia tadi mendengar bahwa Cui-beng Kui-ong menculik dan hendak membunuh Kaisar, ini merupakan dosa tak berampun dan yang membunuhnya adalah Thai-lek-sian.

   "Aih, kalau begitu persoalannya, sudahlah, pinto tidak akan menimbulkan permusuhan Akan tetapi, Thai-lek-sian, mengapa engkau mati-matian membela Hwe-thian Mo-li? Apamukah gadis ini?" Sie Bun Liong tersenyum.

   "Engkau ingin mengetahui, Im Yang Hoat-su? Perkenalkan, ini adalah Nyo Siang Lan, calon isteriku!" Sambil berkata demikian, dengan tangan kirinya Sie Bun Liong merangkul pundak Siang Lan yang berdiri di sebelah kirinya. Siang Lan juga tersenyum penuh kebahagiaan.

   "Ah, begitukah? Kalau begitu, kiong-hi (selamat) untuk kalian berdua! Pinto mohon pamit!" Tosu itu lalu berlari cepat menuruni puncak Bukit Selaksa Bunga. Dengan hati dipenuhi kebahagiaan, Nyo Siang Lan dan sie Bun Liong bergandeng tangan memasuki rumah induk di mana Sie Bun Liong tinggal selama beberapa hari dalam perawatan Siang Lan sampai dia sembuh benar dan tenaganya pulih kembali.

   
🎋😀

   
Beberapa bulan kemudian, sepasang kekasih ini melangsungkan pernikahannya di Lembah Selaksa Bunga, mengundang semua kenalan para pendekar. Bahkan Panglima Chang sendiri juga menghadiri perayaan pernikahan itu. Selama perayaan, semua jebakan yang menghalangi orang naik ke puncak bukit itu disingkirkan. Ban-hwa-kok yang indah penuh bunga itu dikagumi semua tamu dan nama Ban-hwa-pang menjadi semakin terkenal. Apalagi setelah menjadi suami isteri, Sie Bun Liong dan Nyo Siang Lan memperbesar Ban-hwa-pang yang menjadi perkumpulan besar, bukan hanya mempunyai anak buah kaum wanita, akan tetapi juga kaum pria. Ban-hwa-pang menjadi sebuah perkumpulan besar dan terkenal karena para anggautanya mendapat pendidikan silat yang khas dari suami isteri itu.

   Sekianlah, pengarang mengakhiri. kisah ini dengan harapan semoga selain merupakan bacaan hiburan, juga mengandung manfaat bagi para pembaca sekalian.

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IBLIS DAN BIDADARI (HWE THIAN MO LI)