IBLIS DAN BIDADARI (HWE THIAN MO LI)

Ringkasan cerita
Serial ini menghadirkan seorang gadis penari cantik yang akan menari di sebuah perayaan pesta ulang tahun seorang jago silat kawakan. Namun kehadirannya diikuti oleh seorang gadis pembunuh yang juga masih muda dan juga sangat cantik yang ingin membunuh sang tuan rumah pesta tersebut. Tapi gadis pembunuh muda itu tidak tahu kalau ternyata gadis penari itu sudah mendahuluinya untuk membunuh musuh besarnya dan lantas mengejar gadis penari yang melarikan diri setelah berhasil membunuh tuan rumah pesta itu. Sebetulnya keduanya masih memiliki ikatan yang kuat pada seseorang yang mana yang satu sebagai murid dan yang lainnya adalah putri dari orang yang bersangkutan yakni seorang pria yang bernama Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Bertangan Delapan) Ong Han Cu yang merupakan guru dan ayah dari masing-masing dari mereka ini dan yang telah dibunuh secara brutal oleh lima orang dengan cara yang curang. Setelah saling mengenal satu sama lain lewat sebuah pertarungan yang sengit, sang gadis penari lalu menantang si gadis muda itu untuk berlomba satu sama lain untuk mencari dan membunuh sisa musuh-musuh besar mereka. Dalam perjalanan mereka memenuhi sumpah mereka ini, keduanya bertemu dengan seorang pria muda yang gagah berani, masing-masing dalam waktu, tempat, dan situasi yang berbeda. Pemuda ini mampu meruntuhkan hati kedua gadis tersebut. Si gadis jagoan sungguh-sungguh jatuh hati namun malu mengungkapkan isi hati terlebih dahulu pada pemuda itu karena dia seorang wanita, sedang si gadis penari sebenarnya juga jatuh hati pada pemuda itu namun karena adanya halangan yang mana sebenarnya dia sudah dijodohkan dengan seorang pemuda keturunan bangsawan, maka dia berusaha sedapat mungkin untuk menahan perasaan ini. Ikuti terus cerita ini karena cerita ini selalu mampu membangkitkan rasa ingin tahu Anda para pembaca. Siapakah yang di akhir cerita akan berjodoh dengan pemuda ini? Apakah cerita ini akan berakhir dengan sedih atau bahagia? Nah, silahkan menikmati sajian kami ini!

IBLIS DAN BIDADARI JILID 01










IBLIS DAN BIDADARI (HWE THIAN MO LI) JILID 01


   Siapakah orangnya yang tidak mengenal nama Liok Kong, hartawan besar di kota Kan-Cou di propinsi Kiangsi? Seluruh penduduk kota Kan-Cou tentu telah mengenal hartawan yang kaya raya, pemilik dari berbagai toko dan rumah gadai yang kenamaan ini. Sesungguhnya bukan karena kekayaannya maka ia amat dikenal, karena di kota Kan-Cou memang banyak sekali terdapat orang-orang hartawan. Liok Kong dikenal banyak orang bukan hanya sebagai seorang hartawan, akan tetapi lebih lagi sebagai seorang jago tua yang mempunyai julukan Toat-Beng Sin-To (Golok Sakti Pencabut Nyawa).

   Toat-Beng Sin-To Liok Kong adalah seorang yang telah banyak merantau dan diwaktu mudanya, ia malang melintang di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli golok yang jarang menemukan tandingannya. Setelah usianya menjadi tua, ia pindah ke dalam kota Kan-Cou dalam keadaan sudah kaya raya. Sungguh amat mengherankan orang betapa cepatnya ia mendirikan rumah-rumah gedung, membuka toko-toko dan membeli rumah-rumah gadai yang terbesar. Bahkan dalam usia lima puluh tahun, ia lalu mengawini seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun, hidup mewah, memelihara banyak pelayan dan penjaga-penjaga yang banyak jumlahnya dan memiliki kepandaian silat tinggi.

   Agaknya para penjaga atau lebih tepat disebut "tukang pukul" ini amat mengandalkan pengaruh kekayaan dan nama besar Toat-Beng Sin-To Liok Kong, karena kadangkala mereka melakukan hal-hal yang menunjukkan kesombongan mereka. Tangan mereka amat ringan menjatuhkan pukulan kepada siapa saja yang tidak mau tunduk, dan bahkan di antara mereka tidak segan-segan untuk mengganggu si lemah. Akan tetapi, siapakah orangnya yang berani menentang mereka? Tidak saja mereka ini rata-rata memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi lebih-lebih lagi orang-orang merasa segan terhadap Liok Kong yang kaya raya, terutama sekali karena Liok Kong telah mengadakan hubungan amat baiknya dengan para pembesar setempat.

   Pada hari itu keadaan kota Kan-Cou berbeda dari biasanya, lebih ramai dan yang amat menarik hati penduduk adalah banyaknya orang-orang asing, pendatang-pendatang dari tempat-tempat jauh. Para penduduk maklum bahwa orang-orang ini adalah para tamu yang hendak mengunjungi pesta yang diadakan oleh Liok-Wangwe (hartawan Liok), yakni sebutan baru bagi Toat-Beng Sin-To Liok Kong setelah ia menjadi hartawan. Hotel-hotel di kota itu penuh dengan para tamu ini, dan keadaan mereka memang amat menarik hati. Ada orang yang berpakaian sebagai ahli-ahli silat, sebagai Piauwsu (pengawal kiriman barang berharga), ada pula wanita-wanita yang membawa pedang, banyak pula yang berpakaian sebagai Hwesio (pendeta Buddah) dan Tosu (pendeta agama To).

   Hal ini sesungguhnya tak perlu diherankan, oleh karena di masa mudanya, Liok Kong telah merantau di seluruh propinsi. Biarpun propinsi Kiangsi berada di selatan, namun pendatang-pendatang itu datang dari propinsi amat jauh di utara, seperti propinsi-propinsi Santung, Honan, Ho-pak, Sansi, dan lain-lain. Rumah gedung Liok-Wangwe sendiri menjadi pusat keramaian dan kemewahan. Gedung yang besar dan tinggi bertingkat dua itu dihias dengan kertas-kertas berwarna, bunga-bunga kertas dan bunga-bunga asli. Semenjak pagi hari, para tamu sudah datang berduyun-duyun, ratusan orang jumlahnya. Sebagaimana biasanya dalam setiap pesta yang diadakan orang di masa itu, ruang bagi tamu terbagi dalam beberapa bagian. Ada tempat atau ruang bagi tamu-tamu "Biasa", yakni penduduk kota Kan-Cou yang dianggap tak berapa penting.

   Mereka ini dipersilakan menduduki ruang di sebelah kiri dan hanya dilayani oleh pelayan-pelayan hartawan itu. Para pembesar tinggi mendapat tempat yang lebih mewah, bersama dengan para hartawan, yakni di ruang sebelah kanan. Yang paling istimewa adalah tamu-tamu yang terkenal sebagai tokoh-tokoh persilatan tinggi dan pembesar-pembesar yang berpengaruh, karena mereka ini diistimewakan dan mendapat ruangan yang amat luas yakni di sebelah dalam. Mereka ini disambut sendiri oleh Liok-Wangwe. Bertumpuk-tumpuk barang antaran atau sumbangan memenuhi belasan meja yang dipasang berderet di ruang tengah, di jaga oleh belasan orang penjaga yang memegang golok, nampaknya gagah dan keren sekali.

   Hampir semua tamu tidak lupa untuk membawa sumbangan sebagai pernyataan selamat atas perayaan ulang tahun atau hari lahir yang ke lima puluh lima dari Toat-Beng Sin-To Liok Kong. Hartawan she Liok ini merasa gembira sekali melihat banyaknya tamu yang datang memberi selamat kepadanya, terutama sekali karena ia melihat kawan-kawan lama dari dunia kang-ouw yang memerlukan datang. Hampir setiap cabang persilatan mengirim wakil-wakilnya sehingga di situ terdapat wakil-wakil dari cabang persilatan Siauw-lim, Go-bi-pai, Kun-Lun-pai, Bu-tong-pai dan lain-lain. Akan tetapi yang amat menggembirakan hatinya adalah hadirnya lima orang gagah yang amat terkenal yakni yang disebut Ngo-Lian Hengte (Kakak Beradik Lima Teratai).

   Ngo-lian Heng-te ini terdiri dari lima orang laiki-laki yang usianya telah empat puluh tahun lebih. Yang tertua bernama Kui Jin, kedua Kui Gi, ketiga Kui Le, keempat Kui Ti. Dan kelima Kui Sin. Ke lima kakak beradik ini juga disebut Ngo Ciangbun (Lima Ketua) dari perkumpulan Agama Ngo-Lian-Kauw (Agama Lima Teratai) yang berkedudukan di kota Po-teng di propinsi Hopak. Pesta berlangsung dengan amat meriah dan ramai. Hidangan-hidangan mahal dan lezat dikeluarkan. Arak yang wangi dituang berkali-kali sehingga makin lama makin riuhlah gelak tawa para tamu yang sudah mulai terpengaruh oleh arak wangi. Makin banyak arak keras ini memasuki perut, makin terlepaslah lidah makin bebaslah pikiran, lenyap segala keraguan dan kesusahan, yang terasa hanyalah kegembiraan hidup.

   Berulang-ulang para tamu mengangkat cawan arak untuk keselamatan tuan rumah sehingga muka Liok Kong telah menjadi merah seperti udang direbus. Toat-Beng Sin-To ini telah berusia lima puluh lima tahun, akan tetapi wajahnya masih nampak kemerahan dan sehat. Rambutnya masih hitam dan pakaiannya yang mewah dan indah membuat ia nampak masih muda. Pada pinggang kirinya tergantung gagang goloknya yang terbuat dari pada emas terhias mutiara, dan sarung goloknya juga terukir indah sekali. Pada saat pesta sedang berjalan ramai-ramainya, tiba-tiba seorang penjaga dengan sikap hormat menghadap Liok Kong dan melaporkan,

   "Lo-ya (tuan besar), di luar terdapat serombongan penari yang datang untuk menghibur Lo-ya." Liok Kong menjadi heran akan tetapi juga gembira.

   "Penari? Dari manakah dan siapa yang menyuruh dia datang?"

   "Maaf, Lo-ya. Hamba juga tidak berani langsung memberi perkenan masuk karena hamba juga merasa heran. Akan tetapi menurut penarinya, ia diperintah oleh seorang Piauwsu di kota Buncu di Propinsi Cekiang sebagai sumbangan, karena Piauwsu itu tidak dapat datang sendiri." Liok Kong mengingat-ingat dan tidak merasa mempunyai seorang kenalan Piauwsu di Cekiang, akan tetapi karena ia ingin sekali melihat penari itu, ia lalu memberi perintah,

   "Suruh dia masuk, biar aku sendiri yang bertanya kepadanya." Penjaga itu tersenyum penuh arti.

   "Lo-ya takkan kecewa. Penarinya benar-benar cantik seperti bidadari!" Biarpun hatinya merasa amat girang mendengar kata-kata ini, akan tetapi dihadapan sekian banyaknya tamu-tamu orang kang-ouw yang memandang sambil tertawa-tawa, ia pura-pura marah,

   "Jangan banyak cakap! Lekas suruh dia masuk!"

   Penjaga itu memberi hormat lalu keluar lagi dan tak lama kemudian ia datang mengiringkan serombongan orang terdiri dari seorang penari wanita dan tiga orang laki-laki tua yang memegang alat musik. Melihat penari itu, seketika itu juga lenyaplah niat Liok Kong untuk mencari keterangan tentang Piauwsu itu. Ia hanya berdiri bengong dengan mata terbelalak dan ternyata bukan hanya dia seorang yang memandang dengan kagum sekali. Bahkan hampir semua mata para tamu laki-laki memandang dengan kagum dan terdengar pujian-pujian di sana-sini dari mulut tamu-tamu muda. Penari itu adalah seorang dara berusia paling banyak delapan belas tahun dan cantik jelita bagaikan bidadari, tepat seperti yang dikatakan oleh penjaga tadi. Wajahnya yang berkulit kuning putih bersih bagaikan susu, membayangkan kemerahan pada sepasang pipinya, bagaikan bunga botan sedang mekar.

   Sepasang matanya jeli dan indah sekali, bersinar halus dan sayu akan tetapi amat tajam dan bening seperti mata burung Hong. Entah mana yang lebih indah, sepasang matanya atau sepasang bibirnya. Bibir ini berbentuk indah, kecil penuh berkulit halus tipis, berwarna segar kemerahan bagaikan buah yang sudah masak. Hidungnya yang kecil mancung dan sepasang lesung pipit di kanan-kiri pipinya menyempurnakan kecantikannya. Rambutnya agak awut-awutan kurang teratur rapi, akan tetapi hal ini, sekali-kali tidak mengurangi kecantikannya, bahkan mendatangkan kewajaran kepada wajahnya, menambah kemanisan yang benar-benar menggairahkan kalbu tiap laki-laki. Bentuk tubuhnya menggiurkan, ramping dan penuh, terbungkus oleh pakaian dari sutera indah dan ringkas potongannya.

   Bajunya berwarna merah muda dan baju yang terbuat dari pada sutera di waktu tertiup angin mencetak tubuhnya dan mendatangkan pemandangan yang benar-benar luar biasa. Celananya ringkas, dari sutera biru dan pakaian ini masih tertutup oleh sehelai mantel kuning yang lebar. Sepatunya hitam dan penuh debu, tanda bahwa gadis cantik ini telah datang dari tempat jauh. Tiga orang laki-laki tua yang mengikutinya dan membawa alat musik nampak seperti penabuh musik biasa saja, dan mereka nampak agak takut-takut memasuki ruangan gedung yang indah mewah dan penuh dengan tamu-tamu yang berwajah menyeramkan itu. Akan tetapi, gadis penari itu cepat maju dan berlutut di depan Liok Kong setelah penjaga memberitahukannya bahwa orang tua berbaju mewah itulah adanya Liok-Wangwe.

   "Hamba datang membawa pesan dari Tan-Piauwsu di Buncu untuk menyampaikan ucapan selamat panjang umur dan hormat yang setinggi-tingginya kepada Liok-Loya." Suara yang keluar dari bibir indah ini amat merdu bagaikan nyanyian burung. Liok Kong masih berdiri terpaku di atas lantai, tak dapat bergerak dan agaknya hanya jantungnya saja yang bergerak lebih cepat dari pada biasanya. Ia tidak perdulikan lagi siapa adanya Tan-Piauwsu itu, akan tetapi ia cepat membungkuk dan memegang kedua pundak penari itu, mengangkatnya bangun dan berkata,

   "Nona yang baik, sungguh merupakan kehormatan besar sekali mendapat sumbangan sedemikian hebatnya dari Tan-Piauwsu. Kebetulan sekali kau datang hendak menghibur para tamu, maka cepatlah kau perlihatkan kepandaianmu menari!" Orang tua mata keranjang ini merasa betapa pundak penari itu biarpun tertutup pakaian, namun terasa halus, lunak, dan hangat. Juga dari rambut penari itu tercium olehnya keharuman yang membuat semangatnya melayang jauh ke sorga ketujuh. Cepat ia lalu memberi perintah kepada para pelayannya untuk mempersiapkan tempat kosong di tengah ruangan itu untuk penari ini agar pertunjukkannya dapat dinikmati oleh semua pengunjung.

   "Maaf, Lo-ya," kata pula penari itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan lirikan matanya yang tajam mengiris jantung.

   "Ketiga Lopek (paman tua) ini adalah penabuh-penabuh musik biasa saja yang hamba sewa, karena dari Buncu, hamba tidak membawa tukang penabuh musik sendiri."

   "Tidak apa, tidak apa!" jawab tuan rumah yang kaya raya itu gembira.

   "Yang penting bukan gamelannya, melainkan tarianmu. Eh, siapakah namamu, nona?"

   "Apakah artinya nama seorang penari seperti hamba, Lo-ya?" Liok Kong tersenyum dan berusaha membuat bibirnya yang tebal itu tersenyum manis, tidak merasa bahwa usahanya ini gagal sama sekali dan senyumnya membuat wajahnya nampak menyeringai tidak menarik.

   "Seorang nona yang demikian cantiknya tentu mempunyai nama yang indah pula!" kata seorang tamu muda yang bermata liar. Melihat betapa seorang yang masih muda dapat menduduki ruangan ini, dapat diduga bahwa ia adalah orang yang cukup penting. Memang demikian adanya. Pemuda ini adalah seorang yang telah menjunjung tinggi nama sendiri karena kepandaian silatnya dan ia adalah seorang perampok tunggal yang telah terkenal sekali di daerah barat, yakni di Propinsi Kansu. Namanya Thio Kun, akan tetapi di daerah barat, ia terkenal sebagai si Pedang Maut. Mendengar ucapan Thio Kun ini, para tamu yang duduk terdekat di tempat itu tertawa dan semua bibir tersenyum dengan mata mengerling penuh arti ke arah penari itu.

   "Ha, ha, ha! Ucapan Thio Taihiap tepat sekali!" kata Liok Kong lalu berkata pada penari itu.

   "Nona manis, sebelum kau mempertunjukkan tarianmu yang indah, lebih dulu beritahukanlah namamu." Dengan gaya yang amat menarik hati sambil menundukkan muka kemalu-maluan, nona penari yang cantik sekali itu lalu memperdengarkan suaranya yang merdu. Melihat keadaan yang sunyi senyap padahal ruangan itu penuh dengan para tamu, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua orang memperhatikan jawaban ini dan semua orang ingin mendengar siapakah nama penari yang luar biasa ini.

   "Lo-ya, hamba she Ong bernama Lian Hong, seorang gadis yatim piatu miskin yang mengandalkan hidup dari sedikit kepandaian menari."

   "Bagus, bagus! Benar-benar indah sekali namanya!" Thio Kun berseru gembira sambil menepuk-nepuk tangannya.

   "Lian Hong... sungguh nama yang merdu terdengar. Liok Lo-Enghiong, suruhlah nona Lian Hong lekas menari. Aku tak sabar lagi untuk segera menikmati tariannya yang indah!"

   Ucapan ini mendapat sambutan sebagai pernyataan setuju dari sebagian besar para tamu yang hadir di situ. Tiba-tiba orang tua penabuh gamelan segera memulai memperdengarkan lagu yang merdu. Mereka bertiga mainkan tiga macam alat musik, sebuah suling, sebuah pipa (seperti gitar), dan yang seorang lagi memegang tambur kecil untuk mengatur irama. Merndengar bunyi-bunyian ini, semua orang menjadi kecewa karena ternyata bahwa musik terdiri dari tiga orang ini tidak merupakan sesuatu keistimewaan. Banyak rombongan musik yang dapat main jauh lebih bagus dari pada yang tiga orang ini.

   Akan tetapi, setelah nona Ong Lian Hong menjura keempat penjuru dan mulai berdiri tegak, lalu mendengarkan irama musik, kemudian mulailah dengan tariannya, buyarlah semua kekecewaan para pendengar tadi. Bukan main indahnya tarian nona ini, atau mungkin juga bukan tariannya yang indah, melainkan gerakan tubuhnya yang menggiurkan itu. Tubuhnya bergerak dengan lemah gemulai bagaikan sebatang pohon yang-liu tertiup angin lalu. Sepuluh jari tangannya yang kecil dan halus itu seakan-akan sepuluh ekor ular yang hidup dan bergerak amat indahnya. Pinggang yang sudah amat ramping itu bagaikan makin mengecil lagi tatkala tubuhnya bergerak melenggang-lenggok. Kerling matanya mengalahkan sambaran halilintar, senyumnya menyaingi bulan purnama. Ternganga semua tamu, termasuk tuan rumah.

   Selama hidup mereka belum pernah menyaksikan tarian yang indah seperti ini, atau lebih tepat, seorang penari muda secantik dan sebagus bentuk tubuhnya. Setelah menari beberapa lama, Ong Lian Hong lalu mengeluarkan sehelai selendang merah yang tadi diselipkan di ikat pinggangnya dan kini ia menari dengan selendang itu. Makin terpesonalah semua tamu menyaksikan tari selendang ini, karena benar-benar amat indahnya. Dengan cekatan sekali sepuluh jari tangan itu menggerakkan selendang sehingga selendang itu menari-nari di udara bagaikan seekor ular naga. Akan tetapi ketika ia merobah gerakan tangannya, selendang itu menjadi seperti bunga mawar merah yang tercipta di udara dan sebentar kemudian melambai lagi lalu terlepas pula, merupakan selendang sutera yang halus membelai kepala, leher, dan pinggang penari itu.

   Ketika nona penari itu menghentikan tariannya, barulah terdengar suara pujian yang seakan-akan menumbangkan tiang-tiang rumah gedung itu dan menggetarkan genteng-genteng. Sorak sorai menggegap gempita, diselingi teriakan-teriakan kagum. Suara pujian ini demikian kerasnya sehingga para penduduk yang tadinya tinggal di rumah menjadi tertarik dan berbondong-bondonglah mereka datang mengunjungi gedung yang sedang dipergunakan untuk tempat pesta itu. Di pekarangan depan berjejal-jejal penduduk yang ingin menjenguk ke dalam. Para tamu yang tadinya berada di ruang kanan dan kiri tanpa dapat dicegah lagi telah masuk ke ruang dalam. Hal ini dapat terjadi karena di situ tidak terdapat penjaga lagi, karena semua penjaga juga telah masuk ke dalam dan menonton.

   "Bagus, bagus! Bukan main, Ong-Siocia (nona Ong)!" Liok Kong memuji sambil menghampiri gadis penari itu.

   "Berikanlah selendangmu itu kepadaku, biarlah kutukar dengan ini!" Ia meloloskan sebuah hiasan topi terbuat dari pada emas ditabur batu permata.

   "Nanti dulu, Liok Lo-Enghiong!" Thio Kun melompat dan mengulurkan tangan.

   "Berikanlah selendang itu kepadaku saja, nona! Akan kutukar dengan benda yang jauh lebih berharga lagi. Lihatlah ini!" Ia mengeluarkan sebuah benda dari saku dalamnya dan semua orang memandang kagum. Di tangan Thio Kun terlihat sebuah patung terbuat dari batu pualam yang merupakan seekor kilin (binatang keramat seperti singa). Benda ini amat indah, sepasang matanya terbuat dari pada permata merah yang mengeluarkan cahaya gemilang. Tak dapat ditaksir berapa besarnya harga benda serupa ini. Sepasang mata penari itu seakan-akan mengeluarkan sinar kilat ketika ia melihat benda ini, akan tetapi sambil tersenyum ia lalu berkata,

   "Terima kasih banyak, siauw-ya (tuan muda), akan tetapi hamba hanyalah seorang utusan yang harus menghormat kepada tuan rumah. Oleh karena itu, selendang ini terpaksa hamba serahkan kepada Liok-Loya!" Sambil berkata demikian, dengan gaya manis dan dengan kedua tangannya ia memberikan selendang merah itu kepada Liok Kong yang menerima sambil tertawa besar. Kakek mata keranjang ini ketika menerima selendang sengaja hendak memegang lengan yang halus itu, akan tetapi ia merasa heran sekali ternyata ia menangkap angin. Entah bagaimana, yang tertangkap olehnya hanya selendang merah itu saja. Liok Kong menganggap hal ini hanya kebetulan saja dan tertawalah ia bergelak sambil berkata kepada Thio Kun yang menyimpan kembali patungnya.

   "Kau mendengar sendiri kata-katanya, Thio-Taihiap, maka kau harus mengalah kepadaku!" Thio Kun tersenyum masam dan berkata sambil menghela napas.

   "Kau yang beruntung, Lo-Enghiong. Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau lain kali aku akan dapat kesempatan menarik tangan nona ini menjadi kawan selama hidupku!" Semua tamu yang sudah terpengaruh arak keras, tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan ini. Beberapa orang tamu yang sopan, seperti para Hwesio dan Tosu, hanya menggeleng kepala saja, namun mereka sudah maklum akan adat orang kang-ouw yang aneh dan kadang-kadang kasar, maka mereka juga mendiamkan saja.

   "Mari... marilah nona, kau mendapat kehormatan untuk duduk menemani kami dimeja besar. Untuk tarian sehebat itu kau harus diberi penghormatan dengan tiga cawan arak wangi!" kata Liok Kong. Nona penari itu tidak menolak, lalu duduk dengan sikapnya yang sopan santun dan halus, sedikitpun tidak nampak kikuk atau canggung, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkan sikap kegenit-genitan seperti sebagian besar para penari bayaran. Justru sikap yang sewajarnya, dandanan yang sederhana, bedaknya yang tipis itulah yang membuat hati para lelaki di situ tergila-gila. Pada saat semua orang bergembira karena melihat betapa nona Ong Lian Hong menenggak tiga cawan arak tanpa berkedip mata, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tengah ruangan itu telah berdiri seorang gadis dengan sikap gagah sekali.

   "Manusia she Liok, bersiaplah untuk menghadapi kematianmu!" demikian gadis ini membentak.

   Tentu saja semua orang terkejut sekali mendengar bentakan ini dan semua mata memandang ke arah gadis yang baru datang ini. Dia adalah seorang gadis yang berusia kurang lebih dua puluh tahun, cantik jelita dan luar biasa sekali. Pakaiannya sederhana berwarna biru seluruhnya, rambutnya diikat dengan saputangan merah dan di pinggangnya tergantung sarung pedang yang buruk dan sudah luntur catnya. Memang aneh melihat gadis ini, karena sesungguhnya kalau dipandang dengan teliti, kecantikannya sempurna sekali. Dari rambutnya yang hitam mengkilap dan panjang, sampai kepada wajahnya yang bentuknya indah dan sempurna sehingga turun kepada tubuhnya yang padat dan ramping, sukarlah untuk mencari cacat celanya.

   Akan tetapi, begitu berhadapan dengan dia, orang mau tak mau harus merasa keder dan jerih, karena di balik kecantikan ini tersembunyi tenaga dan keganasan yang menakutkan. Mungkin sinar matanya yang bagaikan sepasang mata harimau marah itulah, atau tekukan bibirnya yang manis, entahlah. Pendeknya, melihat ia berdiri dengan tubuh tegak dan dadanya membusung ke depan seperti orang yang menantang, kedua kakinya dipentang sedikit ke kanan kiri, tangan kanan bertolak pinggang dan tangan kiri meraba gagang pedang, orang yang kurang tabah hatinya merasa bulu tengkuknya berdiri. Liok Kong cepat menengok dan terheranlah ia karena selama hidupnya ia merasa belum pernah bertemu dengan nona cantik ini. Sambil memutar tubuh di atas tempat duduknya, ia menghadapi gadis itu dan membentak garang,

   "Siapakah kau dan mengapa datang-datang berkata kasar? Apakah kau seorang gila?" Mulut gadis itu tersenyum, akan tetapi alangkah jauh bedanya dengan senyuman gadis penari tadi. Senyuman gadis ini biarpun amat manis akan tetapi merupakan penghinaan bagi orang dihadapannya.

   "Liok Kong, manusia rendah! Aku tidak mau berbuat seperti orang lain, merendahkan diri memperkenalkan nama kepada binatang macam kau. Cukup kau ketahui bahwa aku adalah Hwe-Thian Mo-Li (Iblis Wanita Terbang)!"

   Tidak hanya Liok Kong yang terkejut dan pucat mendengar nama ini, bahkan semua tokoh kang-ouw yang berada di situ menjadi tercengang. Nama Hwe-Thian Mo-Li ini di dalam dua tahun akhir-akhir ini telah terkenal sekali, terutama di kalangan hek-to (jalan hitam), yakni kalangan penjahat. Jarang ada orang dapat melihat Hwe-Thian Mo-Li, karena iblis wanita itu bekerja dengan cepat, ganas, dan tidak pernah memperlihatkan diri. Oleh karena ini, jarang ada orang kang-ouw yang pernah melihat wajahnya, sungguhpun namanya telah didengar oleh semua orang. Kini mendengar nama ini disebut, semua orang menjadi bengong dan terheran-heran. Memang pernah mereka dengar dari orang-orang yang telah bertemu muka dengan iblis wanita itu, bahwa Hwe-Thian Mo-Li adalah seorang dara yang cantik sekali,

   Akan tetapi tidak pernah mereka sangka bahwa iblis wanita itu semuda dan secantik ini. Bagaimanakah seorang dara yang usianya kurang dua puluh tahun, yang demikian cantik jelita, disebut seorang iblis? Adapun Toat-Beng Sin-To Liok Kong, ketika mendengar nama ini, berdebarlah hatinya. Ia pernah mendengar bahwa iblis wanita ini memang berusaha mencarinya, dan bahkan seorang kawan baiknya telah tewas pula di dalam tangan Hwe-Thian Mo-Li. Ia masih belum mengerti mengapa wanita muda ini mencarinya dan hendak membunuhnya, dan mengapa pula iblis wanita ini telah membunuh kawan baiknya di Santung itu. Dengan mengangkat dada, Liok Kong lalu turun dari tempat duduknya, berdiri dihadapan Hwe-Thian Mo-Li dan berkata,

   "Hwe-Thian Mo-Li! Kau adalah seorang kang-ouw yang baru saja muncul dan boleh dibilang masih seorang kanak-kanak. Akan tetapi ternyata mulutmu besar sekali. Kau berani menghina Toat-Beng Sin-To Liok Kong, apakah kau telah bosan hidup? Sayang kemudaan dan kecantikanmu! Dan sebagai seorang kang-ouw, kaupun telah bertindak secara serampangan dan membabi buta. Kau datang memaki dan memusuhi aku tanpa alasan sama sekali. Bilakah kita pernah bertemu? Pernahkah aku, Toat-Beng Sin-To mengganggumu atau memusuhimu? Ingat, gadis kecil, di sini berkumpul puluhan tokoh kang-ouw, dan kau tidak boleh berlaku sombong dan sewenang-wenang!"

   Pada saat itu terdengar suara ketawa nyaring dan tahu-tahu Thio Kun Si Pedang Maut telah melompat dan berdiri di dekat Liok Kong menghadapi Hwe-Thian Mo-Li. Jago pedang dari Kansu yang baru berusia tiga puluh tahun dan masih membujang ini, ketika tadi melihat Hwe-Thian Mo-Li, ia menjadi demikian kagum sehingga sampai beberapa lama tak dapat mengeluarkan sepata katapun. Dalam pandangan matanya, bahkan Hwe-Thian Mo-Li ini lebih cantik dan menarik dari pada gadis penari itu. Mungkin karena sikap Hwe-Thian Mo-Li yang gagah itulah yang menarik hatinya.

   "Liok-Lo-Enghiong, serahkanlah yang galak ini kepadaku. Kau telah mempunyai kawan minum arak, sekarang datang giliranku. Ha, ha, ha!" Biarpun hatinya agak merasa gelisah, mendengar ucapan Thio Kun ini, Liok Kong tersenyum senang. Ia maklum bahwa orang she Thio ini boleh diandalkan.

   "Nanti dulu, Thio-Taihiap, biar aku bertanya dulu kepada nona ini mengapa dia demikian rindu untuk memiliki kepalaku yang tidak muda lagi!" Hwe-Thian Mo-Li sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap Thio Kun, bahkan ia lalu berkata kepada Liok Kong,

   "Toat-beng-sin-to, mungkin kau belum pernah mendengar namaku, akan tetapi tentu kau takkan lupa akan Pat-Jiu Kiam-Ong (Raja Pedang Bertangan Delapan), bukan?" Tiba-tiba wajah orang she Liok itu menjadi pucat sekali. Teringatlah ia akan pengalamannya belasan tahun yang lalu dan ketika ia teringat akan sahabat baiknya di Santung yang terbunuh oleh Hwe-Thian Mo-Li, diam-diam ia bergidik. Liok Kong adalah seorang yang cerdik dan ia maklum bahwa gadis ini lihai sekali. Kebetulan sekali Thio Kun yang sombong datang mencampuri urusan ini, maka ia pikir lebih baik mengoperkan gadis ganas ini kepada Si Pedang Maut.

   "Thio-Taihiap, kau minta aku menyerahkan nona ini kepadamu? Akan tetapi tidak dengarkah kau akan nama besarnya Hwe-Thian Mo-Li?" Thio Kun tertawa bergelak,

   "Ha, ha, ha, biarpun ia disebut Iblis Wanita, kalau cantiknya seperti ini, siapakah yang akan takut menghadapinya?" Liok Kong melompat mundur dan semua orang memandang ke arah Thio Kun dan Hwe-Thian Mo-Li dengan hati tegang dan tertarik. Pasti akan ada pertunjukan yang amat menarik, pikir mereka. Apalagi orang-orang kang-ouw yang sudah mendengar nama Hwe-Thian Mo-Li, mereka ingin sekali menyaksikan nona itu bersilat. Nama Thio Kun tidak asing lagi dan sebagian besar orang kang-ouw yang hadir di ruangan itu maklumlah sudah akan kelihaian ilmu pedang dari Thio Kun.

   "Nona," kata Thio Kun dengan lagak sombong,

   "sudah lama aku mendengar nama Hwe-Thian Mo-Li dan oleh karena kita berdua adlah orang segolongan, mengapakah kau tidak ikut ke mejaku dan menikmati hidangan sambil minum arak wangi?" Hwe-Thian Mo-Li tersenyum manis, akan tetapi dibalik senyumnya mengintai kemarahan besar.

   "Cih, orang she Thio! Siapakah yang tidak tahu bahwa kau adalah seorang perampok keji? Bagaimana orang macam kau berani menganggap aku orang segolongan? Aku datang untuk merenggut nyawa orang she Liok karena urusan dendam pribadi, tidak ada sangkut pautnya dengan kau atau dengan orang lain yang berada di sini! Akan tetapi..." Ia berhenti sebentar lalu melemparkan pandang mata menantang ke empat penjuru,

   "jangan anggap bahwa kata-kataku ini menunjukkan bahwa aku takut! Siapa pun juga yang menghalangi aku mengambil kepala orang she Liok, boleh maju dan berkenalan dengan pedangku!"

   "Aduh lagaknya! Pedang tumpul macam apakah yang kau bawa-bawa ke sini?" Thio Kun mentertawakan, akan tetapi segera ia berseru kaget dan cepat membuang diri ke kiri untuk mengelak dari sambaran sinar kuning yang menyerang ulu hatinya. Entah bagaimana, tanpa kelihatan pandangan mata, tahu-tahu Hwe-Thian Mo-Li telah mencabut pedangnya dan telah mengirim serangan kilat menusuk ulu hatinya. Pucatlah wajah Thio Kun, bukan hanya karena kaget, akan tetapi juga karena marah. Ia melihat betapa buruknya sarung pedang yang tergantung di pinggang gadis itu, akan tetapi setelah pedangnya dicabut, ternyata pedang itu berkilau mengeluarkan cahaya kekuningan.

   "Masih adakah pikiranmu untuk membela jahanam she Liok dan menghadapi pedangku Thio Kun?" Hwe-Thian Mo-Li mengejek.

   "Iblis wanita, kau kira kau akan dapat menyombongkan sedikit kepandaianmu di sini dan berani mengacau? Jangan kau membikin aku sampai menjadi marah. Kalau sekali pedang maut telah kucabut, sebelum ia mencium bau darah, ia takkan masuk kembali ke sarangnya!"

   "Perampok hina dina, siapa takuti pedangmu?" kata pula Hwe-Thian Mo-Li dan ia memandang dengan cara menghina sekali. Thio Kun tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Ia berseru keras dan mencabut pedangnya yang berkilau dan mengeluarkan sinar putih kehijauan.

   "Kau perlu dihajar!" bentaknya dan cepat sekali pedang di tangannya bergerak menyerang dengan hebat sekali. Hwe-Thian Mo-Li menangkis dan terdengar suara keras dibarengi bunga api yang berpijar. Thio Kun menjadi gentar sekali ketika pedangnya hampir saja terlepas dari pegangan karena benturan ini. Baiknya ia memiliki pedang mustika, kalau tidak, tentu pedangnya telah terbabat putus oleh pedang di tangan Hwe-Thian Mo-Li. Nama besar Thio Kun sebagai si Pedang Maut bukan timbul karena ilmu pedangnya terlalu lihai, melainkan sebagian besar ditimbulkan oleh kekejaman pedangnya. Memang benar seperti yang dikatakannya tadi, tiap kali pedangnya meninggalkan sarung pedang, pedang itu belum dikembalikan ke dalam sarung sebelum berlepotan darah.

   Oleh karena kekejamannya inilah maka perampok tunggal yang masih muda ini mendapat julukan Si Pedang Maut, walaupun maut yang tersebar dari pedangnya itu selalu mengambil kurban nyawa orang baik-baik. Kini menghadapi pedang pusaka di tangan Hwe-Thian Mo-Li, mana dia dapat berdaya banyak? Hwe-Thian Mo-Li adalah murid terkasih dari seorang gagah perkasa di bukit Liong-Cu-San yang bernama Ong Han Cu dan berjuluk Pat-Jiu Kiam-Ong (Raja Pedang Bertangan Delapan) dan yang memiliki ilmu pedang luar biasa lihainya. Dengan serangan-serangan dari ilmu pedang Liong-Cu Kiam-Hwat, baru beberapa belas jurus saja, Thio Kun menjadi sibuk sekali. Ia masih berusaha mempertahankan dengan ilmu pedang dari Bu-tong-pai, namun karena tingkat ilmu pedangnya memang kalah jauh, dalam jurus kedua puluh terdengar ia menjerit keras dan robohlah ia dengan pundak terbabat pedang.

   "Liok Kong, kau majulah untuk membuat perhitungan secara gagah. Kalau tidak mau maju, terpaksa aku turun tangan!" berkata Hwe-Thian Mo-Li dengan suaranya yang masih merdu akan tetapi mengandung ancaman maut. Tadi ketika Liok Kong menyaksikan kelihaian Hwe-Thian Mo-Li, hatinya telah menjadi jerih. Ia sendiri adalah seorang ahli golok dan belum tentu ia akan kalah terhadap permainan pedang Hwe-Thian Mo-Li, akan tetapi oleh karena hatinya telah tidak karuan rasanya ketika ia mendengar nama Pat-Jiu Kiam-Ong tadi, ia lalu mencari jalan paling aman. Ia telah mendekati Ngo-Lian Hengte, sahabat-sahabat baiknya, ketua dari Ngo-Lian-Kauw di Hopak itu.

   Ngo-Ciangbun atau lima ketua dari Ngo-Lian-Kauw ini memang telah lama merasa gemas dan penasaran melihat sepak terjang Hwe-Thian Mo-Li yang dianggapnya tidak tahu aturan. Mereka berlima takkan memperdulikan andaikata Hwe-Thian Mo-Li melakukan perhitungan dengan Liok Kong secara pribadi, akan tetapi jangan di dalam pesta seperti ini. Menantang tuan rumah dalam sebuah pesta tanpa mengingat akan kehadiran sekian banyak orang-orang gagah yang menjadi tamu, berarti menghina para tamu itu pula. Oleh sebab itu, ketika Liok Kong minta bantuan mereka, dengan segera mereka menyanggupi. Maka ketika mereka melihat Hwe-Thian Mo-Li melompat maju hendak menyerang Liok Kong, kelima orang itu segera berdiri dari tempat duduk mereka dan menghadang di depan tuan rumah.

   "Hwe-Thian Mo-Li, kau benar-benar terlalu menghina orang!" bentak Kui Jin, saudara tertua dari kelima jago Hopak itu.

   "Urusan pribadi dan sakit hati memang sewajarnya diurus, akan tetapi sikapmu yang mendesak tuan rumah di depan para tamu dari dunia kang-ouw yang sekian banyaknya ini benar-benar keterlaluan sekali. Kami harap kau suka memandang kepada kami dan pergi dari sini, jangan mengacaukan pesta ini. Kalau kau melanjutkan sikapmu yang kurang ajar, terpaksa kami Ngo-Lian Hengte takkan tinggal diam saja!" Hwe-Thian Mo-Li tetap tersenyum mengejek seakan-akan nama Ngo-Lian Hengte yang amat tersohor itu bukan apa-apa baginya.

   "Sudah kukatakan tadi bahwa siapa saja yang membela jahanam Liok Kong, ia akan berhadapan dengan pedangku!"

   "Wanita buas!" bentak Kui Sin anggauta termuda dari kelima ketua itu sambil mencabut pedangnya lalu menyerang hebat.

   "Bagus, makin banyak lawan makin gembira!" seru Hwe-Thian Mo-Li dan ia segera memutar pedangnya untuk menangkis.

   Sebentar saja ia dikurung oleh kelima orang kakak beradik she Kui yang mainkan ilmu pedang Ngo-Lian-Kauw dan mengurungnya rapat-rapat. Akan tetapi, Hwe-Thian Mo-Li tidak menjadi gentar, bahkan nampak gembira sekali, mulutnya tersenyum-senyum dan pedangnya bergerak makin lama makin kuat. Sementara itu, Liok Kong masih merasa gelisah lalu minta tolong kepada beberapa orang tamu lain yang sepaham dengan dia, maka kini telah ada belasan orang yang siap sedia dengan senjata di tangan. Mereka bersiap untuk mengeroyok Hwe-Thian Mo-Li andaikata kelima jago dari Hopak itu sampai kalah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Liok Kong dan diam-diam ia lalu melarikan diri melalui pintu belakang. Akan tetapi, baru saja kakinya melangkah ke ambang pintu, tiba-tiba ia mendengar suara halus merdu dibelakangnya.

   "Liok Lo-ya, kau hendak pergi kemanakah?" Liok Kong cepat menengok dan alangkah herannya ketika ia melihat Ong Lian Hong, nona penari cantik jelita tadi telah berdiri dengan sikap menarik dihadapannya. Ketegangan yang ditimbulkan oleh Hwe-Thian Mo-Li membuat semua orang lupa kepada nona penari ini yang hanya berdiri memandang Hwe-Thian Mo-Li dengan mata tajam dan sebentar-sebentar menenggak arak wangi sehingga habis beberapa belas cawan tanpa menjadi mabok sedikitpun. Kalau saja ia tidak sedang ketakutan sangat, dan keadaan tidak sedang berbahaya bagi keselamatannya, tentu Liok Kong akan menjadi girang sekali dan akan menubruk tubuh yang amat menggiurkan itu untuk dibawa ke dalam kamarnya. Akan tetapi pada saat seperti itu, siapakah yang ingat akan kesenangan?

   "Siocia, kau bersembunyilah! Nanti kalau sudah aman aku akan kembali ke sini!" katanya lalu hendak berlari melalui pintu itu.

   "Eh, perlahan dulu, Loya!" tiba-tiba terdengar nona manis itu mencegah dengan halus dan bagaikan seekor naga merah, selendang merah yang serupa benar dengan yang tadi dibeli oleh Liok Kong, melayang melalui atas kepala si kakek itu dan ujungnya lalu membalik menyambar ke arah kedua matanya. Liok Kong terkejut sekali karena sambaran ini bukan main kerasnya sehingga anginnya telah mendahului ujung selendang itu. Ia cepat mengelak dan membalikkan tubuhnya. Ia melihat nona penari itu masih tersenyum, bahkan lebih manis dari pada tadi, akan tetapi sepasang matanya memancarkan cahaya yang aneh dan yang mengingatkan Liok Kong akan pandang mata seorang yang dulu amat dibenci dan ditakuti.

   "Nah, nah, kau mulai teringat, bukan? Pandanglah, pandanglah baik-baik, Liok Kong. Adakah persamaan antara wajahku dengan wajah mendiang Ayahku Ong Han Cu yang telah kau binasakan dengan curang?" Menggigil seluruh tubuh Liok Kong mendengar ucapan ini. Ia merasa betapa lehernya seperti dicekik. Dengan muka pucat ia menudingkan telunjuk ke arah nona itu sambil berkata gemetar.

   "Kau... kau... puteri Pat-Jiu Kiam-Ong...??" Lian Hong tersenyum dan begitu tangan kanannya bergerak, ia telah mengeluarkan sebuah pedang yang amat indah dan aneh. Pedang ini demikian tipisnya sehingga tadi telah ia pakai sebagai sabuk tanpa diketahui oleh orang lain karena gagangnya juga kecil dan sebagian dari pada gagang tipis ini tertutup oleh mantelnya yang lebar.

   "Bangsat she Liok, bersiaplah untuk mampus!" Suara Lian Hong masih terdengar halus, akan tetapi tiba-tiba pedang dan selendangnya meluncur ke depan melakukan dua serangan maut yang amat berbahaya. Sementara itu, Liok Kong telah mencabut goloknya dan ia segera melakukan perlawanan. Rasa sayang dan cintanya terhadap gadis itu lenyap seketika itu juga, terganti oleh rasa takut dan nafsu membunuh. Ia pikir bahwa belum tentu gadis ini selihai Hwe-Thian Mo-Li dan dengan ilmu goloknya tentu ia akan dapat merobohkan puteri musuh besarnya ini, maka begitu bergerak,

   Ia lalu mengeluarkan ilmu goloknya yang ganas dan dahsyat. Tidak percuma Liok Kong mendpat julukan Toat-Beng Sin-To atau Golok Sakti Pencabut Nyawa, karena memang ilmu goloknya lihai sekali. Kalau saja ia tidak sedang gugup dan ketakutan, belum tentu nona jelita itu akan dapat mengalahkannya dalam waktu singkat. Akan tetapi, segera ia mengeluh karena ternyata olehnya bahwa Ong Lian Hong, nona yang menjadi puteri dari Pat-Jiu Kiam-Ong dan yang telah menyamar seperti seorang penari ini memiliki kepandaian yang amat mengagumkan dan sama sekali tidak terduga-duga! Tidak saja ilmu pedangnya luar biasa sekali, merupakan campuran dari ilmu pedang Liong-cu-kiam hwat dan ilmu pedang lain cabang, juga selendang merahnya amat lihai dan berbahaya.

   Selendang merah itu menyambar-nyambar mendatangkan kekacauan terhadap pandangan mata Liok Kong dan ujungnya merupakan senjata penotok jalan darah yang amat berbahaya! Oleh karena mereka bertempur di ruang sebelah dalam lagi, maka tak seorangpun tamu yang melihat pertempuran mereka, kecuali beberapa orang pelayan yang hanya berlari ke sana ke mari tidak berani membantu. Di luar masih terdengar senjata beradu, tanda bahwa Hwe-Thian Mo-Li masih dikeroyok oleh orang banyak. Memang inilah yang dikehendaki oleh Lian Hong, yakni berhadapan satu lawan satu dengan musuh besarnya ini! Dengan mengerahkan kepandaiannya, akhirnya ia dapat mendesak lawannya yang menjadi makin bingung dan gugup.

   "Lebih baik lari saja," pikir Liok Kong yang mencari kesempatan dan jalan keluar. Lian Hong ketika melihat permainan golok lawannya diam-diam mengakui akan kelihaian lawan dan apabila lawannya bertempur dengan tenang, agaknya takkan mudah baginya untuk mengalahkan orang tua ini.

   Nona yang cerdik dan gagah ini ketika melihat gerakan Liok Kong dan pandangan matanya yang selalu mencari kesempatan, maklum akan maksud lawannya. Ia lalu menggunakan akal dan sengaja mengendurkan serangannya dan menjahui pintu yang menuju ke belakang. Melihat kesempatan yang dinanti-nantikan ini, cepat Liok Kong menyerang hebat sehingga Lian Hong terpaksa mengelak mundur dan kakek itu lalu melompat melalui pintu yang terbuka. Akan tetapi, sebelum ia keluar dari pintu itu, ia mendengar suara angin dan melihat selendang merah dari lawannya meluncur cepat mengarah kakinya. Ia cepat melompat ke atas akan tetapi tiba-tiba pedang ditangan Lian Hong telah digerakkan dengan tipu gerakan Naga Sakti Menyemburkan Mustika.

   Gadis pendekar ini telah melontarkan pedangnya yang meluncur cepat bagaikan anak panah dan tanpa dapat ditangkis atau dielakkan oleh Liok Kong yang sedang melompat menghindarkan diri dari serangan selendang merah, pedang itu nancap pada punggungnya dan berhenti di antara tulang-tulang iganya. Inilah kepandaian istimewa dari Ong Lian Hong. Tidak mudah untuk mempelajari ilmu serangan istimewa ini, karena selain bentuk pedang tidak seperti bentuk senjata rahasia yang mudah dilemparkan, juga pedangnya itu amat tipis, namun berkat kemahirannya menyambitkan dan berkat tenaganya yang sudah cukup terlatih, pedang itu dapat menancap ke arah sasaran dengan tepat dan juga kuat sekali. Liok Kong hanya dapat mengeluarkan teriakan satu kali, karena Lian Hong segera mencabut pedangnya dan sekali sabet, leher Liok Kong telah putus.

   Sementara itu, Hwe-Thian Mo-Li masih dikeroyok rapat-rapat oleh para tamu yang membela tuan rumah. Tadi ketika Ngo-Lian Hengte maju mengurungnya, ia telah menjadi amat marah. Pedangnya bergerak ganas sekali dan baru beberapa jurus saja, Kui Ti dan Kui Sin terpaksa telah mengundurkan diri karena terluka oleh ujung pedang pada lengan dan paha. Tiga orang kakak mereka yang masih mengurung juga agaknya tidak akan dapat menang, melihat betapa sinar pedang Hwe-Thian Mo-Li bergulung-gulung makin membesar dan mengganas. Melihat keganasan Hwe-Thian Mo-Li, belasan orang yang sudah menerima permintaan Liok Kong untuk membantu, segera mengepung maju dan sebentar saja kepungan orang terhadap Hwe-Thian Mo-Li makin rapat saja.

   Namun nona ini benar-benar luar biasa sekali. Biarpun senjata para pengeroyoknya datang bagaikan air hujan menimpa ke arah tubuhnya, Ia dapat mainkan pedangnya sedemikian rupa untuk menangkis dan melindungi tubuhnya, bahkan ia masih dapat merobohkan beberapa orang lagi. Akan tetapi, lambat laun ia mulai merasa lelah juga dan hatinya amat mendongkol. Ia sengaja datang hendak membalas dendamnya kepada Liok Kong, kini orang yang dicari dapat melarikan diri sedangkan ia terpaksa harus menghadapi beberapa orang kang-ouw yang mengeroyoknya. Selagi ia mencari jalan untuk meninggalkan semua lawannya dan mengejar Liok Kong, tiba-tiba terdengar seruan halus,

   "Hwe-Thian Mo-Li, inilah hadiah untukmu!" dan sebuah benda besar bulat menyambar ke arah nona yang sedang mengamuk ini. Tidak hanya Hwe-Thian Mo-Li yang merasa kaget dan heran, akan tetapi juga para pengeroyoknya memandang benda yang menyambar itu dan ketika melihat benda itu jatuh di atas lantai, mereka berseru terkejut dengan muka pucat karena benda itu adalah kepala dari Liok Kong. Sebaliknya, ketika Hwe-Thian Mo-Li memandang dan melihat kepala musuh besarnya ini, ia menjadi heran sekali. Pedangnya berkelebat ke arah kepala itu dan

   "Crack!" kepala itu terbelah menjadi dua. Keadaan menjadi kacau balau. Melihat tuan rumah telah tewas dalam keadaan amat mengerikan ini, semua tamu yang tadinya mengurung Hwe-Thian Mo-Li, menjadi kehilangan semangat dan mulai mengundurkan diri. Dan di dalam kekacauan ini, Hwe-Thian Mo-Li yang masih mainkan pedangnya,

   Melihat bayangan penari cantik itu bergerak lincah sekali, melompat dari ruang dalam dan dengan sebuah tendangan ia merobohkan Thio Kun yang berdiri menonton pertempuran sambil memegangi pundaknya yang tadi terluka oleh ujung pedang Hwe-Thian Mo-Li. Tanpa dapat berteriak lagi, Thio Kun roboh terguling dan cepat sekali tangan penari yang cantik itu menyambar ke bawah, terdengar pakaian robek dan patung Kilin tadi kini telah berada ditangan penari itu yang cepat melompat pergi dari ruangan itu. Hwe-Thian Mo-Li merasa tak perlu lagi melanjutkan pertempuran karena kini musuhnya telah tewas. Ia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga para pengeroyok bergerak mundur, lalu tiba-tiba tubuhnya dienjotkan ke atas dan melompatlah ia ke ruang depan sambil berseru.

   "Sahabat lancang, tunggu dulu!" Ia masih dapat melihat bayangan nona penari itu berlari di sebelah kanan rumah gedung maka iapun lalu mempercepat gerakan kakinya mengejar. Nona penari itu menengok dan mulutnya tersenyum geli ketika ia melihat Hwe-Thian Mo-Li mengejar. Iapun lalu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat dengan ilmu lari Teng-Peng Touw-Sui.

   Melihat betapa bayangan yang ramping di depan itu kini berlari makin cepat keluar dari kota, Hwe-Thian Mo-Li menggigit bibir dan mempercepat pengejarannya dengan ilmu lari Hwe-Hong-Sut. Kejar mengejar terjadi dan Hwe-Thian Mo-Li menjadi makin mendongkol, gemas, marah dan penasaran oleh karena betapapun ia mengerahkan kepandaiannya berlari cepat, ia tidak dapat mengejar gadis penari itu. Sebaliknya, yang dikejar juga tak dapat memperjauh jarak di antara mereka ternyata bahwa ilmu kepandaian mereka dalam hal ilmu berlari cepat ternyata setingkat. Setelah kejar mengejar sejauh tiga puluh li dan mereka telah tiba di tepi sungai Yang-ce, nona penari itu sambil tertawa-tawa lalu berhenti menanti kedatangan Hwe-Thian Mo-Li. Dengan muka merah, Hwe-Thian Mo-Li menudingkan telunjuknya ke arah hidung nona penari itu sambil berkata ketus,

   "Siapakah kau yang sombong dan lancang ini? Mengapa kau berani mati sekali mendahului aku yang hendak memenggal leher binatang Liok Kong? Lekas katakan apa alasanmu. Kalau tidak jangan harap aku Hwe-Thian Mo-Li dapat mengampuni kelancanganmu?" Dara penari yang lihai itu tersenyum manis sekali dan menahan gelinya.

   "Kau mau mengetahui namaku?"

   "Ya, sebutkan namamu. Cepat!"

   "Aku bernama Hwe-Thian Sian-Li (Bidadari Terbang)!" Makin merahlah muka Hwe-Thian Mo-Li mendengar ini. Terang bahwa gadis penari ini main-main terhadapnya. Secepat kilat ia mencabut pedangnya dari pinggang dan memandang dengan mata melotot.

   "Kau hendak mengembari julukanku? Mengapa tidak memakai julukan Hwe-Thian Mo-Li sekali agar sama?" bentaknya. Ong Lian Hong, dara penari itu tersenyum.

   "Untuk apa memakai nama seperti itu? Siapa suka menyebut diri sebagai Mo-li atau Iblis Wanita? Sungguh nama yang buruk dan menakutkan. Bagiku, lebih baik aku memakai nama Hwe-Thian Sian-Li!" Hwe-Thian Mo-Li merasa terpukul oleh alasan ini.

   "Hm, tidak saja kau cantik, akan tetapi juga lidahmu amat lihai bicara. Lekas kau katakan mengapa kau berlancang tangan mendahului aku membunuh Liok Kong!"

   "Cici, bukankah aku telah membantumu? Mengapa kau marah-marah?" gadis penari itu bertanya sambil memandang heran. Ia belum kenal adat yang keras dari Hwe-Thian Mo-Li dan karena adatnya inilah maka gadis ini disebut Hwe-Thian Mo-Li atau Iblis Wanita.

   "Membantu? Siapa sudi kau bantu? Kau boca sombong, dengan sedikit kepandaianmu itu, kau sudah berani membantu tanpa kuminta? Kau benar-benar lancang sekali!"

   "Enci Siang Lang, kau benar-benar galak sekali!" tiba-tiba penari ini berkata sambil tersenyum manis.

   "Kau hendak membalas dendam kepada jahanam Liok Kong, apakah orang lain juga tidak hendak membalas dendam? Apakah dendam hanya boleh kau miliki sendiri?" Hwe-Thian Mo-Li tidak memperhatikan ucapan ini karena ia masih berdiri bengong mendengar betapa gadis cantik ini menyebut namanya yang jarang sekali diketahui orang lain.

   "Bagaimana kau bisa mengetahui namaku? Siapakah kau?" tanyanya.

   "Tentu saja aku mengenal namamu. Kau bernama Nyo Siang Lan, murid dari Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu di Liong-Cu-San! Bukankah ini cocok sekali?"

   "Bocah! Kau makin memperolok-olokku. Hayo katakan kau siapa dan bagaimana sampai dapat mengetahui keadaanku!"

   "Kalau aku tidak mau memberi tahu padamu?"

   "Terpaksa ku paksa dengan pedangku!"

   "Hm, Hwe-Thian Mo-Li, memang aku ingin sekali mencoba kepandaianmu. Marilah kita main-main sebentar! Sambil berkata demikian, Lian Hong meloloskan pedangnya yang tipis dan bersiap memasang kuda-kuda yang disebut Bunga Teratai Mengambang di Air. Sikapnya menarik sekali, matanya yang indah berseri, mulutnya tersenyum manis dan lagaknya nakal sekali. Hwe-Thian Mo-Li diam-diam merasa kagum melihat kecantikan lawannya ini, akan tetapi ia juga merasa amat penasaran. Belum pernah ada orang, apalagi seorang gadis muda seperti ini, berani mengganggunya sampai sedemikian rupa.

   "Bagus, kau memang perlu diberi sedikit hajaran!" bentaknya dan secepat kilat ia menyerang gadis itu. Serangannya, seperti biasa, cepat dan ganas sekali sehingga Lian Hong menjadi terkejut dan tidak berani main-main lagi. Gadis ini lalu memutar pedangnya yang tipis dan bersilat sama cepatnya mengimbangi permainan silat Hwe-Thian Mo-Li. Kalau saja Lian Hong bersilat mempergunakan ilmu pedang lain dan sanggup menghadapinya, Hwe-Thian Mo-Li tidak akan demikian terheran, karena memang di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai. Akan tetapi yang membuatnya merasa terheran-heran adalah bahwa ilmu pedang gadis cantik ini mirip sekali dengan ilmu pedangnya sendiri, yakni Liong-cu-kiam-hwat. Pada dasarnya sama, hanya terdapat kembangan-kembangan lain yang agaknya terjadi dari percampuran dua ilmu pedang.

   "Bocah sombong, dari mana kau mencuri ilmu pedang Liong-Cu Kiam-Hwat?" Hwe-Thian Mo-Li mmbentak sambil mengirim tusukan dengan gerak tipu Kim-So Tui-Tee (Kunci Emas Jatuh di Tanah) yang dilakukan cepat sekali. Lian Hong dengan tenang sekali karena sudah mengenal gerakan ini dengan baik, lalu mengelak ke kiri sambil menyabetkan pedangnya menangkis dengan gerakan Sayap Walet Mengipas Air.

   "Siapa mencuri ilmu pedang? Hayo keluarkanlah seluruh kepandaianmu kalau kau bisa!" Lian Hong menantang sambil tersenyum-senyum. Senyum yang manis sekali dan dapat melumpuhkan kalbu setiap laki-laki, ternyata bagi Hwe-Thian Mo-Li merupakan api yang panas membakar hatinya. Ia menggertak giginya dan berseru keras.

   "Kau tidak tahu diberi hati! Kau minta dirobohkan dengan kekerasan? Baik, kau lihatlah!" Sambil berkata demikian, Hwe-Thian Mo-Li lalu mendesak maju dan mainkan pedangnya dengan luar biasa cepatnya. Ia benar-benar telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mencari kemenangan. Tadipun ketika menghadapi banyak orang di rumah gedung Liok Kong, ia tidak mengeluarkan seluruh kepandaiannya seperti sekarang ini.

   "Hebat!" Lian Hong tak tertahan lagi berseru kagum dan iapun harus mengerahkan ginkang dan ilmu pedangnya untuk menjaga diri dan balas menyerang. Pertempuran antara kedua nona jelita ini benar-benar hebat dan ramai sekali. Kian lama kian terheran-heranlah hati Hwe-Thian Mo-Li, karena jarang sekali ada orang yang dapat mempertahankan diri lebih dari tiga puluh jurus apabila ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya seperti ini. Akan tetapi gadis muda ini dapat melayaninya sampai lima puluh jurus, bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan dahsyat, mempergunakan pedang tipis dan selendang merah. Memang, melihat kehebatan sepak terjang Hwe-Thian Mo-Li, terpaksa Lian Hong mengeluarkan selendang merahnya untuk membantu gerakan pedang di tangan kanan.

   Setelah memegang dua macam senjata yang lihai ini, barulah ia dapat mengimbangi permainan Hwe-Thian Mo-Li. Akan tetapi, Lian Hong makin lama makin kagum saja karena ia maklum bahwa biarpun kepandaian mereka seimbang, namun ia kalah tenaga dan kalah ulet. Juga gerakan-gerakan Hwe-Thian Mo-Li amat ganas dan benar-benar merupakan penyebar maut sehingga sekali saja terkena serangannya, sukarlah untuk menyelamatkan diri. Perlahan akan tetapi pasti, Lian Hong mulai terdesak mundur setelah dapat mengadakan perlawanan sengit selama tujuh puluh jurus lebih. Tiba-tiba Lian Hong menangkis pedang Hwe-Thian Mo-Li sambil mengenjot kedua kakinya, melompat ke belakang empat tombak jauhnya dan ketika ia turun ke atas tanah, ia berkata,

   


IBLIS DAN BIDADARI (HWE THIAN MO LI) JILID 02

   "Sudah, sudah, enci Siang Lan! Aku terima kalah! Biarlah kuceritakan kepadamu siapa sebenarnya aku ini!" Hwe-Thian Mo-Li menyimpan pedangnya, menghampiri gadis itu sambil menghela napas berulang-ulang dan memandang kagum.

   "Hebat sekali ilmu pedangmu adik yang baik. Baru menyaksikan kepandaianmu saja aku tak dapat marah lagi kepadamu. Sekarang, jadilah seorang adik yang baik budi dan jangan kau mengganggu aku lebih jauh dan ceritakanlah sebenarnya siapakah kau ini?" Wajah yang cantik jelita dari gadis penari itu menjadi bersungguh-sungguh dan ia memandang dengan mata sayu mengharukan ketika ia berkata,

   "Enci Siang Lan, aku mendengar namamu dari Ayahku sendiri."

   "Siapakah Ayahmu?"

   "Tentu Ayah tak pernah menceritakan halnya kepadamu. Aku bernama Ong Lian Hong dan orang yang selama ini menjadi gurumu, yakni Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu, adalah Ayahku!" Terbelalaklah mata Hwe-Thian Mo-Li memandang Lian Hong, penuh ketidak percayaan.

   "Betapa mungkin? Mendiang Suhu tak pernah mempunyai anak!" serunya sambil memandang tajam dengan mata menyelidik. Wajah yang manis itu kembali berseri dan bagaikan disulap, senyum yang menggiurkan itu timbul kembali pada bibirnya. Lian Hong memang berwatak gembira dan jenaka sekali, sukar baginya untuk bertahan lama-lama dalam keharuan atau kesedihan.

   "Tentu saja, Cici!" jawabnya menahan ketawa.

   "Bagaimana Ayah bisa beranak? Yang melahirkan aku adalah ibuku, bukan Ayah!" Hwe-Thian Mo-Li tertegun mendengar ini. Ia merasa betapa aneh gadis muda ini, bahkan ia menganggap otak gadis ini sudah miring. Memang, watak Lian Hong adalah kebalikan dari pada wataknya yang selalu bersungguh-sungguh dan keras bagaikan batu karang.

   "Adik Lian Hong, jangan kau main-main! Aku telah ikut Suhu selama sembilan tahun dan belum pernah aku mendengar Suhu menyebut tentang isteri atau puterinya. Belum pernah pula aku melihat Suhu menjumpai isteri dan anaknya. Benar-benarkah ceritamu tadi?"

   "Terserah kepadamu, enci Siang Lan, terserah kau percaya atau tidak, bagiku tiada bedanya." Gadis ini lalu bangkit berdiri.

   "Eh... adikku yang baik, Andaikata benar kau puteri mendiang Suhu, siapakah gerangan ibumu dan di mana kau dan ibumu tinggal?" Lian Hong menghela napas panjang.

   "Enci, harap kau maafkan. Untuk pertanyaan ini aku belum dapat menjawab, belum tiba waktunya. Mendiang Ayah sendiri merahasiakan kepadamu, dan aku mempunyai alasan yang amat kuat untuk merahasiakannya pula. Yang terpenting sekarang adalah usaha pembalasan dendam dari sakit hati Ayah. Tahukah kau bahwa masih ada dua orang lagi yang harus kita balas?"

   "Tiga, bukan dua. Seorang she Yap yang menjadi Kauwsu (Guru Silat), seorang Hwesio, dan seorang hartawan she Cin!"

   "Salah." Jawab Lian Hong sambil tersenyum,

   "Hanya ada dua, yakni Hwesio itu dan hartawan she Cin. Adapun orang she Yap itu hanya dapat kau cari di dasar neraka!" Hwe-Thian Mo-Li memandang tajam.

   "Hm, tentu kau telah berhasil membunuh orang she Yap itu, bukan?"

   "Dan kau sudah berhasil membunuh seorang lagi di Santung!" Hwe-Thian Mo-Li memandang tak puas.

   "Masih kalah olehmu, karena Liok Kong pun tewas dalam tanganmu. Kau telah membalas dua orang musuh dan aku hanya baru seorang saja." Lian Hong tersenyum gembira.

   "Mari kita berlumba, Cici. Musuh kita tinggal dua orang dan marilah kita berlumba. Kau sudah kalah satu olehku, maka kalau yang dua ini kau tak dapat tewaskan semua, kau takkan dapat menang dari ku! Nah, sampai bertemu kembali, Cici yang baik!" Setelah berkata demikian, Lian Hong melompat jauh dan berlari cepat.

   "Nanti dulu, adik Liang Hong...! Mengapa kita tidak melakukan perjalanan bersama dan bersama pula mencari musuh-musuh kita?" Tanpa menoleh Lian Hong menjawab,

   "Tidak bisa Cici! Tak Mungkin! Selamat berpisah!" Hwe-Thian Mo-Li hendak mengejar, akan tetapi ia menghela napas dan mengurungkan niatnya. Ia maklum bahwa usahanya mengejar gadis itu akan sia-sia belaka, karena kepandaian mereka dalam ilmu berlari cepat seimbang. Dan lagi, kalau orang tidak mau didekati, untuk apa ia harus mendesak dan memaksanya?

   Ia lalu duduk di bawah pohon, menyandarkan punggungnya pada batang pohon itu dan mengenangkan Suhunya. Sungguh amat mengherankan, kalau betul-betul Suhunya itu mempunyai isteri dan puteri seperti Lian Hong, mengapa Suhunya tak pernah menceritakan hal itu kepadanya? Agar jelas bagi pembaca tentang timbulnya permusuhan dan dendam yang terkandung di dalam hati Hwe-Thian Mo-Li dan Lian Hong. Baiklah kita biarkan dulu Hwe-Thian Mo-Li duduk termenung di bawah pohon itu dan marilah kita menengok kembali kurang lebih satu setengah tahun yang lalu, yakni sebelum pendekar besar Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu tewas secara amat menyedihkan. Ong Han Cu yang berjuluk Pat-Jiu Kiam-Ong (Raja Pedang Tangan Delapan) adalah seorang tokoh persilatan yang tinggal di Gunung Liong-Cu-San.

   Dari julukannya saja, yakni raja pedang, dapat diduga bahwa ia adalah seorang ahli silat pedang yang luar biasa. Memang, di antara semua ilmu pedang pada waktu itu, boleh disebut ilmu pedang dari Ong Han Cu menduduki tempat yang amat tinggi. Ilmu pedang ini, ia peroleh dari seorang pertapa yang mengasingkan diri di sebuah gua di Gunung Liong-Cu-San dan secara tak sengaja tempat ini didapatkan olehnya. Ketika ia mendapatkan gua itu, yang ia lihat hanyalah rangka manusia yang masih utuh sedang duduk bersila di dalam gua, tanda bahwa manusia ini dulu telah meninggal dunia dalam keadaan bersila. Memang luar biasa sekali mengapa rangka itu masih dapat berduduk dan telah membatu. Agaknya hal ini terjadi karena dari langit-langit gua itu menetes-netes turun air kapur yang membuat tulang-tulang itu menjadi kuat dan tidak terlepas sambungannya.

   Selain rangka ini, Ong Han cu juga menemukan sebuah kitab pelajaran ilmu pedang yang diciptakan oleh orang sakti yang telah menjadi rangka itu. Demikianlah, dengan amat tekunnya Ong Han Cu mempelajari ilmu pedang ini yang kemudian ia beri nama Liong-Cu Kiam-Hwat, sesuai dengan nama gunung di mana ia mendapatkan ilmu pedang ini. Semenjak saat itu, ia menjadi jago pedang yang luar biasa dan pernah ia sengaja naik ke Kun-Lun-San dan Go-Bi-San untuk menguji ilmu pedang dengan tokoh-tokoh ilmu pedang di kedua cabang persilatan besar itu. Ternyata ia telah berhasil baik dan jarang sekali ada ahli pedang yang dapat mengalahkan Liong-Cu Kiam-Hwat. Kemudian, ia bertemu dengan Nyo Siang Lan, seorang anak perempuan yatim piatu yang berusia sepuluh tahun dan hampir mati kelaparan di sebuah kampung yang dilanda banjir.

   Tergeraklah hati Ong Han Cu melihat anak perempuan yang ia lihat berbakat baik sekali itu, maka ia lalu mengambil Siang Lan menjadi muridnya. Mungkin karena terlalu menderita di waktu kecilnya, Nyo Siang Lan menjadi seorang gadis yang amat keras hati dan selalu bersungguh-sungguh jarang sekali bergembira. Hal itu sesuai pula dengan watak Ong Han Cu yang juga pendiam. Sebagai seorang pendekar gagah yang budiman, Ong Han Cu telah banyak mengulurkan tangan mempergunakan pedangnya yang tajam untuk menolong orang-orang yang lemah tertindas dan membasmi kejahatan. Hal ini membuat nama Pat-Jiu Kiam-Ong terkenal sekali dan nama ini dipuja-puja oleh banyak orang yang telah ditolongnya. Akan tetapi sebaliknya juga menimbulkan sakit hati kepada banyak orang-orang kang-ouw yang mengambil jalan hitam.

   Dengan amat tekunnya, Nyo Siang Lan mempelajari ilmu silat dari Suhunya. Ong Han Cu amat sayang kepada murid tunggalnya ini karena selain amat rajin, juga muridnya ini benar-benar berbakat baik

dan amat berbakti kepadanya. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Nyo Siang Lan tidak hanya menganggap dia sebagai gurunya, bahkan menganggapnya sebagai pengganti orang tuanya. Sering kali Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu turun gunung meninggalkan Siang Lan seorang diri dan memesan agar supaya murid itu berlatih dengan rajin. Tiap kali guru ini kembali ke puncak Liong-Cu-San dengan hati bangga dan girang ia melihat kemajuan-kemajuan luar biasa pada muridnya. Diam-diam ia merasa girang sekali karena tidak keliru memilih murid. Kurang lebih satu setengah tahun yang lalu, ketika Siang Lan telah berusia sembilan belas tahun, gurunya berkata,

   "Siang Lan, muridku yang baik. Mungkin tidak kau sadari bahwa kau telah mewarisi seluruh kepandaianku. Kau benar-benar memuaskan hatiku, Siang Lan, dan aku tidak dapat mengajarkan apa-apa lagi kepadamu, Liong-Cu Kiam-Hwat telah kau pelajari sampai habis."

   "Bagaimana teecu dapat percaya ucapan ini, Suhu," bantah Siang Lan.

   "Tiap kali berlatih dengan Suhu, teecu masih merasa amat berat dan takkan dapat menahan diri lebih dari empat puluh jurus." Gurunya tersenyum tenang.

   "Tentu saja, anak bodoh. Hal ini bukan karena aku masih memiliki gerak tipu yang belum kau pelajari, akan tetapi hanya karena selain kalah tenaga dan kegesitan, kaupun kalah pengalaman. Ketahuilah bahwa ilmu silat hanya akan bertambah maju dengan pesat apabila kau pergunakan dalam pertempuran yang sungguh-sungguh dan apabila kau seringkali menghadapi lawan-lawan tangguh, dengan sendirinya ilmu pedangmu akan menjadi makin sempurna. Aku telah menghadapi banyak sekali ahli silat, maka dengan sendirinya gerakanku lebih matang dari padamu. Oleh karena itu muridku, sudah menjadi hak mu untuk turun gunung dan meluaskan pengalamanmu. Kau turunlah dari gunung ini, pergunakanlah kepandaianmu yang kau pelajari selama sembilan tahun dariku itu untuk menolong sesama hidup. Dengan demikian, takkan sia-sialah kau membuang sekian banyak tenaga, pikiran, dan waktu untuk mempelajari ilmu silat dan tidak sia-sia pula aku mengambil kau sebagai murid."

   Maka turunlah Siang Lan dari puncak Liong-Cu-San dan mulailah ia merantau di dunia kang-ouw. Sebentar saja pedangnya telah berbuat banyak dan karena ia selalu berlaku keras terhadap golongan penjahat, tanpa mengenal ampun, maka ia lalu mendapat julukan Hwe-Thian Mo-Li. Akan tetapi, setelah merantau selama satu setengah tahun dan kembali ke Gunung Liong-Cu-San, ia mendapatkan Suhunya dalam keadaan yang amat menyedihkan. Sebulan yang lalu, Suhunya itu telah didatangi oleh lima orang dan kini Suhunya telah dibuntungi kedua kaki tangannya dan berada dalam perawatan seorang penduduk kampung di lereng gunung itu. Tentu saja Siang Lan merasa terkejut dan sedih sekali. Ia menubruk Suhunya dan menangis tersedu-sedu.

   "Suhu, kau kenapakah, Suhu? Siapakah yang melakukan perbuatan keji ini? Katakanlah, Suhu, siapa yang berani mencelakakan Suhu seperti ini? Biar teecu pergi mencarinya, membunuh dan menghancur-leburkan kepalanya!" Biarpun keadaannya amat lemah dan payah, Ong Han Cu masih dapat tersenyum melihat muridnya yang terkasih.

   "Syukurlah Siang Lan, syukurlah bahwa kita masih sempat bertemu muka." Kemudian Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu lalu menceritakan pengalamannya kurang lebih sebulan yang lalu.

   Di atas puncak bukit Liong-Cu-San, ia kedatangan lima orang kang-ouw yang telah dikenalnya baik. Mereka ini adalah Toat-Beng Sin-To Liok Kong Si Golok Sakti Pencabut Nyawa, kedua adalah Si Lutung Sakti Yap Cin, ketiga Santung Taihiap Siong Tat Pendekar gagah dari Santung, keempat adalah seorang Hwesio bernama Leng Kok Hosiang, dan kelima seorang gagah lain, yakni Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek Si Naga Mata Emas. Sebagai seorang kang-ouw yang menghormat kawan-kawannya dari satu golongan, Ong Han Cu lalu menyambut mereka dengan gembira sekali. Akan tetapi ternyata bahwa kedatangan mereka itu tidak mengandung maksud baik. Dengan secara licin sekali, diam-diam Leng Kok Hosiang, Hwesio berkepandaian tinggi dari Sin-Tok-San, telah memasukkan racun pada arak yang dihadapi oleh Ong Han Cu.

   "Demikianlah," Pat-Jiu Kiam-Ong melanjutkan penuturannya kepada muridnya yang mendengarkan semua itu sambil bercucuran air mata, setelah minum racun dalam arak yang luar biasa kerasnya, aku rebah pingsan tidak merasa apa-apa lagi. Ketika aku tersadar, ternyata bahwa mereka telah pergi, meninggalkan aku dalam keadaan begini. Baiknya ada sahabat ini yang kebetulan melihatku dan menolong merawatku, kalau tidak, tentu aku telah tewas karena kecurangan mereka yang biadab itu!"

   "Akan tetapi mengapakah, Suhu? Mengapa mereka melakukan perbuatan sekeji ini?" Ong Han Cu tersenyum.

   "Ada dua hal yang mendorong mereka melakukan hal ini muridku. Bagi Leng Kok Hosiang dan Yap Cin, mereka itu memang mengandung dendam sakit hati terhadap aku karena aku pernah merobohkan mereka itu dan menghalangi perbuatan mereka yang jahat. Adapun Liok Kong, Siong Tat, dan Cin Lu Ek ikut datang melakukan perbuatan pengecut dan hina dina ini karena mereka silau harta terpendam yang berada di dalam guaku. Mereka pergi membawa harta terpendam yang dulu kudapatkan di dalam gua bersama kitab ilmu pedang. Sungguh aku tidak mengerti mengapa manusia dapat menjadi mata gelap dan kejam karena pengaruh harta dunia.

   Sepanjang pengetahuanku, Cin Lu Ek si Naga Bermata Emas itu bukanlah seorang yang memiliki watak jahat.! Ong Han Cu menghela napas bukan menyesali nasibnya, akan tetapi menyesali kejahatan orang-orang itu. Memang sesungguhnya, ketika mendapatkan rangka manusia dan kitab pelajaran ilmu pedang di gua itu, Ong Han Cu juga menemukan sebuah peti besar terisi penuh harta berupa emas dan permata yang tak ternilai harganya. Akan tetapi, hal ini dirahasiakan oleh Ong Han Cu dan barang itu masih disimpannya di dalam guanya. Hanya kadang-kadang saja ia mengeluarkan sepotong emas atau permata untuk dijualnya dan dipergunakan sebagai biaya hidupnya. Dan betapapun rapatnya ia menutup rahasia ini, ternyata mata para penjahat amat tajam dan telinga mereka amat kuat pendengarannya.

   Entah bagaimana, rahasia ini terdengar oleh ke lima orang berkepandaian tinggi itu yang lalu berkumpul, berunding dan mempergunakan siasat yang curang untuk merobohkan pendekar tua ini, membuntungi tangan kaki nya serta merampas harta bendanya itu. Tentu saja Hwe-Thian Mo-Li Nyo Siang Lan menjadi marah sekali dan dengan bercucuran air mata ia bersumpah di depan Suhunya untuk membalas dendam besar ini. Kemudian ia membawa pedang Suhunya dan turun gunung, mencari musuh-musuh gurunya itu. Pertama-tama ia pergi ke Santung untuk mencari Santung Thaihiap Siong Tat dan dalam pertempuran yang amat hebat sehingga ia berhasil membunuh Siong Tat dan membawa kepala musuh besarnya ini naik ke atas gunung Liong-Cu-San.

   Akan tetapi ketika ia tiba di situ, ternyata bahwa Suhunya yang telah menjadi orang tak berguna lagi dan buntung kaki tangannya, sudah meninggal dunia. Siang Lan bersembahyang di depan kuburan Suhunya sambil menaruh kepala Santung Thaihiap Siong Tat di depan makam itu, kemudian ia lalu mulai merantau dan mencari empat orang musuh besar yang telah mencelakai gurunya itu. Mereka ini adalah Liok Kong Si Golok Sakti Pencabut Nyawa, Yap Cin Si Luntung Sakti, Lengkok Hosiang yang meracuni Suhunya dan Cin Su Lek Si Naga Bermata Emas. Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, secara kebetulan sekali Siang Lan yang telah mendapat keterangan tentang musuh besarnya yang bernama Liok Kong bertemu dengan Ong Lian Hong, gadis manis yang mengaku menjadi puteri Suhunya.

   Tentu saja ia tidak dapat mempercaya keterangan ini karena bagaimanakah Suhunya tahu-tahu telah mempunyai seorang puteri demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula? Menurut pengakuan gadis itu, Yap Cin Si Luntung Sakti telah terbunuh dan karena Liok Kong telah mampus pula, maka kini musuh besar mereka tinggal Leng Kok Hosiang dan Cin Lu Ek. Sampai lama Hwe-Thian Mo-Li duduk termenung di bawah pohon itu, tiada hentinya memikirkan keadaan Lian Hong nona yang aneh dan yang mengaku sebagai puteri Suhunya. Akhirnya ia merasa khawatir juga kalau-kalau ia sampai kalah oleh gadis cantik itu, kalau-kalau dua orang musuh yang lain itupun akan tewas dalam tangan gadis itu pula.

   "Tidak, bagaimanapun juga, aku harus mendahuluinya!" pikirnya dan ia lalu bangun berdiri dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat. Dia telah mendengar bahwa Leng Kok Hosiang sekarang berada di Sin-Tok-San, yakni pegunungan yang berada di selatan, adapun Cin Lu Ek si Naga Bermata Emas amat sukar dicari. Agaknya orang ini telah melarikan diri karena takut akan pembalasannya, dan mungkin juga si Naga Bermata Emas ini telah mengganti namanya.

   "Tidak perlu mencari dia yang bersembunyi." Pikir Hwe-Thian Mo-Li sambil berlari cepat.

   "Lebih baik menuju ke pegunungan Sin-Tok-San untuk mencari Leng Kok Hosiang. Demikianlah, ia lalu membelok ke selatan dan langsung menuju ke pegunungan itu tanpa mengenal lelah. Ia melakukan perjalanan secepatnya agar jangan sampai didahului oleh nona yang mengaku puteri dari Mendiang Suhunya itu! Sebelum kita mengikuti perjalanan Hwe-Thian Mo-Li yang menuju ke selatan untuk mencari musuh besarnya di pegunungan Sin-Tok-San, marilah kita melihat dulu keadaan Ong Lian Hong, gadis penari yang cantik jelita dan penuh rahasia itu agar kita dapat mengenalnya lebih baik.

   Memang benar gadis yang menyamar sebagai penari dan yang berhasil menewaskan Liok Kong ini adalah seorang puteri dari Ong Han Cu. Dahulu, sebelum Ong Han Cu menemukan ilmu pedang di Liong-Cu-San dan sewaktu ia masih muda, pada suatu hari melihat serombongan keluarga bangsawan yang sedang melakukan perjalanan, dicegat dan dikeroyok oleh belasan orang perampok yang ganas. Para pengawal keluarga bangsawan itu kewalahan menghadapi perampok-perampok yang dipimpin oleh seorang perampok yang berkepandaian tinggi. Tidak saja banyak pengawal yang tewas dan harta benda keluarga itu mulai diangkut oleh para anak buah perampok, bahkan seorang gadis cantik puteri bangsawan itupun telah dipondong oleh kepala rampok dan hendak dibawa pergi ke dalam hutan.

   Gadis itu meronta-ronta dan menjerit-jerit dan jeritan inilah yang menarik perhatian Ong Han Cu dan membuatnya berlari menolong. Pertempuran hebat terjadi antara Ong Han Cu dan kepala perampok, akan tetapi akhirnya kepala rampok itu bersama beberapa orang anak buahnya tewas dalam tangan pemuda gagah perkasa ini. Melihat betapa pemuda gagah perkasa dan tampan itu telah menyelamatkan jiwa sekeluarganya, dan bahkan mendapatkan kembali harta benda yang tadi telah dirampok, maka bangsawan she Ciok ini menjadi amat kagum, terharu dan berterima kasih. Tanpa disadarinya pula, di depan para pengawal dan pelayan, ia lalu menyatakan ingin mengambil mantu kepada Ong Han Cu, dijodohkan dengan puteri tunggalnya,

   Yakni gadis cantik yang tadi hampir terculik oleh kepala rampok, yang bernama Ciok Bwe Kim. Ong Han Cu merasa bahagia sekali oleh karena memang semenjak bertemu muka dengan Ciok Bwe Kim, ia telah jatuh hati kepada gadis cantik ini. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan calon mertuanya dan menghaturkan terima kasihnya. Baru setelah kembali ke tempat tinggalnya yang aman, yakni di dalam sebuah gedung besar di Kota Raja, Ciok-Taijin (pembesar she Ciok) yang berpangkat teetok, merasa menyesal akan janjinya terhadap Ong Han Cu tadi. Ia adalah seorang pembesar berpangkat tinggi dan berdarah bangsawan, adapun pemuda itu sungguh pun tampan dan gagah perkasa, akan tetapi bukan keturunan bangsawan, tidak kaya raya, dan juga bukan ahli kesusasteraan sehingga takkan dapat memegang pangkat tinggi.

   Namun janji telah diucapkan dan banyak saksi mendengarkan janji ini. Lagi pula, puterinya agaknya sudah suka kepada pendekar muda itu dan iapun merasa jerih untuk mengingkari janjinya terhadap Ong Han Cu. Maka pernikahan lalu dilangsungkan dengan amat sederhana. Masih besar harapan hati pembesar itu untuk memberi bimbingan kepada mantunya agar mantu ini suka mempelajari ilmu tulis menulis dan kelak bisa diberi kedudukan yang akan mengangkat derajatnya. Akan tetapi bagaimanakah hasilnya? Ong Han Cu adalah seorang pemuda yang semenjak kecilnya dididik dalam kegagahan dan kedua orang tuanyapun adalah pendekar-pendekar ilmu silat yang ternama di kalangan kang-ouw, Maka tentu saja ia tidak tahan untuk duduk di belakang meja dan mengerahkan otak untuk menghafal huruf-huruf yang amat sukar baginya itu.

   Ia lebih suka keluar rumah dan berpesiar dari pada harus mengeram diri di dalam kamarnya. Karena inilah maka usaha mertuanya sia-sia belaka dan seringkali ia mendapat teguran dan marah dari mertuanya. Isterinya, yakni Ciok Bwe Kim, yang melihat betapa Ayah ibunya seringkali marah-marah, bersedih dan amat kecewa melihat suaminya, terpaksa memberi nasehat kepada suaminya agar suka merobah cara hidupnya dan dapat menyesuaikan diri sebagai mantu bangsawan. Akan tetapi inipun sia-sia belaka. Sifat yang gagah dalam batin Ong Han Cu tidak membolehkan dia berlaku pura-pura dan melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan jiwanya. Demikianlah, disamping isterinya yang cantik jelita, di dalam gedung yang besar dan mewah, dan berjalan di atas tumpukan harta, Ong Han Cu tidak menemui kebahagiaan rumah tangga.

   Ia amat mencinta isterinya, akan tetapi pertentangan-pertentangan watak atau kebiasaan hidup membuat ia merasa seakan-akan hidup di dalam neraka. Apalagi setelah setahun kemudian isterinya melahirkan seorang anak perempuan. Mertuanya makin kecewa dan seringkali secara berterang menyatakan kekecewaannya ini di depan mantunya. Ong Han Cu menahan sabar seberapa bisa, akan tetapi kian lama kian beratlah perasaan itu menekan hatinya. Setelah puterinya berusia setengah tahun, ia menyatakan kepada isterinya untuk pergi merantau menghibur diri dan melakukan tugas sebagai seorang pendekar dan berdarma bakti kepada rakyat yang sengsara. Mertuanya yang mendengar niatnya ini menjadi marah sekali dan melarang dia pergi. Akan tetapi Ong Han Cu memaksa sehingga terjadilah percekcokan mulut yang pertama kalinya.

   "Hiansai (mantu laki-laki)!" Bangsawan she Ciok itu menegur marah.

   "Ingatlah baik-baik. Kau bukanlah seorang pemuda liar lagi yang bebas merdeka dan boleh berbuat apa saja di luar rumah, boleh hidup secara liar dan kasar mengandalkan ketajaman pedang dan kekerasan tangan. Kau adalah mantu dari seorang teetok, dan ingatlah bahwa nama mertuamu berada di atas pundakmu pula. Kalau kau main berandalan-berandalan di luar, dan ada orang yang mengenalmu sebagai mantuku, bukankah itu berarti bahwa kau akan mengotori dan mencemarkan namaku?"

   "Gakhu!" jawab Ong Han Cu yang sudah marah,

   "Ingatlah bahwa dulu Gakhu (ayah mertua) memungut mantu kepadaku karena aku pandai bermain pedang. Kalau dulu tidak ada aku yang Gakhu anggap liar dan berandalan, apakah keluarga Ciok masih dapat diharapkan hidup lagi?"

   "Hiansai, kau selalu menggali hal-hal yang sudah lalu. Pertolonganmu dulu adalah hal kebetulan saja dan sudah menjadi kehendak Thian pula kau berjodoh dengan puteri tunggalku. Akan tetapi, kau harus menurut kehendakku. Apakah kau buta dan tidak dapat melihat bahwa segala usahaku ini untuk kebaikanmu? Untuk kebaikan isterimu dan anakmu? Kalau kau sampai menjadi pandai, dan menduduki pangkat tinggi, siapakah yang akan bahagia? Kau dan anak isterimu, kami orang-orang tua hanya ikut merasa senang saja!"

   "Aku tidak suka memegang jabatan! Aku tidak suka duduk dibelakang meja sampai punggungku bongkok! Aku tidak suka hidup mewah berlebih-lebihan di rumah gedung sedangkan rakyat jelata banyak yang kelaparan kedinginan!"

   "Bagus, jadi apa kehendakmu?" membentak Ciok-Taijin yang sudah menjadi marah sekali.

   "Aku hendak merantau untuk beberapa bulan lamanya, atau bahkan sampai satu dua tahun!"

   "Baik, kalau begitu, pergilah dan jangan kau kembali ke sini lagi! Aku tidak mau mengaku kau sebagai anak mantu lagi!" bentak bangsawan itu. Terkejutlah Ong Han Cu mendengar ini dan terdengar isak tangis isterinya. Dengan tenang Ong Han Cu lalu menghampiri isterinya dan sambil memegang pundak isterinya dengan mesra, ia berkata,

   "Bwee Kim, isteriku. Marilah kau dan anak kita ikut kepadaku. Kita keluar dari rumah gedung ini dan akan kuperlihatkan kepadamu bahwa kehidupan di luar gedung besar ini lebih menyenangkan!" Akan tetapi isterinya memandangnya dengan air mata bercucuran. Bwee Kim adalah seorang puteri bangsawan yang semenjak kecilnya hidup di gedung besar itu. Bagaimana ia dapat mengikuti suaminya keluar dari situ tanpa tujuan? Bagaimana ia tidak merasa ngeri dan takut diajak merantau di dunia yang penuh kejahatan ini? Kalau teringat akan pengalamannya ketika dirampok dulu, ia masih menggigil ketakutan. Apalagi kini ia sudah mempunyai seorang anak. Bagaimanakah nasib anaknya kelak?

   "Bwe Kim!" kata Ciok-Taijin dengan suara keras.

   "Kau boleh memilih. Kalau kau mau pergi dengan suamimu, jangan kau kembali lagi ke rumah ini. Sebaliknya kalau kau memilih tinggal di sini, berarti kau bercerai dengan suamimu!"

   "Ayah...!" Bwe Kim hanya dapat mengeluh dengan wajah pucat dan pikiran bimbang sekali.

   "Isteriku, apakah susahnya memilih hal yang demikian mudah? Kau adalah isteriku, isteriku yang tercinta, dan ibu dari pada Lian Hong anak kita yang mungil. Tentu saja kau akan ikut padaku! Apakah artinya gedung besar kedudukan tinggi kalau bercerai dari suami? Dan akupun akan menderita kalau harus berpisah darimu!" Sampai lama Bwe Kim dalam keadaan bimbang ragu dan hanya dapat menangis sehingga Ong Han Cu yang beradat keras menjadi hilang kesabarannya.

   "Bwe Kim, berlakulah sedikit gagah dan ambilah keputusan!" tegurnya.

   "Pilihlah mana yang lebih berat, menjadi anak berbakti atau menjadi isteri setia!" Akhirnya Bwe Kim dapat juga menjawab.

   "Suamiku... mengapa kau tidak mau menurut omongan Ayahku? Mengapa kau membiarkan aku berada dalam keadaan bingung? Bagaimana aku harus memilih, suamiku? Tentu saja aku ingin sekali menjadi seorang anak yang berbakti, sama besarnya dengan keinginanku untuk menjadi seorang isteri yang setia dan menyinta. Akan tetapi, kedua hal ini bagiku sekarang masih belum menyamai besarnya keinginanku untuk melihat anak kita hidup dengan pantas dan berbahagia. Aku tidak perdulikan lagi keadaanku, akan tetapi bagaimanakah dengan Lian Hong anak kita? Aku tidak bisa melihat dia hidup terlantar, tidak berumah, tidak berpendidikan, jauh kesenangan dan jauh dari kedudukan serta nama baik. Ah, bagaimanakah aku harus memilih...?"

   "Nah, Han Cu, kau dengarlah baik-baik ucapan isterimu ini!" kata Ciok-Taijin yang kini tidak menyebut "Anak mantu" lagi.

   "Kalau kau memiliki pribudi, tidak mengingat kepentingan diri sendiri saja, kau tentu suka pula berkorban untuk anakmu. Bapak macam apakah kau ini yang hendak menyeret anak isterimu ke dalam jurang kemiskinan dan kesengsaraan?"

   Ong Han Cu menggigit bibirnya. Ia maklum bahwa percuma saja ia membantah. Orang-orang kaya ini, bangsawan-bangsawan ini takkan dapat mengerti bagaimana orang-orang yang miskin dapat hidup berbahagia. Bagi orang-orang seperti ini ukuran bahagia hanya diukur dengan ukuran harta dan dipertimbangkan dengan timbangan pangkat. Ia maklum bahwa kalau ia memaksa tinggal terus di situ akhirnya mereka akan bentrok juga sehingga rumah tangganya akan makin hancur. Maka ia lalu mengambil keputusan tetap dan berkata.

   "Baiklah, Bwe Kim. Kalau begitu, biarlah aku pergi dan kau bersama Lian Hong tinggallah bersama orang tuamu yang kaya raya. Harap kau suka merawat dan mendidik Lian Hong baik-baik!"

   "Hm, kau keras kepala sekali, Han Cu!" kata Ciok-Taijin.

   "Kalau kau memaksa, akupun berkeras pula dan kau tidak boleh kembali menjadi mantuku! Ingatlah ini baik-baik!"

   "Tidak apa, kalau memang demikian yang dikendaki. Menjadi mantu berbeda dengan menjadi budak belian. Aku tidak sudi menjadi mantu dengan ikatan yang sedemikian rupa sehingga aku tidak boleh bergerak sedikitpun juga!" Isterinya hanya dapat menangis dan memeluk Lian Hong yang masih kecil. Setelah Ong Han Cu pergi, Ciok-Taijin lalu mengumumkan perceraian anaknya dengan mantu itu untuk menjaga agar sepak terjang Ong Han Cu di luaran tidak akan mencemarkan dan mempengaruhi nama dan kedudukannya. Ciok Bwe Kim hanya dapat menangis di dalam kamarnya. Apakah daya seorang wanita muda seperti dia? Lima tahun lewat dengan cepat sekali akan tetapi banyaklah terjadi perobahan dalam waktu lima tahun itu. Kalau dulu para bangsawan menganggap ilmu silat hanya sebagai permainan orang-orang kasar dan liar belaka.

   Kini ilmu silat merupakan mode yang mulai meresap di kalangan bangsawan. Hal ini terjadi oleh karena banyaknya perampokan yang terjadi di waktu itu dan setelah beberapa kali terjadi perampokan pada orang-orang bangsawan, maka mereka barulah merasa sadar akan pentingnya ilmu kepandaian silat. Mulailah mereka memanggil guru-Guru Silat untuk memberi latihan kepada putera-putera mereka, bahkan diam-diam ada pula yang memberi didikan kepada puteri-puteri mereka setelah dikalangan kang-ouw muncul beberapa orang pendekar wanita yang gagah perkasa. Ternyata bahwa Liang Hong mewarisi sifat seperti Ayahnya yakni suka akan ilmu silat. Mendengar bahwa beberapa orang kawan-kawannya juga belajar ilmu silat, ia merengek-rengek kepada ibunya minta agar supaya ia diberi pelajaran ilmu silat pula.

   Pada waktu itu, Ciok-Taijin telah menerima lamaran seorang hartawan untuk Bwe Kim, nyonya janda yang masih muda dan yang kecantikannya tidak kalah oleh gadis-gadis cantik lainnya. Bwe Kim menolak keras, akan tetapi terpaksa ia tunduk terhadap Ayahnya pula. Nyonya ini merasa berduka sekali, terutama sekali ia merasa kasihan kepada Lian Hong. Akan tetapi calon suaminya menyatakan suka menerima Lian Hong sebagai anak sendiri, sehingga hati nyonya janda ini menjadi lega juga. Akan tetapi, setelah perkawinan dilangsungkan dan Bwe Kim menjadi nyonya hartawan itu, ternyata bahwa suaminya ini adalah seorang bandot tua yang mata keranjang sekali. Baru menikah beberapa bulan saja, sikap suaminya ini menjadi dingin, bahkan suaminya berani menunjukkan sikap kurang ajar dan kurang sopan kepada Lian Hong yang baru berusia hampir tujuh tahun itu.

   Tentu saja Bwe Kim menjadi marah sekali dan baiknya ia adalah puteri dari seorang pembesar tinggi sehingga ia dapat mengancam suaminya. Kalau saja suaminya tidak takut kepada Ciok-Taijin, tentu hidup Bwe Kim akan menjadi makin sengsara saja. Akan tetapi Bwe Kim dapat menekan penderitaan hatinya, bahkan ia merasa terhibur melihat sikap dingin dari suaminya yang dibencinya itu. Ia malahan menganjurkan agar supaya suaminya ini memelihara isteri muda sebanyak mungkin sehingga ia terhindar dari pada gangguan suami hartawan ini. Memang, pada waktu itu, lebih baik menjadi isteri seseorang yang kurang bijaksana dari pada menjadi janda muda karena hal ini akan merendahkan namanya. Menjadi isteri orang berarti mendapat tempat perlindungan yang aman sentausa, sungguhpun suaminya itu merupakan seorang suami yang tidak baik.

   Kini Bwe Kim mengundang seorang Guru Silat yang pandai untuk mendidik Lian Hong dalam ilmu silat. Ternyata gadis kecil ini berbakat sekali sehingga gurunya merasa kagum dan juga bangga. Sayangnya, Guru Silat ini hanya memiliki ilmu silat biasa saja. Ketika Lian Hong berusia sembilan tahun, pada suatu hari di dalam kebun bunga di mana ia berlatih silat di bawah bimbingan Guru Silat itu, ia sedang berlatih ilmu silat pedang dengan sebatang pedang kayu. Ilmu pedang yang dimainkan adalah ilmu pedang asal dari cabang Bu-tong-pai yang indah gerakannya, akan tetapi bagi mata seorang ahli, yang dimainkan oleh Guru Silat yang mengajar gadis cilik itu hanyalah ilmu pedang kembangannya saja yang indah dilihat akan tetapi kurang berguna dalam pertempuran.

   "Nah, sekarang cobalah kau meniru gerakan-gerakanku tadi!" kata Guru Silat itu kepada Lian Hong yang semenjak tadi memandang dengan kagum. Pada saat gadis cilik ini hendak berlatih, tiba-tiba dari atas pagar tembok kebun bunga itu melayang turun seorang laki-laki yang pakaiannya tidak karuan akan tetapi wajahnya tampan dan gagah sekali. Dengan ringan kedua kakinya turun menginjak tanah di depan Guru Silat she Liong itu.

   "Eh, siapakah kau dan apa maksudmu datang ke sini?" bentak Guru Silat she Liong itu kepada orang ini. Orang ini tersenyum mengejek dan berkata,

   "Orang macam kau ini hendak mengajar silat kepadanya? Gila! Dengarlah, mulai sekarang, setiap kali waktu latihan, kau berdiri saja di sini dan akulah yang akan mengajarnya! Mengerti?"

   "Eh... kurang ajar... siapakah kau...?"

   "Kau boleh menyebutku seperti orang lain, yakni Pat-Jiu Kiam-Ong!" Guru Silat she Liong ini memandang dengan mata terbelalak dan mulut celangap dan mukanya pucat sekali seakan-akan ia melihat setan di siang hari.

   "Pat... Pat Jiu... Kiam-Ong..? Be.. benarkah?" tanyanya gagap dan masih tidak percaya.

   "Sudah diamlah dan jangan banyak bergerak!" kata Pat-Jiu Kiam-Ong sambil menepuk pundak Guru Silat she Liong itu. Seketika itu juga orang she Liong ini berdiri kaku bagaikan patung batu karena ia telah terkena tiam-hwat (ilmu totok) yang lihai dari Pat-Jiu Kiam-Ong ini. Orang ini, yakni Pat-Jiu Kiam-Ong (Raja Pedang Bertangan Delapan) sebenarnya bukan lain adalah Ong Han Cu sendiri. Di dalam perantauannya, ia telah berhasil menemukan kitab ilmu pedang di puncak Gunung Liong-Cu-San dan telah mempelajari ilmu pedang itu sampai sempurna betul. Bahkan ia telah mendapatkan seorang murid wanita, yakni Nyo Siang Lan yang dibawa ke atas Gunung Liong-Cu-San dan dididik ilmu silat tinggi.

   Pada hari itu, ia meninggalkan muridnya berlatih seorang diri di gunung itu dan turunlah ia ke Kota Raja mencari rumah mertuanya. Ia tidak mempunyai niatan untuk mengganggu, hanya karena ia merasa rindu sekali kepada isterinya, terutama sekali kepada puterinya, maka ia ingin melihat mereka. Ia tidak menjadi marah ketika mendengar bahwa isterinya itu telah menikah lagi dengan seorang hartawan, karena ia maklum bahwa hal ini tentulah kehendak mertuanya. Ia maklum pula bahwa memang kedudukan seorang janda muda amat tidak baik, maka pernikahan itu hanya membuat ia menarik napas panjang beberapa kali saja. Namun, rindunya terhadap puterinya makin membesar dan akhirnya ia lalu mencari rumah hartawan yang menjadi suami Bwe Kim itu.

   Dari hasil penyelidikannya ia memperoleh keterangan bahwa puteri keluarga kaya ini yang bernama Lian Hong setiap senja berlatih silat di kebun bunga yang berada di belakang rumah. Oleh karena memang niatnya hanya hendak bertemu dengan puterinya, maka pada hari itu ia sengaja melompati pagar tembok di belakang rumah dan kebetulan sekali pada waktu itu ia melihat seorang gadis cilik yang amat cantik jelita tengah dilatih silat oleh seorang Guru Silat yang kepandaiannya biasa saja. Lian Hong yang menyaksikan perbuatan pendekar ini, menjadi terheran-heran, akan tetapi sedikitpun ia tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan memandang dengan sepasang matanya yang bening seperti burung hong itu. Ingin sekali Ong Han Cu memeluk puterinya, akan tetapi ia menahan hasratnya ini dan tersenyum manis dan ramah kepada gadis cilik itu.

   "Kau bernama Lian Hong, bukan?" akhirnya setelah dapat menekan keharuan hatinya ia bertanya lembut. Lian Hong mengangguk heran dan bertanya,

   "Orang tua, kau apakan Liong-Suhu ini? Mengapa ia menjadi kaku seperti patung?" Pat-Jiu Kiam-Ong tertawa geli,

   "Tidak apa, jangan kau khawatir, anak baik. Orang she Liong ini hanya kutotok jalan darahnya agar tidak membikin ribut."

   "Sebetulnya, apakah maksudmu datang kesini dan membikin Liong-Suhu tidak berdaya?" tanya pula Lian Hong.

   "Anak yang manis, tiada gunanya kau belajar kepada orang macam ini. Apakah kau ingin mempelajari ilmu silat yang tinggi?" Lian Hong adalah seorang anak yang cerdik sekali. Melihat perbuatan orang itu terhadap Suhunya, ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia mengangguk.

   "Bagus," kata Ong Han Cu.

   "Kalau begitu, mulai sekarang biarlah aku menggantikan orang ini mengajar ilmu silat kepadamu!" Ia berhenti sebentar, memandang tajam kepada gadis cilik itu lalu bertanya,

   "Sukakah kau menjadi muridku?" Lian Hong ragu-ragu,

   "Aku... aku ingin sekali mempelajari ilmu silat tinggi, akan tetapi... aku tidak tahu siapa Lopek ini, dan baiknya aku bertanya dulu kepada ibuku!" Sambil berkata demikian, gadis itu hendak lari masuk, akan tetapi sekali melompat saja Pat-Jiu Kiam-Ong telah berada di depannya menghadang di tengah jalan. Gadis cilik itu terkejut sekali karena tidak tahu bagaimana orang tua ini tahu-tahu telah berada didepannya. Pat-Jiu Kiam-Ong mengangkat kedua tangannya dan menggerak-gerakkan tangan itu ke kanan kiri.

   "Jangan... jangan kau memanggil ibumu. Aku tidak apa-apa, hanya akan menurunkan ilmu pedang yang bagus dan tinggi kepadamu. Jangan kau menceritakan kepada siapa juga bahwa aku mengajar ilmu silat kepadamu. Nah, kau lihat pohon itu, bukankah cabang-cabang dan daun-daunnya tidak rata. Perhatikan pedangku dan kemudian katakanlah apakah kau tidak ingin memiliki kepandaian seperti ini!"

   Orang tua ini lalu melepaskan ikat pinggangnya yang ternyata adalah sebuah pedang tipis sekali, lalu ia berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya telah melayang cepat ke atas ke arah pohon itu. Lian Hong tidak melihat bagaimana orang itu bergerak, hanya melihat sinar pedang bergulung-gulung disektar pohon itu dan tahu-tahu cabang dan daun-daun pohon jatuh berhamburan di bawah pohon. Ketika sinar pedang itu lenyap, orang itu telah turun dan berdiri pula di depannya sambil tersenyum. Apabila ia menengok ke arah pohon itu, ternyata kini cabang-cabang dan daun-daun itu telah dibabat menjadi rata sehingga pohon itu berubah menjadi berbentuk payung yang bagus sekali. Hampir saja Lian Hong bersorak girang melihat kehebatan ini.

   "Nah, sukakah kau mempelajari ilmu pedang ini?"

   "Hebat, hebat...!" gadis cilik itu memuji.

   "Bagaimanakah aku dapat mempelajari ilmu semacam itu? Seperti sulap saja!" Pat-Jiu Kiam-Ong tertawa geli,

   "Bukan sulap, juga bukan sihir, anak baik. Perbuatan itu dapat kau lakukan apabila kau telah memiliki ilmu ginkang yang tinggi dan pergerakan pedang yang cepat dan tepat. Nah, apakah kau suka menjadi muridku?" Dengan hati yang amat girang, serta merta Lian Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu dan Ong Han Cu lalu memegang pundak gadis itu, diangkatnya bangun. Ingin sekali ia memeluk anaknya ini, akan tetapi karena ia tidak mau membikin kaget anak itu, dan tidak mau membuka rahasianya, maka ia hanya memegang kedua pundak gadis itu dan memandang mukanya dengan mesra sekali. Keharuan besar membuat kedua matanya tiba-tiba mengeluarkan air mata tanpa dapat dicegah lagi.

   "Eh... Suhu, mengapa kau mengalirkan air mata?" tanya Lian Hong dan entah mengapa, di dalam hatinya gadis cilik ini merasa kasihan sekali kepada orang yang kini menjadi gurunya ini. Mendengar pertanyaan ini, sadarlah Ong Han Cu dari lamunannya dan ia segera melepaskan tangannya dan memaksa bibirnya tersenyum.

   
"Ah, tidak apa-apa, nak,... tidak apa-apa. Kau mulai sekarang perhatikanlah segala petunjukku dan belajarlah baik-baik." Ia lalu mulai memberi pelajaran Kauwkoat (Teori Ilmu Silat) kepada anaknya itu, disertai contoh-contoh menjalankan ilmu pukulan. Sampai beberapa lama mereka tekun sekali, yang seorang memberi petunjuk, yang lain meniru gerakan dan mengingat semua petunjuk yang diberikan. Setelah senja berganti malam, Ong Han Cu lalu menghampiri Guru Silat she Liong yang masih berdiri di situ bagaikan patung, menepuk pundaknya sekali sehingga Guru Silat ini mengeluh dan jatuh duduk di atas tanah.

   "Sahabat, kau kini tahu bahwa kau berhadapan dengan Pat-Jiu Kiam-Ong, maka janganlah kau main-main!" kata Ong Han Cu.

   "Mulai sekarang, anak ini menjadi muridku dan tiap sore aku datang kemari untuk melatihnya. Kau datanglah seperti biasa dan jangan kau ceritakan tentang kedatanganku ini kepada siapapun juga. Mengerti!!?"

   "Baiklah, Taihiap!" kata Guru Silat itu dengan takut. Telah lama ia mendengar nama Raja Pedang Bertangan Delapan dan baru sekarang ia menyaksikan sendiri kehebatan pendekar ini karena biarpun ia berada dalam keadaan tertotok, tadi ia masih dapat menyaksikan ilmu pedang pendekar itu ketika berdemonstrasi membabat pohon. Demikianlah hampir dua tahun lamanya Pat-Jiu Kiam-Ong melatih ilmu silat dan ilmu pedang kepada puterinya sendiri tanpa diketahui oleh seorangpun kecuali Guru Silat she Liong yang takut membocorkan rahasianya. Bahkan Lian Hong sendiri sama sekali tak pernah mimpi bahwa orang yang menjadi Suhunya ini adalah Ayahnya sendiri. Pada senja hari itu, tidak seperti biasanya, Liong-Kauwsu tidak datang di kebun bunga itu.

   "Mana Liong-Kauwsu?" tanya Ong Han Cu kepada Lian Hong ketika ia melompat masuk ke dalam kebun itu.

   "Entahlah, Suhu. Liong-Suhu sejak tadi tidak ada, mungkin ada halangan." Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu mengerutkan alis dan merasa tidak enak hati.

   "Lian Hong, aku suka sekali memberi pelajaran silat kepadamu karena kau adalah seorang anak yang cerdik dan pandai. Aku merasa seakan-akan kau anakku sendiri dan karenannya, aku hendak menurunkan seluruh kepandaianku kepadamu. Akan tetapi, hal ini baru bisa terlaksana kalau kau ikut dengan aku pergi ke Liong-Cu-San dan berlatih bersama-sama dengan sucimu yakni Siang Lan." Memang sudah seringkali Ong Han Cu menceritakan Lian Hong tentang muridnya itu, dan selama dua tahun ini, ia selalu mondar-mandir dari Liong-Cu-San ke Kota Raja. Sebentar melatih Siang Lan, sebentar melatih Lian Hong.

   "Apakah teecu (murid) harus... tinggalkan ibu, Suhu?" Ong Han Cu menghela napas.

   "Kalau terpaksa, apa boleh buat. Belajar silat dengan cara sembunyi-sembunyi seperti ini, kemajuannya akan lambat sekali. Disini aku membawa kitab pelajaran ilmu pedang Liong-Cu Kiam-Hwat untuk kau pelajari sendiri dengan baik, karena aku tidak mungkin harus datang setiap sore di tempat ini. Setelah lewat satu dua bulan, barulah aku akan datang dan melihat kemajuanmu."

   "Lebih baik demikianlah diaturnya, Suhu. Karena sesungguhnya, untuk meninggalkan ibu seorang diri di sini, teecu merasa tidak tega."

   "Seorang diri?? Bukankah... bukankah... ada Ayahmu?" Lian Hong menarik napas panjang. Ia tidak suka membicarakan hal Ayahnya karena entah mengapa ia tidak suka kepada Ayahnya yang mempunyai banyak bini muda dan yang sama sekali tidak memperdulikan ibunya itu. Akan tetapi, tentu saja hal ini tak dapat ia katakan kepada orang lain. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar seruan seorang wanita yang muncul dari pintu belakang.

   "Lian Hong! Kau bercakap-cakap dengan siapakah?" Dan dari balik pintu muncullah Ciok Bwe Kim, Ibu Lian Hong. Ong Han Cu hendak melarikan diri, namun sudah terlambat dan tidak dapat berbuat lain berdiri memandang bekas isterinya itu dengan hati berdebar. Bwe Kim ketika mengenal bekas suaminya ini, tiba-tiba menjadi pucat dan memandang dengan mata terbelalak.

   "Kau... kau...?" katanya gagap.

   "Setelah meninggalkan kami... kau... kau kini datang untuk melumuri muka kami dengan kecemaran...? Pergi! Pergilah kau orang yang hanya ingat akan kesenangan diri sendiri saja. Pergi!"

   "Bwe Kim... aku... aku hanya datang untuk melatih ilmu silat kepada... Lian Hong..." Ong Han Cu mencoba untuk membela diri.

   "Aku tahu! Bagus benar, kau melatih ilmu silat dengan diam-diam seperti seorang maling. Apakah kau sedikit juga tidak mempunyai pikiran betapa akan ributnya kalau sampai kehadiranmu di sini diketahui orang lain? Apakah namaku tidak akan rusak dan tercemar apabila orang lain mengetahui siapa adanya kau dan bahwa kau hampir setiap hari datang ke tempat ini? Ah, Han Cu... kau sungguh tidak memperdulikan keadaan orang lain..." Nyonya muda ini lalu menangis. Lian Hong yang semenjak tadi berdiri melengong, terheran-heran karena tidak mengerti apakah artinya percakapan antara ibunya dan Suhunya ini, lalu memeluk ibunya dan bertanya.

   "Ibu, apakah artinya semua ini?" Ibunya tidak menjawab dan ketika Lian Hong memandang ke arah Suhunya dengan mata bertanya, Ong Han Cu berkata.

   "Lian Hong, bawalah ibumu masuk ke dalam. Aku hendak pergi dari sini. Ibumu memang benar, aku seorang yang hanya mengingat akan diri sendiri saja. Jagalah baik-baik kitab itu, kemudian belajarlah dengan giat. Selamat tinggal!" Dengan sekali menggerakkan tubuhnya, Ong Han Cu melompat keluar
dari pagar tembok itu.

   "Ibu, kau sudah kenal kepada Suhu?" tanya Lian Hong yang masih memeluk ibunya. Makin keraslah tangis ibunya ketika mendengar pertanyaan ini, dan sambil merangkul leher anaknya ia berkata.

   
   

   "Anakku... dia... dia adalah... Ayahmu sendiri!" Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di waktu itu, belum tentu Lian Hong sekaget ketika mendengar ucapan ini. Ia melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak ibunya, menatap wajah ibunya yang basah dengan air mata itu dan berkata gagap.

   "Apa...? Apakah artinya ucapan ini, ibu?" Di antara isak tangisnya, Bwe Kim berkata,

   "Dia adalah Ayahmu... yang telah meninggalkan kita ketika kau baru berusia enam bulan!" Kemudian ia menceritakan segala peristiwa yang terjadi pada waktu dulu, semenjak Ong Han Cu menolong keluarga Ciok-Taijin sampai ia dikawinkan dengan pendekar itu dan bagaimana pendekar yang menjadi suaminya itu akhirnya meninggalkan mereka. Pucatlah wajah Lian Hong mendengar cerita ini dan berulang kali ia menghela napas, menyesali nasib ibunya.

   "Ah, ibu... kau... kau dulu telah berlaku keliru..." Ibunya mengangguk sedih.

   "Aku melakukan pengorbanan perasaan demi kebahagiaanmu, anakku. Aku tidak ingin melihat kau terbawa dalam pengembaraan yang penuh kesengsaraan..."

   "Salah ibu," gadis yang baru berusia dua belas tahun itu berkata sambil mengerutkan kening,

   "Kalau dulu ibu ikut dengan Ayah, keadaan ibu takkan menjadi begini. Pantas saja aku selalu tidak suka kepada Ayah yang sekarang, tidak tahunya ia bukan Ayahku sendiri."

   "Sudahlah, Lian Hong nasi telah menjadi bubur, hal ini tak dapat disesalkan lagi. Jangan kau menceritakan hal kita ini kepada siapapun juga. Kau harus menjaga nama baik Kong-kongmu. Kau tahu bagaimana baiknya Ayah ibuku terhadap kau."

   "Akan tetapi mereka berlaku kejam karena memaksa ibu menikah lagi!" kata Lian Hong cemberut.

   "Hush, jangan berkata demikian, nak. Kau masih terlampau kecil untuk mengetahui urusan orang dewasa. Kau tidak mengerti nasib seorang janda muda." Semenjak terbukanya rahasia itu sikap Lian Hong terhadap Ayah tirinya makin dingin. Diam-diam ia merasa girang sekali dengan kenyataan, bahwa dia bukanlah puteri hartawan bandot tua yang mata keranjang dan tiada guna itu, melainkan puteri dari Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu, pendekar besar yang juga menjadi Suhunya yang dikagumi itu.

   Sebagai puteri seorang pendekar besar, iapun bercita-cita untuk menjadi seorang pendekar, maka makin giatlah ia melatih diri, mempelajari ilmu pedang Liong-Cu Kiam-Hwat dari kitab pelajaran yang ditinggalkan oleh guru atau Ayahnya itu. Sementara itu, Ciok-Taijin suami isteri juga amat sayang terhadap Lian Hong. Pembesar ini hanya mempunyai seorang anak saja, yakni Ciok Bwe Kim dan kini ternyata bahwa Bwe Kim juga hanya mempunyai seorang puteri. Maka tentu saja bangsawan ini amat sayang kepada cucu tunggal mereka. Karena mereka tinggal se kota, yakni di Kota Raja, maka seringkali bangsawan Ciok menitah pelayan-pelayan untuk menjemput Lian Hong dan gadis cilik itu dengan gembira bermain-main di rumah kakeknya.

   Setelah Lian Hong berusia empat belas tahun, ia telah menjadi seorang gadis remaja puteri yang cantik jelita dan makin mengilerlah bandot tua yang menjadi Ayah tirinya itu. Setiap hari mata yang sipit dan keriputan itu menatap wajah dan tubuh gadis ini dengan penuh gairah. Pada suatu hari, ketika Lian Hong sedang berlatih ilmu silat di kebun belakang, tiba-tiba Ayah tirinya datang sambil tersenyum-senyum. Seperti biasa, apabila ia sedang berlatih silat, Lian Hong mengenakan pakaian yang ringkas sehingga tubuhnya yang mulai berkembang itu tercetak oleh pakaiannya yang ringkas. Pemandangan ini cukup merangsang hati bandot tua itu, maka sambil tersenyum ia menghampiri Lian Hong dan hendak menaruh kedua tangannya pada pinggang itu sambil berkata.

   "Lian Hong, anakku. Kau cantik sekali dalam pakaian seperti ini. Bagaimana dengan latihanmu, anakku yang manis?" Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Lian Hong telah dapat mengelak dari pelukan "Ayahnya" dan menjauhkan diri sambil memandang dengan mulut merengut.

   "Jangan Ayah pegang-pegang aku! Aku bukan gundik Ayah!" katanya.

   "Eh, eh... ibumu sendiri tidak cemburu melihat aku mempunyai banyak bini muda, akan tetapi kau agaknya cemburu... ha, ha, ha!"

   "Siapa yang cemburu? Biarpun Ayah akan memelihara seribu orang gundik, aku tidak perduli! Akan tetapi jangan Ayah hendak menyamakan aku dengan gundik-gundik itu!" Lian Hong membentak.

   "Eh, Lian Hong, kau kenapakah? Aku Ayahmu, tidak bolehkah seorang Ayah mendekati anaknya?"

   "Siapa bilang tidak boleh, akan tetapi Ayah jangan menyentuhku, jangan memelukku, aku bukan gundikmu!" kata Lian Hong makin marah. Ia masih menahan keinginannya dan tidak hendak membuka rahasia bahwa ia sudah tahu akan kedudukan orang tua ini terhadap dia. Kakek itu melangkah maju lagi penasaran.

   "Apakah salahnya kalau aku menyentuhmu, memelukmu? Apakah dulu ketika kau masih kecil tidak kugendong-gendong, kuciumi dan kupeluk? Lian Hong, janganlah kau bersikap seaneh ini. Ibumukah yang mengajarmu bersikap sekurang ajar ini terhadap Ayahmu sendiri?" Sambil berkata demikian, ia melompat maju dan memegang lengan tangan Lian Hong lalu hendak memeluknya. Sikap gadis yang luar biasa cantiknya ini telah merangsang hatinya dan membuatnya mata gelap saking besarnya nafsu jahat bergelora di dalam dadanya. Hartawan ini pernah belajar ilmu silat maka ia berhasil menangkap tangan Lian Hong, akan tetapi sekali gadis itu menggetakkan lengannya, ia dapat melepaskan tangan itu dan kini ia tak dapat menahan sabarnya lagi. Ia berdiri dengan mata bersinar-sinar dan muka merah karena marah.

   "Tua bangka! Kau masih tidak malu menyebut aku sebagai anakmu? Aku bukan anakmu! Kau kira aku tidak tahu akan hal ini? Aku adalah anak dari Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu, seorang pendekar gagah perkasa, bukan seorang bandot tua gila perempuan macam kau!" Bukan main kagetnya hartawan itu mendengar ucapan ini. Ia merasa kaget dan juga marah sekali karena ia amat terhina. Sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu, ia berkata,

   


IBLIS DAN BIDADARI (HWE THIAN MO LI) JILID 03

   "Bagus, tentu ibumu yang telah berlancang mulut dan membuka rahasia kebusukkan ini! Sungguh tidak tahu malu! Bagus sekali kalau kau sudah tahu bahwa kau adalah anak dari seorang perampok, seorang liar hina dina, seorang petualang miskin. Kau tentu tidak mengira bahwa kau adalah hasil perjinaan dari bangsat perampok itu dengan ibumu yang tak tahu malu..."

   "Plak!!" tiba-tiba tubuh hartawan itu terhuyung ke belakang dan dari mulutnya mengalir darah. Secepat kilat tangan Lian Hong tadi telah menampar mulutnya, membuat bibirnya pecah dan mengeluarkan darah.

   "Bangsat tua bangka!" Lian Hong memaki dengan marah sekali.

   "Kalau kau tidak lekas menarik kembali ucapanmu yang busuk dan minta ampun, aku akan membunuhmu!" Kembali kedua tangannya bertubi-tubi menyerang, membuat tubuh Ayah tirinya itu terguling-guling dan kakek bandot tua itu berkuik-kuik menjerit kesakitan.

   "Hayo lekas minta ampun!" seru Lian Hong sambil memukul lagi. Biarpun gadis ini baru berusia empat belas tahun namun ia telah mempelajari ilmu silat tinggi sehingga tenaganya sudah besar dan lihai sekali. Kalau ia mau, dengan sekali pukul ia dapat mengirim nyawa bandot tua itu ke neraka, akan tetapi Lian Hong masih teringat bahwa hal ini akan menimbulkan kegemparan. Pada saat itu, muncullah Bwe Kim yang mendengar suara suaminya menjerit-jerit, seperti anjing dipukul. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa yang menghajar suaminya adalah Lian Hong.

   "Lian Hong... jangan...!" teriaknya sambil menubruk dan merangkul anaknya. Dengan napas terengah-engah saking marahnya, Lian Hong berkata.

   "Biarlah ibu... bangsat tua bangka ini telah menghina ibu dan Ayah... biar kuhajar dia sampai mampus!"

   "Jangan, Lian Hong, sabarlah... amat memalukan kalau terdengar oleh orang lain..." Sementara itu, hartawan yang tadinya bergulingan di atas lantai, ketika mendapat kesempatan, lalu bangun berdiri.

   "Baik sekali!" katanya dengan marah sambil menuding ke arah isterinya.

   "Orang-orang tidak tahu diri, tidak kenal budi dan tidak tahu malu! Aku sudah menolongmu dari seorang janda hina dina yang mempunyai anak, aku telah mengangkatmu menjadi isteriku yang terhormat. Sekarang kau lakukan hal ini terhadapku, bagus! Aku akan ceraikan kau, dan kalian boleh mengikuti perampok hina dina itu..." Akan tetapi tiba-tiba Lian Hong memberontak dari pelukan ibunya dan sekali gadis ini mengirim pukulan ke arah iga Ayah tirinya, robohlah bandot tua itu dengan mata mendelik dan pingsan. Bwe Kim menjerit, akan tetapi Lian Hong lalu menarik tangan ibunya.

   "Ibu, mari kita pulang ke rumah Kong-kong (Kakek)," kata Lian Hong.

   "Ayah tidak akan mau menerima kita...!"

   "Biarlah," kata Lian Hong gemas,

   "Kalau tidak mau menerima, kita pergi berdua mencari Ayah!" Demikianlah dengan setengah memaksa, Lian Hong membawa ibunya keluar dari rumah Ayah tirinya dan pergi ke rumah Ciok-Taijin. Pembesar ini bersama isterinya menerima kedatangan mereka dengan terheran-heran. Bwe Kim tak dapat berkata sesuatu hanya menjatuhkan diri berlutut di depan Ayah bundanya sambil menangis sedih. Sebaliknya, dengan sikap gagah dan menantang seperti Ayahnya dulu, Lian Hong berkata kepada Ciok-Taijin suami isteri yang amat sayang kepadanya.

   "Kong-kong telah menjerumuskan ibu ke dalam jurang kehinaan dan penderitaan!" Dengan lancar ia lalu menceritakan betapa Ayah tirinya telah memelihara banyak sekali gundik tanpa memperdulikan ibunya, dan juga terus terang ia ceritakan betapa Ayah tirinya selalu berlaku kurang ajar dan tidak sopan terhadap dia sehingga ia menceritakan pula tentang peristiwa yang baru saja terjadi.

   "Sekarang terserah kepada Kong-kong. Kalau Kong-kong mau menerima ibu dan aku untuk kembali tinggal di sini, baiklah, ibu dan aku akan tinggal di sini, merawat Kong-kong berdua dan akan menurut segala kata-kata Kong-kong. Akan tetapi kalau tidak mau menerima kita, juga tidak apa. Kami berdua akan pergi mencari Ayah!" Ciok-Taijin dan isterinya saling pandang. Nyonya Ciok tak terasa lagi mencucurkan airmata sambil merangkul cucunya, sedangkan Ciok-Taijin lalu menggeleng-geleng kepalanya dan berkata,

   "Bwe Kim, sungguh tidak kunyana sekali bahwa kau puteri kami satu-satunya selalu mendatangkan kepusingan dan kekecewaan kepada orang tuamu..." Bwe Kim memeluk kaki Ayahnya dan berkata lirih memilukan.

   "Ampun, Ayah... ampunkan anak yang puthauw (tidak berbakti atau durhaka)." Akan tetapi Lian Hong lalu melepaskan diri dari pelukan neneknya dan sambil menghadapi kakeknya dengan mata bernyala ia berkata membela ibunya.

   "Kong-kong! Mengapa Kong-kong menyalahkan ibu? Dalam hal ini ibulah yang menderita, padahal ibu selalu hanya menurut perintah Kong-kong! Ibu menikah dengan Ayah atas perintah Kong-kong, kemudian ibu menikah dengan jahanam itupun atas perintah Kong-kong. Kalau pernikahan itu gagal dan ibu menderita karenannya, apakah itupun harus disalahkan kepada ibu? Sungguh tidak adil!" Tertegun kedua suami isteri bangsawan itu mendengar ucapan dan melihat sikap cucu mereka ini. Mereka saling pandang dan Ciok-Taijin lalu memeluk cucunya sambil berkata,

   "Kau keras kepala dan berani seperti Ayahmu, dan kau jauh lebih uhauw (berbakti) daripada ibumu. Baiklah, kami menerima kalian, akan tetapi semenjak saat ini, kalian harus mentaati segala kata-kataku." Dengan girang sekali Bwe Kim menubruk ibunya dan menangis tersedu-sedan. Ia merasa amat girang bahwa akhirnya ia dapat kembali ke rumah orang tuanya di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Kembali ke rumah orang tuanya berarti bahwa ia terlepas dari pada kesengsaraan batin dan penderitaan.

   Demikianlah, semenjak hari itu, Lian Hong bersama ibunya tinggal di rumah gedung Ciok-Taijin. Bwe Kim memesan kepada puterinya agar supaya mentaati segala nasehat Kong-kongnya. Tentu saja Lian Hong menurut akan pesan ibunya ini dan ia mulai belajar ilmu surat sebagaimana yang dikehendaki oleh Ciok-Taijin. Bahkan, ketika Ciok-Taijin memuji-muji kepandaian menari dari seorang selir Kaisar, gadis remaja inipun lalu belajar menari. Ternyata ia berbakat baik sekali dalam tari-tarian dan gerakannya amat indah sehingga guru tarinya, seorang guru tari kerajaan, amat memujinya. Setahun kemudian, pada suatu hari, di luar gedung Ciok-Taijin datang seorang Hwesio tua yang bertubuh gemuk sekali. Hwesio ini adalah seorang Jai-Hwa-Cat (Penjahat Pemetik Bunga) yang pernah dirobohkan oleh Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu lima tahun yang lalu.

   Dengan amat sakit hati penjahat yang berpura-pura menjadi pendeta ini lalu melatih diri di puncak gunung dan mempelajari ilmu silat yang disebut Hek-Coa Tok-Jiu (Pukulan Tangan Racun Ular Hitam), semacam ilmu pukulan yang luar biasa jahat dan lihainya. Jangankan sampai terkena pukulan tangan yang telah diisi bisa ular hitam ini, baru terkena sambaran anginnya saja sudah merupakan bahaya maut yang sukar sekali dihindarkan. Selama lima tahun Hwesio ini melatih diri dengan amat giatnya dan setelah mempelajari dengan sempurna, ia lalu turun gunung untuk membalas dendam kepada Ong Han Cu. Ia mendengar bahwa Ong Han Cu adalah mantu dari Ciok-Taijin, maka langsung ia mendatangi rumah gedung bangsawan itu. Kepada penjaga pintu ia berkata kasar.

   "Katakan kepada Ong Han Cu bahwa aku Jai-Hwa-Sian Leng Kok Hosiang hendak bertemu." Penjaga itu menjadi mendongkol melihat sikap kasar ini dan menjawab dengan kasar pula.

   "Di sini tidak ada orang bernama Ong Han Cu dan kalau kau mau minta derma, pergilah ke rumah orang lain. Jangan kau mengganggu, karena ini adalah rumah Ciok-Taijin yang tentu takkan mengampuni kalau kau berani berlaku kurang ajar!" Hwesio itu tertawa bergelak.

   "Hm, kau bohong! Kalau dia tidak ada, suruhlah pembesar she Ciok itu keluar untuk membayar hutang mantunya!"

   "Eh, Hwesio kurang ajar dari manakah kau berani mengacau di sini? Hayo pergi sebelum kupukul!" kata penjaga itu. Akan tetapi baru saja ia menutup mulutnya, tubuhnya telah terlempar jauh padahal Hwesio itu hanya mengebutkan ujung lengan bajunya saja. Penjaga itu berteriak-teriak kesakitan dan minta tolong, maka dari dalam pekarangan gedung itu berserabutan keluar sepuluh orang penjaga yang setiap hari secara bergiliran menjaga keselamatan bangsawan she Ciok itu. Dengan marah para penjaga itu lalu mencabut golok dan mengurung Hwesio gemuk itu yang tertawa bergelak sambil memandang dengan mata mengejek.

   "Ha, ha, anjing-anjing penjaga yang menjemukan! Kalau kalian tidak ingin digebuk, lekas beritahukan kepada Ong Han Cu atau mertuanya she Ciok itu agar keluar bertemu dengan pinceng!"

   Akan tetapi tentu saja para penjaga tidak meladeni omongan Hwesio yang dianggap kurang ajar ini dan mereka segera menyerang dengan golok mereka. Hwesio itu kembali tertawa bergelak dan bagaikan kitiran angin, kedua tangannya diputar dan ujung lengan bajunya yang panjang menyambar-nyambar ke arah sepuluh orang penjaga itu. Kalau dilihat sungguh mengherankan sekali oleh karena begitu senjata-senjata tajam para penjaga bertemu dengan ujung lengan baju, para penjaga itu berteriak kaget dan senjata mereka terlepas dari pegangan. Hiruk pikuk suara senjata-senjata itu terlempar dan jatuh di atas tanah, berbareng dengan robohnya tubuh para penjaga dan teriakan-teriakan kesakitan dari mereka.

   Peristiwa ini telah dilihat oleh seorang pelayan yang segera memberi laporan ke dalam. Kebetulan sekali Ciok-Taijin sedang duduk bersama isterinya, Bwe Kim, dan Lian Hong. Mendengar laporan pelayan bahwa di luar ada seorang Hwesio hendak bertemu dengan Ong Han Cu atau bangsawan Ciok, dan betapa Hwesio itu mengamuk, Lian Hong menjadi marah sekali dan gadis cilik ini segera berlari keluar membawa sebatang pedang.

   "Eh, Lian Hong, hati-hatilah..." kata pembesar itu yang amat sayang kepada cucunya ini. Serta merta iapun lalu berlari keluar untuk melihat sendiri siapa adanya Hwesio yang berani berlaku kurang ajar itu. Ketika Lian Hong dan kakeknya tiba di luar, para penjaga telah roboh semua merintih-rintih dengan kepala benjol atau tulang patah.

   "Hwesio kurang ajar dari manakah berani main gila di sini?" teriak Ciok-Taijin. Leng Kok Hosiang menyipitkan matanya ketika ia menyaksikan seorang gadis muda yang amat cantik berdiri di depannya bersama seorang tua yang berpakaian seperti pembesar tinggi. Ia lalu tersenyum-senyum dan berkata.

   "Apakah kau yang bernama Ciok-Taijin? Kalau kau ingin keluargamu selamat, lekaslah kau suruh keluar jahanam Ong Han Cu yang menjadi mantumu itu!"

   "Bangsat gundul bermulut lancang!" tiba-tiba Lian Hong tak dapat menahan marahnya dan cepat ia menerjang dengan pedangnya, melompat maju sambil menusuk dengan gerak tipu Hui-eng-bok-tho (Elang Terbang Menyambar Kelinci). Jai-Hwa-Sian Leng Kok Hosiang tertawa gembira.

   "Aduh, masih mudah remaja telah mempunyai gerakan yang demikian indah! Bagus, kau siapakah nona?" tanyanya sambil mengelak cepat dari tusukan Lian Hong.

   "Bukalah matamu, setan gundul dan lihatlah baik-baik. Aku adalah puteri dari Ong Han Cu yang hendak mewakili Ayah mematahkan lehermu!"

   "Lian Hong...!" Ciok-Taijin berseru keras. Ia telah melarang kepada gadis itu untuk memberitahukan kepada siapapun juga bahwa gadis itu adalah puteri dari Ong Han Cu. Dalam kemarahannya mendengar Ayahnya dihina orang ia baru sadar akan kesalahannya, maka dengan gemas ia lalu maju menyerang lagi dengan gerak tipu Merak Sakti Mengangkat Ekornya, yakni gerak tipu yang amat lihai dari ilmu pedang Liong-Cu Kiam-Hwat. Terkejut jugalah Hwesio gendut itu ketika melihat gerakan yang amat cepat dan lihai ini, karena pedang di tangan gadis ini bergerak berputar-putar dan menyerangnya dari berbagai jurusan secara bertubi-tubi.

   Lian Hong telah mempelajari ilmu pedang Liong-Cu Kiam-Hwat, akan tetapi oleh karena ia hanya mempelajarinya dari kitab pelajaran ilmu pedang tanpa mendapat bimbingan langsung dari Ayahnya, dan pula karena ia memang belum berpengalaman, maka sungguhpun ia dapat melakukan gerakan yang indah dan cepat, namun gerakkannya ini masih kurang isi dan kurang tenaga. Kalau hanya menghadapi ahli silat tingkat pertengahan saja, belum tentu ia akan kalah, akan tetapi sekarang ia menghadapi Jai-Hwa-Sian (Dewa Pemetik Bunga) Leng Kok Hosiang yang selain berilmu tinggi, juga sudah banyak pengalaman dalam pertempuran. Apalagi selama lima tahun Hwesio ini telah melatih diri dengan tekun, maka ilmu silatnya masih jauh berada di atas tingkat kepandaian gadis itu.

   Masih baik nasib Lian Hong bahwa Hwesio mata keranjang ini tertarik akan kecantikkannya maka Hwesio ini tidak menurunkan tangan kejam. Kalau saja Leng Kok Hosiang mempergunakan ilmu pukulan Hek-coa-tok-jiu, tentu gadis ini akan tewas dengan sekali pukul saja. Karena berniat hendak menangkap gadis cantik jelita ini, maka Leng Kok Hosiang hanya mainkan kedua ujung lengan bajunya untuk menangkis serangan-serangan Lian Hong. Akan tetapi, Liong-Cu Kiam-Hwat benar-benar hebat dan sukar sekali diketahui perobahan gerakannya. Ketika pedang di tangan Lian Hong menusuk ke arah tenggorokan Hwesio itu dan ditangkis dengan kebutan ujung lengan baju kanan, tiba-tiba pedang itu dirobah gerakannya dan membabat ke bawah memapaki lengan Hwesio itu.

   Gerakan ini demikian cepatnya dan tidak terduga-duga sama sekali sehingga hampir saja tangan Hwesio itu kena terbabat. Ia berseru keras dan menarik lengannya, akan tetapi ujung lengan bajunya masih kena babatan pedang sehingga putus. Bukan main marahnya Leng Kok Hosiang melihat hal ini. Dengan berseru keras ia lalu menubruk maju, mainkan kedua tangannya dan menyerang dengan ilmu pukulan Eng-jiau-kang (Pukulan Kuku Garuda). Serangan ini hebat sekali, Lian Hong masih berusaha mengelak, akan tetapi gerakan tangan Hwesio itu lebih cepat lagi sehingga lengan kanannya kena dicengkeram. Sambil berteriak kesakitan, Lian Hong terpaksa melepaskan pedangnya dan sesaat kemudian, ia telah terkena tiam-hwat (ilmu menotok) dari Hwesio yang lihai itu sehingga tubuhnya menjadi lemas dan dipondong oleh lawannya."

   "Lepaskan cucuku!" Ciok-Taijin berseru sambil memerintahkan para penjaga untuk menyerbu. Leng Kok Hosiang tertawa terbahak-bahak.

   "Ha, ha, ha, biarpun aku tidak berhasil membinasakan Ong Han Cu, sebagai gantinya aku telah mendapatkan puterinya yang cantik molek!" Setelah berkata demikian, ia menggerakkan tangan kirinya ke arah Ciok-Taijin.

   Biarpun tangannya tidak mengenai tubuh pembesar itu, namun Ciok-Taijin segera menjerit ngeri dan roboh pingsan. Ternyata bahwa ia terkena pukulan Hek-coa Tok-jiu yang ganas dari Leng Kok Hosiang. Hwesio itu dengan sengaja melakukan pukulan itu karena selain hal ini dapat 
para penjaga yang sibuk menolong pembesar itu menghalangi perginya, juga ia dapat membuat hati musuh besarnya menjadi lebih sakit lagi. Kemudian ia lalu melompat keluar dari pekarangan itu sambil memondong tubuh Lian Hong. Akan tetapi baru saja ia tiba di pintu pekarangan itu, tiba-tiba di pintu itu muncul seorang Tosu (Pendeta To) yang memegang kebutan di tangan kanan dan sebuah kipas di tangan kiri. Tosu ini berdiri menghadang di tengah jalan, menggerakkan kipasnya sambil berkata.

   "Siancai... Leng Kok Hosiang sudah tua bangka masih tetap mengambil jalan hitam!" Baru saja ia menutup mulutnya, tubuh Tosu yang tinggi kurus ini bergerak bagaikan seekor burung melayang dan kebutannya menyambar ke arah kepala Hwesio gendut itu. Sejak melihat Tosu itu, wajah Leng Kok Hosiang berobah dan ketika kebutan itu menyambar ke arah kepalanya, cepat ia mengelak jauh dan melepaskan tubuh Lian Hong yang terguling di atas tanah. Kemudian ia melompat ke depan Tosu itu dengan mata merah dan wajahnya menakutkan sekali.

   "Ouwyang Sianjin, kalau kau hendak mencampuri urusanku, terpaksa aku mengadu jiwa denganmu!" bentak Hwesio itu dengan marah. Tosu itu tersenyum tenang,

   "Penjahat gundul, kau mengenal namaku akan tetapi tidak tahu bahwa aku adalah sute (adik seperguruan) dari Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu!"

   "Begitukah?" teriak Hwesio itu dengan kaget dan juga cemas,

   "Bagus, kalau begitu kau harus mampus!" Ia lalu melangkah maju dan menyerang dengan ilmu pukulan Hek-coa Tok-jiu yang lihai dan ganas. Tosu tua ini maklum akan kelihaian ilmu pukulan ini, maka ia berlaku amat hati-hati. Dengan kipasnya yang mengandung tenaga lweekang tinggi ia selalu mengelak dan menangkis tenaga Racun Ular Hitam yang jahat itu,

   Sedangkan kebutannya tiada hentinya menyambar-nyambar ke arah jalan darah lawan untuk melakukan totokan-totokan berbahaya. Sementara itu, Bwe Kim yang juga sudah berlari keluar dan kini memeluk puterinya menangis sedih karena ia tidak tahu bagaimana harus mengobati puterinya yang tubuhnya lemas tak dapat bergerak lagi itu. Sedangkan keadaan Ciok-Taijin lebih mengkhawatirkan lagi. Orang tua ini napasnya tinggal satu-satu, mukanya berobah hitam, tanda bahwa ia telah terkena racun pukulan Hek-coa Tok-jiu yang lihai. Menghadapi sepasang senjata Ouwyang Sianjin yang lihai, Leng Kok Hosiang menjadi sibuk juga. Pukulan-pukulan Hek-coa Tok-jiu yang telah dilatihnya selama lima tahun itu ternyata tidak berhasil merobohkan lawan ini, selalu kena dielakkan atau ditangkis oleh gerakan kipas itu.

   Ia menjadi marah sekali dan juga penasaran dan hal inilah yang membuat ia akhirnya menderita kekalahan. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya Ouwyang Sianjin juga sangat terkejut dan gelisah menghadapi pukulan yang luar biasa lihainya ini. Sungguhpun kipasnya dapat melindungi dirinya, namun hawa pukulan itu telah menyerang pernapasannya dan membuatnya pening kepala. Akan tetapi kemarahan dan kegemasan Hwesio itu membuat permainannya menjadi agak kacau. Hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Ouwyang Sianjin yang tajam, maka ia tidak mau mensia-siakan kesempatan baik ini dan cepat menyerang dengan kebutannya. Setelah bertubi-tubi melakukan serangan-serangan, akhirnya ia berhasil menotok jalan darah koan-goan-hiat di pundak kanan Hwesio itu. Leng Kok Hosiang berteriak keras dan sebelah tangannya menjadi lumpuh.

   "Ouwyang Sianjin! Biarlah kali ini aku mengaku kalah, akan tetapi hati-hatilah kau dan muridmu kalau kelak bertemu dengan aku!" Ia lalu melompat pergi dengan cepat. Ouwyang Sianjin tidak mau mengejar karena ia sendiripun perlu mengatur pernapasannya dan mengusir hawa busuk yang menyerangnya tadi sehingga untuk beberapa lama ia berdiri diam bagaikan patung sambil meramkan matanya. Akhirnya pernapasannya menjadi bersih kembali dan ia lalu membuka matanya. Di depannya telah berlutut Bwe Kim sambil menangis. Agaknya sudah semenjak tadi perempuan ini menangis dan minta tolong kepadanya, akan tetapi tadi ia tidak mendengarnya sama sekali karena seluruh pancainderanya dipusatkan untuk pembersihan napasnya.

   "Totiang, tolonglah... tolonglah Ayah dan anakku..." berkali-kali Bwe Kim berkata, sedangkan para penjaga yang tidak terluka hanya berdiri dengan mata terbelalak, kagum menyaksikan pertempuran yang terjadi tadi.

   "Tenanglah... tenanglah, Toanio," kata Tosu itu,

   "Biarlah kuperiksa keadaan mereka." Ia lalu diantar masuk ke dalam gedung itu karena Ciok-Taijin dan Lian Hong telah dibawa masuk dan direbahkan ke dalam kamar masing-masing. Ketika memeriksa keadaan Lian Hong, Tosu itu tersenyum.

   "Nona ini tidak apa-apa, hanya terkena totokan. Ia cukup kuat dan terlatih untuk menghadapi derita kecil ini." Ia lalu menepuk pundak Lian Hong dan mengurut punggungnya beberapa kali dan gadis itu sehat kembali, Lian Hong segera menghaturkan terima kasih dan berlutut.

   "Anak baik," kata Tosu itu,

   "Ketahuilah bahwa kedatanganku ini atas kehendak Ayahmu untuk melatih ilmu silat kepadamu." Lian Hong menjadi girang sekali dan serta merta ia berlutut kembali sambil menyebut,

   "Suhu!" Ketika Tosu itu memeriksa Ciok-Taijin, ia menggeleng kepala.

   "Si gundul jahat itu benar-benar ganas sekali tangannya," katanya. Nyonya bangsawan Ciok menjadi pucat dan sambil menangis ia bertanya tentang keadaan suaminya.

   "Tak perlu khawatir," jawab Tosu itu tenang,

   "Biarpun tubuhnya telah terkena pengaruh hawa racun, akan tetapi pinto (aku) mempunyai obat penolaknya. Hanya harus diakui bahwa pembersihan darah di dalam tubuhnya akan makan waktu lama, sedikitnya satu bulan baru akan sembuh betul." Demikianlah, semenjak hari itu, Ouwyang Sianjin tinggal di dalam gedung Ciok-Taijin, merawat bangsawan yang dilukai oleh Leng Kok Hosiang itu.

   Ketika Ciok-Taijin sadar dari pingsannya dan mendengar bahwa Ouwyang Sianjin datang atas permintaan Ong Han Cu untuk melatih ilmu silat kepada Lian Hong, orang tua ini tidak menyatakan keberatannya. Ia bahkan merasa girang bahwa kebetulan sekali datang Tosu yang lihai ini, dan merasa pula betapa pentingnya mempelajari ilmu silat tinggi. Ia tidak mempunyai keturunan lain lagi dan cucunya hanya Lian Hong seorang, maka kalau gadis itu tidak mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana untuk menjaga diri dan keluarganya dari serangan orang-orang jahat? Selain membawa pesanan Ong Han Cu untuk mendidik gadis itu, juga Ouwyang Sianjin membawa sebatang pedang dari pendekar Liong-Cu-San itu untuk diberikan kepada Lian Hong.

   Pedang ini adalah pedang mustika yang tipis dan lemas sekali sehingga dapat dijadikan ikat pinggang. Liong-cu-kiam-hwat adalah kepandaian tunggal dari Ong Han Cu, maka biarpun Ouwyang Sianjin masih terhitung sutenya, akan tetapi Tosu ini tidak paham akan ilmu pedang ini, sebaliknya ia memiliki dua macam kepandaian yang amat tinggi, yakni permainan silat dengan kipas dan hudtim (kebutan pendeta). Ketika Ouwyang Sianjin mendengar bahwa muridnya yang baru ini pandai menari, ia tertarik sekali lalu minta kepada muridnya untuk menari. Lian Hong memenuhi permintaan Suhunya dan menarilah ia dengan sehelai selendang merah. Melihat pergerakan yang lemas dan indah ini, tiba-tiba Ouwyang Sianjin berseru.

   "Bagus! Selendangmu inilah yang akan merupakan senjata istimewa!" Lian Hong menghentikan tariannya dan memandang kepada Suhunya dengan heran. Akan tetapi tanpa banyak cakap lagi, Tosu itu lalu minta selendang muridnya dan bersilatlah ia dengan selendang itu. Ujung selendang itu sama lemasnya dengan kebutan, maka dapat dipergunakan sebagai pengganti kebutannya.

   Selain memberi pelajaran ilmu silat dengan selendang merah yang disebut Ang-kin-ciang-hwat (Ilmu Silat Selendang Merah) juga Ouwyang Sianjin melatih ilmu pedang kepada muridnya ini. Akan tetapi, ia tidak melarang muridnya berlatih Liong-cu-kiam-hwat, bahkan ia lalu memberi petunjuk untuk menggabungkan ilmu pedang yang diajarkannya dengan ilmu pedang Liong-cu-kiam-hwat yang lihai itu. Tiga tahun lebih Tosu itu menggembleng muridnya dengan ilmu silat tinggi sehingga setelah berusia delapan belas tahun, Lian Hong telah memiliki kepandaian yang amat lihai. Keistimewaan dara jelita ini adalah permainan selendang merah dan pedangnya yang dapat dimainkan berbareng dengan kedua tangannya secara indah dan juga kuat sekali. Ia telah menjadi seorang gadis yang luar biasa cantiknya dan selain ilmu silatnya yang tinggi, iapun terkenal akan kepandaiannya menari.

   Pernah ia dipanggil oleh permaisuri Kaisar untuk menari di depan wanita agung ini dan ia mendapat pujian hebat dan menerima hadiah-hadiah yang amat berharga. Setelah melihat bahwa muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, Ouwyang Sianjin lalu meninggalkan Kota Raja diiringi oleh penghormatan dan ucapan terima kasih dari keluarga bangsawan Ciok. Diam-diam Lian Hong berpesan kepada Suhunya agar suka memberi kabar tentang Ayahnya, Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu dan permintaan ini telah disanggupi oleh Ouwyang Sianjin. Nama Lian Hong sebagai seorang gadis yang amat cantik jelita dan pandai menari amat terkenal di Kota Raja. Banyak sekali pemuda, sungguhpun belum menyaksikan kecantikan gadis ini dengan mata kepala sendiri dan hanya mendengar kabar saja, telah jatuh hati dan merindukan siang malam.

   Bahkan ada beberapa orang pemuda bangsawan dan hartawan telah memberanikan diri mengajukan pinangan, akan tetapi Ciok-Taijin yang amat sayang dan bangga akan cucunya, telah menolak semua pinangan itu. Lian Hong merasa girang melihat sikap kakeknya, karena gadis ini sendiripun tidak suka memikirkan tentang pernikahan. Adapun ibunya hanya menyerahkan persoalan ini kepada Ciok-Taijin saja. Di Kota Raja terdapat seorang pemuda yang amat terkenal. Nama pemuda ini terukir di dalam lubuk hati banyak gadis bangsawan dan hartawan, dan banyak pula orang-orang tua para gadis memikirkan pemuda ini dengan hati penuh keinginan memungutnya sebagai mantu. Pemuda ini adalah putera tunggal dari Pangeran Sim Liok Ong yang berpangkat tinggi, berpengaruh, dekat dengan Kaisar.

   Selain itu, juga pangeran Sim terkenal kaya raya dan budiman. Tidak saja keadaan orang tua pemuda ini yang amat menarik hati orang untuk mengajak berbesan, juga kegagahan pemuda itu sendiri menjadikan dia bayangan dalam mimpi setiap dara yang telah mendengar namanya. Ia bernama Sim Tek Kun, terkenal tampan. Telah lulus dalam ujian siucai dan bentuk tulisan maupun gubahan syairnya amat indah. Kebaikan ini ditambah pula dengan kegagahannya karena ia adalah seorang murid terlatih dari Kun-Lun-pai dan telah tamat mempelajari ilmu silat di pegunungan itu sehingga ia memiliki kepandaian ilmu silat tinggi. Ketika terjadi pemberontakan dan kerusuhan yang ditimbulkan oleh segerombolan perampok di daerah utara, putera pangeran ini telah menunjukkan kegagahannya dan ikut membasmi perampok-perampok itu.

   Hal ini telah mengangkat namanya tinggi-tinggi dan ia mendapat jasa dan pujian dari Kaisar sendiri. Dengan keadaan seperti itu, gadis manakah yang tidak tergila-gila dan orang tua manakah yang tidak ingin sekali mempunyai seorang mantu seperti Sim Tek Kun? Akan tetapi, pemuda ini sendiri berkali-kali menolak bujukan Ayah bundanya untuk menikah. Sebaliknya, ia amat senang merantau, menjelajah di kalangan kang-ouw dan menuntut penghidupan sebagai seorang pendekar budiman. Ia keluar masuk di dusun-dusun dan kota-kota, mengulurkan tangan kepada siapa saja yang membutuhkan pertolongannya. Tangannya amat terlepas dan terbuka, baik untuk memberi uang maupun untuk menyumbangkan tenaga dan kegagahan demi kepentingan orang-orang yang lemah tertindas.

   Maka, sebentar saja namanya terkenal di kalangan kang-ouw dan ia dijuluki Bun-Bu Taihiap (Pendekar Besar Ahli Sastra dan Silat). Ketika Pangerang Sim Liok Ong dan isterinya melihat Lian Hong mereka menjadi amat tertarik. Di dalam Kota Raja jarang ada yang mengetahui bahwa nona ini pandai ilmu silat dan yang menjadikannya amat terkenal hanya kecantikan dan kepandaiannya menari. Melihat nona ini, Pangeran Sim dan isterinya merasa suka sekali dan mereka lalu mengajukan pinangan tanpa bertanya kepada putera mereka yang pada waktu itu entah sedang berada di mana. Ciok-Taijin ketika menerima pinangan ini, hampir menari kegirangan. Ia memeluk cucunya dengan air mata bercucuran sambil berkata,

   "Lian Hong... Lian Hong... akhirnya Thian menunjukkan kemurahannya kepada kita! Kau telah dipinang oleh Pangeran Sim! Ah, Alangka besar kehormatan ini. Ketahuilah, banyak puteri pangeran lain dari istana Kaisar belum tentu akan dapat menerima kehormatan sebesar ini. Bwe Kim, anak baik, akhirnya kau mendatangkan kebahagiaan dan kehormatan kepada orang tuamu karena puterimu ini..."Melihat kegirangan besar yang diperlihatkan oleh ibunya dan kakek serta neneknya ini, Lian Hong tidak tega untuk menolak. Sebetulnya ia tidak girang sama sekali mendengar berita perjodohannya ini karena ia memang tidak mempunyai keinginan sama sekali untuk mengikat diri dengan perjodohan. Ia pernah mendengar nama Sim Tek Kun dan diam-diam iapun ingin sekali mengetahui sampai di mana kebenaran berita itu. Ia menganggap berita tentang pemuda itu amat berlebih-lebihan dan sering kali bibirnya yang manis itu ditarik mengejek.

   "Hm, Bun-Bu Taihiap...? Pemuda sombong! Mana ada pemuda hartawan dan bangsawan yang patut disebut Taihiap? Barangkali hanya seorang tukang pelesir dan tukang menghambur-hambur uang Ayahnya belaka. Julukan itu tentu diberikan oleh orang-orang untuk menjilat pemuda bangsawan dan hartawan itu. Dan kini ternyata pemuda itu telah meminangnya, yakni orang tua pemuda itu. Melihat kegembiraan orang-orang tuanya, ia tak dapat menyatakan sesuatu, hanya menundukkan mukanya yang menjadi merah, bukan hanya karena malu, akan tetapi sebagian besar karena marah.

   Ia marah kepada pemuda itu yang dianggapnya lancang dan kurang ajar telah berani meminangnya! Orang macam apakah pemuda itu maka berani mencoba hendak mengikatnya sebagai isterinya? Demikianlah, diam-diam ia berpikir dengan hati penasaran. Memang Lian Hong adalah seorang gadis yang aneh, sikapnya lemah lembut, cantik jelita, dan amat jenaka. Akan tetapi dibalik semua itu ia memiliki kekerasan hati yang diwarisinya dari Ayahnya. Pertunangan diresmikan dan berita pertunangan ini telah tersiar di seluruh Kota Raja. Banyak sekali orang-orang tua dan puteri mereka merasa iri hati kepada keluarga Ciok atas keberuntungan mereka. Akan tetapi Lian Hong sendiri hanya menerima semua ini dengan hati dingin.

   "Kong-kong," katanya dengan lemah lembut dan sikap manja,

   "Aku selalu menurut dan taat kepadamu dan dalam hal perjodohan inipun aku menyerahkan diri kepada Kong-kong saja. Akan tetapi ada satu hal yang ku minta Kong-kong suka mengabulkannya, yakni aku tidak mau dinikahkan dengan terburu-buru. Biarlah pertunangan ini ditunda sedikitnya setahun!" Kakeknya, dan juga ibu dan neneknya hanya memandang dengan melongo dan Ciok-Taijin hanya menggeleng-geleng kepalanya saja. Baiknya pihak Pangeran Sim juga tidak terburu-buru dan menerima penundaan waktu ini oleh karena pada waktu itu, putera mereka juga belum pulang ke Kota Raja.

   Kurang lebih sebulan kemudian, datanglah berita yang membuat Lian Hong dan Bwe Kim menangis tersedu-sedu, hingga Lian Hong jatuh pingsan ketika mendengarnya. Berita ini merupakan sepucuk surat dari Ouwyang Sianjin yang diantarkan oleh seorang pesuruh, yang mengabarkan tentang kematian Ong Han Cu. Di dalam surat itu, Ouwyang Sianjin menjelaskan nama-nama dari lima orang yang telah membunuh Ong Han Cu dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, seorang di antara lima musuh ini adalah Leng Kok Hosiang yang dulu pernah datang mengganggu mereka dan kemudian dikalahkan oleh Ouwyang Sianjin. Ciok-Taijin hanya menghela napas berkali-kali dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Hm, demikianlah kalau orang hidup sebagai perantau yang berhubungan dengan para orang-orang kasar di dunia kang-ouw. Bertempur, melukai atau dilukai, menanam bibit permusuhan, menimbulkan sakit hati dan dendam dalam hati orang lain, kemudian bertempur lagi, membunuh atau dibunuh." Lian Hong yang sudah siuman kembali ketika mendengar ucapan kakeknya ini, lalu cepat berdiri dan dengan dada terangkat ia berkata.

   "Kong-kong, ucapanmu memang benar. Akan tetapi, jiwa seorang gagah menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, ia tidak takut dan segan-segan untuk mengorbankan nyawanya. Kalau tidak ada orang-orang gagah yang membasmi orang-orang jahat dan membela orang-orang lemah tertindas, bagaimanakah keadaan dunia ini? Kejahatan akan merajalela. Karena itu, aku harus pergi mencari musuh-musuh yang membunuh Ayah. Aku harus membalasnya!"

   "Jangan, Lian Hong, jangan!" seru Ciok-Taijin,

   "Kau seorang gadis muda, bagaimana kau bisa merantau dan mencari penjahat-penjahat yang berbahaya itu?"

   "Jangan kuatir, Kong-kong," jawab gadis itu dengan sikap gagah.

   "Menurut surat Suhu, sekarang juga Suhu telah mencari jahanam Yap Cin yang berjuluk Si Luntung Sakti. Biarlah aku menyusul Suhu dan membantunya untuk membasmi penjahat itu!"

   "Jangan, Lian Hong, kau akan membuat kami merasa gelisah dan berkhawatir selalu," kata Ciok-Taijin pula yang kini juga dibantu oleh nyonya Ciok. Bahkan Bwe Kim juga melarang anaknya jangan pergi menempuh bahaya itu. Lian Hong menjadi kewalahan dan tak dapat berkeras. Akan tetapi pada malam harinya, gadis itu telah melarikan diri dan meninggalkan kamarnya dengan diam-diam. Hanya sepucuk surat surat yang ditinggalkan di meja kamarnya memberitahukan bahwa ia hendak menyusul Suhunya di kota Kam-Ciu untuk mencari Sin-wan (Lutung Sakti) Yap Cin.

   Ciok-Taijin, isterinya, dan Bwe Kim merasa gelisah sekali dan Bwe Kim hanya dapat menangis. Akan tetapi Ciok-Taijin lalu memesan kepada isteri dan anaknya itu agar supaya hal ini jangan sempat terdengar oleh Pangeran Sim, akan berbahaya sekali. Tentu saja Pangeran Sim akan menjadi marah mendengar betapa calon mantunya lari minggat untuk merantau seperti gadis kang-ouw yang liar. Semenjak berhasil membunuh Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu dengan cara yang amat curang bersama empat orang kawannya dan mendapat pembagian harta pusaka yang besar jumlahnya, Yap Cin menjadi seorang kaya raya. Ia tinggal di kota Kam-Ciu sebagai seorang hartawan besar memiliki banyak rumah dan sawah, bahkan ia membeli sebuah kereta berkuda yang bagus sekali. Bekas penjahat ini lalu hidup dengan mewah dan kerjanya tiap hari hanya berpelesir,

   Naik kereta bersama kawan-kawannya yang menjadi tukang pukulnya, pergi ke kota-kota terdekat dan menghamburkan uang bagaikan pasir saja. Pada suatu hari, ia sedang berkereta dengan lima orang kawannya yang naik kuda, baru pulang dari kota lain di mana ia tinggal setengah bulan lamanya dan di mana ia mempunyai seorang sahabat baik yang mengajaknya berpelesir. Ketika rombongannya tiba di luar kota Kam-Ciu, tiba-tiba mereka melihat seorang gadis cantik jelita berpakaian ringkas sedang berjalan seorang diri. Gadis ini bukan lain adalah Lian Hong yang sedang menuju ke Kam-Ciu untuk menyusul Suhunya dan mencari musuh besar Ayahnya, yakni Yap Cin. Melihat seorang dara muda jelita berjalan seorang diri di tempat yang sunyi, timbullah kegembiraan dan kekurangajaran Yap Cin dan kawan-kawannya.

   Mereka menghentikan kendaraan dan kuda di dekat gadis itu dan ketika Lian Hong menengok, enam orang laki-laki jahat itu menjadi bengong saking terpesona oleh kecantikan Lian Hong. Mereka merasa seakan-akan sedang mimpi bertemu dengan seorang bidadari dari kahyangan yang tersasar di dalam hutan. Yap Cin segera melompat turun dari dalam keretanya dan untuk memamerkan kepandaiannya, ia melompat sambil mempergunakan gerakan Burung Walet Menyambar Air dan kedua kakinya turun dengan amat ringannya di depan nona itu. Diam-diam Lian Hong menjadi terkejut juga melihat laki-laki setengah tua yang berpakaian mewah ini memiliki ginkang yang sedemikian hebatnya. Ia menjadi curiga dan berlaku hati-hati sekali.

   "Nona, bolehkan aku bertanya, nona hendak pergi ke mana?" tanya Yap Cin sambil memberi hormat dan memainkan senyum dimulutnya. Lian Hong adalah seorang gadis yang tabah dan banyak bergaul maka ia tidak berlaku malu-malu. Sungguhpun ia merasa tak senang melihat kelancangan laki-laki ini, namun ia menjawab juga dengan singkat.

   "Hendak ke Kam-Ciu," Semua orang yang merubungnya tersenyum mendengar jawaban ini dan laki-laki berpakaian mewah itu bahkan tertawa senang.

   "Kebetulan sekali, kebetulan sekali!" serunya berkali-kali dengan muka girang.

   "Kami pun sedang menuju ke Kam-Ciu. Silakan naik ke dalam keretaku saja, nona. Tidak enak berjalan seorang diri di tempat sunyi ini, lagi pula tentu lelah kalau berjalan kaki." Lian Hong merasa mendongkol sekali. Ia maklum sedang berhadapan dengan orang-orang kurang ajar, akan tetapi agar jangan menimbulkan keributan, ia tersenyum dan menjawab,

   "Terima kasih, tidak bisa aku menerima ajakan seorang yang tidak kukenal. Lebih baik aku berjalan kaki saja dan harap kalian jangan menggangguku lebih lama lagi." Akan tetapi Yap Cin dan kawan-kawanya merasa seakan-akan kejatuhan bulan ketika menyaksikan senyum di bibir gadis itu. Memang Lian Hong amat cantik jelita, apalagi kalau ia sudah tersenyum. Sukarlah kiranya mencari laki-laki yang takkan jatuh hati apabila melihat ia tersenyum.

   "Jangan berkata begitu, nona. Kau tentu hendak artikan belum mengenal, bukan tidak mengenal. Apa salahnya kalau sekarang kita berkenalan? Kau takkan merasa kecewa berkenalan dengan orang-orang seperti kami yang sudah terkenal di Kam-Ciu," jawab Yap Cin sambil tertawa-tawa.

   "Kau benar-benar takkan kecewa, nona manis!" kata seorang dari pada kawan-kawan Yap Cin.

   "Ketahuilah bahwa kau sedang berhadapan dengan Yap-Wangwe (hartawan Yap), tokoh terkenal di kota Kam-Ciu." Bagaikan sinar terang she Yap ini terlintas diotak Lian Hong. Ia mainkan senyumnya lagi dan bertanya,

   "Ah, jadi kaukah yang terkenal sebagai Yap-Wangwe di Kam-Ciu? Bolehkah aku mengetahui siapakah nama Wangwe yang selengkapnya?" Yap Cin menyeringai dengan girang sekali. Disangkanya bahwa gadis ini mulai silau dan tertarik karena namanya sebagai seorang hartawan besar, maka cepat-cepat ia berkata,

   "Nona yang baik, namaku Yap Cin, dan ketahuilah bahwa selain terkenal sebagai seorang hartawan yang berbudi baik, akupun terkenal di kalangan dunia persilatan sebagai Sin-wan (Si Lutung Sakti)!" Saking terkejut dan girangnya dapat bertemu dengan musuh besarnya yang memang sedang dicari-cari, wajah yang cantik itu sampai menjadi pucat dan sepasang matanya memancarkan cahaya berapi-api.

   "Jadi kaukah jahanam busuk yang bernama Sin-wan Yap Cin? Kau bersiap siagalah untuk mampus ditanganku!" Sambil berkata demikian, Lian Hong lalu mencabut keluar pedang tipisnya dan selendang merahnya. Tentu saja Yap Cin dan kawan-kawannya menjadi heran melihat sikap nona ini.

   "Eh, nona manis, kau siapakah dan mengapa kau bersikap seperti ini? Apakah salahku kepadamu?" tanya Yap Cin yang masih memandang rendah kepada dara muda ini. Lian Hong tersenyum dengan bibir mengejek.

   "Kau hendak mengenal aku? Baiklah, buka telingamu lebar-lebar, binatang rendah! Aku adalah Ong Lian Hong dan Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu adalah Ayahku!" Pucatlah muka Yap Cin mendengar ini. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa Ong Han Cu mempunyai seorang puteri dan bahwa puterinya itu kini telah berdiri dihadapannya. Akan tetapi ia adalah seorang kang-ouw yang berkepandaian tinggi dan sudah banyak pengalamannya, maka tentu saja ia tidak takut menghadapi seorang gadis muda seperti Lian Hong.

   "Nona manis, biarpun kau puteri dari Pat-Jiu Kiam-Ong, akan tetapi dengarlah nasehatku. Kau takkan dapat berbuat sesuatu terhadapku dan sayanglah kalau kau menyia-nyiakan usia muda dan kecantikanmu. Dari pada kau memusuhiku, marilah kita bersahabat. Ayahmu sendiri tidak dapat mengalahkan aku, apalagi kau!"

   "Mulut busuk! Kalau kau dan kawan-kawanmu tidak mempergunakan kecurangan dan kekejian, mana kau dapat menangkan Ayah? Bersiaplah untuk mampus!" Gadis ini dengan sengit lalu maju menyerang dengan pedang dan selendangnya. Tadinya Yap Cin masih memandang rendah, akan tetapi ketika pedang itu menyambar bagaikan kilat ke arah lehernya sedangkan selendang itu bagaikan seekor ular menotok ke arah ulu hatinya, ia menjadi terkejut juga. Cepat ia melempar tubuhnya ke belakang dengan gerak lompat Naga Hitam Memutar Tubuh sambil mencabut keluar senjatanya yang lihai, yakni sebatang ruyung lemas yang berduri. Tanpa banyak cakap iapun lalu membalas dengan serangan hebat, akan tetapi dengan amat lincahnya gadis itu mengelak.

   Serang menyerang terjadi dan dalam beberapa gebrakan saja diam-diam Yap Cin mengeluh. Gadis ini gerakannya amat cepat, ginkangnya sudah amat tinggi dan ilmu silat yang dimainkan oleh kedua tangannya benar-benar aneh dan lihai sekali. Pedang tipis itu menyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan mata, sedangkan selendang merah itupun tak boleh dipandang ringan, oleh karena angin sambarannya saja sudah terasa pada kulitnya. Maka ia tidak berani untuk mencoba-coba dan menyambut totokan selendang itu. Terpaksa Yap Cin mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk melakukan perlawanan, akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus saja, ia terdesak hebat dan hanya dapat menangkis saja.

   "Bangsat terkutuk mampuslah kau!" berkali-kali Lian Hong berseru dengan gemas tiap kali senjatanya menyerang. Gadis ini merasa gemas dan benci sekali sehingga setiap serangannya merupakan pukulan maut yang amat berbahaya. Hanya berkat tenaganya yang besar serta pengalamannya bertempur yang banyak sajalah maka Yap Cin masih kuasa mempertahankan diri. Akan tetapi pada suatu saat, selendang di tangan kiri Lian Hong bergerak sedemikian rupa menotok ke arah jalan darah di pundaknya. Ketika Yap Cin mengelak ke kiri, bagaikan bermata dan hidup selendang merah itu mengejar ke kiri dan tahu-tahu telah melibat lehernya.

   "Mampuslah jahanam!" kembali Lian Hong berseru keras dan ia menarik selendangnya kuat-kuat untuk mencekik leher musuh besarnya itu. Yap Cin merasa seakan-akan lehernya dicekik oleh tangan manusia yang amat kuat sehingga lidahnya menjulur keluar dan matanya mendelik. Untung baginya bahwa pada saat itu, kelima orang kawannya lalu menyerbu dan mengeroyok Lian Hong. Terpaksa gadis ini melepaskan selendang merahnya dari libatan pada leher musuhnya sehingga Yap Cin dapat bernapas lagi sambil meraba-raba lehernya. Kemudian enam laki-kai itu lalu mengeroyok Lian Hong.

   Lima orang kawan Yap Cin itu bukanlah ahli-ahli silat biasa saja dan rata-rata mereka telah memiliki ilmu silat tinggi. Karena mereka semua mempergunakan pedang dan mengurung dengan secara teratur pula, dikepalai oleh Yap Cin yang merasa sakit hati dan marah, agak sibuk jugalah Lian Hong menghadapi mereka. Namun dara perkasa ini sedikitpun tidak menjadi gentar. Ia tidak mau mundur setapakpun dan melakukan perlawanan dengan sengit, bahkan membalas dengan serangan-serangan ke berbagai jurusan. Yang paling berbahaya dan terhebat serangannya di antara enam orang pengeroyoknya itu adalah Yap Cin sendiri. Si Lutung Sakti ini selain maklum bahwa ia harus membinasakan puteri Ong Han Cu yang telah ditewaskannya bersama-sama kawan-kawannya itu, juga ia merasa amat penasaran dan marah sekali.

   Ia adalah seorang kang-ouw yang tenar dan telah terkenal memiliki ilmu silat yang tidak rendah apakah sekarang ia benar-benar harus jatuh dan kalah oleh seorang dara remaja? Apa lagi kalau sampai terdengar orang lain bahwa ia, Si Lutung Sakti, bersama lima orang ahli silat lain mengeroyok seorang nona berusia belasan tahun. Ah, alangkah akan malunya! Karena ini Si Lutung Sakti Yap Cin lalu mengerahkan tenaganya dan menyerang dengan mati-matian. Ruyungnya menyambar-nyambar mendatangkan angin sehingga Lian Hong harus berlaku waspada dan hati-hati sekali. Sekali saja terkena hantaman ruyung di tangan Yap Cin, akan celakalah dia. Pertempuran telah dilakukan lima puluh jurus, namun belum juga enam orang laki-laki itu dapat merobohkan Lian Hong.

   Mereka merasa amat penasaran dan mengurung makin rapat, menyerang dengan bertubi-tubi sehingga keadaan Lian Hong amat terdesak. Gadis inipun tidak mempunyai kesempatan sedikitpun untuk membalas serangan enam orang lawannya karena senjata enam orang lawannya menyerang bagaikan hujan datangnya. Kalau ia mau, dengan menggunakan ginkangnya, ia akan dapat melarikan diri dari kepungan enam orang ini, akan tetapi gadis ini memiliki ketabahan dan kenekatan besar. Biarpun ia mengerti bahwa kalau dilanjutkan pertempuran yang berat sebelah ini, ia takkan dapat menang, namun untuk meninggalkan musuh besarnya begitu saja, iapun merasa berat. Maka sambil mengerahkan tenaga dan mengumpulkan semangat, Lian Hong terus melakukan perlawanan. Pada saat keadaan Lian Hong sudah terdesak sekali, tiba-tiba terdengar seruan keras,

   "Yap Cin bangsat tak tahu malu! Kau mengandalkan keroyokan enam orang untuk mengepung seorang gadis muda! Hah, orang macam kau ini tak patut hidup lagi!" Dan berbareng dengan kata-kata itu, muncullah seorang Tosu tua dengan tangan kanan memegang kebutan dan tangan kiri memegang kipas.

   "Suhu...!" seru Lian Hong dengan girang sekali, akan tetapi ia segera berkata kepada Suhunya.

   "Suhu, biarkan teecu membalas dendam Ayah kepada jahanam she Yap ini dan tolong Suhu usir saja lima orang anjing yang tak tahu malu ini!"

   Ouwyang Sianjin tertawa bergelak dan begitu kebutannya bergerak, buyarlah kepungan itu. Seorang pembantu Yap Cin roboh terguling-guling terkena sambaran ujung kebutan dan empat orang yang lain segera mengeroyoknya, meninggalkan Yap Cin menghadapi gadis itu sendiri. Pertempuran terbagi dua bagian dan kini keadaan menjadi terbalik. Empat orang kawan Yap Cin itu mana dapat menandingi Ouwyang Sianjin? Dengan enak dan mudahnya Ouwyang Sianjin mainkan kebutannya tanpa mempergunakan kipasnya untuk menyerang karena kipas itu bahkan digunakan untuk mengipasi tubuhnya sendiri seakan-akan pertempuran itu membuat ia merasa gerah. Sementara itu, ketika mendengar dari Lian Hong bahwa Tosu tua itu adalah Suhu dari gadis perkasa ini, Yap Cin terkejut sekali.

   Iapun pernah mendengar dari sahabatnya, yakni Leng Kok Hosiang bahwa Ong Han Cu mempunyai seorang saudara seperguruan yang bernama Ouwyang Sianjin, seorang Tosu yang lihai dan bersenjata kebutan dan kipas, maka melihat Tosu ini, tahulah dia bahwa yang datang ini tentulah Ouwyang Sianjin. Untuk melarikan diri, tak mungkin lagi karena Lian Hong mengurungnya dengan pedang dan selendangnya yang lihai, maka ia lalu melakukan perlawanan mati-matian. Namun, karena ia memang kalah gesit dan kalah lihai ilmu silatnya, ditambah pula hatinya telah gentar dan ketakutan sehingga permainan senjatanya agak kacau. Baru saja bertempur belasan jurus, selendang ditangan kiri Lian Hong berhasil melibat lengan kanannya yang memegang ruyung. Yap Cin mencoba untuk melepaskan tangannya akan tetapi sia-sia saja dan sebelum ia dapat mengelak,

   Pedang di tangan kanan Lian Hong telah menusuk dadanya dengan gerak tipu Benang Mas Masuk Lubang jarum, sebuah gerak tipu serangan yang amat cepat dan tepat sekali datangnya. Yap Cin menjerit ngeri dan tubuhnya terjengkang ke belakang dengan dada menyemburkan darah dan ruyungnya terlepas dari pegangan. Setelah berhasil menewaskan musuh besarnya, Lian Hong menengok ke arah Suhunya yang tadi dikeroyok oleh empat orang kaki tangan Yap Cin, akan tetapi ternyata Suhunya telah berdiri menganggur karena semua lawannya telah roboh sambil merintih-rintih tak dapat bangun lagi. Lian Hong lalu maju dan berlutut di depan Suhunya sambil menangis sedih karena ia teringat akan Ayahnya. Ouwyang Sianjin mengelus-elus kepala muridnya dan berkata.

   "Anak baik, sudahlah jangan kau bersedih. Ayahmu telah tewas dan karena kematiannya tidak sewajarnya, maka sudah menjadi tugas kewajibanmu untuk membalas dendam agar roh Ayahmu tidak menjadi penasaran. Kau telah berhasil menewaskan Yap Cin, dan kini masih ada empat orang lagi yang harus dibalas. Akan tetapi, kau tidak boleh bertindak terburu nafsu, muridku, karena ketahuilah bahwa musuh-musuhmu bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Apalagi Leng Kok Hosiang yang memiliki ilmu pukulan Hek-coa-tok-jiu dan Cin Lu Ek yang berjuluk Naga bermata Emas. Kau harus menggunakan kecerdikan dan jangan sampai gagal menghadapi mereka. Ketahuilah bahwa murid Ayahmu, yakni sucimu yang bernama Nyo Siang Lan dan yang telah dijuluki Hwe-Thian Mo-Li, juga telah mencari musuh-musuhmu ini. Kalau kau bertemu dengan dia, boleh kau bersama-sama dia melakukan tugas berbahaya ini."

   "Teecu hanya mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Suhu," jawab Lian Hong, setelah ia disuruh berdiri oleh Suhunya itu.

   "Hanya seorang saja yang sudah kuketahui tempat tinggalnya, yakni Liok Kong yang berjuluk Toat-Beng Sin-To. Ia tinggal di Kan-Cou Propinsi Kiangsi dan kebetulan sekali pada bulan depan ia akan mengadakan pesta ulang tahunnya. Kau datanglah ke sana, akan tetapi sungguhpun permainan golok dari orang she Liok ini tak perlu kau takuti, namun di sana tentu terdapat kawan-kawannya yang menjadi tamu. Maka kau harus berlaku cerdik dan mengingat bahwa kau pandai menari, ada baiknya kalau kau menyamar sebagai seorang penari, pura-pura menjadi utusan seorang hartawan besar dan menari di depannya. Kemudian pada saat yang baik setelah kau dapat berhadapan dengan dia, kau turun tangan!" Demikianlah, setelah mendapat pesan dan banyak nasihat dari gurunya, Lian Hong lalu di suruh pulang ke Kota Raja sedangkan Tosu tua itu lalu melanjutkan perjalanannya.

   Memang sungguh kebetulan sekali bahwa orang tua itu datang pada saat Lian Hong berada di dalam bahaya. Sesungguhnya ketika orang tua itu mencari Yap Cin di Kam-Ciu, sebagaimana sudah dituturkan di bagian depan, Yap Cin tidak berada di kota dan sedang berpesta dan berpelesir di kota lain selama setengah bulan. Tosu itu menanti di Kam-Ciu sampai setengah bulan sehingga akhirnya ia menjadi kesal dan hendak menyusul orang she Yap itu. Kebetulan sekali pada hari itu, Yap Cin juga pulang dari tempat pelesir dan bertemu dengan Lian Hong. Kedatangan Lian Hong di rumah Ciok-Taijin, disambut oleh kegembiraan dan juga teguran keras, terutama sekali dari Ciok-Taijin. Akan tetapi dengan muka girang Lian Hong menuturkan betapa ia telah berhasil membalas dendam Ayahnya kepada seorang di antara ke lima orang musuh besar itu.

   "Lian Hong, dengarkan kata-kataku dengan baik, cucuku," kata Ciok-Taijin sambil memandang tajam.

   "Sungguhpun sudah menjadi kewajibanmu untuk membalas sakit hati Ayahmu, akan tetapi tidak selayaknya kalau kau sebagai seorang gadis bangsawan, tunangan putera Pangeran Sim, sampai melakukan perjalanan seorang diri mencari musuh-musuhmu dan membiarkan dirimu berada di dalam bahaya maut. Bagaimana kalau sampai kau dirobohkan oleh orang-orang jahat itu? Dan bagaimana pula kalau sampai ada yang mengetahui bahwa tunangan putera Pangeran Sim melakukan perjalanan seorang diri di dunia? Kau hanya membikin kami orang-orang tua merasa susah dan gelisah, cucuku. Pembalasan sakit hati ini bukankah sedang diusahakan oleh Suhumu? Kalau perlu, aku dapat mengerahkan perwira-perwira untuk mencari penjahat-penjahat itu dan menghukumnya. Tidak perlu kau pergi sendiri seperti yang telah kau lakukan itu." Akan tetapi, kembali watak Ayahnya nampak jelas kepadanya ketika gadis itu menyahut,

   


IBLIS DAN BIDADARI (HWE THIAN MO LI) JILID 04
   "Kong-kong, gadis bangsawan maupun gadis biasa, tidak ada salahnya melakukan perjalanan seorang diri asalkan ia dapat menjaga dirinya. Dengan kepandaian yang telah kupelajari, apakah yang kutakuti? Membalas dendam Ayah, harus dilakukan oleh aku sendiri. Kong-kong sendiri menyatakan bahwa itu sudah menjadi tugas dan kewajibanku, maka bagaimana aku dapat membiarkan Suhu sendiri yang pergi membalas dendam? Tidak, Kong-kong. Harus aku sendiri yang melakukan pembalasan ini sebagai darma baktiku kepada mendiang Ayah yang semenjak kecil belum pernah kubalas kebaikannya. Adapun tentang pertunanganku dengan pemuda putera pangeran itu, aku tidak perduli apakah ia atau orang tuanya akan suka atau tidak melihat aku pergi melakukan pembalasan terhadap para penjahat itu. Kalau mereka suka, syukurlah. Kalau tidak, juga tidak apa karena aku sudah mengambil keputusan tidak akan menikah sebelum dapat membereskan tugas pembalasan sakit hati ini!"

   "Lian Hong...!" jerit ibunya.

   "Ibu, apakah ibu juga akan suka melihat Ayah terbunuh tanpa dapat membalas dendam? Dan pula, orang-orang kang-ouw tentu sudah maklum bahwa Ayah adalah mantu dari Ciok-Taijin, dan seandainya para pembunuh Ayah itu tidak terhukum, bukankah itu berarti merendahkan nama Kong-kong pula?" Kemudian ketika melihat betapa Kong-kongnya mendengarkan dengan penuh perhatian, ia lalu maju dan memegang tangan Kong-kongnya yang amat menyayanginya itu sambil berkata,

   "Kong-kong, janganlah kau khawatir. Aku dapat menjaga diri, dan apabila Kong-kong tidak menghalangi, tak lama lagi ke empat orang jahat itu akan dapat kutewaskan semua. Selain itu, harap Kong-kong jangan gelisah. Selain Suhu yang ikut mengusahakan pembalasan dendam ini, juga seorang murid dari Ayah, yang bernama Hwe-Thian Mo-Li Nyo Siang Lan, telah pula turun gunung dan mencari para penjahat itu!" Dengan alasan-alasan ini, akhirnya Lian Hong mendapat kemenangan dan Kong-kongnya sambil menarik napas panjang berkata,

   "Sudahlah, lakukan apa yang kau kehendaki. Akan tetapi kau berlakulah hati-hati sekali dan jaga dirimu baik-baik. Pula, ada satu hal yang kuminta kau memperhatikan baik-baik, yakni jangan sekali-kali ada orang luar mengetahui bahwa kau adalah tunangan dari pada putera Pangeran Sim. Lakukanlah hal ini untuk menjhaga nama baikku, maukah kau, Lian Hong?" Gadis ini dengan manja lalu memeluk kakek ini dan menyatakan kesanggupannya. Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, sebulan kemudian, dengan menyamar sebagai seorang penari, Lian Hong berhasil membunuh Liok Kong di rumahnya sendiridi waktu Toat-beng-sin-to Liok Kong sedang mengadakan pesta. Kemudian setelah mengajak Hwe-Thian Mo-Li Nyo Siang Lan berlumba untuk sebanyak-banyaknya menewaskan musuh besar mereka, Lian Hong lalu kembali ke Kota Raja, pulang ke rumah Kong-kongnya untuk menceritakan hasil usaha pembalasan dendam itu dengan girang.

   Ketika Ciok-Taijin mendengar bahwa kini jumlah musuh yang harus dibalas tinggal dua orang lagi dan bahwa Hwe-Thian Mo-Li juga ikut mencari musuh-musuh itu, hatinya menjadi agak lega. Ia bahkan membantu usaha cucunya dengan jalan menyuruh beberapa orang perwira sebagai penyelidik untuk mencari jejak dua orang musuh besar cucunya itu, yakni Leng Kok Hosiang dan Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek. Tentu saja Lian Hong merasa girang sekali mendapat bantuan kakeknya ini dan ia sama sekali tidak tahu bahwa diam-diam kakeknya juga memerintahkan kepada para penyelidik itu apabila telah bertemu dengan orang-orang yang dicari, supaya ditangkap atau dibunuh, dan kalau perlu boleh minta bantuan pembesar setempat. Untuk ini ia telah memberi sebuah surat perintah kepada mereka.

   Kita ikuti lagi perjalanan Hwe-Thian Mo-Li Nyo Siang Lan, gadis gagah perkasa yang secara berani sekali telah mengacau di dalam pesta Liok Kong dan ilmu pedangnya bahkan berhasil menundukkan Lian Hong. Semenjak berpisah dari Lian Hong, gadis ini masih saja merasa kagum dan heran kalau ia teringat akan gadis penari yang cantik jelita itu. Bagaimanakah Suhunya dapat mempunyai seorang puteri yang sebaya dengan dia tanpa pernah menceritakannya kepadanya? Siapakah isteri Suhunya dan di mana tinggalnya?

   Ia merasa kecewa karena Lian Hong tidak mau menceritakan keadaannya dan sebetulnya ingin sekali berkenalan dengan sumoinya itu. Ia merasa amat kagum akan kepandaian Lian Hong dan melihat gerakan ilmu pedangnya, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa Lian Hong pernah mempelajari ilmu pedang Liong-Cu Kiam-Hwat secara baik, hanya masih kurang matang dan tercampur dengan ilmu pedang lain. Akan tetapi ilmu silat selendang yang dimainkan oleh gadis penari itu sungguh-sungguh hebat. Ia tersenyum sendiri kalau teringat akan kelincahan dan kejenakaan Lian Hong, dan ia dapat menduga bahwa gadis penari itu membohong dan sengaja mempermainkannya ketika mengaku bahwa iapun mempunyai julukan Hwe-Thian Sian-Li.

   Semenjak turun gunung untuk mencari musuh yang membunuh Suhunya, ia telah mengalami banyak peristiwa hebat. Setelah ia turun gunung, pertama-tama yang ia dapat ketemukan jejaknya adalah Santung Taihiap Siong Tat, Pendekar Besar dari Santung. Ia mendengar berita bahwa Siong Tat telah pergi pindah ke kota Kang-leng sebelah selatan Ibukota Cin-an. Dengan cepat ia lalu menyusul ke Kang-leng dan mudah saja ia mendapatkan alamat Santung Taihiap Siong Tat karena orang she Siong inipun telah menjadi seorang hartawan besar yang membuka rumah gadai terbesar di kota Kang-leng. Ketika ia hendak memasuki kota itu dan berada di jalan yang sunyi tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki tua memanjat pohon sambil menangis. Tangan orang itu membawa sehelai tali.

   Gerakan orang ini amat mencurigakan hati Hwe-Thian Mo-Li, maka diam-diam sambil bersembunyi, gadis ini lalu mengintai. Ternyata bahwa orang tua itu lalu menalikan tali yang dibawanya pada cabang pohon dan hendak menggantung diri. Melihat ini, tentu saja Siang Lan menjadi terkejut sekali. Ia merasa heran mengapa ada orang yang demikan putus asa sehingga mengambil keputusan pendek. Kakek tua itu telah membuat ujung tali menjadi penjerat leher, mengalungkannya kepada lehernya dan hendak melompat turun. Akan tetapi alangkah herannya ketika tiba-tiba tali yang tergantung pada cabang itu menjadi putus dan tanpa diketahui sebabnya. Ia memandang ke sekeliling dan melihat keadaan di situ sunyi saja. Ia berkata keras-keras.

   "setan penjaga tempat ini mengapa masih mau mengganggu seorang yang sengsara seperti aku? Awas, jangan mengganggu dan menghalangi maksudku, kalau aku sudah mampus dan menjadi setan penasaran pula, akan kucari kau dan kubalas perbuatanmu ini!" Setelah berkata demikian, ia lalu menalikan talinya itu kembali pada cabang lain. Akan tetapi pada saat itu muncullah seorang gadis cantik yang tahu-tahu telah berada di bawah pohon. Orang tua ini memandang dengan mata terbelalak. Ia merasa pasti bahwa gadis cantik ini tentulah setan yang menjaga di situ, maka katanya.

   "Mungkin kau adalah setan dari seorang gadis yang juga mati dalam penasaran. Maka biarlah aku mengakhiri penderitaanku di dunia ini!" Akan tetapi gadis yang bukan lain adalah Hwe-Thian Mo-Li Nyo Siang Lan, tanpa menjawab segera melompat ke atas, menggunakan kedua tangannya menangkap tubuh kakek itu dan membawanya lompat turun kembali ke bawah pohon.

   "Lopek (uwak), mengapa kau begitu lemah dan bersikap seperti seorang pengecut?" Marahlah kakek itu.

   "Siapa bilang aku pengecut? Aku tidak takut mati dan hendak menghabiskan nyawaku dengan tak gentar sedikitpun, dan kau masih menyebutku pengecut? Siapakah kau nona yang cantik jelita dan kasar ini?"

   "Hm, menghabiskan nyawa sendiri dengan cara demikian adalah perbuatan rendah yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pengecut! Kau bilang berani mati, bukankah itu berarti bahwa kau takut untuk hidup? Lopek, bukan demikianlah cara untuk memecahkan kesulitan hidup! Kalau ada sesuatu hal yang menyulitkan keadaanmu, kau harus berusaha memecahkannya, bukan dengan cara menghabiskan nyawa dan lari dari pada kesulitan yang kau hadapi!" Kakek yang tadinya menundukkan mukanya yang sedih itu kini memandang dengan penuh keheranan.

   "Siapakah kau, nona? Siapakah kau yang semuda ini telah dapat mengeluarkan ucapan seperti itu?"

   "Orang menyebutku Hwe-Thian Mo-Li, namaku Nyo Siang Lan. Sekarang lekaslah kau ceritakan kepadaku mengapa kau berlaku nekad seperti ini. Kalau kau sendiri tidak dapat memecahkan kesulitan yang kau hadapi, mungkin aku dapat menolongmu." Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.

   "Sulit, sulit..." Kemudian atas desakan Hwe-Thian Mo-Li ia lalu menuturkan keadaannya. Kakek itu bernama Lim Bun dan hidup berdua dengan anak perempuannya di kota Kang-leng dalam keadaan miskin sebagai seorang petani yang memiliki sebidang kecil sawah. Anak perempuannya telah menjadi janda yang ditinggal mati suaminya dengan peninggalam lima orang anak yang kesemuanya lalu tinggal bersama kakek mereka, yakni Lim Bun itu.

   Semenjak anak perempuan dan cucu-cucunya tinggal bersamanya dan hidup mereka menjadi tanggungannya, mulai sukarlah keadaan kakek ini. Biasanya ia hanya mencari nafkah untuk dirinya sendiri oleh karena anaknya telah mendapat perlidungan dari suaminya, akan tetapi sekarang ia harus dapat mencari makan untuk tujuh mulut. Tentu saja tenaganya yang sudah tua itu tidak kuat untuk mencari nafkah sebesar ini. Cucu-cucunya masih kecil dan yang sulung adalah seorang perempuan pula sehingga tenaga bantuannya tak banyak dapat diharapkan. Cucunya yang sulung itu telah berusia lima belas tahun dan dapat dibilang cantik juga. Makin lama makin sukarlah keadaan Lim Bun beserta cucu-cucunya Barang-barang yang kiranya laku dijual telah lama habis dan kini hanya tinggal sawah yang kecil itu saja yang masih ada.

   Namun agaknya Thian masih hendak menguji keuletan manusia di dunia, dan percobaan-percobaan berat diturunkan kepada manusia untuk diderita oleh makhluk-makhluk yang diturunkan di dunia tanpa mereka kehendaki sendiri itu. Musim kering berlangsung amat lamanya sehingga dari sebidang kecil sawah itupun tidak dapat diharapkan hasilnya. Tanahnya mengering, pecah dan retak-retak, sedikitpun tidak dapat ditumbuhi apa-apa melainkan rumput-rumput kering menguning. Di ambang pintu kelaparan, akhirnya Lim Bun dan anak perempuannya terpaksa lari ke sebuah rumah gadai yang istimewa. Rumah gadai ini amat besar dan pemiliknya adalah Santung-Taihiap Siong Tat yang amat berpengaruh dan disohorkan sebagai seorang hartawan besar yang royal. Ketika Lim Bun dengan terbongkok-bongkok memasuki rumah gadai ini, penjaga rumah gadai menanyakan apakah maksud kedatangannya.

   "Hamba hendak meminjam uang," jawab Lim Bun yang merendahkan diri sedemikian rupa terhadap pegawai itu karena mengharapkan pertolongan darinya. Pegawai rumah gadai mengerutkan dahinya.

   "Minta tolong pinjam uang? Di sini tidak mminjamkan uang tanpa ada barang tanggungan. Di sini adalah rumah gadai. Apakah kau mempunyai barang tanggungan?"

   "Hamba mempunyai sebidang sawah, siauwya (tuan muda)." Disebut "siauwya" yakni sebutan yang amat menghormat dan biasanya hanya ditujukan kepada orang-orang muda yang kaya atau berpangkat, pegawai rumah gadai yang masih muda itu berseri mukanya dan tersenyum, akan tetapi dahinya tetap dikerutkan.

   "Sawah? Siapakah yang menghargai sawah pada musim kering seperti ini? Lagi pula, di sini hanya menerima sesuatu yang dapat dibawa ke sini untuk disimpan sebagai tanggungan."

   "Siauwya, kasihanilah... hamba sudah tidak mempunyai apa-apa lagi kecuali sawah itulah, semua barang sudah kami jual untuk dimakan."

   "Hm, sukar juga, pak tua!" Kemudian pegawai rumah gadai itu menggigit-gigit tangkai pitnya seperti orang sedang berpikir keras. Tiba-tiba ia memandang dan bertanya dengan suara perlahan.

   "Apakah kau mempunyai anak atau cucu yang masih gadis?" Pertanyaan yang aneh ini membuat Lim Bun melenggong, akan tetapi ia menjawab juga.

   "Memang hamba mempunyai seorang cucu perempuan yang masih gadis bernama Siauw Kim, akan tetapi apakah hubungannya dengan urusan ini?" Orang muda di dalam kantor rumah gadai itu mengangguk-angguk dan tersenyum.

   "Kalau cucumu itu cantik, ia akan dapat dijadikan tanggungan untuk peminjaman uang.

   "Makin cantik, makin banyaklah kau dapat meminjam."

   "Apa...?" Untuk beberapa lama orang tua itu memandang dengan mata terbelalak.

   "Kau maksudkan... seorang gadis dapat di... digadaikan di sini...? Alangkah... alangkah..."

   "Sst, jangan mengeluarkan kata-kata yang tidak-tidak, Lopek." Pegawai itu menempelkan pit pada bibirnya untuk mencegah orang tua itu berkata lancang.

   "Yang mengeluarkan peraturan ini adalah Siong-Wangwe sendiri dan apakah buruknya itu? Orang miskin yang tidak mempunyai barang tanggungan tentu saja tak dapat meminjam uang, maka Siong-Wangwe lalu mendapatkan pikiran yang amat baik ini. Dengan menggadaikan anak perempuannya, orang dapat meminjam uang dan setelah ia mempunyai uang penebus, ia dapat menebus kembali anak perempuannya. Apakah salahnya itu? Anak perempuannya akan diurus baik-baik, disuruh bekerja membersihkan halaman dan pekerjaan wanita lainnya, diberi makan cukup!"

   "Akan tetapi... mengapa diukur dari kecantikannya...?" Orang muda pegawai rumah gadai itu tersenyum dan menahan gelak ketawanya.

   "Lopek, kau seperti anak kecil saja! Bukankah semua benda di dunia ini, baik itu berjiwa atau tidak, selalu dinilai orang karena kebagusannya? Nah, kau pulanglah dan pikirlah baik-baik, kau membiarkan sekeluargamu mati kelaparan atau datang menyerahkan cucumu untuk menjadi tanggungan di sini dan dapat meminjam uang. Kami menanggung bahwa cucumu itu takkan diganggu oleh siapapun juga dan akan dapat ditebus dalam keadaan baik dan sama sekali tidak terganggu. Akan tetapi, kalau sampai kau tidak dapat menebus pada waktunya dan waktu pembayaran itu telah habis, maka cucumu akan menjadi hak milik Siong-Wangwe dan dalam hal ini tentu saja dia dapat berlaku sekehendak hatinya terhadap hak miliknya!" Lim Bun menjadi pucat dan tanpa dapat bicara lagi ia lalu pergi dari rumah gadai itu dengan langkah terhuyung-huyung. Sepanjang jalan pikirannya bekerja keras. Haruskah ia menggadaikan cucu perempuannya, Siauw Kim yang manis? Haruskah ia mengorbankan perasaan dan kehormatan gadis cucunya itu untuk menolong keluarganya?

   Ah, tidak, tidak! Sekali lagi tidak! Biarpun ia miskin, ia masih mempunyai keangkuhan untuk melakukan hal itu. Sungguhpun ia harus mati kelaparan, ia tidak suka melihat cucunya itu dijadikan barang tanggungan yang tentu akan merendahkan nama baiknya, sebagai seorang anak gadis. Akan tetapi, keangkuhan hatinya itu buyar sama sekali ketika sampai di rumah gubuknya disambut oleh tangisan-tangisan yang menyayat kalbu. Ternyata bahwa cucunya yang bungsu, yang menderita sakit panas ketika ditinggalkannya tadi, kini telah meninggal dunia. Di dalam kehancuran hati mereka, ibu Siauw Kim dan gadis itu sendiri masih teringat kan kebutuhan uang guna pengurusan jenazah anak kecil itu dan juga untuk membeli makanan bagi anak-anak yang lain yang sudah menderita lapar semenjak kemarin.

   "Bagaimana, Ayah? Berhasilkah usahamu mencari pinjaman ke rumah gadai?" tanya anak perempuannya dengan suara terisak. Lim Bun menjatuhkan diri di atas tanah karena mereka tidak mempunyai tempat duduk dari bangku lagi dan tak tertahan lagi kakek ini lalu menangis. Kemudian di antara sedu sedan dan elahan napasnya ia menceritakan tentang usul pegawai rumah gadai itu. Mendengar betapa rumah gadai itu minta anak perempuannya untuk dijadikan barang tanggungan, nyonya itu menangis sedih.

   "Alangkah kejamnya!" katanya sambil memeluk anaknya yang juga menangis sedih.

   "Ibu, biarlah... biarlah aku pergi ke sana, biar aku dijadikan barang tanggungan, asal Kong-kong bisa mendapatkan uang guna membeli makan untuk adik-adikku..." kata Siauw Kim dengan gagahnya.

   "Tidak, tidak... bagaimana kalau kita tidak dapat menebusmu kembali?" kata ibunya sedangkan Lim Bun tak dapat berkata sesuatu seperti orang kehilangan akal.

   "Tentu bisa, ibu, Bukankah uang pinjaman itu sebagian besar dapat dipergunakan untuk membeli bibit padi? Musim hujan mulai tiba dan sawah kita tentu akan menghasilkan padi!" Mendengar ucapan cucunya ini, dengan terharu Lim Bun lalu berdiri dan memegang kedua pundak Siauw Kim.

   "Cucuku yang baik, memang hanya kaulah pada saat ini yang dapat menolong nyawa kita sekeluarga. Percayalah, Thian masih cukup adil untuk memberi berkah kepada sawah kita sehingga penghasilannya cukup untuk dipergunakan menebusmu kelak." Demikianlah, dengan hati hancur kakek ini pada keesokan harinya mengantar cucunya ke rumah gadai itu. Ia diterima oleh pegawai rumah gadai yang tersenyum-senyum memandang gadis berusia lima belas tahun ini. Dipandangnya dari kepala sampai ke kaki, seakan-akan sedang menaksir nilai sebuah benda yang digadaikan. Kemudian ia mengangguk-angguk dan menulis pada sehelai surat gadai sambil bersungut-sungut.

   "Kecantikannya cukup, potongan badan boleh, hanya sayang agak kurus dan pucat!"

   "Se... semenjak kemarin ia belum... makan..."kata Lim Bun dengan hati seperti diremas-remas.

   "Hm, seharusnya aku hanya berani memberi lima puluh tail, akan tetapi karena kasihan, biarlah kuberi tujuh puluh tail dalam waktu dua bulan. Bunganya seperlima bagian dan harus dikembalikan paling lambat tepat pada dua bulan kemudian. Kalau dalam waktu dua bulan belum terbayar, cucumu ini menjadi hak milik Siong-Wangwe." Kakek itu membelalakkan matanya,.

   "Hanya tujuh puluh tail...? Kau hargai cucuku hanya untuk tujuh puluh...?" Hampir saja kakek itu melempar surat gadai dan uang itu kembali ke meja pegawai rumah gadai, akan tetapi Siauw Kim lalu memegang tangan Kong-kongnya dan memandangnya dengan mata mengembang air mata.

   "Kong-kong, tujuh puluh tail perak sudah cukup untuk membeli benih. Kerjakanlah sawah kita baik-baik agar dapat menghasilkan uang penebusan diriku." Dengan mata penuh air mata yang perlahan-lahan mengalir ke pipinya yang kisut, kakek itu melihat betapa cucunya dengan muka tunduk mengikuti seorang pegawai rumah gadai masuk ke dalam, entah kemana. Dengan tersuruk-suruk Lim Bun lalu pulang ke rumahnya. Memang sekeluarganya tertolong dari bahaya kelaparan dengan uang itu dan jenazah cucu bungsunya dapat dikubur dengan pantas. Akan tetapi, ternyata bahwa musim hujan pada waktu itu amat kikir dengan air hujannya.

   Hanya sedikit saja hujan turun di bagian di mana terdapat sawah kakek Lim Bun dan hujan banyak turun di bagian lain. Untuk mengairi sawahnya, terpaksa Lim Bun mengandalkan aliran anak sungai yang dibanjiri air dari daerah lain. Ia bekerja keras dibantu oleh anak perempuannya dan cucu-cucunya yang masih kecil, mencangkul tanah yang keras dan membuat selokan untuk mengalirkan air ke dalam sawahnya. Kemudian sisa uang itu dibelikannya benih-benih padi yang disebar disawahnya. Biarpun waktu penebusan diri Siauw Kim hanya dua bulan, akan tetapi kalau padi di sawahnya sudah berusia dua bulan dan sudah nampak gemuk-gemuk dan subur, dengan mudah ia dapat menjual padi itu kepada orang-orang kaya yang biasa membeli isi sawah sebelum panen dengan harga jauh lebih murah.

   Akan tetapi, ternyata bahwa Siong Tat dan kaki tangannya benar-benar amat kejam. Melihat betapa Siauw Kim setelah mendapat makan cukup dan pakaian pantas, kelihatan cantik dan manis sekali, Siong Tat merasa sayang kalau anak perempuan itu sampai dapat tertebus oleh Lim Bun. Diam-diam ia lalu memberi perintah kepada anak buahnya dan sebulan kemudian, ketika sawah dari Lim Bun sudah mulai nampak penuh dengan batang padi menghijau, pada suatu pagi Lim Bun dengan terkejut melihat betapa sawahnya telah rusak binasa. Semua batang padi yang masih muda itu telah dicabuti orang dan rusak sama sekali. Lim Bun menjadi pucat dan hampir saja ia menjadi pingsan melihat keadaan sawahnya ini. Sambil berlari-lari ke sana ke mari, ia berteriak-teriak.

   "Siapa yang mencabuti padiku...? Ah, manusia mana yang demikian kejam melakukan bencana ini kepadaku...? Siapa yang mencabuti padiku...?" Orang-orang lain yang bekerja di sawah mereka, melihat dengan kasihan sekali kepada kakek yang hampir menjadi gila itu. Seorang tetangga yang tahu baik keadaan Lim Bun, lalu menghampirinya dan memegang tangannya.

   "Kim-Lopek, kalau bukan kaki tangan Siong-Wangwe yang malam tadi melakukan perbuatan terkutuk ini, siapa lagi yang berani melakukannya?" Lim Bun terbelalak memandang orang itu.

   "Akan tetapi mengapa? Mengapa??" Orang itu hanya mengangkat pundaj dan melanjutkan pekerjaannya setelah melempar pandang penuh iba hati kepada kakek itu.

   "Bangsat kejam Siong Tat! Aku harus membuat perhitungan!" teriak kakek itu dan ia segera berlari-lari menuju rumah gedung Siong Tat. Akan tetapi, sebelum ia memasuki halaman rumah gedung itu, ia telah diusir oleh lima orang penjaga dan ia segera dilempar keluar ketika ia berkeras hendak mencari Siong-Wangwe. Lim Bun bangun lagi dan kini ia berlari ke rumah gadai yang berada di dekat rumah gedung itu. Ia berlari masuk dan ketika tiba di depan meja pegawai rumah gadai, ia berteriak keras sambil menggebrak meja.

   "Kembalikan cucuku! Lepaskan Siauw Kim! Kalian telah sengaja merusak sawahku agar aku tidak dapat menebus Siauw Kim! Kalian bangsat-bangsat kurang ajar yang berhati iblis! Lepaskan Siauw Kim cucuku!" Pegawai rumah gadai itu keluar diikuti beberapa orang tukang pukul. Tukang-tukang pukul itu hendak turun tangan terhadap kakek yang membikin ribut ini, akan tetapi pegawai itu mengangkat tangan mencegah, lalu sambil tersenyum-senyum ia berkata kepada Lim Bun.

   "Kakek tua, agaknya kau sudah pikun! Kau tidak becus mengurus sawahmu, janganlah kau persalahkan itu kepada orang lain. Kau sudah menggadaikan cucumu dan waktu dua bulan masih kurang dua minggu lagi. Kalau kiranya kau sudah tak sanggup menebus cucumu, relakanlah saja cucumu menjadi hamba sahaya Siong-Wangwe karena keadaannya akan lebih senang dari pada menjadi cucumu. Nah, lihatlah, Siong-Wangwe bahkan memberi tambahan tiga puluh tail perak kepadamu kalau kau tidak menebus cucumu!" Pegawai itu lalu mengeluarkan setumpuk uang perak di atas meja dihadapan kakek itu. Akan tetapi Lim Bun menampar uang itu sehingga berdentingan jatuh di atas lantai.

   "Tidak sudi! Aku tidak sudi uang yang kotor ini! Lekas lepaskan cucuku, kalau tidak aku akan melaporkan kepada tikoan!" Kini pegawai itu memberi tanda dengan matanya dan dua orang tukang pukul lalu melangkah maju, memegang lengan kakek itu dan sekali ayun saja tubuh kakek itu melayang keluar dari rumah itu.

   Lim Bun memekik dan tubuhnya jatuh berdebuk di atas tanah. Untung bagi kakek tua ini bahwa ia terjatuh dengan tubuh belakang lebih dulu, kalau kepalanya yang jatuh lebih dulu, banyak kemungkinan ia akan tewas. Namun karena ia sudah tua dan lemah, kejatuhannya itu cukup membuat ia sampai lama tak dapat bangun. Beberapa orang yang menaruh hati kasihan lalu menolongnya bangun. Sambil menangis dan memaki-maki, Lim Bun langsung menuju ke rumah pembesar kota itu menghadap melaporkan keadaannya. Akan tetapi setelah tikwan itu memeriksa surat gadai, di situ ia membaca tulisan yang menyatakan bahwa anak perempuan Siauw Kim telah dijual sebagai budak kepada Siong-Wangwe seharga seratus tail perak. Kakek itu ternyata buta huruf dan tak dapat membaca surat penjualan yang disangkanya surat gadai biasa ini.

   "Orang tua, kau telah menjual anakmu dengan suka rela dan sah, mengapa sekarang kau hendak mungkir janji dan hendak membuat ribut? Tidak tahukah kau bahwa Siong-Wangwe adalah seorang sopan dan mulia hatinya? Untuk kekurang ajaranmu ini seharusnya kau dihukum dengan lima puluh kali sambukan pada punggungmu, akan tetapi mengingat bahwa kau sudah tua dan mungkin otakmu agak miring, kau hanya diberi hukuman peringatan sepuluh kali cambukan!" Hakim yang bijaksana dan adil bagi orang-orang hartawan ini lalu membuat perintah kepada algojonya yang cepat merobek baju kakek itu, menendang lututnya sehingga kakek itu roboh tertelungkup dan menghantam punggung kakek itu sepuluh kali dengan cambukan yang besar.

   Kakek itu tentu saja menangis menggerung-gerung karena sakitnya. Kulit punggungnya pecah dan
berdarah, namun sakit di dalam hatinya masih jauh lebih besar dari pada sakit pada punggungnya. Ia lalu diusir seperti anjing dan dengan terhuyung-huyung dan terpincang-pincang kakek ini lalu keluar dari rumah pengadilan itu. Bagaimana ia dapat menyampaikan warta ini kepada anaknya dan cucu-cucunya di rumah? Kakek ini menjadi bingung sekali dan ia lalu mengambil keputusan nekat. Bunuh diri! Mendengar penuturan kakek Lim Bun yang telah berputus asa dan hendak membunuh diri itu, Hwe-Thian Mo-Li menjadi marah sekali. Sepasang alisnya yang hitam dan bagus bentuknya itu berkerut dan sepasang matanya memancarkan cahaya berkilat.

   "Keparat jahanam!" sambil menggigit bibir saking gemasnya ia memaki, kemudian ia bertanya kepada kakek itu.

   "Lim-Lopek, sudah banyakkah terjadi penggadaian manusia itu?" Lim Bun menghela napas.

   "Setelah kutanya-tanyakan kepada beberapa orang, memang sudah banyak jumlahnya anak perempuan yang digadaikan seperti halnya cucuku Siauw Kim itu. Akan tetapi siapakah orangnya yang berani melawan Santung-Taihiap Siong Tat yang selain kaya raya dan berkepandaian tinggi, juga agaknya dilindungi oleh pembesar setempat?"

   "Kurang ajar! Akulah yang berani melawannya, Lopek. Jangan kau kuatir. Pulanglah dengan tenang dan tunggulah saja. Hari ini juga akan kubawa pulang cucumu Siauw Kim!" Setelah berkata demikian, Hwe-Thian Mo-Li Nyo Siang Lan lalu merogoh saku bajunya dan memberi beberapa potong uang perak kepada kakek itu. Lim Bun menerima pemberian itu dengan amat berterima kasih, akan tetapi ia masih ragu-ragu apakah gadis muda cantik jelita ini akan sanggup menghadapi Siong Tat.

   "Lihiap," katanya dengan suara terharu,

   "Kau amat berbudi dan gagah perkasa. Akan tetapi kau seorang diri dan Siong Tat mempunyai banyak sekali kaki tangan. Kalau kau sampai mendapat celaka di tangan mereka yang kejam, bukankah dosaku akan makin bertambah?"

   "Jangan pikirkan hal ini, Lopek. Kau percayalah saja kepadaku. Kalau perlu, semua kaki tangan jahanam itu akan kubunuh mampus dan pembesar keparat itupun akan mendapat bagiannya!" Sebelum kakek itu dapat berkata sesuatu, tubuh nona itu berkelebat dan lenyap dari depan matanya.

   Tentu saja Lim Bun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia tidak percaya akan pandangan matanya. Mimpikah dia tadi? Akan tetapi tidak, karena uang perak beberapa potong itu masih berada ditangannya. Mungkin ia bukan manusia, pikirnya, akan tetapi seorang dewi. Kakek itu lalu berlutut dan untuk beberapa lama mulutnya berkemak-kemik membaca doa menghaturkan terima kasih. Dengan hati penuh dibakar api kemarahan, Siang Lan mempergunakan ilmu berlari cepat memasuki kota Kang-leng. Mudah saja ia mendapat keterangan di mana adanya rumah gadai dari Siong-Wangwe dan melihat rumah gadai yang besar dan terjaga oleh lima orang yang tinggi besar, ia segera berjalan masuk dengan langkah lebar. Para penjaga itu memandang kepadanya dengan senyum menyeringaisebagaimana biasanya laki-laki mata keranjang melihat wanita cantik.

   "Aduh, nona manis!" seru seorang di antara mereka yang termuda sambil senyum-senyum,

   "Kau hendak menggadaikan apakah? Kalau kau perlu uang, biarlah aku saja yang memberi pinjam kepadamu. Mari kau ikut aku pulang ke rumahku, maukah?" Mendengar ucapan ini, kemarahan di dalam dada Siang Lan meluap-luap. Ia berhenti bertindak dan memandang kepada lima orang penjaga itu dengan mata mengancam akan tetapi mulutnya tersenyum.

   "Aku memang mau menggadaikan sesuatu di rumah gadai ini."

   "Menggadaikan apakah nona?" tanya penjaga itu sambil melangkah maju.

   "Hati-hati jangan sampai kau terlihat oleh Siong-Wangwe, lebih baik kau turut kepadaku dan segala kebutuhanmu akan kucukupi. Mari nona manis. Marilah..." tangan penjaga itu secara krang ajar diulurkan kepadanya hendak memegang lengannya.

   "Kaulah yang hendak kugadaikan!" tiba-tiba Siang Lan menggerakkan tangannya dan sebelum penjaga yang mata keranjang itu dapat mengelakkan diri, ia telah terkena tiam-hwat (totokan) dari Siang Lan.

   Saking gemasnya Siang Lan telah menotok dengan tenaga kuat sekali sehingga penjaga itu roboh dalam keadaan kaku dan mata mendelik. Empat orang penjaga lain yang melihat kawan mereka dirobohkan oleh seorang gadis cantik, menjadi terkejut dan segera maju menyerbu untuk menangkap Siang Lan. Mereka masih memandang ringan dan tidak mempergunakan senjata, hanya mengulurkan tangan untuk menangkap gadis itu. Akan tetapi, begitu tubuh Siang Lan bergerak dan kedua kaki tangannya bekerja, empat tubuh penjaga itu terlempar ke sana ke mari dibarengi teriakan ngeri. Mereka terbanting roboh tanpa dapat bangun kembali. Peristiwa ini terjadi di pintu gerbang rumah gadai itu, di dekat jalan raya sehingga banyak orang yang menyaksikan.

   Orang-orang ini menjadi terheran-heran melihat betapaseorang gadis muda yang cantik berani mengamuk dan mengacaukan rumah gadai Siong-Wangwe, bahkan kini telah merobohkan lima orang penjaga yang biasanya amat ditakuti dan lebih galak dari pada lima ekor anjing penjaga itu. Hal ini amat menarik perhatian dan sebentar saja banyaklah orang berkerumun di tempat itu. Akan tetapi Siang Lan tidak memperdulikan semua orang itu, lalu ia membungkukdan menjambak rambut penjaga mata keranjang tadi, lalu diseretnya menghampiri rumah gadai. Beberapa orang menjadi makin tertarik dan memberanikan diri untuk ikut masuk dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka melihat gadis muda itu membawa tubuh penjaga sampai di depan meja pegawai rumah gadai yang bangun berdiri dari kursinya dan memandang dengan mata terbelalak.

   "Kau siapa dan apakah maksud kedatanganmu?" tanya pegawai itu dengan hati kebat-kebit. Ia telah melihat bahwa yang diseret masuk itu adalah seorang penjaga, akan tetapi tentu saja ia tidak berani menegur karena ia adalah seorang ahli menulis surat gadai saja. Siang Lan tertawa menghina ketika mendengar pertanyaan ini.

   "Apakah matamu buta? Aku datang hendak menggadaikan orang. Inilah dia!" Ia lalu menjambak rambut penjaga yang tubuhnya kaku dan mata mendelik itu, diangkatnya dan dilemparkannya ke atas meja besar di depan pegawai itu. Tentu saja pegawai itu menjadi pucat ketakutan dan tubuhnya menggigil. Ia merasa ngeri melihat penjaga itu matanya mendelik dan tubuhnya kaku seperti patung.

   "Ti... Tidak... di sini tidak menerima penggadaian orang..." katanya gagap.

   "Ah, tidak menerima, ya? Kalau anak gadis dari kakek Lim yang bernama Siauw Kim, bukankah itu orang juga? Awas, jangan kau main-main!" bentak Siang lan.

   "Hayo lekas tulis surat gadainya! Dan aku minta benda busuk ini dihargai seratus ribu uang emas!" Pegawai itu melongo dan wajahnya menjadi makin pucat. Ia maklum bahwa wanita gagah ini tentu datang hendak membikin ribut, maka ia menjadi serba salah. Ia memandang kepada kawan-kawannya yang juga sudah berkumpul di belakangnya dan ia berkata kepada mereka,

   "Mengapa kalian diam saja? Lihiap ini hendak menggadaikan orang dan minta seratus ribu. Di mana kita ada uang sebanyak itu? Mana Tang-Kauwsu dan Li-Kauwsu? Mengapa tidak lekas memberi laporan kepada Siong-Wangwe supaya membawa uang itu kemari?" Siang Lan maklum bahwa orang ini hendak mencari bala bantuan, akan tetapi ia tidak perduli dan bahkan membentak.

   "Hayo lekas tulis surat gadainya!" Pegawai itu makin ketakutan dan gelisah akan tetapi melihat kawan-kawannya lari ke belakang, ia menjadi lega karena tak lama lagi tentu datang bala bantuan. Ia memaksa mulutnya tersenyum dan menjawab,

   "Sabarlah nona. Kita sedang berurusan dengan uang yang besar jumlahnya. Apakah tidak lebih baik nona duduk dulu? Ini... benda yang kau gadaikan ini...ia terlalu besar..." Ia menunjukkan kepada tubuh penjaga yang melintang di atas mejanya.

   "Terlalu besar, ya?" tiba-tiba Siang Lan mencabut pedangnya sehingga sinar pedang yang tajam berkilau menyilaukan mata. Dengan sedikit gerakan pedangnya ke arah kepala penjaga itu, putuslah sebelah telinga penjaga mata keranjang itu dan Hwe-Thian Mo-Li lalu melemparkan tubuh itu ke atas lantai. Ia menunjuk ke arah daun telinga yang kini berada di atas meja lalu berkata.

   "Nah biarlah kau terima daun telinganya saja, supaya lebih kecil dan mudah disimpan." Penjaga itu makin ketakutan dan semua orang yang menonton diam-diam merasa terkejut juga. Nona ini datang mencari perkara, pikir mereka dengan hati berdebar-debar. Memang sesungguhnya telah lama penduduk Kang-leng menderita di bawah kekejaman Siong Tat dan kaki tangannya dan sekarang melihat seorang gadis gagah sengaja datang mengacaukan rumah gadai ini, tentu saja mereka tertarik sekali dan diam-diam berpihak kepada gadis ini.

   "Hayo lekas keluarkan uang dan tulis surat gadainya!" kembali Siang Lan berseru mengancam.

   "A... Aku ti... tidak bisa..." pegawai itu berkata hampir menangis saking takutnya.

   "Bangsat hina dina! Kalau menerima penggadaian seorang gadis, kau bisa menawar dan membuat suratnya, ya? Bagus, orang macam kau ini tidak patut memegang pit dan menulis lagi!" Dua kali pedang di tangan Siang Lan berkelebat dan pegawai itu berteriak ngeri lalu terhuyung-huyung roboh dengan kedua tangan berdarah, Ternyata bahwa sepuluh buah jarinya tinggal setengahnya saja sehingga kalau sudah sembuh, biarpun ia masih dapat melakukan pekerjaan kasar lainnya, jangan harap akan dapat menggerakkan alat tulis yang halus.

   Pada saat itu, dari belakang berlari mendatangi dua orang yang berpakaian seperti Guru Silat dan di belakangnya masih nampak tujuh orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan berwajah kejam. Dua orang ini adalah Tang-Kauwsu dan Li-Kauwsu, dua orang Guru Silat yang menjadi kepala penjaga di situ. Oleh karena dua orang Guru Silat ini telah memiliki ilmu silat yang tinggi juga, maka Siong Tat mengangkat mereka sebagai kepala penjaga dan menyerahkan segala urusan kekerasan kepada mereka dan murid-murid mereka yang menjadi penjaga. Ketika melihat seorang penjaga rebah di atas lantai dalam keadaan kaku dan sebelah telinganya putus sedangkan pegawai rumah gadai itu masih mengaduh-aduh di bawah meja tulisnya, Tang-Kauwsu dan Li-Kauwsu lalu mencabut golok mereka.

   "Dari mana datangnya gadis liar yang membuat ribut?" tanya Tang-Kauwsu dengan mata mendelik marah. Melihat dua orang Guru Silat dan tujuh orang penjaga itu, Siang Lan tersenyum mengejek dan berdiri sambil bertolak pinggang,. Tangan kanannya yang memegang pedang ditudingkan ke arah mereka, lalu berkata,

   "Ah, tidak tahunya di sini banyak terdapat anjing penjaga! Pantas saja orang-orang menjadi takut. He, anjing-anjing buduk pemakan sampah, lekas kau suruh jahanam yang bernama Siong Tat keluar. Aku hendak menebus dan mengambil barang yang dulu kugadaikan padanya!" Li-Kauwsu yang lebih tua dan banyak pengalaman, ketika melihat sikap gadis ini dan melirik keluar melihat betapa empat orang penjaga lainnya juga rebah di atas tanah, maklum bahwa gadis ini bukanlah orang biasa. Ia menjura kepada Siang Lan dan berkata,

   "Nona, seungguhnya ada keperluan apakah maka nona datang di sini dan apakah sebabnya nona mengadakan keributan ini? Kalau ada kesalahan di pihak kawan kami, hendaknya urusan ini dirundingkan dengan baik-baik sebagaimana layaknya kita orang-orang kang-ouw berurusan."

   "Anjing tua, kau telah menjadi anjing penjaga dari jahanam Siong Tat, masih dapat bicara tentang peraturan kang-ouw? Sungguh menjemukan! Dengarlah, dulu aku telah menggadaikan kepala dari manusia she Siong itu kepadanya dan karena telah terlalu lama ia memakai kepala itu, kini hendak kuminta kembali!" Mendengar ucapan ini, tidak saja kedua orang Kauwsu dan kawan-kawannya yang menjadi terkejut, bahkan para penduduk yang menonton di situpun menjadi kaget sekali. Alangkah beraninya nona cantik ini menghina Siong-Wangwe yang berjuluk Santung-Taihiap. Tang-Kauwsu yang mendengar ucapan ini tidak dapat menahan kemarahannya lagi, maka sambil berseru keras ia lalu maju menyerbu dengan goloknya.

   Li-Kauwsu terpaksa juga maju pula menyerang dengan goloknya, diikuti oleh tujuh orang kawan mereka sehingga sebentar saja Siang Lan terkurung oleh sembilan orang. Para penonton menjadi terkejut dan mundur ke tempat yang aman dengan hati kebat-kebit, karena bagaimanakah seorang gadis jelita seperti itu dapat menghadapi keroyokan sembilan orang ahli-ahli silat kaki tangan Siong-Wangwe? Akan tetapi kekhawatiran hati para penonton itu terganti oleh kekagetan dan kekaguman. Begitu melihat dirinya dikeroyok, Siang Lan lalu berseru panjang dan pedangnya berkelebat cepat sekali sehingga yang nampak hanyalah gulungan sinar yang menyilaukan mata. Gerakan ini disusul dengan jeritan dan robohnya dua tubuh penjaga yang telah kena terbabat pundaknya. Tang-Kauwsu dan Li-Kauwsu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa gadis ini selihai itu. Mereka lalu mengurung makin rapat dan menyerang dengan betubi-tubi.

   Siang Lan memutar pedangnya dan dengan mainkan ilmu pedang Liong-Cu Kiam-Hwat, jangankan baru pengeroyok yang kini tinggal tujuh orang jumlahnya, biar ditambah sepuluh lagi ia masih sanggup menghadapinya. Di antara para pengeroyok itu, yang tertinggi ilmu kepandaiannya hanyalah Tang-Kauwsu dan Li-Kauwsu saja, terutama Li-Kauwsu agak kuat ilmu goloknya. Namun kini menghadapi ilmu pedang dari Siang Lan, mereka itu hanya merupakan segerombolan anak-anak kecil yang mengeroyok seorang dewasa. Jeritan susul menyusul ketika Siang Lan menggunakan pedangnya bersilat dengan gerak tipu Halilinta Menyambar-nyambar di Hujan Lebat. Kembali empat orang telah dapat digulingkan sekali gus sehingga pengeroyoknya tinggal tang-Kauwsu, Li-Kauwsu dan seorang penjaga lagi.

   "A-siok, lekas beritahukan kepada Taihiap!" seru Tang-Kauwsu kepada penjaga yang seorang itu sambil memutar goloknya menahan gerakan pedang Siang Lan yang luar biasa.

   "Bukan dia yang harus melaporkan kepada jahanam she Siong!" Siang Lan berseru dan begitu pedangnya meluncur cepat, tubuh penjaga itupun terguling roboh.

   "Sekarang giliranmu!" bentak Siang Lan kepada Tang-Kauwsu sambil menusuk dengan gerakan Lai-liong-sin-jiauw (Naga Mas Menggeliat). Gerakan ini amat sukar ditangkis, karena jalannya pedang tidak lurus dari depan dan dilakukan dengan kecepatan yang tak terduga.

   Tang-Kauwsu mencoba untuk mengelak, sedangkan Li-Kauwsu tentu saja tak tinggal diam dan mencoba untuk menolong kawannya dengan serangan kilat dari belakang gadis lihai itu. Akan tetapi, dengan ringan sekali Siang Lan lalu mengangkat kaki kanannya memutar sedikit tubuhnya dan sebelum golok di tangan Li-Kauwsu mengenai tubuhnya, Guru Silat she Li itu menjerit kesakitan dan goloknya terlepas dari pegangan karena pergelangan tangannya telah terkena tendangan Kim-Hong-Twi. Adapun serangan pedang Hwe-Thian Mo-Li ke arah Tang-Kauwsu itu masih diteruskan, dan akhirnya Tang-Kauwsu memekik kesakitan. Goloknya terpental dan jatuh ke atas lantai, di susul oleh tubuhnya yang terhuyung-huyung dan kemudian roboh pula tak sadarkan diri. Sebelah lengannya, yakni yang sebelah kanan, telah terbabat putus oleh pedang si gadis itu.

   "Nah, kau beritahukanlah kepada majikanmu!" kata Siang Lan kepada Guru Silat she Li yang masih memegangi tangan kanannya. Siang Lan sengaja mengampuni Guru Silat ini oleh karena ia melihat Guru Silat ini lebih pantas sikapnya dari pada yang lain. Akan tetapi sebelum Li-Kauwsu pergi, tiba-tiba terdengar suara ketawa menyeramkan dari sebelah dalam.

   "ha, ha, ha kedua Kauwsu dan kawan-kawanmu yang demikian banyak jumlahnya tak dapat mengalahkan seekor kucing betina liar ini? Sungguh memalukan!" Ternyata yang keluar itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, akan tetapi matanya bersinar liar, ganas, dan cabul. Pakaiannya gagah sekali, seperti pakaian seorang pendekar silat, akan tetapi terbuat dari pada sutera halus yang berkembang di sana sini dan memakai pita benang emas. Di pinggangnya tergantung sarung pedang dengan dua gagang pedang, tanda bahwa orang ini biasa menggunakan siangkiam (sepasang pedang).

   "Li-Kauwsu," kata orang itu kepada Guru Silat yang masih memegangi lengan kanan dengan muka sakit,

   "lekas singkirkan gentong-gentong nasi yang tiada gunanya ini ke belakang!" Li-Kauwsu dengan bantuan kawan-kawannya yang tidak ikut mengeroyok dan tidak menjadi kurban keganasan Hwe-Thian Mo-Li, lalu menggotong tubuh para penjaga itu ke belakang sehingga lantai itu kini menjadi bersih, hanya masih nampak darah berceceran di sana-sini. Sementara itu para penonton ketika melihat betapa kini Santung Taihiap Siong Tat sendiri yang keluar, menjadi ketakutan dan segera keluar dari pekarangan rumah gadai itu, dan hanya menonton dari pinggir jalan.

   "Sayang, sayang...!" kata Siong Tat menyembunyikan kemarahannya di balik senyumnya yang menarik.

   "Kucing yang begini bagus bulunya ternyata amat liar dan ganas. Eh, boca, siapakah kau dan mengapa kau datang mengacaukan tempatku?" Semenjak tadi Siang Lan memandang kepada Siong Tat dengan mata tajam. Inikah musuh Suhunya? Kebenciannya meluap-luap dan ia menjawab singkat.

   "Siong Tat manusia busuk! Agar jangan mati penasaran, ketahuilah bahwa aku adalah Hwe-Thian Mo-Li Nyo Siang Lan!" Siong Tat belum pernah mendengar nama julukan yang menyeramkan ini karena memang Hwe-Thian Mo-Li belum lama beraksi di dunia kang-ouw. Sebagai seorang yang berpengalaman dalam kalangan kang-ouw, dan memiliki kepandaian tinggi, tentu saja ia tidak gentar mendengar nama julukan sehebat itu. Ia bahkan tertawa menghina.

   "Hwe-Thian Mo-Li? Sungguh julukan yang tidak patut bagimu yang begini cantik! Hwe-Thian Mo-Li, sebenarnya apakah maksud kedatanganmu ini?"

   "Kau belum mendengar? Aku datang untuk menebus barang yang kugadaikan di sini."

   "Barang apakah yang kau maksudkan?" Siong Tat bertanya heran.

   "Apalagi kalau bukan kepalamu!"

   "Kurang ajar!" seru Siong Tat sambil mencabut keluar sepasang pedangnya, akan tetapi ia masih tersenyum.

   "Kau kurang ajar dan lucu. Sejak kapankah kau menggadaikan kepalaku? Dan mana surat gadainya?" Ia hendak bersikap lucu agar tidak kalah hati, karena ia maklum bahwa menghadapi seorang lawan yang tangguh tidak boleh menurutkan nafsu hati dan marah.

   "Sejak kau menjadi kaya raya, dan surat gadainya adalah nyawa dari Suhuku Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu!" Kini terkejutlah Siong Tat demi mendengar bahwa gadis cantik yang ganas ini adalah murid dari Ong Han Cu. Akan tetapi ia masih dapat menyembunyikan rasa takutnya.

   "Ah, jadi kau adalah murid setan tua itu? Pantas saja kau begitu ganas. Jadi kau datang karena kau merasa rindu kepada Suhumu dan hendak menyusul ke neraka? Baik, baik! Mari kuantar kau menjumpai Suhumu."

   Dan tiba-tiba saja, tanpa peringatan lebih dulu, Santung Taihiap Siong Tat menubruk maju dengan sepasang pedangnya. Kedua pedang ini digerakkan dengan cepat dan berbareng, melakukan dua macam serangan. Dengan merobah kedudukan kakinya dan setengah berjongkok, tiba-tiba ia menusukkan pedang di tangan kiri ke arah ulu hati lawannya dan pedang kanan membabat kedua kaki. Inilah gerak tipu yang disebut Pengembala Menyabit Rumput yang lihai dan berbahaya sekali. Biarpun diserang dengan tiba-tiba tanpa peringatan, Siang lan yang selalu bersikap waspada tidak menjadi gugup karenanya. Ia pergunakan ginkangnya yang sudah sempurna untuk mengenjot kedua kakinya sehingga tubuhnya mumbul ke atas dan tusukan pedang kiri lawannya itu ditangkis dengan pedangnya yang diputar ke bawah.

   "Siuuut!" pedang kiri Siong Tat menyambar ke bawa kaki gadis itu dengan cepat dan mengeluarkan angin, kemudian disusul oleh bunyai nyaring "traaang!" ketika pedang kanannya terbentur oleh tangkisan pedang Siang Lan. Melihat kegesitan lawan, Siong Tat tak berani memandang ringan dan ia mempergunakan kesempatan ketika tubuh gadis itu masih berada di atas, cepat menyusul serangannya dengan kedua pedangnya diguntingkan dari kiri ke kanan. Dan babatan pedang ke arah tubuh ini adalah sebuah serangan yang sungguh-sungguh berbahaya sekali karena tubuh Siang lan masih belum turun ke bawah. Akan tetapi, gadis perkasa itu tidak menjadi gentar. Dengan cepat ia memukul pedangnya ke kanan, yakni ke arah pedang kiri lawan yang datang lebih dulu, dibarengi dengan pengerahan tenaga ginkangnya.

   Ketika kedua pedang bertemu, ia meminjam tenaga pertemuan ini dan melemparkan tubuhnya ke belakang berjungkir balik beberapa kali dalam bentuk poksai (salto) yang indah dan ia telah berhasil menggunakan ilmu lompat Kim-Tiauw-Hoan-Sin (Rajawali Emas membalikkan Tubuh) dengan baik sekali. Karena gerakannya yang cepat ini, maka ia berhasil melepaskan diri dari sambaran pedang kanan lawannya yang tadi menyusul cepat. Kalau Siong Tat merasa kagum melihat kelihaian ginkang dari lawannya, adalah Siang lan juga terkejut melihat kelihaian ilmu pedang dari Santung Taihiap ini. Gadis ini maklum bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh, maka ia berlaku hati-hati sekali dan sebelum lawannya sempat menyerang lagi, ia telah mendahului dan menyerbu dengan gerakan-gerakan ilmu pedang Liong-Cu Kiam-Hwat yang selain cepat, juga kuat dan tidak terduga perubahannya.

   Siong Tat memang amat takut kepada Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu dan maklum bahwa ilmu pedang dari Raja Pedang Bertangan Delapan itu amat tinggi. Kalau tidak takut, tidak nanti ia ikut bersekutu menjatuhkan pendekar itu dengan curang sekali. Sungguhpun ia takut terhadap ilmu pedang Liong-Cu Kiam-Hwat, namun melihat usia murid Raja pedang yang masih mudah ini, ia berbesar hati. Apalagi karena dua serangannya yang pertama tadi membuat ia menang kedudukan, maka hatinya makin tabah. Akan tetapi, setelah kini ia menghadapi gadis itu yang mulai mainkan ilmu pedangnya, diam-diam ia merasa terkejut sekali. Ia melihat betapa pedang gadis ini berkelebatan bagaikan kilat menyambar dan gulungan sinar pedang ini demikian kuat dan menyilaukan matanya.

   Tak pernah disangkanya bahwa ilmu pedang Liong-Cu Kiam-Hwat ternyata dapat dimainkan dengan cara yang begini dahsyat dan ganasnya. Baru bertempur belasan jurus saja, kepalanya telah menjadi pening karena matanya harus mengikuti gerakan pedang yang benar-benar aneh dan sukar diduga perubahannya. Setiap tusukan atau babatan pedang lawannya terjadi demikian tiba-tiba sehingga ia hanya mempunyai sedikit waktu untuk mempertahankan diri dan sukar sekali untuk dapat membalas. Ia menggertak gigi dan melakukan perlawanan sengit, mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mengeluarkan semua tipu-tipu yang didapat dalam pengalamannya bertempur selama puluhan tahun ini. Memang sukar sekali dipercaya bahwa seorang gadis yang baru dua atau tida tahun turun gunung dapat mendesak seorang pendekar seperti Santung Taihiap Siong Tat.

   Ini hanya dapat terjadi karena memang ilmu pedang Liong-Cu Kiam-Hwat luar biasa sekali. Apalagi pedang yang dipergunakan oleh Hwe-Thian Mo-Li adalah pedang mestika dan digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi pula. Pertempuran berjalan sengit sampai lima puluh jurus dan akhirnya Siong Tat harus mengakui keunggulan musuh besarnya. Pada saat ia menyerang dengan gerak tipu Harimau Lapar Menubruk Kelinci, yakni pedang di kedua tangannya berbareng membacok ke depan sebelum lawannya dapat menyerang, Siang Lan menggunakan gerakan yang benar-benar mengagumkan dan tidak terduga-duga. Gadis ini menggunakan ilmu tendang Kim-liong-twi dengan kaki kirinya, memapaki tangan kanan lawan bahkan mendahului pedang lawan dengan tendangan ke arah pergelangan tangan kanan lawannya,

   Kemudian pedangnya sendiri dari sebelah dalam lalu dibenturkan kepada pedang kiri lawan dan dari tenaga benturan ini pedangnya diteruskan menusuk ke depan. Bukan main hebatnya gerakan ini yang sekali gus dapat merobah kedudukan. Kalau tadi gadis pendekar itu terserang oleh kedua pedang lawan, kini sekali menangkis ia malah dapat melakukan dua serangan sekali gus. Kaki kirinya menyerang pergelangan tangan kanan lawan dan pedangnya menusuk dengan cepatnya ke arah tenggorokan Siong Tat. Santung Taihiap berseru kaget dan cepat ia miringkan kepalanya. Ia lebih mengutamakan penjagaan diri terhadap serangan pedang ke arah lehernya dari pada tendangan itu, maka tiada ampun lagi kaki kiri Siang Lan berhasil mendupak pergelangan tangan kanannya.

   "Duk... traaanng...!" pedangnya yang sebelah kanan terlepas dari pegangan dan ia merasa betapa lengan kanannya menjadi kejang.

   ðŸ‘º

   

   Siang Lan tidak mau berhenti sampai sekian saja dan menyusul dengan serangan maut yang disebut Giam-ong-toat-beng (Raja Maut Mengambil Nyawa), pedangnya menusuk ke arah ulu hati lawannya. Siong Tat masih terhuyung mundur ketika lawannya melancarkan serangan hebat ini, akan tetapi jago Santung ini masih dapat melihat keadaannya yang amat berbahaya. Ia menggerakkan pedang kirinya menangkis dari kiri, disabetkan ke arah pedang lawan yang meluncur bagaikan anak panah ke arah dadanya itu. Sama sekali ia tidak mengira bahwa di dalam penyerangan ini, Siang Lan telah siap dengan tangan kirinya yang dikepal. Melihat betapa lawannya masih sempat menangkis, ia lalu membarengi dengan pukulan tangan kiri yang menuju ke arah leher lawan. Berbareng terjadinya pertemuan pedang dengan pukulan yang mengenai leher itu.

   "Traang...! Buk!" Leher Santung Taihiap telah kena terpukul oleh tangan Siang Lan yang dilakukan dengan tenaga sepenuhnya.

   "Mati aku...!" Siong Tat menjerit ngeri dan tubuhnya terpental membentur meja rumah gadai yang menjadi roboh pula. Siang Lan melompat cepat dan sekali pedangnya berkelebat, kepala musuh besarnya telah terpisah dari tubuh. Keadaan menjadi kalut, para kaki tangan hartawan itu berteriak-teriak sambil melarikan diri, bahkan para penonton juga merasa ngeri dan melarikan diri pula.

   Siang Lang yang telah berhasil membalas dendam, tidak lekas pergi dari situ. Sebaliknya, ia lalu menggunakan pedangnya untuk membuka pintu, mengeluarkan barang-barang yang digadai di rumah itu dan melempar-lemparkan semua barang itu ke jalan raya. Kemudian ia lalu mengumpulkan semua uang perak di dalam rumah gadai, memasukkannya di dalam kantong besar dan sambil menggendong kantong besar penuh uang itu ia lalu menyerbu terus ke belakang. Ternyata bahwa antara rumah gadai dan rumah gedung Siang-Wangwe terdapat sebuah pintu tembusan, Siang Lan terus memasuki pintu ini dan menyerbu ke dalam gedung hartawan itu. Beberapa orang penjaga yang berani menghalanginya dirobohkannya dengan mudah, bahkan ia lalu menangkap seorang penjaga yang bergemetaran saking takutnya.

   


IBLIS DAN BIDADARI (HWE THIAN MO LI) JILID 05

   "Hayo lekas antar aku ke tempat penahanan gadis Siauw Kim yang digadaikan!" bentak nona pendekar ini. Penjaga itu dengan tubuh menggigil lalu mengantarnya ke dalam gedung, di mana terdapat banyak sekali permpuan-perempuan muda yang cantik-cantik. Memang, gedung ini merupakan semacam "Harem" (keputren atau tempat di mana selir-selir berkeumpul) yang penuh dengan perempuan-perempuan cantik. Banyak di antara mereka ini yang dulunya juga menjadi "Barang tanggungan" atau gadis-gadis yang digadaikan oleh orang tuanya yang miskin. Siauw Kim masih merupakan barang tanggungan yang belum menjadi hak milik hartawan itu, maka ia masih dikurung di dalam sebuah kamar beserta tiga orang gadis lain. Ketika Siang Lan membuka kamar kurungan itu, ia mendapatkan empat orang gadis itu sedang menangis sedih.

   "Yang mana di antara kamu yang bernama Siauw Kim?" tanya Siang Lan. Seorang gadis yang manis dan agak kurus maju ke muka dan Siang Lan segera memegang lengannya.

   "Jangan takut adik yang baik, mari kuantar kau pulang! Semua orang yang berada di sini bukan atas kehendak sendiri, boleh pulang sekarang juga!" Sambil berkata demikian, Siang Lan membagikan beberapa potong uang kepada mereka yang mau pulang dan mengantar mereka itu keluar dari gedung. Tak seorangpun penjaga berani menghalangi mereka ini. Tujuh orang permpuan muda ikut keluar untuk pulang ke rumah masing-masing. Setelah berada di luar, Siang Lan berkata kepada orang-orang yang berdiri di pinggir jalan,

   "Yang merasa punya barang digadaikan di sini, boleh ambil saja. Barang-barang itu sudah kukeluarkan di pinggir jalan!"

   Demi mendengar ucapan ini, orang-orang itu lalu menyerbu rumah gadai itu, yang jujur mengambil barang-barangnya sendiri, yang curang lalu mempergunakan kesempatan itu untuk mengambil barang apa saja yang berharga, tidak perduli barang-barang itu bukan miliknya. Siang Lan lalu mengantarkan Siauw Kim pulang. Kakek Lim Bun dan keluarganya menerima kedatangan Siauw Kim dengan tangis riuh dan penuh keharuan. Ketika mereka mengangkat muka, ternyata gadis itu telah pergi dari situ dan di dekat mereka terdapat setumpuk uang perak. Mereka hanya dapat berlutut ke arah pintu rumah dan mengucapkan terima kasih di dalam hati mereka. Uang perak sekantong penuh yang diambilnya dari dalam rumah gadai itu oleh Siang Lan habis disebar-sebarkan di rumah-rumah kecil dalam kota Kang-leng.

   Malam harinya, ketika tikoan sedang tidur, bagaikan bayangan iblis, Siang Lan melayang turun dari genteng dan langsung memasuki kamar tikoan itu. Tikoan ini lelah sekali karena siang hari tadi ia telah mengerahkan para penjaga kota untuk menangkap-nangkapi orang-orang yang mengambil barang-barang dari rumah gadai yang telah terbuka oleh Siang Lan dan kini di tempat tahanan penuh orang-orang yang sampai empat puluh orang lebih jumlahnya. Ketika tikoan itu melihat bayangan berkelebat di dalam kamarnya, ia cepat bangun dan membuka kelambunya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat seorang gadis yang cantik jelita dan memegang pedang berkilau, telah berdiri di depan tempat tidurnya dengan mata tajam mengancam.

   "Jangan berteriak kalau tidak ingin mampus!" kata Siang Lan.

   "Sungguhpun kau ini seorang pembesar yang sudah patut dipenggal lehernya! Kau tahu bahwa Siong Tat berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat kecil. Dan apakah yang kau lakukan sebagai pembesar yang seharusnya melindungi rakyat? Kau bahkan bersekutu dengan jahanam Siong Tat, menerima uang sogokannya dan selalu membelanya dalam semua perkara. Sekarang kau berani lancang menangkapi orang-orang yang mengambil barang-barang mereka sendiri dari rumah gadai. Apakah kau ingin mati?" Siang Lan menggerak-gerakkan pedangnya di depan muka pembesar itu sehingga pedangnya mengeluarkan cahaya berkilauan.

   "Ti... dak... Lihiap... ampunkan aku... jangan kau bunuh... aku akan melepaskan semua tawanan itu, sekarang juga!" kata pembesar itu yang sudah tak bersemangat lagi karena semangatnya telah berlari pergi meninggalkan tubuhnya saking takutnya.

   "Seharusnya bangsat macam kau ini dibunuh!" seru Siang Lan lagi dan pedang ditangannya bergerak cepat ke arah kepala pembesar itu.

   "Ayaa... mati aku...!" teriak pembesar itu sambil meraba kepalanya dan alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa kepalanya telah licin karena rambutnya yang dikuncir telah lenyap.

   "Dengar, anjing busuk!" kata Siang Lan gemas.

   "Besok kau harus lepaskan semua tawanan, lalu mengatur agar supaya semua barang di rumah gadai itu kembali kepada pemiliknya. Kemudian, orang-orang perempuan yang telah dipermainkan oleh Siong Tat, supaya dikembalikan ke tempat masing-masing dengan diberi uang dari rumah gedung jahanam she Siong itu. Kalau keluarganya tidak rela memberi uang kepada korban-korban itu, aku akan datang dan membasmi mereka."

   "Baik... baik, Lihiap...!" Melihat sikap pembesar itu yang matanya masih bergerak liar, Siang Lan dapat menduga bahwa pembesar ini adalah seorang yang berhati curang dan juga cerdik, maka ia pikir ada baiknya untuk menakut-nakutinya.

   "Jangan kau kira aku hanya menggertak saja. Aku mengampunimu hanya agar kau dapat mengatur semua yang telah kupesankan itu dan untuk sementara ini aku menitipkan kepalamu kepada tubuhmu. Kalau kau tidak merobah watakmu, aku akan datang kembali dan menebus kepala yang kutitipkan. Untuk memberi tanda kepada kepala yang kutitipkan itu..." Secepat kilat pedangnya bergerak lagi ke arah kepala tikoan itu.

   "Aduh... aduh...mati aku...!" Kali ini telinga kiri tikoan itulah yang lenyap dari kepalanya.

   "Nah, lain kali lehermu yang akan putus!" kata Siang Lan yang segera melompat melalui jendela dan lenyap dari situ. Setelah melakukan perbuatan yang menggemparkan dan yang membuat nama Hwe-Thian Mo-Li makin terkenal, gadis pendekat ini lalu mencari jejak musuh-musuh lainnya. Akhirnya ia mendengar tentang Toat-beng-sin-to Liok Kong, yang hendak mengadakan pesta perayaan ulang tahunnya di kota Kan-Cou, maka cepat ia lalu menuju ke kota itu. Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan ia telah "didahului" oleh Ong Lian Hong yang mengaku sebagai puteri Suhunya. Ia baru berhasil membalas dendam Suhunya kepada Siong Tat, sedangkan Liang Hong telah berhasil menewaskan Yap Cin dan Liok Kong.

   Dengan demikian, apabila dapat dianggap mereka sedang berlumba, maka keadaan adalah dua satu untuk kemenangan Lian Hong. Siang Lan menjadi penasaran sekali. Tidak, biarpun Lian Hong benar-benar puteri dari Suhunya, ia harus dapat membalas dendam lebih dulu dan harus lebih banyak menewaskan musuh-musuh Suhunya. Kini masih tinggal dua orang musuh, yakni Leng Kok Hosiang dan Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek. Mencari Leng Kok Hosiang bukanlah merupakan hal yang mudah, oleh karena biarpun Hwesio itu bertempat tinggal di Sin-Tok-San, akan tetapi ia mendengar bahwa Hwesio itu adalah seorang perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Hanya beberapa bulan sekali saja Hwesio itu kembali ke gunung Sin-Tok-San, oleh karena itu, maka Hwe-Thian Mo-Li lalu berusaha mencari jejak Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek Si Naga Bermata Emas.

   Berita yang diperolehnya dari kalangan kang-ouw tentang Kim-Gan-Liong ini, sungguh membuat ia merasa heran dan ragu-ragu. Ia mendengar bahwa Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek adalah seorang pendekar atau hiapkek yang gagah perkasa dan budiman, seorang yang mempunyai nama harum karena selalu bertindak sebagai seorang pendekar berbudi mulia. Kim-Gan-Liong seringkali menolong orang dan membasmi kejahatan. Sungguh aneh, mengapa seorang yang memiliki nama besar ini dapat terlibat dalam pembunuhan secara curang dan pengecut terhadap Suhunya? Betapapun baik nama Kim-Gan-Liong, akan tetapi Hwe-Thian Mo-Li tidak perduli. Kim-Gan-Liong adalah seorang di antara lima orang musuh besar Suhunya, maka ia harus dicari dan dibinasakan. Ketika ia tiba di propinsi Hopak, ia mendengar kabar bahwa pendekar tua Kim-Gan-Liong kini telah

   "cuci tangan" tidak mencampuri urusan dunia lagi. Pendekar tua ini kabarnya sekarang tinggal di kota Lun-cong sebelah selatan Kota Raja. Dengan hati girang Hwe-Thian Mo-Li lalu menyusul ke kota itu. Ia menyewa sebuah kamar dalam hotel terbesar dan mudah saja baginya untuk mencari tempat tinggal pendekar tua itu. Akan tetapi kenyataan bahwa rumah yang dijadikan tempat tinggal Kim-Gan-Liong amat buruk dan kecil, membuatnya terheran-heran. Bukankah lima orang yang telah membunuh Suhunya itu mendapatkan harta pusaka yang membuat mereka menjadi kaya raya? Mengapa Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek bertempat tinggal di rumah yang buruk ini? Teringatlah ia akan kata-kata terakhir dari Suhunya yang juga merasa heran mengapa Cin Lu Ek ikut dalam persekutuan jahat itu.

   "sepanjang pengetahuanku, Cin Lu Ek bukanlah seorang yang berwatak jahat," demikian kata Suhunya sebelum meninggal dunia. Hwe-Thian Mo-Li menjadi ragu-ragu dan ia pikir untuk datang pada malam hari nanti, karena kalau ia turun tangan di waktu siang hari, hanya akan menimbulkan keributan saja. Maka pulanglah ia ke kamar di hotel yang disewanya dan ia beristirahat mengumpulkan tenaga untuk malam nanti. Setelah senja terganti malam, Hwe-Thian Mo-Li bersiap mengenakan pakaian ringkas dan membawa pedangnya, lalu keluar dari hotel dan menuju ke rumah Cin Lu Ek yang berada di sebelah utara kota. Ketika ia sedang berjalan perlahan, tiba-tiba terdengar suara orang berseru,

   "Hwe-Thian Mo-Li...!" Siang Lan cepat mengangkat kepala memandang dan ternyata ia telah berhadapan dengan lima orang yang dikenalnya baik. Mereka ini bukan lain adalah Ngo-Lian-Hengte, kelima orang saudara she Kui yang menjadi Ciangbun atau ketua dari Ngo-Lian-Kauw (Agama Lima Teratai). Teringatlah ia bahwa memang mereka ini tinggal di propinsi Hopak, di kota Po-teng.

   "Ah kiranya ngo-Ciangbun yang berada di sini!" kata gadis itu dengan suara dingin dan tidak mengacuhkan sama sekali.

   "Bagus, Hwe-Thian Mo-Li, memang pertemuan inilah yang kami harapkan dan tunggu-tunggu. Bersiaplah kau membayar hutangmu kepada kami di rumah Liok Kong dulu itu!" kata Kui Sin saudara termuda dari Ngo-Lian-Hengte sambil mencabut pedangnya. Memang saudara termuda dari Ngo-Lian-Hengte ini memiliki watak yang paling keras, apalagi karena mengingat bahwa dulu ia pernah terluka oleh pedang Hwe-Thian Mo-Li ketika mereka mengeroyok dara ini di rumah Toat-Beng Sin-To Liok Kong.

   "Jangan banyak lagak, kawan" Hwe-Thian Mo-Li mengejek tanpa mencabut pedangnya,

   "Aku sedang menghadapi urusan penting dan tidak mempunyai waktu untuk melayani kalian bertempur!" Memang Siang Lan tidak mempunyai nafsu untuk bertempur dengan mereka, karena selain hal ini memperlambat usahanya membalas dendam kepada Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek, juga kalau sampai terjadi pertempuran di tempat itu, tentu terlihat oleh banyak orang. Hal ini kalau sampai terdengar oleh Kim-Gan-Liong akan memberi kesempatan kepada musuh besar itu untuk melarikan diri. Mendengar ucapan gadis ini, Kui Sin tertawa bergelak dengan nada mengejek.

   "Ha, ha, ha! Hwe-Thian Mo-Li menjadi penakut. Kau takut menghadapi Ngo-Lian-Hengte?"

   "Tutup mulutmu!" Siang Lan membentak marah dan hampir saja ia mencabut pedangnya.

   "Hwe-Thian Mo-Li tidak tahu akan artinya takut. Apalagi terhadap seekor tikus kecil macam kau!"

   "Ngo-te (adik kelima), sudahlah jangan memaksa!" kata Kui Jin saudara tertua, lalu ia berkata kepada Siang Lan dengan suara halus,

   "Hwe-Thian Mo-Li, sungguhpun di antara kita tidak terdapat permusuhan besar, namun ada sedikit penasaran dalam hati kami terhadapmu. Kau tentu maklum bahwa kami yang pernah kau lukai, takkan merasa puas sebelum mencoba kepandaianmu sekali lagi untuk menentukan mana yang lebih kuat. Oleh karena itu, karena sekarang kau tidak ada waktu, beranikah kau datang ke kuil yang terletak di luar kota ini di sebelah barat pada besok pagi-pagi? Kami akan menanti di sana!" Kui Jin yang cerdik sengaja menggunakan kata-kata "Beranikah" yang bersifat menantang dan menghina, maka muka Hwe-Thian Mo-Li menjadi merah karena gemas!.

   "Ngo-Lian-Hengte, jangan kau membuka mulut besar. Kalau aku tidak sedang menghadapi urusan penting, sekarang juga akan kuperlihatkan kepada kalian bahwa Hwe-Thian Mo-Li bukanlah orang yang boleh dibuat permainan oleh lima orang macam kalian. Baik, kalian tunggu saja sampai besok pagi-pagi di kuil sebelah barat kota ini. Aku pasti akan datang." Setelah berkata demikian, Hwe-Thian Mo-Li lalu melompat pergi meninggalkan mereka. Kui Sin yang merasa penasaran hendak mengayun tangannya menyambit dengan senjata rahasia piauw, akan tetapi Kui Jin memegang lengan adiknya dan berbisik.

   "Bodoh! Tidak tahukah kau bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi? Kita belum tentu akan dapat menang terhadap dia maka aku sengaja menantangnya besok pagi-pagi agar kita mendapat kesempatan mengundang Supek turun tangan."

   Saudara-saudaranya menyatakan setuju dan menjadi girang. Akan tetapi tentu saja percakapan mereka ini tidak terdengar oleh Hwe-Thian Mo-Li yang sudah pergi jauh menuju ke rumah Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek. Dengan hati-hati sekali Siang Lan menghampiri rumah kecil terpencil itu. Ia melihat di dalam rumah masih terang dan bahkan ia mendengar suara orang bercakap-cakap. Hatinya tertarik mendengar suara yang nyaring sekali, maka dengan hati-hati ia lalu menghampiri jendela rumah itu. Karena ia mempergunakan kepandaian ginkangnya, maka langkah kakinya tidak mengeluarkan suara bagaikan langkah kaki seekor kucing. Jendela itu tertutup rapat maka ia hanya dapat mendengar suara dua orang laki-laki sedang bercakap-cakap yang membuat hatinya berdebar keras.

   "Susiok, benarkah berita yang kudengar tentang Pat-Jiu Kiam-Ong itu?" suara yang nyaring itu terdengar lagi mendesak. Terdengar suara elahan napas panjang tanda kekesalan hati yang diusul oleh jawaban suara yang dalam dan tenang akan tetapi mengandung nada sedih.

   "Memang benar, tak dapat kusangkal lagi. Aku memang terjerumus ke dalam komplotan jahat itu."

   "Memalukan sekali!" tiba-tiba suara yang nyaring itu berseru keras.

   "Memalukan sekali dan mencemarkan nama susiok yang besar, terutama mengotorkan nama perguruan kita!" Kembali orang yang disebut susiok (paman guru) itu menghela napas menyatakan kekesalan hatinya, lalu suaranya terdengar menggetar penuh keharuan.

   "Tek Kun, memang tuduhanmu ini benar. Kau sudah mewarisi kepandaian cabang persilatan kita dan telah memiliki kepandaian tinggi. Kalau kau hendak mewakili Sucouw kita, cabutlah pedangmu dan tabaslah leherku. Aku menerima salah, sungguhpun kejahatan itu tidak kulakukan dengan sengaja. Mataku telah buta dapat dibujuk oleh Leng Kok Hosiang!"

   Hening sejenak dan Siang Lan tidak ragu-ragu lagi bahwa orang yang disebut susiok itu tentulah Cin Lu Ek Si Naga Bermata Emas dan agaknya orang yang suaranya nyaring itu adalah murid keponakannya. Namun ia merasa agak tertarik mendengar percakapan ini dan ia tidak mau menerjang masuk, bahkan ingin sekali melihat wajah kedua orang yang bercakap-cakap itu. Ia lalu mengumpulkan tenaganya dan bagaikan seekor burung gesitnya, ia menggunakan gerak lompat Burung Walet Menerjang Mega dan melompat ke atas genteng. Ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya dan ginkangnya untuk menjaga agar kedua kakinya tidak sampai mengeluarkan suara. Akan tetapi, baru saja kakinya menginjak genteng, terkejutlah ia ketika mendengar suara yang nyaring tadi berkata,

   "Susiok, di atas genteng ada orang!"

   "Biarlah," jawab suara yang tenang itu,

   "pintuku tidak terkunci, gentengku juga tipis mudah dibuka, sahabat yang berada di luar dengan mudah dapat masuk kalau mempunyai keperluan dengan aku." Karena orang di dalam rumah sudah mengetahui kedatangannya yang menandakan bahwa ilmu kepandaian orang yang bersuara nyaring itu cukup tinggi, Siang Lan lalu berseru keras,

   "Kim-Gan-Liong, kalau kau benar gagah, keluarlah untuk membayar hutangnya kepada Pat-Jiu Kiam-Ong! Aku, Hwe-Thian Mo-Li telah menanti di luar. Aku tidak sudi bertindak seperti maling memasuki rumah orang, baik melalui pintu maupun genteng tanpa diundang!"

   Setelah berkata demikian, Siang Lan lalu melompat turun lagi dan berdiri dengan gagahnya didepan pintu rumah itu. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka dari dalam dan keluarlah dua orang laki-laki. Yang berada di depan adalah seorang laki-laki yang tinggi kurus, berusia kurang lebih lima puluh tahun, berjenggot panjang dan berpakaian serba putih yang amat sederhana. Orang ini keadaannya biasa saja, hanya sepasang matanya yang benar-benar amat berpengaruh, mengeluarkan sinar yang berapi-api. Kalau dia diberi julukan naga Bermata Emas, memang tepatlah karena sepasang matanya memang luar biasa sekali. Orang kedua adalah seorang pemuda yang secara aneh telah memaksa sepasang mata Siang Lan memandang, kemudian melemparkan pandangannya dengan muka merasa jengah.

   Belum pernah selama hidupnya Siang Lan merasa tertarik untuk menatap wajah seorang pemuda dan belum pernah ada seorang pemuda yang dapat membuat hatinya berdebar lebih lebih cepat dari pada biasanya. Akan tetapi pemuda ini benar-benar membuatnya bingung dan untuk sesaat tak dapat berkata-kata. Pemuda ini mengenakan pakaian seperti seorang pelajar, pakaiannya rapi sekali sungguhpun tidak mewah. Tubuhnya tegap dan dadanya bidang, menunjukkan bahwa tubuh itu mengandung tenaga yang kuat sekali. Kepalanya tertutup oleh kain kepala yang dililitkan sembarangan saja akan tetapi membuat wajahnya makin menarik. Sepasang alisnya hitam tebal dan berbentuk golok, sesuai benar dengan sepasang mata yang lebar dan berseri itu.

   Hidungnya mancung dan lurus, cocok dengan bibirnya yang baik bentuknya dan membayangkan kekerasan dan kegagahan. Dagunya berlekuk sedikit pada tengahnya, membuat ia yang usianya paling banyak dua puluh dua tahun itu nampak lebih masak. Kulit mukanya putih bersih dengan pipi kemerahan karena sehatnya. Pendeknya, jarang Siang Lan melihat seorang pemuda yang demikian tampan dan gagahnya. Berapapun sungguh-sungguh ia mencoba untuk menghindarkan pandangan matanya menuju kepada pemuda tampan itu, namun beberapa kali sinar matanya menyeleweng dan menatap wajah yang menembus ke ulu hatinya itu. Karena kelambatannya membuka mulut, ia didahului oleh Cin Lu Ek yang mengangkat kedua lengan dan menegur.

   "Nona, apakah nona yang memperkenalkan diri sebagai Hwe-Thian Mo-Li tadi?"

   "Benar!" jawab Siang Lan dengan dingin dan singkat tanpa membalas penghormatan orang.

   "Kau kah yang bernama Cin Lu Ek dan yang secara pengecut membunuh Suhu?" Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek memandang tajam dan berkatalah dia dengan wajah duka.

   "Jadi kau adalah murid dari Pat-Jiu Kiam-Ong? Setelah kau datang, bukankah maksudmu hendak membalas dendam atas kematian Suhumu?" Siang Lan mencabut pedangnya dan berkata keras,

   "Tentu saja! Anjing-anjing jahat Yap Cin, Siong Tat, dan Liok Kong telah mampus, tinggal kau dan Leng Kok Hosiang. Kalau kedatanganku bukan untuk membunuhmu dan membalas denda, apakah kau kira aku datang untuk beramah tamah dengan engkau?" Akan tetapi aneh, tidak seperti musuh-musuhnya yang lain, Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek ini tidak menjadi takut, juga tidak menjadi marah, bahkan tersenyum dengan tenang,

   "Kau mau membalas dendam? Mau membunuhku? Nah, majulah dan lekas kau lakukan hal itu. Aku memang sudah bosan hidup!" Untuk sejenak Siang Lan merasa ragu-ragu, Bagaimana ia dapat membunuh orang yang bersikap seperti itu? Orang yang tidak mau melawan sedikitpun juga? Akan tetapi, dia musuh besarnya. Dia seorang di antara lima orang yang telah membunuh Suhunya secara curang dan pengecut. Tidak lekas dibunuh, mau menanti, sampai kapan lagi?

   "Kalau begitu, bersedialah untuk menyusul Suhu dan membuat perhitungan di akhirat!" serunya dan dengan gerakan Kwan-im hoan-hwa (Dewi Kan-im Mencari Bunga) pedangnya menusuk ke arah dada kiri Cin Lu Ek. Orang tua itu memandang tanpa berkejap sambil tersenyum sedih.

   "Traaang...!" Pedang Siang Lan terpental ke belakang dan nona ini dengan terkejut melompat pula ke belakang lalu bersiap dengan pandang mata marah. Ternyata bahwa pedangnya telah ditangkis oleh pemuda itu yang kini sudah memegang sebatang pedang pula.

   "Kurang ajar!" seru Siang Lan dengan muka merah.

   "Siapakah kau? Apa maksudmu menghalangi seranganku?" Pemuda itu hanya tersenyum saja dan Cin Lu Ek yang menjawab.

   "Hwe-Thian Mo-Li, dia ini adalah murid keponakanku yanbg bernama Sim Tek Kun."

   "Perduli apa aku akan namanya? Aku tak ingin mengetahui nama orang!" kata Siang Lan marah akan tetapi nama Sim Tek Kun ini tanpa disadarinya telah terukir di dalam lubuk hatinya.

   "Ku ulangi pertanyaanku tadi, mengapa kau menghalangi seranganku kepada musuh besar Suhuku ini?"

   "Tidak baik bagi seorang gadis untuk berwatak seganas itu," akhirnya pemuda itu menjawab dengan suara tenang dan senyumnya masih belum meninggalkan mulutnya.

   "Aku ingin mencegah kau tersesat dan membunuh orang yang tidak melawanmu."

   "Orang sombong! Lancang dan sombong! Apa perdulimu,akan urusanku? Apa hubungannya dengan segala sepak terjangku dengan kau?" Ia melangkah maju lagi hendak menyerang Cin Lu Ek, akan tetapi kembali pemuda itu menghadang dengan pedang di tangan.

   "Jangan, sayang seorang gadis gagah perkasa seperti kau sampai tersesat dan membunuh seorang tua yang tidak mau melawan." Siang Lan marah sekali dan hampir saja ia menyerang pemuda itu. Akan tetapi ia masih dapat menahan tangannya dan hanya sepasang matanya saja yang memandang marah seakan-akan hendak membakar pemuda itu.

   "Eh, kau ini orang macam apakah? Mengapa kau mencampuri urusanku? Aku tersesat atau tidak, kau peduli apakah?" bentaknya.

   "Aku melakukan ini untuk membalas budi Suhumu," jawab Sim Tek Kun tenang dan jawaban ini membuat mata Siang Lan yang indah bening itu terbelalak.

   "Apa maksudmu?"

   "Susiokku telah berdosa terhadap Suhumu dan perbuatan dosa hanya dapat ditebus dengan perbuatan baik. Aku mencegah kau sebagai murid Suhumu berbuat sesat dan hal ini kulakukan untuk membalas budi Suhumu yang telah tewas karena susiok dan kawan-kawannya. Inilah yang kumaksud dengan pembalasan budi Suhumu." Bingunglah Siang Lan mendengar ucapan ini.

   "Kalau aku terus menyerang dan membunuhnya?" tantangnya.

   "Akan kuhalangi dengan pedangku!" jawab pemuda itu. Siang Lan tersenyum menghina,

   "Hm, bagus sekali tipu busukmu yang berpura-pura membalas budi. Kalau seandainya kau terbunuh olehku, bukankah kau tidak berhasil membalas budi bahkan aku kau anggap makin tersesat."

   "Tidak!" jawab pemuda itu dengan sungguh-sungguh.

   "Kalau aku mati olehmu, matiku adalah mati yang sudah sewajarnya, mati dalam pertempuran. Berbeda kalau kau membunuh susiok yang tidak mau melawan, itu adalah perbuatan yang yang amat rendah dan tidak selayaknya dilakukan oleh seorang gadis yang gagah perkasa." Siang Lan tertegun. Ia ingin marah, akan tetapi tidak dapat. Entah mengapa, sikap pemuda yang berani dan lancang ini amat menarik hatinya dan sama sekali tidak dapat menimbulkan kebenciannya, bahkan... diam-diam ia merasa heran mengapa ia dapat merasa kagum kepada pemuda ini.

   "Jadi kau rela mati untuk membela paman gurumu? Kau hendak membela orang yang sudah berbuat curang dan pengecut?" bentaknya pula. Pemuda itu menggelengkan kepalanya dengan sedih.

   "Tidak, kalau yang datang bukan kau, aku tentu akan membela susiok dengan mati-matian. Akan tetapi, kalau seandainya susiok telah berdosa terhadap Suhumu, aku melarang kau membunuh susiok yang tidak mau melawan hanya untuk mencegah kau berlaku sesat." Siang Lan menjadi serba salah. Haruskah ia mengalah dan mundur, tidak jadi membalas dendam hanya karena adanya pemuda kurang ajar ini? Tidak, tidak! Ia tidak harus bersikap selemah ini.

   "Kalau begitu, biarlah aku bunuh kau lebih dulu!" katanya sambil menyerang dengan pedangnya.

   "Kalau kau dapat," pemuda itu membalas dengan suara mengejek lalu menangkis dengan pedangnya. Benturan kedua pedang ini membuat keduanya terpental mundur tiga tindak dan masing-masing merasa terkejut karena maklum bahwa kepandaian lawan tak boleh dibuat main-main.

   Siang Lan menyerang lagi dan Tek Kun melayaninya dengan hebat sehingga mereka bertempur amat ramainya. Pedang mereka bergulung-gulung dengan cepat, mengeluarkan angin dan terdengar suara pedang bersuitan, kadang-kadang terdengar bunyi nyaring ketika pedang beradu, diikuti oleh bunga api yang berpijar menyilaukan mata. Siang Lan diam-diam merasa kagum akan kehebatan ilmu pedang Kun-Lun-pai yang dimainkan oleh pemuda ini. Ternyata bahwa ilmu pedang pemuda ini benar-benar lihai sekali. Sebaliknya, Tek Kun juga kaget karena tidak disangkanya bahwa Hwe-Thian Mo-Li benar-benar amat ganas dan sukar dilawan ilmu pedangnya. Sementara itu, Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek menjadi bingung sekali. Ia lalu melompat maju dan dengan nekat berdiri ditangah-tengah, di antara kedua orang itu sambil berkata,

   "Tahan! Berhentilah bertempur atau aku akan membiarkan tubuhku hancur oleh kedua pedangmu!" Karena tidak ingin membunuh orang tua yang tidak mau melawan ini, kedua orang muda itu melompat mundur. Sambil mengeluarkan dua titik air mata dari sepasang matanya, Cin Lu Ek lalu berkata kepada Siang Lan.

   "Nona, aku mengundang kau untuk masuk ke rumahku dan dengarlah penuturanku. Boleh kau anggap ini sebagai pengakuan dosaku terhadap mendiang Suhumu dan kalau kemudian kau masih berkukuh hendak membunuhku, baiklah, aku akan melawanmu dengan senjata."

   "Susiok!" bentak Tek Kun marah.

   "Apakah susiok masih ada muka untuk melawan murid dari Pat-Jiu Kiam-Ong?"

   "Biarlah, memang aku harus mati. Mengapa aku takut menambah sedikit dosa kalau aku tahu bahwa aku takkan dapat melawan nona yang lihai ini? Masuklah nona dan dengarlah ceritaku." Karena ingin sekali mendengar penuturan orang ini dan untuk memperlihatkan keberaniannya dihadapan pemuda ini, Siang Lan lalu menyarungkan pedangnya kembali dan berkata kepadanya.

   "Pertempuran boleh kita tunda dulu untuk mendengarkan penuturannya. Tiada salahnya nanti dilanjutkan lagi kalau kau masih berani!" Ketiganya lalu masuk ke dalam rumah itu dn menduduki bangku-bangku yang tua dan sederhana sekali.

   Setelah mereka duduk, Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek menghela napas berkali-kali, barulah ia menuturkan riwayatnya. Tadinya Cin Lu Ek adalah seorang hartawan yang suka menolong orang. Tidak saja ia kaya raya, akan tetapi juga ia terkenal sebagai anak murid Kun-Lun-pai yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi hidupnya penuh derita, yakni derita batin. Dengan isterinya yang tercinta, ia tidak mempunyai seorang keturunanpun dan ketika terjangkit penyakit menular, isterinya diserang penyakit itu sehingga mendahuluinya pulang ke alam baka. Hal ini amat menyakitkan hati Cin Lu Ek sehingga hampir-hampir membuatnya gila. Ia tidak dapat merasakan kebahagiaan dalam kekayaannya, maka ia lalu mengambil keputusan yang membuat banyak orang merasa heran.

   Ia menjual semua rumah dan sawahnya, lalu membawa semua uangnya itu pergi merantau. Mungkin ada ribuan orang miskin yang terancam bahaya kelaparan yang telah ditolongnya, diberi uang sehingga lambat laun uangnya habis sama sekali. Akan tetapi Si Naga Mata Emas ini tidak berhenti merantau dan mengulurkan tangan kepada rakyat jelata. Namanya menjadi terkenal di kalangan kang-ouw, akan tetapi sekarang ia telah jatuh miskin. Harta satu-satunya yang dimilikinya hanyalah sebatang pedang dan sepotong pakaian yang dipakainya. Disamping kegagahan dan kedermawanannya, Cin Lu Ek mempunyai cacad, yakni watak yang tidak mau kalah dalam hal ilmu silat. Di mana saja ia mendengar ada seorang ahli silat, maka didatangilah orang itu dan diajaknya pibu (mengadu kepandaian) secara persahabatan.

   Selama merantau bertahun-tahun lamanya, baru dua kali ia kena dikalahkan orang dalam pibu. Pertama kali oleh Ouwyang Sianjin dan kedua oleh Leng Kok Hosiang maka ia menjunjung tinggi kedua orang tua ini, terutama sekali Ouwyang Sianjin yang berkepandaian jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaiannya sendiri. Perantauannya yang membuatnya menjelajah di seluruh propinsi itu membuat ia terkenal sekali. Banyak orang kang-ouw yang telah dikenalnya, dan di antara mereka, ia telah mengikat tali persahabatan dengan Toat-Beng Sin-To Liok Kong, Sin Wan Yap Cin, Santung Taihiap Siong Tat dan yang lain-lain. Pada suatu hari ia bertemu dengan empat orang kang-ouw ini, yakni Liok Kong, Yap Cin, Siong Tat, dan dikepalai oleh Leng Kok Hosiang.

   "Eh, eh, naga-naga turun dari gunung, keluar dari guanya, ada apakah yang terjadi dipermukaan bumi ini?" tanya Cin Lu Ek kepada mereka.

   "Kebetulan sekali Kim-Gan-Liong berada disini!" Leng Kok Hosiang berseru. Hwesio ini pernah mengalahkan Kim-Gan-Liong dalam pibu, akan tetapi setelah bertempurhampir dua ratus jurus, maka ia merasa girang sekali karena tahu akan kelihaian Kim-Gan-Liong. Sebagaimana pernah dituturkan di bagian depan, Hwesio cabul yang berjuluk Jai-Hwa-Sian (Dewa Pemetik Bunga) ini pernah diberi hajaran keras oleh Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu. Setelah melatih diri, selama lima tahun dipuncak Sin-Tok-San dan melatih ilmu pukulan Coa-tok-jin yang lihai, ia turun gunung mencari Ong Han Cu, akan tetapi kembali ia mendapat kekecewaan karena ia telah dirobohkan oleh adik seperguruan Pat-Jiu Kiam-Ong, yakni Ouwyang Sianjin.

   Dengan hati mengandung penuh dendam Hwesio ini lalu merantau dan mencari kawan-kawan untuk melakukan pembalasan. Kebetulan sekali ia bertemu dengan Yap Cin Si Lutung Sakti yang juga menaruh dendam sakit hati besar sekali terhadap Pat-Jiu Kiam-Ong karena Ong Han Cu pernah merobohkannya. Biarpun sudah mendapat kawan, namun Leng Kok Hosiang masih merasa jerih untuk mengganggu Ong Han Cu karena ia mendengar betapa pendekar ini telah menemukan ilmu pedang yang luar biasa. Ia mempunyai telinga yang amat tajam dan biarpun Ong Han Cu menyembunyikannya, namun Hwesio itu mendengar bahwa pendekar itu selain ilmu pedang, juga telah menemukan harta pusaka yang besar jumlahnya di puncak bukit Liong-Cu-San.

   Berita inilah yang membuat ia berhasil menarik Toat-Beng Sin-To Liok Kong dan Santung-Taihiap Siong Tat, karena kedua orang gagah ini walaupun tidak mempunyai permusuhan apa-apa terhadap Ong Han Cu, namun mereka tertarik oleh harta pusaka itu. Maka berangkatlah empat orang kang-ouw ini dengan maksud buruk terhadap Pat-Jiu Kiam-Ong, menuju ke gunung Liong-Cu-San untuk mencari Ong Han Cu. Leng Kok Hosiang maklum bahwa Cin Lu Ek Si Naga Bermata Emas adalah seorang yang jujur dan tidak tertarik akan harta pusaka. Ia telah mendengar pula betapa Kim-Gan-Liong yang tadinya adalah seorang hartawan, telah menghamburkan hartanya guna menolong orang sehingga kini menjadi miskin, maka tentu saja pendekar ini takkan tertarik akan berita tentang harta pusaka itu. Maka ia lalu mempergunakan lain siasat.

   "Kim-Gan-Liong," katanya,

   "Aku dan kawan-kawan ini hendak mencari Pat-Jiu Kiam-Ong di bukit Liong-Cu-San. Kuharap saja kau suka pergi bersama kami untuk menambah semangat."

   "Dengan maksud apakah cuwi sekalian hendak mencari Pat-Jiu Kiam-Ong?" tanya Kim-Gan-Liong. Hwesio itu tertawa.

   "Kau tentu sudah mendengar bahwa Pat-Jiu Kiam-Ong adalah seorang yang usilan dan suka
 
mencampuri urusan orang lain. Antara dia dan kami telah ada sengketa yang harus diselesaikan sekarang. Maka harap kau suka mengawani kami pergi mencarinya." Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek mengerutkan alisnya.

   "Akan tetapi antara dia dan aku sama sekali tidak ada permusuhan sesuatu, bahkan bertemu mukapun belum. Untuk apa aku ikut pergi ke sana? Kalau cuwi hendak mencarinya dan membalas perhitungan lama, silakanlah, tapi jangan bawa-bawa aku yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan urusan ini!"

   "Ha,ha,ha! Kim-Gan-Liong yang gagah perkasa agaknya takut kepada Pat-Jiu Kiam-Ong dan baru mendengar namanya saja sudah menjadi gentar!" Yap Cin Si Lutung Sakti mengejek. Memang kelemahan Kim-Gan-Liong terletak di dalam kesombongannya dan sifatnya yang tidak mau kalah. Mendengar ejekan ini, ia mencabut pedangnya dan berkata angkuh.

   "Aku Kim-Gan-Liong tidak pernah takut kepada siapapun juga!" serunya dengan matanya yang tajam itu bersinar ganas.

   "Sudah lama aku mendengar nama Pat-Jiu Kiam-Ong dan ingin sekali aku mengajaknya pibu. Akan tetapi, maksudku hanyalah menguji kepandaian belaka, tidak bermaksud mencelakakannya karena memang antara dia dan aku tidak ada permusuhan apa-apa. Siapa bilang aku takut kepadanya?" Leng Kok Hosiang lalu melangkah maju dan menyabarkannya.

   "Sudahlah, antara kawan sendiri tak perlu ada pertikaian. Sabarlah, Kim-Gan-Liong Taihiap, ketahuilah bahwa Sin-wan Yap Enghiong hanya berkelakar. Siapa yang tidak mengetahui bahwa kau adalah seorang gagah? Kau tadi menyatakan ingin berpibu dengan Pat-Jiu Kiam-Ong, mengapa tidak mempergunakan kesempatan baik ini? Marilah kau ikut dengan kami dan nanti sesampainya dihadapan Pat-Jiu Kiam-Ong, kau boleh mengajak ia mengadu ilmu pedang. Bukankah ini baik sekali?" Karena dibujuk-bujuk, akhirnya Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek menurut juga dan pergilah mereka berlima mendaki bukit Liong-Cu-San. Kedatangan mereka disambut oleh Pat-Jiu Kiam-Ong yang berada di bukit itu seorang diri, oleh karena muridnya, Nyo Siang Lan, baru turun gunung sebagaimana telah dituturkan di bagian depan. Melihat tokoh-tokoh kang-ouw yang datang, Ong Han Cu segera berdiri menyambut mereka sambil tersenyum.

   "Ah, Ngo-wi (tuan berlima) Enghiong jauh-jauh datang mengunjungi tempatku yang buruk, tidak tahu ada keperluan apakah?" tanyanya. Leng Kok Hosiang memberi hormat dan sambil tertawa ia berkata.

   "Pat-Jiu Kiam-Ong, kami telah mendengar nama besarmu dan mendengar pula bahwa kau telah menemukan semacam ilmu pedang yang hebat. Maka kami sengaja datang menghaturkan selamat!"

   "Ilmu pedang manakah yang hebat!" Pat-Jiu Kiam-Ong merendah.

   "Tidak lain hanya beberapa gerakan yang buruk."

   "Sesungguhnya kami datang sengaja hendak mengantar Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek yang merasa amat tertarik oleh nama besarmu dan hendak minta sedikit pengajaran!" kata Hwesio itu dan Kim-Gan-Liong merasa terheran sekali mendengar ucapan yang jauh berlainan dengan maksud kedatangan empat orang itu. Terpaksa ia maju dan memberi hormat kepada Hong Han Cu lalu berkata.

   "Sesungguhnya, Pat-Jiu Kiam-Ong, aku Cin Lu Ek yang bodoh amat tertarik dan ingin sekali memohon sedikit petunjuk dari kau yang gagah perkasa." Ong Han Cu tertawa dan menggelengkan kepalanya.

   "Tak kusangka bahwa Kim-Gan-Liong yang bernama besar masih suka main-main seperti anak kecil. Kalau kita berpibu dan ada yang kalah, apakah ruginya dan kalau menang, apakah untungnya?" Memang Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek mempunyai watak yang tidak mau kalah. Mendengar ucapan Pat-Jiu Kiam-Ong, ia merasa diejek dan dianggap ringan, maka merahlah mukanya.

   "Pat-Jiu Kiam-Ong, mungkin karena kau telah berjuluk Raja Pedang, kau tidak perlu lagi dengan penambahan ilmu kepandaian. Akan tetapi aku sebagaimana orang-orang kang-ouw yang lain, aku hanya memiliki semacam kesenangan, yakni ilmu silat. Di mana saja aku berada, apabila aku mendapat kesempatan, aku ingin sekali menambah pengetahuanku tentang ilmu silat. Kini aku berhadapan dengan kau yang berjuluk Raja Pedang, tentu saja aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mempelajari beberapa gerakan."

   "Bagus, bagus!" seru Leng Kok Hosiang dengan girang dan ia lalu berkata kepada Toat-Beng Sin-To Liok Kong yang selalu membawa guci arak.

   "Liok-Enghiong, keluarkanlah guci arakmu! Marilah kita berjanji, siapa yang menang mendapat tiga cawan arak dan yang kalah menerima lima cawan sebagai hiburan! Kim-Gan-Liong terkenal sebagai jago pedang dari Kun-Lun-pai sedangkan Pat-Jiu Kiam-Ong baru saja mendapatkan ilmu pedang yang luar biasa. Sungguh pibu yang amat menarik dan akan membuka mata kita sekalian." Setelah berkata demikian, empat orang ini lalu duduk dan guci arakpun ditaruh di atas tanah. Terpaksa Pat-Jiu Kiam-Ong lalu mencabut pedangnya karena Kim-Gan-Liong juga sudah berdiri dan siap dengan pedangnya pula. Jago dari gunung Liong-Cu-San ini tentu saja bukan seorang bodoh dan ia dapat menduga bahwa kedatangan Leng Kok Hosiang dan kawan-kawannya ini tentu mengandung maksud tertentu. Ia maklum bahwa mereka tidak mengandung maksud baik dan mungkin sekali lima orang ini sengaja datang hendak mengeroyoknya. Akan tetapi ia tidak merasa gentar sama sekali.

   "Kim-Gan-Liong, kau perlihatkanlah ilmu pedang Kun-Lun-pai yang tersohor itu!" katanya sambil memasang kuda-kuda, menaruh kaki kiri ke depan, menekuk kaki kanan dan pedangnya ditempelkan ujungnya pada tanah, sedangkan tangan kirinya ditaruh di dada selaku pemberian hormat. Inilah yang disebut sikap Dewa Muda Menanti Titah.

   "Pat-Jiu Kiam-Ong, maafkan keburukan ilmu pedangku," kata Kim-Gan-Liong yang segera menggerakkan pedangnya menyerang dengan gerak tipu Sian-Jin-Tit-Louw (Dewa menunjukkan Jalan). Akan tetapi tanpa merobah kedudukan kakinya, dengan mudah Ong Han Cu mengangkat pedangnya menangkis.

   Getaran pedangnya benar-benar membuat Cin Lu Ek terkejut sekali karena dari getaran pedang yang menangkis itu keluar tenaga yang membuat telapak tangannya yang memegang pedang menjadi kesemutan. Cepat ia menarik kembali pedangnya dan melanjutkan dengan serangan Pek-in-kian-jit (Menyapu Awan Melihat matahari). Pedangnya berkelebat cepat dan menyapu ke arah leher lawannya, sedangkan tangan kirinya di dorong ke depan menyerang dada dengan tenaga lweekang sepenuhnya. Bahaya yang terdapat dalam serangan ini sesungguhnya terletak dalam pukulan tangan kiri itu dan jarang sekali Kim-Gan-Liong gagal apabila ia menyerang lawan dengan tipu ini. Ia maklum akan kelihaian Pat-Jiu Kiam-Ong, maka dalam jurus kedua saja ia telah mengeluarkan gerak tipu yang berbahaya ini.

   Ong Han Cu tentu saja maklum akan bahaya serangan ini, maka tiba-tiba ia berseru keras dan kagetlah Kim-Gan-Liong karena tiba-tiba ia tidak melihat lagi bayangan lawannya. Tiba-tiba dari belakang ia mendengar angin menyambar dan cepat ia merendahkan diri sambil melangkah maju terus membalikkan tubuhnya. Ternyata bahwa lawannya telah berada dibelakangnya, maka tahulah ia bahwa Pat-Jiu Kiam-Ong dengan ginkangnya yang luar biasa telah melakukan lompatan luar biasa melalui atas kepalanya dan dengan cara demikian menghindar diri sekali gus dari pada serangannya. Akan tetapi ia merasa malu sekali karena ternyata setibanya dibelakangnya, raja pedang itu hanya mengebutkan ujung lengan baju kirinya untuk memberitahu bahwa ia berada dibelakangnya.

   Saking malunya, Kim-Gan-Liong menjadi penasaran sekali dan sambil berseru keras ia lalu bersilat pedang. Ia mengerahkan seluruh ilmu pedangnya dari cabang Kun-Lun-pai dan mengeluarkan tipu-tipu yang paling berbahaya dan sukar ditangkis. Akan tetapi benar-benar Pat-Jiu Kiam-Ong lihai sekali. Dengan tenang dan lambat ia menggerakkan pedangnya, namun pedang itu telah merupakan benteng baja yang membuat pedang di tangan Kim-Gan-Liong selalu terpental kembali dengan telapak tangan merasa perih. Tiga puluh jurus lebih Kim-Gan-Liong mengeluarkan kepandaiannya namun sedikit juga ia tidak dapat mendesak lawannya. Jangankan mendesak, bahkan selama iru Pat-Jiu Kiam-Ong tak pernah merobah kedudukan kakinya dan sambil berdiri biasa saja ia telah dapat menangkis semua serangan. Tiba-tiba Pat-Jiu Kiam-Ong berkata perlahan,

   "Kim-Gan-Liong , sekarang kau jagalah seranganku!" Kim-Gan-Liong terkejut sekali dan buru-buru ia mainkan ilmu pedang Wanita Cantik Membuka Payung. Pedangnya diputar sedemikian rupa merupakan payung yang memayungi seluruh tubuhnya. Akan tetapi pandangan matanya segera menjadi kabur ketika pedang Pat-Jiu Kiam-Ong berkelebatan bagaikan halilintar menyambar-nyambar. Silau matanya melihat cahaya pedang ini dan tanpa diketahui bagaimana caranya, tahu-tahu pedang ditangannya telah terlepas dari pegangan dan ketika ia membuka matanya, ternyata bahwa pedangnya itu telah berada di tangan kiri Pat-Jiu Kiam-Ong. Raja pedang itu tersenyum ramah dan mengembalikan pedangnya sambil berkata.

   "Ilmu pedangmu cukup lihai, Kim-Gan-Liong!" Cin Lu Ek berdiri bengong dan setelah menerima pedangnya cepat ia maju memberi hormat sambil membongkokkan tubuhnya.

   "Ah, luar biasa sekali...! serunya.

   "Biar matipun aku Cin Lu Ek tidak merasa penasaran setelah menyaksikan ilmu pedang dari Kiam-Ong (Raja Pedang)!" Melihat sikap Kim-Gan-Liong, senanglah hati Ong Han Cu karena ia dapat merasa betapa ucapan dan pandangan mata orang ini memang sejujurnya, tidak mengandung pujian yang menjilat. Sementara itu, ketika kedua orang itu mengukur kepandaian, dengan perlahan Leng Kok Hosiang berbisik kepada tiga orang kawannya.

   "Aku sengaja mengadu mereka untuk melihat sampai di mana kepandaian Pat-Jiu Kiam-Ong. Kalau kiranya tidak berapa tinggi dan kita sanggup menghadapinya, baik kita mengeroyoknya, akan tetapi kalau terlampau kuat, kita menggunakan jalan lain yang lebih halus." Ia lalu menunjuk ke arah cawan-cawan arak di depannya.

   Memang Leng Kok Hosiang, terkenal sebagai ahli racun yang lihai sekali. Bahkan ilmu pukulannya yang disebut Hek-Coa-Jiu (Tangan Ular Hitam) amat berbahay dan dapat mendatangkan kematian seperti tergigit ular beracun apabila mengenai lawannya. Melihat kehebatan ilmu pedang Raja Pedang itu, tercenganglah Leng Kok Hosiang dan kawan-kawannya, dan dengan cekatan sekali tanpa diketahui oleh siapapun juga Hwesio itu memasukkan jari tangannya ke dalam baju. Ketika dikeluarkannya, ternyata jari tangannya telah berlumur benda putih yang cepat dioles-oleskan ke dalam cawan tuan rumah. Kalau dilihat demikian saja, maka cawan itu tetap bersih tidak terlihat sesuatu, akan tetapi sebetulnya telah mengandung racun yang amat jahat.

   "Bagus, bagus!" kata Leng Kok Hosiang sambil berdiri menghampiri kedua orang yang sudah selesai berpibu tadi.

   "Kepandaian ilmu pedang dari Pat-Jiu Kiam-Ong benar-benar mengagumkan sekali. Terus terang saja, tadinya akupun ingin mencoba-coba, akan tetapi melihat ilmu pedang selihai itu, belum apa-apa aku sudah merasa leherku dingin dan lebih baik niatku itu kubatalkan sajaI" Bagi Ong Han Cu, pujian ini berbeda jauh sekali dengan pujian yang keluar dari mulutnya Kim-Gan-Liong. Pujian Hwesio inilah yang berbahaya dan perlu dijaga, karena dibelakangnya tersembunyi maksud-maksud tertentu dan jahat.

   ðŸ‘º

   

   "Jiwi (tuan berdua) perlu diberi penghormatan dengan tiga cawan arak!" Ia lalu mempersilahkan keduanya duduk di dekat meja.

   "Marilah, silahkan minum arak untuk penghormatan. Tidak setiap hari kita dapat berkumpul seperti ini dan minum arak bersama-sama!" Ong Han Cu cukup waspada akan kecurangan dan kejahatan pendeta gundul yang terkenal sebagai penjahat pemetik bunga yang amat cabul. Itu, maka ketika melihat cawan kosong di depannya, ia lalu mengambil cawan itu dan melemparkannya ke atas sehingga cawan itu berjungkir balik beberapa kali di tengah udara lalu turun kembali diterima dengan tangan kanannya. Ia melakukan ini dengan senyum simpul sambil memandang kepada Hwesio itu dengan tajam. Akan tetapi Leng Kok Hosiang hanya tertawa saja dan berkata kepada kawan-kawannya.

   "Lihatlah, demikian cara seorang kang-ouw yang kosen menjaga diri. Kalau di dalam cawan itu terdapat barang kotor, maka tentu barang kotor itu akan tertiup keluar oleh tenaga khikang yang dipergunakan untuk melontarkan cawan itu. Hebat,... hebat?" Ong Han Cu kagum juga akan kelihaian mata Hwesio itu, maka ia hanya tersenyum dan berkata.

   "Kebiasaan orang kang-ouw harus berlaku hati-hati, biarpun menghadapi kawan-kawan sendiri. Tingginya gunung dapat didaki, dalamnya sungai dapat diselami, akan tetapi siapa dapat meraba hati dan pikiran orang?"

   "Betul, betul!" kata Hwesio itu sambil menuangkan arak ke dalam cawan kedua orang yang baru saja berpibu tadi.

   "Nah, marilah kalian minum arak untuk penghormatan yang kami rasa di dalam hati kami terhadap ilmu pedang yang lihai itu!" Sebelum minum, Ong Han Cu mempergunakan ketajaman hidungnya untuk mencium arak di guci, akan tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Karena ia melihat Kim-Gan-Liong minum araknya tanpa ragu-ragu lagi, iapun lalu minum araknya sekali teguk.

   Harus diketahui bahwa apabila racun yang dioleskan di dalam cawan oleh Leng Kok Hosiang tadi merupakan obat bubuk, tentu obat bubuk ini telah terbang keluar karena ketika melontarkan cawan kosongnya ke udara tadi, Ong Han Cu telah menggunakan tenaga khikangnya. Akan tetapi racun itu merupakan racun yang telah dicairkan dan ketika dioleskan ke cawan, tentu saja menjadi menempel dan tidak dapat terbang keluar. Pula, racun ini merupakan racun kembang putih yang tidak terasa apa-apa, akan tetapi khasiatnyapun tidak terlalu keras. Kembali Leng Kok Hosiang menuangkan arak ke dalam cawan itu dan kini Liok Kong mengeluarkan cawan-cawan lain untuk ia sendiri dan kawan-kawannya. Berkali-kali mereka minum arak sampai arak diguci menjadi kering sama sekali.

   "Pat-Jiu Kiam-Ong," kata Leng Kok Hosiang kemudian,

   "Kedatangan kami ini selain mengantar Kim-Gan-Liong yang hendak menyaksikan kelihaian ilmu pedang, juga oleh karena kami tertarik oleh berita mengenai gua di gunungmu ini. Kami mendengar kabar bahwa di sini terpendam harta pusaka yang tak ternilai harganya. Maka pandanglah muka kami sebagai sahabat-sahabat di dunia kang-ouw dan biarkanlah kami mencari harta pusaka itu yang bagimu tidak ada gunanya lagi." Ucapan Hwesio ini sebenarnya hanya pancingan belaka dan usahanya ternyata berhasil baik. Ong Han Cu terkejut dan memandang dengan tajam,

   "Dari siapakah kau mendengar tentang harta pusaka itu?" tanyanya.

   "Ha, jadi benar-benar adalah harta pusaka itu? Bagus, kau harus memberi kesempatan kepada kami untuk mencarinya, Pat-Jiu Kiam-Ong."

   "Tak perlu dicari!" jawab Pat-Jiu Kiam-Ong yang entah mengapa tiba-tiba merasa agak pening. Ia menganggap bahwa hal ini tentu karena ia terlampau banyak minum arak.

   "Harta pusaka itu telah menjadi hak milikku!"

   "Ah, ah, begitukah?" kata Leng Kok Hosiang dengan girang sekali.

   "Kalau begitu, janganlah berlaku kikir, sahabat. Berilah bagian kepada kami!" Tiba-tiba Ong Han Cu bangun berdiri dengan marah.

   "Hm, untuk itukah kalian datang? Sungguh tak tahu malu! Harta dunia saja yang kalian pikirkan dan karena harta dunia pula maka kalian menjadi jahat!" Leng Kok Hosiang memberi tanda kepada tiga orang kawannya yang segera berdiri dan siap sedia. Adapun Kim-Gan-Liong masih duduk saja dengan terheran-heran dan hatinya berdebar-debar tegang menyaksikan keadaan yang sudah tidak enak ini. Akan tetapi, ketika ia bangkit berdiri, Ong Han Cu tiba-tiba merasa pening kepalanya makin menghebat dan pandangan matanya berputar-putar. Ia maklum dengan hati terkejut bahwa tentu ia telah menjadi kurban kekejaman Hwesio dihadapannya itu.

   "Aha, kau roboh, Pat-Jiu Kiam-Ong...! Kau roboh...! Ha, ha, ha...!" Leng Kok Hosiang tertawa bergelak.

   "Jahanam berhati binatang!" Pat-Jiu Kiam-Ong marah sekali dan mengerahkan tenaga untuk menubruk maju. Akan tetapi karena pandangan matanya telah gelap dan kepalanya pening, ia menubruk tempat kosong dan jatuh terguling di atas tanah tanpa dapat berdiri lagi. Ia telah menjadi pingsan. Sambil tertawa bergelak Leng Kok Hosiang mencabut sebatang golok. Semenjak dikalahkan oleh Ouwyang Sianjin, Hwesio ini telah melatih diri dengan semacam ilmu golok yang cukup lihai. Ia lalu maju ke arah Ong Han Cu yang rebah tak berdaya itu sambil mengangkat goloknya membacok.

   "Traaang!" tiba-tiba goloknya itu tertangkis oleh sebatang pedang dan ternyata bahwa yang menangkisnya adalah Cin Lu Ek.

   "Leng Kok Hosiang, tidak malukah kau untuk berlaku sekeji ini? Bukan perbuatan gagah untuk menewaskan musuh dengan cara demikian curang!" Marahlah Leng Kok Hosiang. Matanya berputar mengerikan ketika ia menghadapi Kim-Gan-Liong dan dengan goloknya ia menuding sambil membentak,

   "Kim-Gan-Liong, Apakah maksudmu dengan perbuatan ini? Apakah kau hendak membela musuh besar kami?"

   "Aku tidak membela siapa-siapa, hanya aku tak dapat membiarkan kalian membunuh Pat-Jiu Kiam-Ong dengan cara yang curang!"

   "Kami berurusan dengan musuh kami sendiri, kau perduli apakah?" bentak Hwesio itu sambil menggerakkan goloknya kembali. Kim-Gan-Liong hendak menangis pula, akan tetapi Liok Kong Si Golok Sakti Pencabut Nyawa, Yap Cin Si Lutung Sakti, dan Pendekar Besar dari Santung Siong Tat mencabut senjata mereka dan menghadang di depan Kim-Gan-Liong dengan sikap mengancam.

   "Kim-Gan-Liong, benar-benarkah kau hendak mengorbankan nyawamu untuk musuh besar kami?" Akan tetapi Cin Lu Ek yang tidak tega melihat Ong Han Cu hendak dibunuh begitu saja, tetap menangkiskan pedangnya ketika golok Leng Kok Hosiang membacok ke arah tubuh Raja Pedang itu, akan tetapi pada saat itu juga, senjata-senjata empat orang itu menghantam pedangnya sehingga terpental dari tangannya.

   "Ha, ha, ha! Dengan kepandaianmu yang rendah ini kau masih hendak berlagak?" Leng Kok Hosiang mengejek dan sebuah tendangan kakinya membuat tubuh Kim-Gan-Liong terpental tiga tombak jauhnya dan jatuh bergulingan. Terpaksa Kim-Gan-Liong meramkan mata ketika melihat betapa Leng Kok Hosiang menggunakan goloknya menyabet putus kedua kaki dan tangan Pat-Jiu Kiam-Ong Ong Han Cu.

   "Kejam... kejam...!" ia berseru sambil menutup mukanya dengan kedua tangan. Hati nuraninya memberontak, akan tetapi apakah dayanya? Menghadapi Hwesio itu saja ia takkan menang, apalagi di situ masih ada tiga orang lain yang kepandaiannya tinggi. Leng Kok Hosiang dan tiga orang kawannya lalu menyerbu ke dalam gua dan dapat menemukan peti yang terisi harta pusaka itu. Mereka lalu membagi-bagi harta itu antara berempat dan dengan senyum mengejek Leng Kok Hosiang menghampiri Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek.

   "Kenapa kau sudah ikut kami datang ke sini, sudah hakmu untuk menerima sedikit bagian harta ini. Pulanglah dan bawalah bagianmu dan hiduplah dengan tentram dan aman!" Akan tetapi Kim-Gan-Liong menggeleng kepalanya dan berkata dengan tegas,

   


IBLIS DAN BIDADARI (HWE THIAN MO LI) JILID 06

   "Tidak, aku tidak sudi menjamah harta kotor ini!"

   "Ha, ha, ha! Kim-Gan-Liong, kau berpura-pura suci. Dapatkah kau membebaskan dirimu dari pembunuhan hari ini? Kau datang bersama kami dan Ong Han Cu telah melihat dengan matanya sendiri bahwa kau termasuk rombongan kami. Kita berlima yang bertanggung jawab atas pembunuhan ini. Apakah kau kira akan dapat membebaskan diri begitu saja? Atau, agaknya kau yang berhati kecil ini takut akan datangnya pembalasan dari pihak Pat-Jiu Kiam-Ong?"

   "Tidak, aku tidak takut!" jawab Cin Lu Ek marah.

   "Sudah sepantasnya aku dibalas dan dibunuh, karena aku yang mengaku sebagai orang kang-ouw tidak berdaya melihat kekejaman ini terjadi, tanpa dapat mencegah sedikitpun. Aku memang patut dibunuh... patut dibalas... aku ikut berdosa terhadap Pat-Jiu Kiam-Ong!" Sambil tertawa-tawa empat orang yang lain mengejeknya sehingga Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek lalu membalikkan tubuh dan lari pergi dari tempat itu. Mendengar penuturan Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek yang nampak berwajah amat sedihnya itu, Hwe-Thian Mo-Li menjadi bingung tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

   "Demikianlah nona, keadaanku yang sesungguhnya sehingga aku terlibat dalam urusan kematian Suhumu itu. Akan tetapi, jangan kau kira bahwa aku menceritakan hal ini untuk membela diri karena aku takut akan pembalasanmu. Tidak! Betapapun juga, aku merasa bahwa akupun ikut berdosa dengan tewasnya Suhumu itu. Kalau aku memiliki sedikit saja kegagahan, tentu pada waktu itu aku dapat menolong Suhumu. Aku terkena bujukan mereka dan ikut dengan rombongan jahat itu, maka kalau kau menganggap aku sebagai seorang musuh besar Suhumu, silahkan kau melakukan pembalasan. Aku takkan mundur setapak menghadapi hukuman yang memang sudah patut kuterima. Aku menceritakan semua ini untuk mencegah jangan sampai kau bertempur dengan Tek Kun!" Hwe-Thian Mo-Li mengerutkan alisnya dan berpikir keras. Haruskah ia mengundurkan diri setelah ia mencari musuh ini dengan susah payah dan setelah kini dapat bertemu? Tidak, sedikitnya ia harus memberi hajaran juga kepada orang ini, bukan karena kejahatannya, akan tetapi oleh karena kelemahan dan kesombongannya telah berani mengadu kepandaian dengan mendiang Suhunya dan datang bersama rombongan jahat itu.

   "Kau keluarlah dan cabut pedangmu!" ia menantang sambil melompat keluar. Dengan sikap amat tenang, Kim-Gan-Liong Cin Lu Ek lalu berjalan keluar dan mencabut pedangnya, siap menanti datangnya serangan.

   "Susiok, jangan...!" Sim Tek Kun berseru, akan tetapi susioknya tidak meladeninya.

   "Hwe-Thian Mo-Li, jangan kau mendesak orang tua ini!" serunya pula kepada gadis itu, akan tetapi Siang Lan hanya mengeluarkan senyum mengejek dan secepat kilat pedangnya meluncur dan melakukan serangan pertama kepada Kim-Gan-Liong. Orang tua ini lalu menangkis dan dari benturan pedang ini tahulah ia bahwa gadis muda ini benar-benar telah mewarisi kepandaian Pat-Jiu Kiam-Ong sehingga diam-diam ia menjadi kagum sekali. Iapun lalu mengerahkan kepandaiannya dan bertempurlah kedua orang itu dengan hebatnya. Akan tetapi, baru saja bertempur tiga puluh jurus, sudah terlihat nyata sekali betapa Kim-Gan-Liong terdesak hebat sehingga tak dapat membalas, hanya mempertahankan diri saja.

   "Tahan, nona, jangan kau membunuh orang tidak berdosa!" seru Sim Tek Kun sambil maju menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi terlambat, karena pada saat itu pedang di tangan Hwe-Thian Mo-Li telah bergerak dengan tipu Burung Gagak Menyambar Cacing. Kim-Gan-Liong berseru keras, pedangnya terlepas dari tangan dan pundak kanannya berlumuran darah karena tertusuk oleh ujung pedang Hwe-Thian Mo-Li. Siang Lan menahan pedangnya dan berkata dengan keren.

   "Oleh karena kau tidak ikut membunuh Suhu dan hanya menjadi kawan gerombolan jahat itu, maka biarlah kuampunkan jiwamu!" Kemudian, ia menatap wajah Tek Kun dan berkata sambil tersenyum menyindir,

   "Dan kau! Kalau kau merasa penasaran bahwa aku sudah melukai susiokmu, setiap waktu kau boleh mencariku untuk membalas dendam!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat tubuh gadis itu lenyap ditelan kegelapan malam. Tek Kun berdiri melengak dan menggeleng-geleng kepalanya, lalu menolong susioknya yang terluka pundaknya. Ternyata luka itu hanya merupakan luka di kulit dan daging saja dan sama sekali tidak berbahaya sungguhpun banyak mengeluarkan darah.

   "Alangkah ganasnya gadis itu!" Tek Kun menggerutu.

   "Akan tetapi ia gagah perkasa dan cukup adil. Ilmu pedangnya lihai seperti Suhunya!" kata Kim-Gan-Liong dan suaranya kini berobah seakan-akan batu besar yang tadinya menindih hatinya telah terangkat.

   "Kesalahanku dulu telah terbalas, puaslah hatiku!" Setelah membalut dan merawat susioknya, pada keesokan harinya, Tek Kun lalu berpamit dan berkata pada orang tua itu,

   "Teecu melihat Ngo-Lian-Hengte dan Bong Te Sianjin berada di kota ini, maka tentu akan terjadi sesuatu yang buruk. Teecu perlu menyelidiki keadaan mereka," katanya dan Kim-Gan-Liong tak dapat menahan murid keponakannya ini karena iapun maklum akan ganasnya sepak terjang Ngo-Lian-Hengte, lima ketua dari Ngo-Lian-Kauw itu.

   Apalagi Bong Te Sianjin yang menjadi Supek (Uwak Guru) dari mereka, karena pertapa tua ini terkenal sebagai seorang tua yang selalu membela dan membantu perkembangan Ngo-Lian-Kauw. Adapun Hwe-Thian Mo-Li setelah pergi dari rumah Kim-Gan-Liong dan kembali ke kamar di hotel, lalu merebahkan diri di atas pembaringan dan ia mengenang semua peristiwa tadi dengan hati puas. Ia telah memberi peringatan dan hajaran kepada Kim-Gan-Liong sehingga dengan perbuatan itu, ia menghilangkan rasa penasaran dari Suhunya dan juga mengangkat nama Suhunya. Akan tetapi anehnya, kenangan ini selalu terganggu oleh bayangan wajah pemuda yang tampan itu. Sim Tek Kun! Nama ini selalu dibisikkan oleh bibirnya.

   "Kurang ajar!" kata Hwe-Thian Mo-Li karena gangguan ini dan ia berusaha sekuat mungkin untuk mengusir bayangan ini dari ingatannya, Akan tetapi, makin diusir, makin jelaslah bayangan wajah pemuda itu dan makin tak dapat dilupakan.

   Pandangan mata yang jenaka itu, senyum yang berseri itu, ah... Hmoli mengeluh dan menganggap diri sendiri sudah menjadi gila. Gadis perkasa yang berhati baja dan tidak takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga ini, secara tak sadar telah dipermainkan oleh pengaruh yang besar sekali kekuasaannya, yang kuasa mempermainkan manusia yang bagaimanapun juga. Tak perduli ia orang biasa, petani miskin, hartawan, bangsawan, bahkan panglima-panglima perang yang gagah perkasa, tetap saja dapat dipermainkannya seperti halnya Hwe-Thian Mo-Li sekarang ini. Dan pengaruh ini bukan lain adalah Asmara. Hatinya yang keras merasa tidak puas dan gemas terhadap kelemahannya sendiri dan ia juga merasa heran sekali mengapa bayangan pemuda yang belum dikenalnya itu dapat membuat ia hampir tak dapat meramkan matanya semalam penuh.

   Dengan hati masih mendongkol, pagi-pagi benar ia sudah bangkit dari tidurnya, duduk bersamadhi untuk mengumpulkan tenaga dan menentramkan semangat, kemudian ia lalu berdandan dan pagi-pagi sekali ia sudah membereskan pembayaran kamar hotelnya dan pergi menggendong buntalannya menuju ke sebelah barat kota. Ia hendak mencari kuil di sebelah barat kota untuk memenuhi janjinya dengan Ngo-Lian-Hengte yang menantangnya. Ketika ia tiba di depan kuil, di situ amat sunyi karena kuil itu berada agak jauh di luar kota, di luar sebuah hutan. Hwe-Thian Mo-Li berdiri di luar kuil, merasa ragu-ragu untuk masuk. Agaknya kuil ini adalah sebuah kuil kosong dan ia merasa sangsi untuk masuk, kalau-kalau di situ terdapat perangkap.

   "Ngo-Lian-Hengte!" ia berseru keras.

   "Aku sudah datang memenuhi janji!" Suaranya bergema sampai di hutan itu dan tak lama kemudian terdengar seruan dari dalam kuil,

   "Bagus, Hwe-Thian Mo-Li, ternyata kau benar-benar mengantarkan nyawamu kepada kami!" Berbareng dengan ucapan itu, muncullah lima orang saudara she Kui itu dari pintu kuil, dan melihat keadaan mereka yang sudah siap sedia dengan pedang ditangan, dapat diduga bahwa mereka memang telah menanti sejak tadi. Ketika Siang Lan melihat seorang kakek yang berpakaian seperti pertapa ikut keluar di belakang lima orang itu, ia berlaku waspada. Lima orang ketua Ngo-Lian-Kauw itu sama sekali tidak ditakutinya karena ia sudah tahu sampai di mana kepandaian mereka, akan tetapi kakek ini agaknya memiliki kepandaian tinggi, melihat dari sikapnya yang tenang dan pandangan matanya yang tajam berpengaruh.

   "Aku telah datang dan kalau kalian merasa penasaran atas kekalahan tempo hari, nah, mau tunggu kapan lagi?" kata gadis yang tabah ini sambil melemparkan bungkusan pakaiannya ke bawah pohon dan mencabut pedangnya. Jerih juga hati lima orang ketua Ngo-Lian-Kauw itu menyaksikan ketenangan dan ketabahan pendekar wanita itu, akan tetapi Kui Jin yang tertua lalu melangkah maju dan berkata,

   "Hwe-Thian Mo-Li, urusan penasaran di Kan-Cou dulu hanya urusan kecil, karena sudah lazimnya dalam pertempuran ada yang menderita kekalahan. Akan tetapi, kami telah mendengar tentang sepak terjangmu yang ganas dan kejam. Kau telah membunuh Santung-Taihiap dan telah mengacau pesta Toat-beng Moli dan kemudian bersama gadis penari itu kau telah membunuhnya pula. Kau benar-benar tidak mengindahkan orang-orang kang-ouw dan mengandalkan keganasanmu berlaku sewenang-wenang!" Hati Siang Lan merasa sebal sekali mendengar ucapan ini dan dengan gerakan tak sabar ia mengibaskan tangannya.

   "Sudahlah, aku datang ke sini untuk memenuhi tantanganmu, bukan untuk mendengarkan ocehanmu. Kita tidak mempunyai permusuhan, akan tetapi kalau kau berlima berani menantang, jangan kira bahwa Hwe-Thian Mo-Li akan mundur setapak pun".

   "Perempuan sombong!" seru Kui Sin yang termuda dengan marah dan ia segera mulai menyerang gadis itu. Keempat saudaranya juga maju berbareng dan sebentar saja Hwe-Thian Mo-Li, terkurung oleh lima orang itu. Siang Lan mendapat kenyataan bahwa kini ilmu pedang ke lima orang itu agak lebih maju, akan tetapi masih belum cukup berbahaya baginya.

   Ia hendak menyelesaikan pertempuran ini secepat mungkin, maka sambil berseru keras gadis pendekar ini lalu memutar pedangnya dan mainkan ilmu pedang Liong-Cu Kiam-Hwat. Bagaikan seekor naga sakti, gulungan pedang di tangan Siang Lan menyambar-nyambar dan bermain-main di antara gulungan lima pedang lawannya, dan saking cepatnya gerakan gadis ini, tubuhnya sampai lenyap dari pandangan mata. Seperti juga dulu ketika mengeroyoknya di dalam rumah Toat-beng-sin-to Liok Kong, ke lima orang ketua Ngo-Lian-Kauw ini menjadi terkejut sekali. Mereka telah menciptakan ilmu silat pedang yang dimainkan oleh mereka berlima dan yang berbentuk bunga teratai dengan lima daun bunga yang mereka namakan Ngo-lian-tin atau Barisan Lima Teratai. Akan tetapi menghadapi kegesitan Siang Lan, Ngo-lian-tin mereka ternyata tiada gunanya sama sekali.

   Gadis ini tak dapat dikurung ditengah-tengah, baru saja mereka berhasil mengurung, gadis itu telah sanggup memecahkan dengan serangannya yang ganas ke satu jurusan. Kini, setelah gadis itu mengeluarkan kepandaiannya, bukan gadis itu yang terkurung, bahkan mereka berlima yang seakan-akan terkurung oleh gulungan sinar pedang yang berkelebatan tak tentu perkembangan dan perubahannya itu. Baru saja pertempuran berlangsung dua puluh jurus, pedang di tangan Kui Le telah terlempar karena gempuran pedang Siang Lan. Dan Kui Gi terpaksa harus melepaskan pedangnya pula karena lengannya tercium oleh ujung sepatu Siang Lan sehingga ia merasa seakan-akan tulang lengannya menjadi patah. Kederlah hati tiga orang pengeroyok yang lain dan pada saat itu, terdengar bentakan halus.

   "Kalian mundurlah dan biarkan lohu (aku yang tua) menangkap gadis liar ini!" Siang Lan merasa ada angin menyambar dari kiri dan cepat ia mengelak. Ia terkejut juga ketika melihat bahwa sambaran angin ini dikeluarkan dari tangan kakek itu yang dipukulkan kepadanya dari jauh. Kui Jin, Kui Ti, dan Kui Sin lalu melompat mundur dengan hati lega karena Supek mereka sekarang mau turun tangan. Sementara itu, Siang Lan sambil menunda pedangnya di depan dada, lalu bertanya kepada kakek itu.

   "Ngo-Ciangbun menantang aku yang muda untuk mengadu kepandaian, dan siapakah kau orang tua yang ikut mencampuri urusan kami?" Kakek itu tersenyum menyeringai dan terlihatlah bahwa di dalam mulutnya sudah tidak ada gigi sepotongpun.

   "Hwe-Thian Mo-Li, Sudah lama lohu mendengar namamu yang menggemparkan. Murid-murid keponakanku tak dapat melawanmu, maka biarlah aku Bong Te Sianjin yang menjadi Supek mereka main-main sebentar denganmu!" Sambil berkata demikian, kakek itu lalu mengambil senjatanya, yakni sepotong tongkat yang gagangnya berbentuk ular.

   "Bong Te Sianjin, kau orang tua yang sudah disebut sianjin (manusia dewa, orang suci) sungguh mengherankan sekali masih suka mencari urusan. Kalian terlalu mendesak maka terpaksa aku yang muda memberi hajaran sedikit. Jangan kira bahwa aku takut. Nah, majulah semua!" tantang Hwe-Thian Mo-Li dengan garang sekali. Bong Te Sianjin terkekeh, lalu menyerang sambil berkata,

   "Boca cilik yang besar kepala!" Biarpun tongkat itu kecil saja, namun daya serangannya jauh lebih bertenaga dan lebih berbahaya dari pada lima batang pedang dari Ngo-Lian-Hengte tadi. Siang Lan maklum bahwa kini ia menghadapai seorang lawan yang tangguh, maka ia berlaku hati-hati. Ia cepat menangkis dengan pedangnya dan baiknya ia berlaku hati-hati, karena begitu pedang menempel pada tongkat lawan.

   Tiba-tiba dengan getaran tenaga lweekang, tongkat itu diputar sedemikian cepatnya sehingga kalau Siang Lan tidak cepat menarik kembali pedangnya, banyak kemungkinan pedangnya akan terlepas dari pegangan. Maklumlah ia bahwa kakek ini dapat menyalurkan tenaga lweekangnya yang tinggi melalui tongkatnyasehingga tongkat pendek itu dapat bergerak mengandung tenaga cam (melibat, mengikat), tenaga Coan (memutar), membetot , dan lain-lain menurut kehendak kakek itu. Gadis yang berilmu tinggi ini teringat akan nasehat mendiang Suhunya bahwa untuk menghadapi seorang yang ilmu lweekangnya lebih tinggi darinya, ia tidak boleh menggunakan tenaga kasar, tidak boleh menggunakan tenaga dan harus mengandalkan kecepatan untuk mendahului lawan.

   Maka Siang Lan lalu mengerahkan ginkangnya (ilmu meringankan tubuh) yang memang sudah sempurna itu, dan ketika ia mainkan ilmu pedangnya, maka kini gulungan sinar pedangnya lebih lebar dan lebih cepat dari pada tadi ketika dikeroyok lima. Semua serangannya ia tujukan ke arah jalan darah yang berbahaya dari kakek itu, merupakan serangan maut yang benar-benar ganas dan berbahaya. Bong Te Sianjin benar-benar terkejut Tak pernah disangkanya bahwa gadis muda ini sedemikian lihainya. Tadinya ia hendak mendesak, mempermainkan gadis itu untuk memamerkan kepandaiannya di depan ke lima murid keponakannya. Akan tetapi setelah bertempur mati-matian, jangankan hendak mendesak mempermainkan, bahkan untuk mengimbangi gerakan gadis yang luar biasa cepatnya itu saja telah membuat napasnya menjadi megap-megap.

   Namun ilmu tongkatnya memang kuat sekali sehingga bagi Siang Lan juga tidak mudah untuk merobohkan kakek ini. Agaknya hanya soal napas saja yang akan dapat memberi kemenangan kepada gadis itu, maka Siang Lan juga berlaku cerdik dan bergerak makin cepat agar kakek itu mengerahkan tenaga dan kehabisan napas. Kalau tidak dapat menang dalam seratus jurus, biarlah aku ladeni dia sampai dua ratus jurus pikirnya. Adapun ke lima orang ketua Ngo-Lian-Kauw itu, ketika melihat betapa Supek mereka tidak dapat menang setelah bertempur puluhan jurus, dan malah terdengar napas Supek mereka megap-megap seperti kerbau disembelih, mereka serentak maju mengeroyok lagi. Kui Le dan Kui Gi sudah mengambil pedang mereka kembali dan Bong Te Sianjin kini tidak malu-malu lagi untuk membiarkan ke lima orang itu membantunya.

   "Bagus, majulah semua!" Siang Lan menantang tanpa takut sedikitpun. Akan tetapi harus diakuinya bahwa keroyokan enam orang ini benar-benar merupakan lawan yang amat berat. Dengan masuknya lima saudara she Kui itu, ia harus memecah perhatiannya dan ini merupakan hal yang berbahaya karena serangan tongkat di tangan Bong Te Sianjin masih tetap kuat dan berbahaya sekali. Ia lalu bersilat dengan hati-hati dan tenang, tidak mau menghamburkan tenaga seperti tadi ketika berhadapan dengan Bong Te Sianjin seorang. Tanpa terasa, Siang Lan telah bertempur seratus jurus lebih dan masih saja ia dalam keadaan terkurung. Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak-gelak, disusul dengan suara yang parau.

   "Ha, ha, ha, ha...! Enam orang laki-laki mengeroyok seorang gadis muda jelita. Sungguh lucu. Eh, Bong Te Sianjin, apakah kau sekarang sudah menjadi pikun dan loyo?" Mendengar suara itu, Bong Te Sianjin berseru girang dan menjawab.

   "Leng Kok Hosiang! Kau tidak tahu bahwa gadis muda ini adalah Hwe-Thian Mo-Li yang lihai dan ganas!" Ucapan dari Bong Te Sianjin ini mendatangkan rasa kaget kepada Siang Lan dan juga kepada Hwesio yang baru muncul itu. Siang Lan terkejut berbareng girang karena dapat bertemu dengan musuh besarnya, sebaliknya Leng Kok Hosiang terkejut karena ia sudah mendengar betapa dara perkasa ini sedang mencari-carinya untuk membalas dendam. Ia juga sudah mendengar betapa Hwe-Thian Mo-Li telah berhasil membunuh tiga orang kawannya yang dulu ikut naik ke Liong-Cu-San.

   "Ah, dia memang gadis jahat dan kejam!" serunya sambil meloloskan goloknya.

   "Kita harus membunuhnya. Marilah kubantu kalian!" Dengan gerakan cepat sekali Leng Kok Hosiang lalu maju menyerbu dan mengeroyok Siang Lan.

   "Keparat jahanam Leng Kok Hosiang! Kebetulan sekali kau mengantar kepalamu yang gundul untuk kuhancurkan!" seru Siang Lan dengan gemas sekali dan ia menyambut kedatangan Hwesio itu dengan serangan kilat yang dilakukan dengan sepenuh tenaga.

   Akan tetapi karena selain Leng Kok Hosiang sendiri memiliki kepandaian tinggi, juga di situ terdapat Bong Te Sianjin dan Ngo-Lian-Hengte, tentu saja ia tak dapat bergerak dengan leluasa, bahkan sebentar saja ia telah terdesak mundur karena datangnya senjata lawan bagaikan hujan lebatnya. Sambil menggertak gigi, Siang Lan melakukan perlawanan dan ia telah mengambil keputusan nekad untuk membunuh musuh besarnya atau terbunuh oleh keroyokan itu! Ia mengamuk dengan nekat sekali sehingga ketujuh orang pengeroyoknya menjadi kagum dan juga terheran-heran. Mereka mendesak terus dibarengi dengan suara Leng Kok Hosiang yang menertawakannya dan mengejeknya untuk membuat gadis itu menjadi makin gemas.

   "Ha ha ha! Hwe-Thian Mo-Li, kau hendak lari ke mana? Kau seperti seekor tikus kecil dalam perangkap. Ha ha!" Pada saat kedudukan Hwe-Thian Mo-Li benar-benar berada dalam bahaya besar, tiba-tiba terdengar suara dari luar kuil.

   "Hm, sungguh tak tahu malu tokoh-tokoh kang-ouw seperti tujuh orang ini mengeroyok seorang gadis muda! Benar-benar dunia ini penuh dengan manusia-manusia curang!" Berbareng dengan habisnya ucapan itu, muncullah seorang pemuda tampan dari pintu kuil. Ia berpakaian seperti seorang pemuda pelajar yang lemah lembut dan sederhana, akan tetapi begitu tangannya bergerak, ia telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan dari bawah jubahnya yang panjang.

   "Betapapun juga, Kun-Lun Siauwhiap (Pendekar muda dari Kun-Lun) tidak dapat membiarkan keganjilan ini berlangsung terus!" seru pemuda itu yang segera maju menyerbu dan membantu Siang Lan. Semenjak mendengar suara itu, dada Siang Lan sudah berdebar aneh karena ia mengenal suara itu. Apalagi setelah pemuda itu muncul, tak terasa lagi muka gadis ini menjadi merah sekali dan gerakan pedangnya kacau sehingga hampir saja tongkat Bong Te Sianjin mampir di pundaknya.

   Ia cepat membuang jauh-jauh pikirannya yang kacau itu dan bersilat dengan mengerahkan seluruh tenaga. Sementara itu, Bong Te Sianjin dan Leng Kok Hosiang yang sudah mendengar kemashuran nama Kun-Lun Siauhiap, pendekar muda dari Kun-Lun-pai yang menurut kabarnya amat tangkas dan gagah perkasa itu, merasa tidak enak hati. Apalagi setelah pedang di tangan Tek Kun bekerja amat cepat dan kuatnya, menghalau beberapa pedang pengeroyok, hati mereka menjadi cemas. Leng Kok Hosiang mencoba untuk mendesak Siang Lan, namun gadis itu yang memang selalu mengarahkan serangan pedangnya kepada Hwesio ini, ternyata masih kuat dan dan tidak mudah dirobohkan begitu saja. Pertempuran menjadi makin hebat.

   Ngo-Lian-Hengte mengeroyok Tek Kun, sedangkan kedua orang pertapa itu menghadapi Siang Lan. Kalau gadis perkasa itu masih merasa kewalahan menghadapi Leng Kok Hosiang dan Bong Te Sianjin yang benar-benar tangguh, adalah Tek Kun yang dikeroyok oleh lima orang ketua Ngo-Lian-Kauw itu menghadapi makanan empuk. Baru beberapa gebrakan saja terdengar teriakan-teriakan kesakitan, disusul oleh robohnya Kui Sin dan Kui Ti. Makin cemaslah hati Leng Kok Hosiang. Ia maklum bahwa kalau kawan-kawannya ini roboh dan ia harus menghadapi Hwe-Thian Mo-Li seorang diri, pendekar wanita itu tentu takkan mau berhenti sebelum mengadu jiwa! Dia melihat kepandaian pendekar wanita ini, ia masih merasa ragu-ragu apakah ia akan dapat menang apabila bertempur satu lawan satu.

   Tiba-tiba Leng Kok Hosiang melompat mundur dua tombak lebih dan ketika Siang Lan mengejar, Hwesio ini dengan tubuh merendah lalu menyerangnya dengan pukulan Hek-coa-jiu yang lihai itu! Siang Lan pernah mendengar tentang kelihaian pukulan Hek-coa-jiu ini, maka cepat ia mempergunakan ginkangnya dan tubuhnya mencelat ke udara dan langsung ia menyerang ke arah Hwesio itu dengan pedangnya. Akan tetapi Bong Te Sianjin telah datang dan menyambut pedangnya yang menyerang Hwesio itu, sedangkan Leng Kok Hosiang yang menyaksikan betapa gadis itu dengan mudah dapat menggagalkan serangannya, cepat mempergunakan kesempatan itu untuk melompat keluar dari kuil dan melarikan diri. Dengan marah Siang Lan hendak mengejar, akan tetapi Bong Te Sianjin tidak mau melepaskannya, bahkan lalu menyerang hebat sekali dengan tongkatnya.

   "Bong Te Sianjin, kau benar-benar menjemukan!" seru Siang Lan dengan gemas sekali dan pedangnya lalu bekerja lebih cepat lagi. Kini ia tidak mau main-main lagi dan kedua tangannya bergerak, yang kanan menyerang dengan pedang, yang kiri melancarkan pukulan-pukulan dengan pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya.

   Ia kini dikuasai oleh nafsu untuk merobohkan dan membunuh kakek yang menghalanginya mengejar Hwesio musuh besarnya. Bong Te Sianjin sudah kehabisan tenaga, maka mana ia mampu mempertahankan diri lebih lama lagi? Biarpun tongkatnya masih berhasil menangkis pedang di tangan lawannya, akan tetapi pukulan tangan kiri Siang Lan telah beberapa kali mengenai dadanya, dan biarpun yang mengenai hanya angin pukulan saja, akan tetapi karena napasnya memang sudah tersengal-sengal sehingga ia tidak dapat mengerahkan tenaga pertahanan dengan baik. Akhirnya ia terhuyung-huyung dan roboh sambil muntahkan darah segar dari mulutnya. Siang Lan tidak memperdulikan keadaan kakek itu lagi dan melompat keluar mengejar musuh besarnya sambil berseru.

   "Bangsat gundul, kau hendak lari ke mana?" Akan tetapi karena waktu antara kepergian Hwesio itu sudah agak lama, ketika ia tiba di luar kuil, Leng Kok Hosiang sudah lenyap tak nampak bayangannya lagi. Sementara itu, Tek Kun dengan mudah juga sudah merobohkan ketiga orang pengeroyoknya dan melihat gadis itu melompat keluar mengejar Hwesio tadi, iapun melompat pula mengejarnya. Tek Kun melihat gadis itu berdiri di pinggir hutan sambil matanya memandang ke sana ke mari mencari jejak orang yang dikejarnya, dan ketika pemuda itu datang menghampirinya, gadis itu menyambutnya dengan teguran ketus,

   "Mengapa kau mencampuri urusanku?" Tek Kun melengak dan untuk beberapa lama tak dapat segera menjawab. Tak disangkanya bahwa gadis gagah perkasa ini demikian galaknya. Akan tetapi ia tersenyum dan berkata,

   "Siapa yang mencampuri urusanmu? Aku hanya melihat ketidakadilan dalam pengeroyokan itu, maka aku membantu tanpa kusadari lagi. Apakah kau marah karena aku membantumu?" Nada suara yang halus ini menikam hati Siang Lan. Memang semenjak Suhunya meninggal dunia, ia merasa hidup sebatangkara dan tak seorang pun di dunia ini yang dapat ia andalkan. Kini setelah ada pemuda yang amat menarik hatinya ini membantu tanpa diminta, mengapa ia harus marah-marah? Ia merasa betapa ia telah bersikap terlalu sekali, maka ia lalu menjawab,

   "Tidak ada alasan bagiku untuk menjadi marah. Akan tetapi jangan kaukira bahwa aku harus berlutut kepadamu dan menghaturkan terima kasih atas bantuanmu tadi. Karena kau membantu tanpa kuminta dan akupun belum tentu kalah dikeroyok oleh tujuh orang tadi!" Tek Kun tersenyum lagi, senyum yang membuat wajahnya yang tampan itu nampak berseri dan senyum yang membuat jantung Siang Lan berdebar aneh.

   "Nama Hwe-Thian Mo-Li memang amat menggemparkan dan sudah lama aku mengagumi namamu. Benar-benar kau gagah perkasa dan maafkan kalau tadi aku telah berlaku lancang." Kembali Siang Lan merasa terpukul hatinya. Orang telah membantunya, merobohkan, Ngo-Lian Hengte, kini orang ini tidak mengharapkan terma kasihnya, bahkan datang-datang secara jujur meminta maaf. Sungguh pihaknyalah yang amat keterlaluan dalam hal ini.

   "Sudahlah, aku tidak perlu dengan segala permintaan maaf!" katanya.

   "Kau galak sekali!" kata Tek Kun sambil tersenyum dan sepasang matanya memandang dengan jenaka.

   "Habis, apakah kau menyuruh aku tersenyum-senyum kepadamu, bersikap manis dan genit? Aku tidak bisa bersikap seperti itu!" Siang Lan menantang.

   "Maaf nona, bukan maksudku menyinggung hatimu. Sebetulnya mengapakah kau mengejar Hwesio itu? Siapakah dia tadi? Kulihat ilmu silatnya tinggi juga."

   "Dia adalah Leng Kok Hosiang, musuh besarku. Sayang ia dapat melarikan diri dan aku tidak tahu ke jurusan mana ia pergi!" Pemuda itu nampak terkejut.

   "Diakah yang bernama Leng Kok Hosiang yang berjuluk Jai-Hwa-Sian? Ah, sayang, kalau tadi aku tahu, tentu tak sudi aku melayani segala cacing seperti Ngo-Lian Hengte dan membantumu merobohkannya."

   "Aku tidak minta bantuanmu dan sekarangpun aku hendak mengejarnya seorang diri." Siang Lan hendak pergi, akan tetapi pemuda itu berkata.

   "Nona, kau tidak tahu ke mana perginya Hwesio itu?"

   "Apakah kau tahu?"

   "Tentu saja aku tahu ke mana ia pergi! Ia tentu pergi ke Kota Raja, karena sesungguhnya menjadi tugasku pula untuk menyelidikinya. Ia menjadi utusan kaum pemberontak di selatan. Mungkin sekali dia hendak menghadap Kaisar sebagai seorang utusan."

   "Begitukah? Nah, aku pergi!" jawab Siang Lan tanpa mengucapkan terima kasihnya. Akan tetapi belum lama Siang Lan pergi menuju ke Kota Raja di sebelah utara, tiba-tiba telinga gadis itu mendengar sesuatu dari tempat di mana tadi ia bertemu dengan Tek Kun. Ia segera berlari ke tempat itu kembali dan terheranlah ia ketika ia melihat pemuda itu berlutut di depan seorang Tosu (pendeta To) tua yang bersikap bengis dan sedang marah besar,

   "Mengapa kau mengabaikan tugasmu dan membuang waktumu dengan membantu segala gadis kang-ouw? Mengapa kau tidak menjatuhkan hukuman kepada susiokmu sebagaimana yang telah menjadi tugasmu?"

   "Ampun, Sucouw (Kakek Guru), teecu tidak sampai hati menjatuhkan hukuman itu karena menurut pendapat teecu susiok tidak bersalah." Marahlah Tosu itu. Ia membanting-banting kaki dan berkata.

   "Anak lancang! Betapapun tinggi kedudukanmu, siapapun juga adanya kau, kau telah menjadi murid Kun-Lun-pai dan harus tunduk kepada semua peraturan. Cin Lu Ek telah melakukan pelanggaran, bersekutu dengan orang-orang jahat dan membunuh Ong Han Cu secara pengecut, curang, dan merendahkan nama Kun-Lun-pai yang besar. Kau sudah kuberi tugas untuk menjatuhkan hukuman kepadanya, akan tetapi ternyata kau telah mengabaikan tugasmu. Tahukah kau hukuman apa yang dijatuhkan kepada seorang anak murid Kun-Lun-pai yang mengabaikan tugasnya?"

   "Teecu tahu, Sucouw. Akan dicabut kembali semua kepandaian yang teecu pelajari dari Kun-Lun-pai." Tosu itu melangkah maju.

   "Nah, kau sudah tahu, itu baik sekali. Bersiaplah kau!" Sambil berkata demikian, Tosu ini bergerak hendak menotok kedua pundak Sim Tek Kun. Kalau totokan itu mengenai sasaran, maka kedua lengan tangan pemuda itu akan menjadi lumpuh dan selama hidup kedua lengannya takkan dapat dipergunakan untuk bersilat lagi. Tiba-tiba menyambar bayangan yang cepat sekali dan Tosu itu dengan terkejut merasa betapa ada sambaran angin yang kuat dari belakangnya. Ia membalikkan tubuh dan menunda gerakannya menotok anak muridnya, dan secepat kilat ia mengibaskan ujung lengan bajunya ke belakang. Siang Lan yang ternyata turun tangan menolong Tek Kun, terhuyung mundur sampai lima langkah karena kebutan ujung lengan baju ini.

   "Hm, gadis lancang, kau siapakah sebenarnya maka berani sekali turun tangan terhadap pinto?" Sebagai jawaban, Siang Lan mencabut pedangnya dan berkata tajam.

   "Totiang, mengapa seorang pendeta seperti Totiang masih mengandung hati yang amat kejamnya? Aku sendiri yang menjadi murid dari Pat-Jiu Kiam-Ong, karena otak dan pikiran sehat tidak membalas dendam kepada Kim-Gan-Liong, mengapa Totiang tidak mau mendengar alasan dan secara membuta hendak menjatuhkan tangan ganas terhadap anak murid sendiri?" Tosu itu tertarik sekali mendengar ucapan ini dan ia lalu berkata.

   "Hm, jadi kau ini adalah murid dari Pat-Jiu Kiam-Ong? Tentu kau yang disebut Hwe-Thian Mo-Li?"

   "Benar, Totiang."

   "Pinto berurusan dengan anak murid sendiri, mengapa kau ikut campur? Ada hubungan apakah kau dengan Tek Kun?" Merahlah seluruh wajah gadis itu.

   "Tidak ada hubungan apa-apa, hanya aku tidak bisa melihat orang berlaku kejam tanpa alasan. Perbuatan itu tentu akan kuhalangi, tidak perduli siapa yang melakukannya terhadap, siapa pula diperbuatnya!"

   "Ha, ha, ha! Kau pintar bicara, anak muda! Hendak kulihat apakah kau benar-benar berani menghalangi perbuatanku menghukum anak murid sendiri!" Sambil berkata demikian, kembali Tosu itu melangkah maju ke arah Tek Kun yang masih berlutut. Akan tetapi sekali menggerakkan tubuh, Siang Lan telah melompat dan berdiri menghadang di depan pemuda itu sambil memegang pedangnya.

   "Hwe-Thian Mo-Li, kau anak kecil benar-benar berani mati. Tahukah bahwa kau sedang berhadapan dengan ketua dari Kun-Lun-pai? Gurumu sendiri belum tentu berani bersikap sekurang ajar ini."

   "Maaf, locianpwe, sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak perduli siapa saja yang melakukan perbuatan sewenang-wenang, pasti kulawan. Dari kebutan lengan baju locianpwe tadi saja aku sudah tahu bahwa aku bukanlah tandingan, akan tetapi apa boleh buat, terpaksa kulawan juga."

   "Untuk melindungi Tek Kun, kau bersedia mengorbankan nyawamu?"

   "Untuk membela kebenaran dan melindungi orang yang tertindas, aku bersedia menghadapi kematian, Totiang!" Tiba-tiba Tosu itu tertawa bergelak dan suara ketawanya nyaring sekali sampai menggema di empat penjuru.

   "Tek Kun, kau untung sekali. Kau telah dicinta oleh seorang gadis yang benar-benar setia dan gagah perkasa!" Setelah berkata demikian, kakek itu mengebutkan lengan bajunya dan tahu-tahu tubuhnya telah lenyap dari situ. Tek Kun bangun berdiri dan menjura kepada Siang Lan.

   "Nona, aku telah berhutang budi kepadamu." Merahlah wajah Siang Lan mendengar ini, apalagi karena ucapan kakek tadi masih mendengung di telinganya.

   "Siapa yang berhutang budi? Kau mempunyai Sucouw yang amat kasar!" Berkerutlah dahi pemuda itu mendengar ucapan ini.

   "Hwe-Thian Mo-Li, kau pandai mencela orang. Tidak tahukah kau bahwa kau sendiri adalah seorang gadis yang amat kasar? Aku ingin bersahabat denganmu karena kau adalah seorang gadis gagah perkasa yang mempunyai pribadi tinggi dan menjunjung keadilan. Akan tetapi berkali-kali kau bersikap kasar kepadaku dan sekarang bahkan kau berani melawan Sucouwku dan mengatakan dia seorang kasar!"

   "Aku tidak butuh menjadi sahabatmu!" sahut Siang Lan dengan cemberut.

   "Hm, sikapmu ini mengingatkan aku akan ucapan Sucouw tadi!" Mendengar ini, Siang Lan memandang dengan mata bersinar marah akan tetapi ia tidak dapat membuka mulutnya, bahkan bibirnya bergemetar menahan gelora hatinya.

   Akhirnya ia membalikkan tubuh dan melompat pergi menuju ke Kota Raja. Tek Kun berdiri termenung. Ia tertarik kepada gadis ini akan tetapi tidak dapat mencinta seorang gadis yang menurut pandangannya terlalu kasar dan galak itu. Namun diam-diam ia kagum sekali melihat keberanian Hwe-Thian Mo-Li. Betapa gagahnya gadis ini ketika tadi menentang Sucouwnya. Dan ia kini maklum juga bahwa Sucouwnya tadi hanya mempermainkannya saja. Maklum bahwa Sucouwnya yang sakti itu telah tahu akan kedatangan Hwe-Thian Mo-Li dan hendak mencoba watak gadis itu. Kemudian ia menghela napas dan menyesalkan nasibnya mengapa ia ditunangkan dengan seorang gadis penari. Ia telah mendengar akan hal ini dari seorang sahabatnya, dan ia sedang bingung memikirkannya. Telah berkali-kali ia membantah kehendak orang tuanya yang hendak menikahkannya.

   Akan tetapi, kali ini orang tuanya telah mengambil keputusan tanpa bertanya dulu kepadanya. Bagaimana ia dapat membantah? Namun ia merasa penasaran sekali. Ia tidak suka menikah dengan seorang gadis yang lemah, seorang gadis penari. Ah, ia kecewa sekali. Kalau saja Hwe-Thian Mo-Li tidak seganas dan segalak itu. Dan gadis itu menyinta padanya! Dengan pikiran melamun, pemuda inipun lalu berlari cepat menuju ke Kota Raja Lian Hong merasa tidak puas akan usaha kakeknya membantunya mencari keterangan tentang musuh-musuh Ayahnya. Sebetulnya ia ingin sekali keluar dari gedung Ciok-Taijin untuk mencari sendiri musuh-musuh besarnya itu, akan tetapi ia selalu dicegah oleh ibunya dan ia merasa tidak tega kepada ibunya. Pada hari itu, kakeknya datang ke kamarnya dengan wajah muram.

   "Lian Hong, terus terang saja kuberitahukan kepadamu bahwa para penyelidik kita telah mendapat tahu tentang Leng Kok Hosiang musuh besar Ayahmu itu. Dia adalah Hwesio yang dulu pernah datang melukai aku dan kemudian dikalahkan oleh Suhumu." Berserilah wajah Lian Hong yang cantik mendengar keterangan ini.

   "Dimana dia, Kong-kong? Di mana si jahanam itu?" Kakeknya menghela napas.

   "Lian Hong, ketahuilah bahwa bukan hanya engkau yang ingin melihat kepala gundul itu mampus. Aku sendiri pernah terkena pukulannya yang keji dan kalau tidak ada Suhumu, tentu aku telah tewas pula. Akan tetapi, sekarang dia mempunyai kedudukan yang amat penting sehingga sukar bagi kita untuk melanjutkan usaha balas dendam ini. Dia berada di Kota Raja sini, nak." Lian Hong melompat dari kursinya.

   "Biar aku mencari dia, Kong-kong!" Cepat-cepat gadis ini lalu bersiap, membelitkan pedangnya pada pinggang dan mengambil selendang merahnya.

   "Nanti dulu, Lian Hong. Selain Hwesio itu amat berbahay dan berkepandaian tinggi, juga kau harus tahu bahwa dia sekarang merupakan orang yang amat penting dan kalau kita mengganggunya, kita dapat berurusan dengan Kaisar." Nona itu menjadi bengong dan heran.

   "Apa maksudmu, Kong-kong?"

   "Dia datang sebagai utusan pemberontak di selatan, dan dia membawa pesanan dari pimpinan pemberontak kepada Kaisar. Dengan demikian, kedudukannya penting sekali dan tentu saja tak boleh diganggu."

   "Bagaimanapun juga, aku harus menyelidiki keadaannya Kong-kong. Kalau perlu, akan kuserang dia di luar kota."

   "Baiklah, akan tetapi hati-hatilah jangan kau turun tangan di dalam kota. Akan celaka kita semua kalau hal ini terjadi." Mereka lalu berunding dan karena mereka mendengar bahwa Hwesio itu bermalam di rumah Gan-Siupi, seorang pembesar she Gan dan bahwa Hwesio itu diterima sebagai seorang tamu agung, maka Lian Hong lalu berkemas untuk mengunjungi gedung Gan-Siupi. Ia telah kenal baik dengan Gan-Hujin (nyonya Gan) dan Gan Siocia (nona Gan), maka mudahlah baginya untuk mengunjungi gedung itu. Tak lama kemudian, Lian Hong telah naik kendaraan tertutup menuju ke rumah gedung Gan-Siupi. Ketika kendaraannya tiba di jalan yang ramai, ia mendengar pengendara yang duduk di depan berkata perlahan.

   "Aduh, alangkah cantik dan gagahnya!" Lian Hong menjadi tertarik hatinya dan dia lalu menyingkap kain sutera yang menutup kendaraan itu. Dan terkejutlah ia ketika melihat siapa orangnya yang dipuji oleh kusirnya tadi. Ternyata bahwa di pinggir jalan itu seorang nona yang cantik dan gagah sekali sedang berjalan dan memandang ke arah kereta. Nona itu adalah Hwe-Thian Mo-Li Nyo Siang Lan. Lian Hong hendak cepat-cepat menutupkan "muili" kereta itu, akan tetapi mata Siang Lan yang tajam telah melihatnya. Juga Hwe-Thian Mo-Li menjadi terkejut, akan tetapi berbareng nona ini merasa heran dan ragu-ragu.

   Tak salah lagi, nona di dalam kereta itu pasti Lian Hong, gadis penari yang mengaku menjadi puteri Suhunya. Akan tetapi mengapa ia berpakaian demikian mewah dan naik sebuah kendaraan yang jelas adalah kendaraan seorang bangsawan agung? Aku harus mengetahui baik-baik apakah dia benar Lian Hong atau orang lain yang sama mukanya. Dengan hati amat penasaran, Siang Lan lalu

mengikuti kereta itu. Sementara itu, Lian Hong yang berada di dalam kereta juga mengintai dari cela-cela muili dan tersenyum gelilah dia ketika melihat betapa Siang Lan mengikuti keretanya. Ia memuji ketajaman mata Hwe-Thian Mo-Li, akan tetapi ia tidak boleh mengetahui keadaan siapa dirinya sebetulnya. Kalau ia melompat keluar dari kereta dan menjumpai gadis gagah itu sebagaimana yang amat diinginkannya,

   Tentu semua orang akan menjadi terheran-heran bagaimana cucu Ciok-Taijin mempunyai sahabat seorang gadis kang-ouw. Biarpun hatinya penasaran dan menurut pandangan matanya ia hampir merasa yakin bahwa gadis puteri bangsawan yang berada di dalam kereta itu adalah Ong Lian Hong puteri Suhunya, namun jalan pikirannya tidak membetulkan dugaan ini. Bagaimana bisa jadi puteri Suhunya menjadi seorang gadis bangsawan tinggi? Bukankah dulu Lian Hong hanya seorang gadis penari? Demikianlah, sambil mengikuti kereta itu, Siang Lan tiada hentinya berpikir. Ketika kereta berhenti di depan gedung besar, puteri bangsawan itu turun dan para penjaga di depan gedung itu memberi hormat. Siang Lan merasa makin penasaran dan ia mengambil sebuah batu kerikil kecil sekali.

   Tanpa diketahui oleh siapapun juga, ia lalu menyambitkan batu kecil itu ke arah leher puteri bangsawan itu. Ia melakukan percobaan ini karena kalau gadis itu bukan Lian Hong, tentu lehernya akan terkena sambitan ini dan menjerit kesakitan. Akan tetapi, dengan gerakan seperti kebetulan dan tanpa disengaja, gadis bangsawan itu miringkan kepalanya dan sambitan itu mengenai tempat kosong. Siang Lan menjadi girang. Tentu gadis itu Lian Hong adanya. Akan tetapi melihat betapa Lian Hong sama sekali tidak memperdulikannya, ia masih penasaran dan segera menghampiri puteri itu sebelum masuk ke dalam gedung. Ia menjura kepada Lian Hong sambil mengerahkan tenaga pada kedua tangannya dan dengan jalan itu ia menyerang Lian Hong dengan angin pukulannya sambil berkata,

   "Siocia, maafkan kalau aku mengganggumu. Bukankah kita pernah bertemu dan berkenalan?" Para penjaga tentu saja merasa terkejut sekali melihat cucu Ciok-Taijin ditegur oleh seorang gadis gagah perkasa yang membawa pedang pada pinggangnya. Juga Lian Hong merasa bingung juga, maka cepat ia membalas pengormatan Siang Lan sambil mengerahkan tenaga menolak angin pukulan itu, lalu berkata,

   "Mungkin kita hanya saling bertemu dalam alam mimpi dan dalam keadaan lain. Tak mungkin kita telah berkenalan. Harap kau jangan menggangguku." Setelah berkata demikian, ia lalu pergi masuk ke dalam gedung tanpa menoleh lagi kepada Siang Lan. Hwe-Thian Mo-Li ketika merasa betapa gadis bangsawan itu dapat menolak pukulannya, makin merasa yakin bahwa gadis ini tentulah penari yang dulu berhasil membunuh Liok Kong, ia teringat betapa gadis itu tidak mau mengaku tentang keadaan dirinya dan seakan-akan merahasiakan, dan teringat pula akan Suhunya yang juga merahasiakan keadaan keluarganya. Teringat akan hal ini ia tidak mau mendesak dan segera pergi dari situ, melanjutkan penyelidikannya tentang musuh besarnya, yakni Leng Kok Hosiang.

   Sama sekali ia tidak pernah menduga bahwa Hwesio itu berada di dalam gedung di mana ia melihat Lian Hong masuk. Lian Hong disambut oleh para pelayan yang mengantarnya masuk ke dalam gedung. Di ruang tengah, gadis ini melihat Gan-Siupi sedang bercakap-cakap dengan seorang Hwesio dan berdebarlah hatinya ketika ia mengenal Hwesio ini sebagai Hwesio yang dulu pernah menyerang Kong-kongnya, yakni Leng Kok Hosiang. Ketika Gan-Siupi melihat kedatangannya, pembesar itu lalu berdiri dan tersenyum kepadanya, sedangkan Lian Hong buru-buru memberi hormat. Sepasang mata Leng Kok Hosiang bercahaya ketika ia melihat gadis yang luar biasa cantiknya itu. Ia merasa seakan-akan melihat seorang bidadari turun dari kahyangan. Ia sudah lupa lagi kepada Lian Hong karena dulu ketika ia menyerbu rumah Ciok-Taijin, gadis ini masih belum sebesar sekarang.

   Betapapun juga, Leng Kok Hosiang masih mengenal kesopanan dan tidak mau bertanya sesuatu, hanya diam-diam ia menyimpan kecantikan wajah gadis itu di dalam hatinya yang busuk. Sementara itu, sambil menahan gelora hatinya ketika melihat musuh besarnya ini, Lian Hong buru-buru masuk ke ruang belakang untuk menemui Gan-Hujin dan Gan-Siocia. Gan-Siocia yang sudah kenal baik dengan Lian Hong, lalu memeluknya dan membujuk-bujuknya untuk bermalam di situ. Lian Hong pura-pura tidak mau, akan tetapi akhirnya ia menerima undangan ini dan seorang pelayan lalu disuruh pergi ke gedung Ciok-Taijin untuk mengabarkan bahwa Ciok-Siocia bermalam di gedung siupi. Memang untuk orang luar, Lian Hong selalu disebut Ciok-Siocia (nona Ciok) karena kakeknya tidak mau ia menggunakan nama keturunan Ong.

   Malam hari itu, ketika semua orang di dalam gedung Gan-Siupi sudah tidur nyenyak, dua orang di dalam gedung itu masih belum tidur. Mereka ini adalah Lian Hong dan Leng Kok Hosiang. Gadis ini sungguhpun sudah mendapat pesan kakeknya jangan turun tangan di dalam kota, namun melihat Hwesio yang amat dibencinya itu, ia tidak dapat menahan sabarnya lagi. Ia mengganti pakaiannya yang mewah sebagai puteri bangsawan itu dengan pakaian yang ringkas, membawa kedua senjatanya yang tadinya disembunyikan dibalik pakaiannya, dan bersiap untuk menyelidiki keadaan musuh besarnya dan kalau ada kesempatan, turun tangan. Adapun Leng Kok Hosiang, semenjak menyaksikan kecantikan wajah gadis bangsawan yang siang tadi memasuki gedung itu, hatinya selalu berdebar.

   Timbul nafsu jahatnya dan Hwesio yang jahat dan cabul inipun mempunyai maksud untuk menyerbu ke dalam kamar gadis bangsawan itu dan mengganggunya. Memang Leng Kok Hosiang adalah seorang yang amat berani. Menjelang tengah malam, ketika keadaan sudah sunyi betul, dua bayangan yang amat gesit gerakannya dengan hampir berbareng telah melompat ke atas genteng rumah gedung Gan-Siupi. Kedua bayangan orang ini bertemu di bubungan rumah dan keduanya menjadi terkejut. Lebih-lebih Leng Kok Hosiang ketika melihat bahwa bayangan yang dapat bergerak dengan amat gesitnya itu bukan lain adalah gadis bangsawan yang tadinya hendak dijadikan korban. Ia hanya memandang dengan mata terbelalak kepada Lian Hong yang sudah mengeluarkan pedang dan selendang merahnya.

   "Leng Kok Hosiang, jahanam gundul keparat. Sekaranglah saatnya kau harus melepaskan kepala gundulmu!" seru Lian Hong yang segera menyerang dengan pedangnya, menggunakan tipu gerakan Dewa Bumi Memetik Buah, menusukkan pedangnya ke arah kepala musuhnya. Leng Kok Hosiang terkejut sekali melihat cara menyerang yang amat cepat dan lihai ini, maka iapun tidak berani main-main dan cepat mengelak sambil melangkah mundur.

   "Nanti dulu, nona. Bukankah kau ini Ciok-Siocia yang siang tadi datang di gedung ini? Mengapa tanpa sebab kau memusuhi aku? Apakah kesalahanku kepadamu?"

   "Jahanam gundul, kau masih bertanya tentang dosamu? Ingatkah kau akan perbuatanmu yang pengecut dan curang terhadap Pat-Jiu Kiam-Ong?" Terkejut dan terheranlah hati Hwesio ini mendengar disebutnya nama ini.

   "Apakah Pat-Jiu Kiam-Ong juga mempunyai murid seorang gadis bangsawan?" tanyanya seperti kepada diri sendiri. Akan tetapi, Lian Hong tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak berpikir. Gadis ini sudah maju lagi menyerang sambil membentak.

   "Tak perlu kau tahu akan hal itu!" Lian Hong masih berlaku hati-hati dan tidak mau mengaku puteri Pat-Jiu Kiam-Ong, bahkan kini ia menyerang dengan hebat, mempergunakan pedang dan selendangnya. Leng Kok Hosiang menjadi marah sekali. Ia maklum bahwa gadis muda ini memiliki ilmu silat yang tak boleh dipandang ringan, apalagi setelah melihat gerakan selendang merah yang mengandung tenaga lweekang dan yang merupakan senjata penotok jalan darah yang cukup lihai.

   Lenyaplah niatnya untuk mengganggu gadis ini dan ia kini berniat hendak membunuh gadis yang berbahaya ini. Baru menghadapi Hwe-Thian Mo-Li saja ia sudah merasa berat, apalagi kalau pihak anak murid Pat-Jiu Kiam-Ong ditambah dengan gadis yang aneh ilmu silatnya ini. Leng Kok Hosiang lalu mencabut goloknya dan ia membalas menyerang dengan hebatnya. Goloknya berkelebat bagaikan seekor naga buas menyambar mangsanya. Serangan golok yang berbahaya ini masih ia seling dengan pukulan-pukulan Hek-coa-jiu yang dilakukan dengan tangan kirinya. Baiknya Lian Hong sudah maklum atas kelihaian ilmu pukulan yang pernah hampir merampas nyawa kakeknya ini, maka ia selalu berlaku hati-hati dan dapat mengelak dari pukulan lawan.

   "Ah, tentu kau hendak membalas sakit hati karena kakekmu pernah kurobohkan dulu, bukan?" tanya Hwesio itu sambil menangkis serangan lawannya. Kini ia teringat akan keadaan dulu ketika ia mencari Ong Han Cu di gedung Ciok-Taijin. Hm, ilmu silatmu hampir sama dengan ilmu silat Ouwyang Sianjin, kau tentu muridnya, bukan?"

   Lian Hong tidak menjawab dan terus menyerang. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat Hwesio ini sekarang telah menjadi makin lihai saja. Memang, Leng Kok Hosiang yang maklum akan banyaknya dan lihainya musuh-musuh yang mencari untuk membalas dendam kepadanya, telah memperdalam kepandaiannya dan bahkan mempelajari ilmu golok yang cukup tinggi. Kini setelah bertempur belasan jurus, dengan lega ia mendapat kenyataan bahwa betapapun juga, ia masih menang tenaga dan menang ulet. Ditambah lagi dengan pengalaman bertempur dan kematangan ilmu silatnya. Maka ia dapat melayani Lian Hong sambil melanjutkan jalan pikirannya yang kini mulai teringat akan pengalamannya dahulu.

   "Hm, kau cucu Ciok-Taijin... ah, sekarang aku ingat, kau tentulah gadis cilik yang dulu pernah pula menempurku di depan rumah kakekmu! Ha,... kalau kau cucu Ciok-Taijin, kau tentulah anak perempuan dari Pat-Jiu Kiam-Ong...!" Lian Hong tidak menjawab dan terus menyerang bertubi-tubi dengan pengerahan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Terpaksa Leng Kok Hosiang mencurahkan perhatiannya untuk melindungi diri karena serangan-serangan nona ini benar-benar berbahaya sekali. Ia juga merasa terkejut dan gentar ketika mengingatkan bahwa gadis ini adalah puteri Pat-Jiu Kiam-Ong,

   Karena sebagai puteri pendekar itu, tentu nona ini merasa sakit hati sekali dan nekad untuk membalas dendam. Pertempuran berjalan seru dan seimbang. Lima puluh jurus telah lewat dan pertempuran mati-matian itu dilakukan tanpa ada yang mengeluarkan kata-kata sedikitpun. Leng Kok Hosiang mengambil keputusan untuk membunuh anak perempuan musuhnya ini untuk menyingkirkan bahaya yang akan mengancam selalu. Ia mengerahkan seluruh kepandaiannya, mengeluarkan serangan-serangan yang paling berbahaya sehingga Lian Hong terpaksa terdesak mundur. Pada saat itu, sesosok bayangan tubuh manusia bergerak cepat di atas genteng, berlari menghampiri tempat pertempuran itu. Setelah dekat, bayangan yang ternyata adalah seorang pemuda ini memandang sebentar, kemudian membentak nyaring,

   "Leng Kok Hosiang manusia busuk! Agaknya di mana kau berada, tentu kau melakukan kejahatan yang terkutuk!" Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu melompat maju sambil mencabut pedangnya dan membantu Lian Hong menyerang Hwesio itu. Ketika mendengar bentakan ini dan melihat pemuda itu, Leng Kok Hosiang menjadi marah sekali.

   "Kun-Lun Siauwhiap! Berkali-kali tanpa sebab kau memusuhi aku! Awas, kali ini aku tidak akan mengampunkan jiwamu lagi!" Ia lalu memutar senjatanya lebih cepat lagi dan kini ia dikeroyok dua oleh Lian Hong dan Tek Kun, pemuda yang beberapa hari yang lalu telah membantu Siang Lan pula. Sementara itu, Lian Hong menjadi kagum melihat gerakan pedang pemuda itu. Ia pernah mendengar nama julukan Kun-Lun Siauwhiap dan baru sekarang ia melihat orangnya. Melihat pemuda yang mengenakan pakaian seperti seorang pelajar, dengan wajahnya yang tampan dan simpatik ini, tak terasa pula ia menjadi amat tertarik.

   Hatinya juga merasa lega dan girang karena dengan bantuan pemuda ini, tidak saja ia terlepas dari bahaya desakan musuh besarnya, juga ia mempunyai lebih banyak harapan untuk menewaskan musuhnya. Maka ia lalu menggerakkan kedua senjatanya lebih kuat lagi. Leng Kok Hosiang menjadi sibuk sekali dan segera ia terdesak hebat. Pada suatu saat, ketika pedang Tek Kun sedang mengurungnya dan membuat ia sibuk menangkis, tiba-tiba sinar merah menyambar ke arah lehernya. Ternyata ujung selendang merah di tangan Lian Hong telah melakukan totokan yang amat berbahaya. Ia cepat miringkan kepalanya, akan tetapi tetap saja ujung selendang itu masih mampir di pundaknya, mendatangkan rasa sakit sekali.

   ðŸ‘º

   

   Hwesio ini berseru keras saking marah dan sakitnya, dan ia masih dapat menyelamatkan nyawanya dengan gerakan poksai (berjumpalitan) ke belakang dengan gerak lompat Naga Sakti Membalikkan Tubuh. Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di bawah genteng dan ternyata bahwa para penjaga telah mendengar suara orang yang sedang bertempur di atas genteng itu. Tak lama kemudian nampak obor menyala-nyala di bawah genteng dan beberapa orang penjaga yang memiliki kepandaian melompat ke atas genteng. Baik Lian Hong maupun Tek Kun menjadi sibuk sekali. Keduanya tidak ingin terlihat orang dengan alasan yang sama. Lian Hong tidak mau terlihat orang karena ia adalah cucu dari Ciok-Taijin dan hal ini akan membuat kakeknya menjadi marah sekali.

   


IBLIS DAN BIDADARI (HWE THIAN MO LI) JILID 07

   Adapun Tek Kun sebagai putera Pangeran Sim Liok Ong, selamanya apabila keluar rumah, tidak pernah mau mengaku sebagai putera pangeran, dan hanya menggunakan nama julukan Kun-Lun Siauwhiap. Hampir berbareng, ketika melihat beberapa orang penjaga melompat naik ke atas rumah, kedua orang muda itu lalu melompat pergi dari tempat itu, meninggalkan Leng Kok Hosiang yang masih pucat karena hampir saja ia terkena celaka oleh serangan selendang merah dari gadis pendekar yang lihai itu. Lian Hong mempergunakan ilmu lari cepat berlompat-lompatan dari genteng ke bubungan rumah lain, lalu melompat turun dan berlari ke tempat yang sunyi. Ia maklum bahwa pemuda yang gagah itupun menyusulnya maka ia lalu berhenti dan setelah Tek Kun berdiri dihadapannya, ia lalu menjura sambil berkata.

   "Telah lama aku mendengar nama Kun-Lun Siauwhiap, dan ternyata malam hari ini aku telah mendapat bantuannya. Melihat ilmu pedangmu, ternyata bahwa nama Kun-Lun Siauwhiap bukanlah nama kosong belaka." Tek Kun memandang dengan mata kagum dan mulut tersenyum berseri. Gadis ini selain berkepandaian tinggi, juga amat elok dan manis, ditambah pula dengan sikapnya yang ramah dan sopan santun. Tahu akan terima kasih, maka ia menjadi makin tertarik.

   "Ah, Lihiap, jangan kau terlalu memuji, membuat aku yang bodoh merasa tersindir dan malu saja. Mataku yang belum banyak pengalaman ini sungguh harus disesalkan sehingga aku tidak dapat mengenal siapa sebenarnya Lihiap ini?" Lian Hong juga tersenyum. Tadinya ia sudah merasa heran bahwa pendekar pedang yang dijuluki Kun-Lun Siauwhiap itu ternyata seorang pemuda tampan yang lemah lembut dan bersikap serta berpakaian sebagai sasterawan. Akan tetapi mendengar ucapan pemuda ini, ia maklum bahwa pemuda ini sudah banyak merantau di dunia kang-ouw sehingga pandai mempergunakan sopan santun orang berilmu yang suka merendahkan diri.

   "Kau ingin mengetahui namaku? Tentu saja kau belum pernah melihatku atau mendengar namaku, karena orang seperti aku ini, mana dapat dibandingkan dengan Kun-Lun Siauwhiap yang bernama besar?"

   "Sudahlah, nona, jangan kau mengejek. Kepandaianku kalau dibandingkan dengan kepandaianmu, sungguh tak patut disebut. Apakah artinya nama julukan? Hanya sebutan dari orang-orang yang suka menjilat belaka."

   "Siauwhiap, seperti juga kau, ada orang yang menyebutku dengan nama julukan, yakni Hwe-Thian Sian-Li." Tek Kun tercengang mendengar sebutan ini dan ia memandang dengan mata terbelalak.

   "Hwe-Thian Sian-Li...? Sungguh aneh!"

   "Apanya yang aneh?" Lian Hong menahan senyumnya.

   "Apakah nama julukan itu terlalu buruk dan tidak sesuai dengan orangnya?"

   "Ah, bukan demikian, nona. Memang kau sudah pantas sekali disebut Bidadari Terbang. Akan tetapi, nama julukanmu mengingatkan aku akan seorang pendekar wanita yang berjuluk Hwe-Thian Mo-Li. Tidak tahu apakah masih ada hubungannya antara dia dan kau?"

   "Ah, dia...? Jadi kau seorang sahabat baik dari Hwe-Thian Mo-Li?" Lian Hong balas bertanya sambil memandang tajam. Di dalam sinar bulan yang tidak begitu terang, Tek Kun memandang wajah yang benar-benar mendatangkan kekaguman di dalam hatinya itu. Memang pantas sekali gadis ini disebut bidadari. Wajahnya yang cantik jelita, tubuhnya yang molek, sikapnya yang gagah, ah, agaknya pantas kalau di atas punggungnya tumbuh sepasang sayap.

   "Eh, bagaimana? Apakah yang kaulamunkan, Kun-Lun Siauwhiap. Mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku?"

   "Pertanyaan yang mana? Bukankah kau yang harus menjawab pertanyaanku tadi?" Tek Kun menjawab gagap karena sesungguhnya ia tidak begitu jelas mendengar ucapan gadis itu.

   "Kau tanya tentang hubungan? Kalau disebut ada, mungkin ada hubungan antara dia dan aku, akan tetapi nama julukan kami tidak ada sangkut pautnya sama sekali. Nah, sekarang jawablah, apakah dia itu sahabat baikmu?" Sukarlah bagi Tek Kun untuk menjawab, akan tetapi akhirnya ia berkata dengan sejujurnya,

   "Sahabat baik sih bukan, akan tetapi aku kenal padanya dan pernah kami bertempur melawan Hwesio tadi bersama-sama. Dia murid dari Pat-Jiu Kiam-Ong yang hendak membalas dendam kepada Hwesio cabul tadi. Mungkin pada saat ini juga dia berada pula di dalam kota ini."

   "Aku telah tahu akan hal itu, tak perlu kau ceritakan lagi. Nah, Kun-Lun Siauwhiap, sekali lagi terima kasih atas bantuanmu tadi, Selamat berpisah!" Lian Hong lalu melompat untuk pergi dari situ, akan tetapi tiba-tiba Tek Kun menyusulnya dan berkata.

   "Eh, nona, nanti dulu! Secara kebetulan sekali kita bertemu dan...dan...kalau sekiranya kau sudi... aku ingin sekali mengikat tali persahabatan dengan kau yang gagah perkasa ini. Siapak sebenarnya namamu dan di manakah kau tinggal, Lihiap?" Merahlah wajah Lian Hong mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda ini. Karena sudah banyak laki-laki yang memandangnya dengan kagum, maka Lian Hong kini mengerti pula bahwa pemuda inipun tertarik kepadanya. Anehnya, kalau kekaguman laki-laki lain selalu mendatangkan rasa jemu dan sebal di dalam hatinya. Kini ia tidak marah atau jemu, bahkan merasa amat malu.

   "Apa maksudmu menanyakan nama dan tempat tinggalku?" tanyanya. Kini Tek Kun yang merasa seperti ditampar mukanya dan menjadi malu-malu dan bingung.

   "Ah, tidak apa-apa nona. Bukankah sudah sepatutnya orang-orang segolongan seperti kita ini saling berkenalan? Siapa tahu kalau-kalau pada suatu hari aku kebetulan lewat di kota tempat tinggalmu dan dapat singgah untuk berkenalan dengan keluargamu." Lian Hong tersenyum. Tak dapat ia menceritakan namanya, karena hal ini akan merupakan bahaya bagi Kong-kongnya.

   "Namaku Hwe-Thian Sian-Li dan itu sudah cukup!" katanya.

   "Adapun tempat tinggalku... aku tidak mempunyai tempat tinggal!" Setelah berkata demikian, sambil tertawa perlahan ia lalu melesat dan lenyap di dalam bayangan pohon. Tek Kun hendak mengejar, akan tetapi tak dapat menemukan gadis itu yang mempunyai gerakan cepat dan lincah sekali. Tek Kun merasa menyesal sekali. Ia telah bertemu dengan seorang gadis yang telah merebut hatinya pada saat pertemuan yang pertama kali.

   Ia telah jatuh hati dan diam-diam ia mengakui bahwa ia amat tertarik kepada Hwe-Thian Sian-Li, akan tetapi kini gadis itu telah pergi lagi tanpa mau memberi tahukan nama dan tempat tinggalnya. Sampai lama ia berdiri bengong di tempat itu dengan hati kecewa sekali. Kemudian ia lalu berjalan perlahan-lahan menuju pulang, ke rumah orang tuanya, yakni rumah gedung Pangeran Sim Liok Ong. Tek Kun sama sekali tidak mengira bahwa semenjak pertemuannya dengan Lian Hong tadi, ada seorang yang mengintai dan mendengar percakapan mereka. Orang ini adalah Hwe-Thian Mo-Li Nyo Siang Lan. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah bertemu dengan Lian Hong dan mencoba gadis penari itu, Siang Lan merasa terheran-heran. Ia merasa yakin bahwa gadis itu tentulah Lian Hong puteri Suhunya.

   Akan tetapi oleh karena sudah jelas bahwa gadis itu agaknya tidak mau memperkenalkan diri di tempat umum, ia juga tidak hendak memaksa dan pergi mencari jejak Leng Kok Hosiang. Tak seorangpun tahu di mana adanya Hwesio yang dicarinya itu, maka terpaksa Siang Lan menanti malam tiba. Ia lalu mengenakan pakaian yang ringkas dan mulailah ia dengan penyelidikannya. Sampai lewat tengah malam, belum juga ia berhasil mendapatkan musuh besarnya. Memang bukan hal yang mudah untuk mencari seseorang di dalam Kota Raja yang sebesar itu. Kemudian ia melihat bayangan Lian Hong dan Tek Kun. Ia menjadi terheran-heran ketika ia mengenal bayangan dua orang ini, maka diam-diam ia lalu mengikuti mereka dan mengintai. Ia sama sekali tidak melihat Hwesio musuh besarnya yang telah turun dan masuk kembali ke dalam gedung Gan-Siupi.

   Ketika ia melihat sikap kedua orang muda itu pada waktu mereka bercakap-cakap, hatinya merasa tidak enak sekali. Sikap pemuda itu tampak jelas olehnya bahwa pemuda yang dikaguminya ini ternyata amat tertarik pada Lian Hong. Hal ini mudah saja dilihat dari tempat sembunyinya. Apalagi ketika pemuda itu menyatakan keinginannya berkenalan dengan Lian Hong dan kemudian gadis itu pergi sehingga pemuda itu nampak kecewa, sedih, dan melamun. Kemudian, tanpa disadarinya ketika Tek Kun pergi dari situ, diam-diam Siang Lan mengikuti pemuda ini. Bukan main herannya ketika ia melihat pemuda itu menuju ke sebuah rumah gedung yang besar dan mewah sekali. Bertambah rasa herannya ketika penjaga-penjaga di pintu gerbang rumah itu menegur pemuda ini dengan sikap menghormat sekali.

   "Sim-Kongcu dari manakah sehingga lewat tengah malam baru pulang?"

   "Jangan banyak cakap!" pemuda itu membentak dan terus memasuki rumah sendiri. Siang Lan berdiri bengong di tempat persembunyiannya dan lebih tak mengertilah ia ketika melihat para penjaga itu tertawa dan berbisik-bisik.

   "Ah, mengapa Kongcu menjadi demikian galak? Agaknya ada sesuatu yang mengesalkan hatinya!"

   "Kongcu memang aneh. Berbulan-bulan pergi, tak tahu bahwa ia telah ditunangkan dengan seorang puteri jelita, masih saja suka pergi jauh dan lama, dan sekarang pulang pada waktu begini. Biasanya pemuda baru merasa jengkel dan kesal hatinya kalau tergoda oleh wanita." Siang Lan merasa seakan-akan sedang bermimpi. Siang tadi ia melihat Lian Hong naik kereta dan berpakaian seperti seorang puteri bangsawan. Dan kini ia melihat Tek Kun, pemuda gagah perkasa yang menarik hatinya dan yang disangkanya seorang pemuda kang-ouw itu ternyata juga putera seorang bangsawan besar yang memiliki rumah gedung sehebat ini? Sementara itu, ketika Leng Kok Hosiang ditanya oleh para penjaga dan juga oleh Gan-Siupi sendiri, ia tidak mengaku bahwa yang bertempur dengan dia tadi adalah puteri dari Pat-Jiu Kiam-Ong atau cucu dari Ciok-Taijin.

   "Ah, mereka itu hanya dua orang yang agaknya hendak mencuri saja." Katanya dengan hati masih kebat-kebit. Ia hendak segera membereskan urusannya agar dapat segera pergi dari tempat yang tidak aman itu. Ia maklum bahwa kepandaian puteri Pat-Jiu Kiam-Ong lihai sekali, sama lihainya dengan kepandaian Hwe-Thian Mo-Li. Kalau dua orang gadis itu maju berbareng menyerangnya, akan celakalah dia.

   Apalagi kalau pemuda Kunlun-pai itu membantu pula. Leng Kok Hosiang memang menjadi utusan dari gerombolan pemberontak dari selatan yang terdiri dari sepasukan tentara kerajaan yang merasa tidak puas dengan pemerintah Kaisar. Sukar juga bagi kerajaan untuk menindas pemberontakan ini oleh karena pemberontak-pemberontak ini dibantu oleh orang-orang pandai seperti Leng Kok Hosiang dan yang lain-lain. Bahkan beberapa perkumpulan gelap telah membantunya, diantaranya perkumpulan agama Pek-Lian-Kauw dan Ngo-Lian-Kauw yang banyak mempunyai orang-orang pandai. Kedua perkumpulan agama ini, terutama sekali Pek-Lian-Kauw yang amat berpengaruh, lambat laun memegang kemudi atau pimpinan atas barisan pemberontak itu sehingga mereka kini merupakan pemberontakan kaum agama Pek-Lian-Kauw.

   Leng Kok Hosiang masuk pula dalam golongan ini oleh karena banyak kawannya menjadi pemimpin Pek-Lian-Kauw dan dia dapat hidup dengan mewah dan senang serta mendapat perlindungan yang kuat dan baik. Pada waktu itu, ia dijadikan utusan oleh pucuk pimpinan pemberotak, untuk menghadap ke Kota Raja dan menyampaikan surat pernyataan menakluk dengan syarat bahwa gerakan Pek-Lian-Kauw dan Ngo-Lian-Kauw akan bebas dan tidak dibatasi oleh larangan-larangan. Dan pula, agar semua bekas tentara yang memberontak dapat diberi kedudukan seperti semula. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Leng Kok Hosiang sudah meninggalkan gedung Gan-Siupi untuk menghadap Kaisar. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Lian Hong dengan amat beraninya telah berada di kamarnya kembali, di dalam gedung Gan-Siupi.

   Memang gadis ini setelah berpisah dari Tek Kun, segera secara diam-diam kembali ke gedung Gan-Siupi dan memasuki halaman dari belakang, yakni dari taman bunga. Beberapa orang penjaga melihatnya di taman, akan tetapi dengan alasan mencari angin, gadis ini dapat kembali ke dalam kamarnya tanpa terganggu. Sungguhpun agak ganjil melihat puteri itu makan angin di waktu lewat tengah malam, akan tetapi para penjaga yang berkedudukan rendah itu mana berani banyak cakap tentang seorang puteri cucu Ciok-Taijin? Diam-diam Lian Hong mendesak Gan-Siocia untuk menceritakan tentang tamu Hwesio itu dan tahulah ia bahwa pagi hari itu Leng Kok Hosiang hendak menghadap Kaisar dan bahwa setelah urusannya beres, Hwesio itu hendak langsung kembali ke tempatnya tanpa mampir lagi di gedung siupi.

   Ia lalu cepat mengendarai keretanya keluar dari gedung itu, hendak ke rumah kakeknya. Baru saja keretanya keluar dari halaman gedung, ia melihat Siang Lan sudah berdiri di situ dan memandang tajam ke arah keretanya. Lian Hong tersenyum geli dan cepat ia membuka tirai kain penutup kereta dan memberi isyarat kepada Siang Lan dengan gerakan jari tangannya. Siang Lan tersenyum juga dan setelah melihat bahwa di situ tidak terlihat seorangpun yang memperhatikannya, ia lalu melompat bagaikan kilat cepatnya dan tahu-tahu ia telah masuk ke dalam kereta yang pintunya dibuka dari dalam oleh Lian Hong. Kejadian ini terjadi demikian cepatnya sehingga pengemudi kereta itu sendiri sampai tidak tahu dan tidak merasa sesuatu.

   "Anak nakal!" seru Siang Lan perlahan setelah ia berada di dalam kereta dan duduk berhadapan dengan Lian Hong.

   "Mengapa kau berlaku seaneh ini?" Ia memandang pakaian Lian Hong dengan kagum.

   "Sebenarnya kau ini menjadi puteri apakah? Heran benar aku memikirkan mengapa Suhu bisa mempunyai seorang puteri seperti kau!" Lian Hong menaruh telunjuknya di depan mulut.

   "Hush, jangan keras-keras, enci Siang Lan. Kalau terdengar oleh pengemudi kereta bisa berabe!" Siang Lan memegang kedua tangan Lian Hong dan berbisik.

   "Adik Lian Hong, lekaslah ceritakan, apa artinya semua ini? Baru saja aku melihat Leng Kok Hosiang meninggalkan rumah gedung Gan-Siupi di mana kaupun bermalam. Tadi aku hendak turun tangan, akan tetapi melihat bangsat gundul itu berjalan bersama beberapa orang perwira kerajaan, aku menjadi ragu-ragu, apalagi mengingat bahwa kaupun berada di gedung itu. Bagaimana sih ini? Mengapa kau bisa berada serumah dengan musuh besar kita?" Lian Hong lalu berkata dengan sungguh-sungguh.

   "Enci Lan. Kau tidak tahu. Malam tadi aku telah bertempur dengan dia, akan tetapi aku tidak berhasil, sungguhpun telah mendapat bantuan... Kun-Lun Siauwhiap. Kita tidak boleh turun tangan di dalam Kota Raja. Terlalu berbahaya. Ketahuilah bahwa dia adalah seorang utusan pemberontak Pek-Lian-Kauw yang harus menghadap Kaisar. Seorang utusan tak boleh diganggu. Lebih baik kau menanti di luar kota, di sebelah selatan. Kalau Hwesio itu keluar, nah, kita turun tangan!" Siang Lan mengerutkan kening, tanda bahwa ia tidak sabar untuk menanti begitu lama.

   "Kau boleh menanti sampai ia keluar kota, akan tetapi aku akan menyerangnya begitu ia keluar dari istana Kaisar. Kita sama lihat saja, siapa yang akan berhasil lebih dulu!" Setelah berkata demikian, Siang Lan menyingkap tirai dan menanti kesempatan setelah kereta tiba di jalan agak sunyi, ia melompat keluar.

   Tak seorangpun tahu, bahwa Leng Kok Hosiang bukanlah datang seorang diri. Serombongan tokoh Pek-Lian-Kauw telah datang belakangan dan sesuai dengan rencana, mereka telah bersembunyi di luar kota, menanti hasil daripada Leng Kok Hosiang yang menghadap Kaisar. Rombongan ini terdiri dari tujuh orang pemimpin Pek-Lian-Kauw yang berkepandaian tinggi, rata-rata setingkat kepandaian Leng Kok Hosiang. Mereka telah bermufakat bahwa apabila usaha Leng Kok Hosiang gagal, mereka bertujuh beserta Hwesio itu akan menimbulkan huru hara di Kota Raja, menyerbu kota dan membunuh beberapa orang bangsawan untuk mengacaukan keadaan dan memperlihatkan kekuasaan mereka.

   Akan tetapi, sebaliknya Leng Kok Hosiang dan ketujuh orang kawannya itu sama sekali tak pernah mimpi bahwa perjalanan mereka telah lama diawasi dan diikuti oleh seorang pendekar tua yang gagah perkasa yakni Ouwyang Sianjin! Kakek ini memang telah lama mencari jejak Leng Kok Hosiang untuk membantu usaha muridnya membalas dendam. Akan tetapi setelah ia mendapat tahu di mana adanya Hwesio itu, ia menjadi terkejut melihat rencana gerombolan itu dan merasa lebih penting untuk menggagalkan usaha mereka daripada membalas dendam. Ia maklum bahwa kalau ia turun tangan, ia takkan dapat memenangkan delapan orang yang berilmu tinggi ini, maka setelah jelas baginya akan maksud mereka mengunjungi Kota Raja, ia lalu mendahului mereka dan langsung menghadap kepada Panglima Kui yang memegang kekuasaan tertinggi sebagai pelindung Kota Raja.

   Panglima Kui ini telah dikenalnya dan alangkah kagetnya, Kui-Ciangkun ketika mendengar penuturan Ouwyang Sianjin. Ia segera pergi menghadap Kaisar dan menyampaikan berita yang mengejutkan ini. Namun Kaisar tetap tenang bahkan lalu mengatur siasat. Perundingan antara Kaisar, Kui-Ciangkun dan Ouwyang Sianjin menghasilkan siasat seperti berikut. Kui-Ciangkun sendiri dengan diam-diam berangkat ke selatan bersama beberapa orang perwira, untuk memimpin tentara yang bertugas di selatan dan memukul hancur gerombolan pemberontak yang baru ditinggalkan delapan orang pemimpin mereka yang paling pandai itu. Adapun Ouwyang Sianjin dengan bantuan lima orang perwira yang berkepandaian cukup tinggi hendak menyerbu Leng Kok Hosiang dan tujuh orang pemimpin Pek-Lian-Kauw yang bersembunyi di luar Kota Raja.

   Demikianlah, ketika Hwesio itu datang menghadap Kaisar, dengan tegas Kaisar menolak permintaan pihak pemberontak dan menyatakan bahwa pemerintah mau menerima pernyataan pihak pemberontak dan Pek-Lian-Kauw asal tanpa syarat. Dengan hati marah dan kecewa, Leng Kok Hosiang lalu mengundurkan diri, menyatakan hendak menyampaikan keputusan Kaisar itu kepada para pemimpin Pek-Lian-Kauw di selatan. Ia tidak tahu bahwa ketujuh orang kawannya di luar Kota Raja, agak jauh dari tembok kota dan dalam sebuah hutan sedang diserbu oleh Ouwyang Sianjin dan lima orang perwira. Baru saja ia tiba di luar Kota Raja, tiba-tiba dari balik pohon berkelebat bayangan dua orang gadis dan terkejutlah dia ketika melihat Hwe-Thian Mo-Li dan Hwe-Thian Sian-Li telah berdiri dihadapannya bagaikan dua orang malaikat maut sedang siap memberi hukuman kepadanya.

   "Hwesio cabul! Bersiaplah kau untuk menebus dosamu terhadap Suhu!" Hwe-Thian Mo-Li membentak sambil mencabut pedangnya.

   "Leng Kok Hosiang, pendeta jahanam! Telah lama Ayah menantimu di pintu akhirat untuk membuat perhitungan!" Lian Hong juga berseru sambil mengeluarkan senjata-senjatanya selendang merah dan pedang tipis. Biarpun hatinya merasa gentar sekali, namun Leng Kok Hosiang masih membesarkan hatinya sendiri dan berserulah dia,

   "Bagus! Kalian telah berada di sini, memudahkan aku untuk membasmi sekaligus!" Ia lalu mengeluarkan goloknya dan menerjang dengan cepat, hendak mendahului kedua lawannya. Akan tetapi kedua lawannya adalah pendekar-pendekar wanita yang berkepandaian tinggi dan pada saat itu mereka berdua berada dalam keadaan amat marah, maka sebentar saja Hwesio ini terdesak dan terkurung hebat oleh senjata-senjata Siang Lan dan Lian Hong. Sibuklah Leng Kok Hwesio dan ia masih mencoba untuk mempertahankan diri memutar-mutar goloknya sambil kadang-kadang melancarkan pukulan Hek-coa-jiu dengan tangan kirinya.

   Pada saat Hwesio itu berada dalam keadaan amat berbahaya, tiba-tiba terdengar seruan orang dan tahu-tahu dari dalam hutan berlompatan keluar enam orang yang bukan lain adalah Ngo-Lian Hengte dan Bong-te Sianjin Supek mereka. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Bong Te Sianjin telah terluka oleh Hwe-Thian Mo-Li sedangkan Ngo-Lian Hengte telah dirobohkan oleh Sim Tek Kun atau Kun-Lun Siauwhiap. Ternyata bahwa mereka ini telah berobat dan setelah sembuh, mereka lalu menyusul ke Kota Raja untuk membantu Leng Kok Hosiang dan lawan-kawannya. Ketika mereka memasuki hutan, terkejutlah mereka melihat tujuh orang pemimpin Pek-Lian-Kauw sedang terkurung hebat dan terdesak oleh Ouwyang Sianjin yang dibantu oleh lima orang perwira. Bong Te Sianjin hendak membantu akan tetapi Ngo-Lian Hengte berkata,

   "Jangan Supek, teecu rasa tidak perlu mereka dibantu, karena yang terpenting sekarang adalah mencari Leng Kok Hosiang. Kalau kita membantu dan sampai bermusuhan dengan para perwira Kaisar, nama perkumpulan kita akan rusak dan kita akan selalu dikejar-kejar sepertinya Pek-Lian-Kauw.

   Sebetulnya sudah lama Ngo-Lian Hengte merasa iri hati melhat keadaan agama Pek-Lian-Kauw yang makin berkembang dan jauh lebih maju dari pada Ngo-Lian-Kauw, maka kini melihat malapetaka yang menimpa tujuh orang pemimpin Pek-Lian-Kauw, diam-diam mereka merasa senang. Kalau tidak ada Pek-Lian-Kauw, dapat diharapkan Ngo-Lian-Kauw akan cepat maju. Demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan dan baru saja keluar dari hutan di mana pemimpin-pemimpin Pek-Lian-Kauw itu terkurung, mereka melihat Leng Kok Hosiang sedang terdesak hebat sekali oleh dua orang gadis. Melihat Hwe-Thian Mo-Li, timbul kemarahan besar dalam hati Bong Te Sianjin dan murid-murid keponakannya. Tanpa dikomando, secara berbareng mereka telah mencabut senjata masing-masing dan menyerbulah mereka membantu. Leng Kok Hosiang menjadi girang sekali.

   "Bagus, bagus!" Hwesio ini tertawa riang.

   "Mari kita tangkap dua nona manis ini."

   "Bunuh mereka!" seru Bong Te Sianjin yang merasa dendam dan marah kepada Hwe-Thian Mo-Li.

   "Jangan bunuh, tangkap saja. Sayang kalau nona-nona manis ini dibunuh begitu saja!" kata pula Leng Kok Hosiang dan kata-katanya ini disetujui sepenuhnya oleh Ngo-Lian Hengte.

   Mereka lalu mengurung rapat-rapat dan melancarkan serangan bertubi-tubi. Biarpun dikurung oleh tujuh orang yang lihai, namun kedua orang gadis pendekar itu tidak menjadi gentar, bahkan mereka lalu mengamuk makin hebat. Bagaikan dua ekor naga betina, mereka mengerahkan seluruh kepandaian dan mainan senjata mereka sedemikian garangnya sehingga bagi kelima saudara Ngo-Lian Hengte yang ilmu kepandaiannya tidak sehebat Leng Kok Hosiang maupun Supek mereka, menjadi kewalahan juga. Senjata di tangan kedua orang gadis itu benar-benar garang dan berbahaya sekali. Baru bertempur tiga puluh jurus saja, lima orang bersaudara she Kui ini telah terdesak mundur. Baiknya Leng Kok Hosiang dan Bong Te Sianjin memiliki kepandaian yang tinggi sehingga kedua orang gadis itu masih belum dapat merobohkan seorangpun lawan.

   "Kurung mereka dengan Ngo-lian-tin!" seru Bong Te Sianjin memberi nasehat kepada keponakan muridnya, dan segera Ngo-Lian Hengte menjalankan perintah ini. Mereka bertempur sambil mengatur kedudukan dari lima jurusan dan mengurung rapat. Leng Kok Hosiang memperlengkap Barisan Lima Teratai ini dan berkedudukan sebagai kepalanya sedangkan Bong Te Sianjin menduduki kedudukan sebagai ekor. Dengan demikian mereka dapat mengurung rapat dan saling membantu. Cara ini benar-benar lebih berbahaya bagi kedua orang gadis perkasa itu karena keadaan lawan menjadi teratur sekali. Setiap serangan senjata mereka dapat digagalkan sedangkan lawan mereka yang banyak jumlahnya selalu melancarkan serangan dari sebelah belakang.

   "Jaga pintu depan dan belakang!" tiba-tiba Hwe-Thian Mo-Li berseru kepada Lian Hong dan mereka lalu berdiri saling membelakangi. Dengan cara ini mereka dapat menjaga diri dengan baik, karena para pengeroyok itu tidak dapat melakukan serangan gelap dari belakang. Betapapun juga, Siang Lan dan Lian Hong masih saja terkurung dan terdesak. Nasib baik bagi mereka bahwa dalam keroyokan itu, Leng Kok Hosiang tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pukulan Hek-Coa-Jiu yang lihai, karena kalau ia melakukan pukulan ini, banyak bahayanya akan mengenai dan melukai kawan sendiri. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan nyaring.

   "Leng Kok Hosiang, kau benar-benar sudah bosan hidup!" Dan berbareng dengan suara bentakan ini, muncullah Sim Tek Kun dengan pedang ditangan dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyerang Leng Kok Hosiang dengan gerakan pedangnya yang kuat dan tangkas.

   "Kun-Lun Siauwhiap!" tanpa terasa panggilan ini keluar dari mulut Lian Hong dengan suara girang sekali.

   "Hwe-Thian Sian-Li, mari kita basmi penjahat-penjahat ini!" jawab Tek Kun sambil tersenyum. Adapun Hwe-Thian Mo-Li diam saja dan hanya merasa betapa hatinya tidak enak sekali melihat kedua orang muda itu saling menegur dengan suara ramah dan girang. Datangnya Tek Kun membuat keadaan menjadi berobah sekali. Sebentar saja tujuh orang pengeroyok itu telah terdesak hebat dan hanya dapat menangkis saja atas serangan ketiga orang muda yang lihai itu.

   Mereka tak dapat lagi melakukan pengurungan oleh karena jumlah lawan sekarang bertambah. Pertempuran menjadi terbagi tiga, Tek Kun dikeroyok lagi oleh Ngo-Lian Hengte yang dulu pernah kalah olehnya. Lian Hong menghadapi Leng Kok Hosiang sedangkan Hwe-Thian Mo-Li bertempur melawan Bong Te Sianjin yang pernah ia kalahkan. Entah mengapa, hatinya yang tadinya merasa tidak enak kini berubah menjadi kemarahan besar dan Hwe-Thian Mo-Li kini mengamuk bagaikan seorang iblis benar-benar. Dalam jurus ketiga puluh, terdengar teriakan ngeri dan nampak darah menyembur keluar dari dada Bong Te Sianjin yang telah tertembus oleh pedang Hwe-Thian Mo-Li. Setelah menewaskan Bong Te Sianjin, Siang Lan lalu menyerbu Leng Kok Hosiang yang masih bertempur mati-matian melawan Lian Hong.

   Kedatangan Siang Lan ini membuat Leng Kok Hosiang menjadi gentar sekali. Ia memekik keras, melompat mundur tiga tindak dan tiba-tiba melancarkan serangannya yang paling dihandalkan, yakni pukulan Hek-coa-jiu yang lihai. Pukulan ini menyambar ke arah Siang Lan dan Lian Hong. Akan tetapi dua orang gadis ini telah tahu akan kelihaian pukulan ini dan cepat mereka telah mengelak ke kanan dan kiri, kemudian dari kedua samping ini mereka melakukan serangan pembalasan yang tak kalah hebatnya. Ujung selendang Lian Hong bergerak ke arah pergelangan tangan Hwesio yang memegang golok, pedangnya menyambar ke arah leher, sedangkan pedang Siang Lan dengan cepatnya telah menusuk ke arah ulu hati. Mana Leng Kok Hosiang dapat menghindarkan diri dari bahaya maut yang melayang dari tiga jurusan ini?

   Ia masih mencoba untuk menggerakkan golok dan mengelak, akan tetapi terlambat. Hampir berbareng, pedang Lian Hong telah menyerempet lehernya dan pedang Siang Lan telah menusuk dan ambles di dadanya. Leng Kok Hosiang menjerit ngeri dan tubuhnya terguling roboh. Hwe-Thian Mo-Li yang masih marah itu menyusulkan pedangnya dan sekali sabet saja, putuslah leher Hwesio cabul itu. Sementara itu, Tek Kun telah berhasil merobohkan tiga orang dari pada kelima saudara Kui itu. Pemuda ini masih berlaku lemah dan tidak menewaskan mereka, hanya merobohkan mereka dengan luka yang tidak berbahaya. Akan tetapi, tiba-tiba tiga orang yang sudah rebah dan menderita itu menjerit ngeri dan ketika Tek Kun mengerling, ternyata leher mereka pun sudah putus oleh pedang Siang Lan.

   "Hwe-Thian Mo-Li!" serunya tercengang dan menegur.

   "Enci Siang Lan, jangan berlaku kejam!" Lian Hong juga mencela, akan tetapi celaan dua orang yang agaknya sehati ini menambah kemarahan Hwe-Thian Mo-Li. Ia menerjang kepada Kui Jin dan Kui Ti, yakni dua orang lagi yang masih mengeroyok Tek Kun dan dalam dua kali gebrakan saja, kedua orang itupun roboh mandi darah dan tewas. Hwe-Thian Mo-Li masih menambahkan dua bacokan lagi untuk memisahkan kepala mereka dari tubuh. Mau tak mau Lian Hong dan Tek Kun merasa ngeri sekali.

   "Hwe-Thian Mo-Li, kau memang terlalu kejam," Tek Kun mencela.

   "Leng Kok Hosiang sudah semestinya dibunuh, akan tetapi apakah dosanya yang lain-lain sehingga harus kau bunuh secara demikian kejam?" Melihat betapa Lian Hong dan Tek Kun mencelanya, tiba-tiba dari sepasang mata Hwe-Thian Mo-Li bersinar cahaya kemarahan yang mebuat matanya seperti berapi.

   "Membasmi kejahatan harus beserta akar-akarnya. Aku telah melakukan pembunuhan-pembunuhan itu, habis kau mau apa? Kalau kau merasa penasaran dan hendak membela mereka, akupun tidak takut, Kun-Lun Siauwhiap!" jawabnya dengan suara dingin dan perasaan cemburu membakar hatinya. Tentu saja Tek Kun dan Lian Hong heran ketika melihat sikap ini.

   "Enci Siang Lan...!" Lian Hong menegur.

   "Kau juga mau membelanya. Nah, majulah berdua, aku Hwe-Thian Mo-Li memang seorang gadis kejam, jahat dan seperti iblis! Jangan kira aku takut kepada kalian!" Makin terheranlah Tek Kun melihat kemarahan Siang Lan kini bahkan ditimpakan kepadanya dan juga kepada Hwe-Thian Sian-Li. Ia menghela napas dan berkata perlahan.

   "Ah, kalau begitu, aku telah berlaku lancang. Biarlah aku pergi saja..." Pemuda ini lalu pergi dari situ dengan mendongkol sekali.

   "Enci Siang Lan, mengapa kau bersikap begitu terhadap dia? Mengapa kau agaknya marah-marah terhadap aku pula?" Lian Hong lalu maju dan memeluk Hwe-Thian Mo-Li. Barulah Siang Lan tersadar akan sikapnya yang benar-benar tidak selayaknya itu, dan tanpa disadarinya lagi dua titik air mata mengalir turun ke atas pipinya.

   "Lian Hong, musuh-musuh kita telah terbasmi habis... kau... katakanlah terus terang, apakah kau... kau menyinta Kun-Lun Siauwhiap...??" Pertanyaan yang sama sekali tak pernah disangkanya ini membuat wajah Lian Hong menjadi merah sekali. Ia memandang dengan bengong, kemudian setelah berkali-kali menarik napas panjang dapat juga ia menjawab,

   "Mengapa kau mengajukan pertanyaan aneh ini, enci?"

   "Dia mencinta padamu, butakah kau?" Ia berkata dengan suara menggetar penuh perasaan.

   "Aku telah mencuri dengar dan mengintai ketika malam hari itu. Aku... aku tidak berhak untuk bicara tentang hal itu karena ketahuilah bahwa aku... aku telah ditunangkan dengan orang lain!"

   Setelah berkata demikian, Lian Hong lalu menangis. Kini Siang Lan yang menjadi sibuk dan terheran. Ia tidak mengerti mengapa Lian Hong menangis sedemikian sedihnya. Ia tidak tahu bahwa kata-katanya tadi yang menuduh gadis ini menyinta dan dicinta Tek Kun, merupakan pedang yang menikam jantung gadis ini. Bagai diingatkan kepada sesuatu yang tak disukai, Lian Hong mendengar ucapan Hwe-Thian Mo-Li tadi. Ia teringat bahwa ia telah ditunangkan dengan putera pangeran yang belum pernah dilihatnya dan kini diam-diam ia harus mengaku bahwa ia amat tertarik kepada Kun-Lun Siauwhiap. Kalau tadi ia amat cemburu dan tak enak hati, kini Hwe-Thian Mo-Li merasa kasihan melihat Lian Hong. Ia dapat menduga bahwa gadis ini tentu telah ditunangkan dengan orang yang tak disukainya, maka sambil memeluk gadis itu ia menghibur.

   "Adik yang baik, mengapa seorang gadis gagah seperti kau menurut saja kepada kehendak orang, ditunangkan dengan sembarangan laki-laki."

   "Enci Siang Lan, sudahlah jangan kita bicarakan hal yang tidak penting ini. Marilah kau ikut dengan aku, bertemu dengan ibu. Apakah kau tidak ingin bertemu dengan isteri Suhumu?"

   Siang Lan tidak membantah dan keduanya lalu pergi meninggalkan tempat itu, tidak tahu bahwa Kun-Lun Siauwhiap seperginya dari situ lalu masuk ke dalam hutan dan bertemu dengan Ouwyang Sianjin yang sedang bertempur melawan tujuh tujuh orang pemimpin Pek-Lian-Kauw, dibantu oleh beberapa orang perwira. Ternyata bahwa tujuh orang Pek-Lian-Kauw itu amat tangguh dan sukar dikalahkan. Tek Kun adalah putera pangeran, maka melihat berapa perwira bertempur melawan Tosu-Tosu (pendeta) Pek-Lian-Kauw itu, ia terus saja menyerbu dan membantu. Kedatangan Tek Kun menguntungkan pihak Ouwyang Sianjin dan tujuh orang Pek-Lian-Kauw itu akhirnya dapat dirobohkan, ditangkap dan digiring ke kota oleh para perwira itu.

   Siang Lan disambut oleh Ciok-Taijin suami isteri dengan cukup ramah tamah. Terutama sekali Ciok Bwe Kim, ibu Lian Hong menyambutnya dengan pelukan terharu. Sekarang baru tahulah Siang Lan bahwa Suhunya telah menjadi suami dari seorang puteri bangsawan dan kemudian kedua orang gadis itu bicara dengan asyik sekali di dalam kamar Lian Hong. Gadis ini menceritakan segala hal kepada Hwe-Thian Mo-Li, tentang keadaan ibu dan Ayahnya sehingga mereka berpisah, tentang Suhunya Ouwyang Sianjin dan tentang pertunangannya juga. Siang Lan adalah seorang yatim-piatu, maka kini setelah berkenalan dengan Lian Hong, ia merasa sayang sekali dan menganggap Lian Hong sebagai adik sendiri. Ketika ia mendengar tentang pertunanganan Lian Hong yang membuat gadis itu bersedih dan kecewa, ia bertanya.

   "Adikku yang baik, mengapa kau begitu benci kepada tunanganmu? Bagaimana orang bisa menyatakan kebencian sebelum bertemu dengan orangnya?" Pertanyaan ini mengandung godaan akan tetapi Lian Hong yang biasanya jenaka itu hanya muram saja wajahnya.

   "Engkau tentu mengerti sendiri, enci Lan, bahwa seorang gadis berpendidikan ilmu silat seperti aku tentu akan merasa kecewa apabila kelak menjadi jodoh seorang suami yang kepandaiannya di bawah tingkat kepandaianku. Aku memang mendengar bahwa tunanganku itu pandai pula dalam ilmu-ilmu silat, akan tetapi... ah, aku sudah dapat membayangkan keadaan seorang putera pangeran yang kaya dan manja. Mana bisa seorang putera bangsawan memiliki ilmu kepandaian tinggi?" Tiba-tiba Siang Lan teringat akan sesuatu dan bertanyalah ia dengan gairah.

   "Eh, kau belum menceritakan kepadaku, siapakah sebetulnya tunanganmu itu?" Dengan bibir mengejek Lian Hong menjawab,

   "Seorang pemuda bangsawan dan kaya raya yang tiada gunanya. Ia putera Pangeran Sim Liok Ong dan namanya Sim Tek Kun dan..."

   "Oh..., dia...?" tiba-tiba Siang Lan memandang kepadanya dengan pucat sehingga Lian Hong terkejut.

   "Ada apakah, enci Lan? Kenalkah kau kepadanya?" Tiba-tiba Siang Lan tertawa bergelak, membuat Lian Hong menjadi makin terheran-heran.

   "Eh, enci Lan, kau mengapakah? Mengapa kau mentertawakan aku! Apah sih yang demikian lucu?" Suara Lian Hong terdengar marah, membuat Siang Lan merasa makin geli lagi. Jarang sekali gadis ini tertawa seperti itu dan kemarahan Lian Hong lenyap terganti keheranan ketika ia melihat betapa Siang Lan sehabis tertawa besar lalu mengalirkan air mata yang menuruni kedua pipinya!.

   "Kau kenapakah, enci Lan?" Hwe-Thian Mo-Li menggeleng-geleng kepalanya,

   "Tidak apa, tidak apa. Memang aku mempunyai penyakit seperti ini," ia membohong. Sebetulnya hatinya merasa seperti dikerat-kerat pisau. Ia telah jatuh hati kepada Tek Kun, kemudian ia merasa cemburu melihat betapa sikap Tek Kun dan Lian Hong amat mesra dan seperti saling menyinta. Kini ternyata bahwa Tek Kun malah sesungguhnya adalah tunangan Lian Hong tanpa diketahui oleh Lian Hong, bahkan agaknya Tek Kun sendiripun tidak mengetahui akan hal ini. Sungguh aneh, aneh dan lucu, akan tetapi sama sekali tidak lucu untuk hati dan perasaannya yang hancur lebur karena kejailan asmara.

   "Jadi kau belum pernah bertemu muka dengan tunanganmu itu? Dan kau... kau tentu menyinta Kun-Lun Siauwhiap, bukan?"

   "Enci Lan, aku tak berhak berpikir tentang pemuda lain, tidak selayaknya menyatakan perasaan hatiku terhadap pemuda lain. Akan tetapi, terus terang saja, aku akan merasa puas sekali apabila tunanganku adalah seorang pemuda seperti Kun-Lun Siauwhiap, tidak seorang putera pangeran yang biasanya hanya menghamburkan uang warisan belaka!" Hwe-Thian Mo-Li mengerutkan keningnya. Ia amat sayang kepada Lian Hong setelah bergaul agak rapat dan ingin sekali ia menggoda serta membahagiakan sumoinya ini.

   "Mudah saja, adikku. Mengapa kau tidak menantangnya untuk mengadu kepandaian agar kau dapat mengukur sampai di mana kepandaian tunanganmu itu? Kalau memang ia seorang pemuda yang tidak becus apa-apa, dalam adu kepandaian itu kau robohkan dia, tentu dia akan malu dan mundur sendiri!" Lian Hong menggelengkan kepala,

   "Kau tidak tahu Cici. Kong-kong tentu akan marah sekali, karena ia tidak suka kalau uaku memperlihatkan kepandaianku, Khawatir kalau-kalau Pangeran Sim akan merasa kecewa dan terhina. Kau tidak tahu betapa tinggi Kong-kong memandang kehormatan dari pinangan Pangeran Sim terhadap diriku. Aku tak sampai hati untuk melukai perasaan Kong-kong dan juga orang tuaku. Kau tentu maklum akan hal ini."

   "Anak bodoh, tentu saja hal ini harus dilakukan dengan diam-diam jangan sampai ketahuan oleh orang tuamu. Biarlah aku yang akan menantangnya agar putera bangsawan she Sim itu datang ke sini malam hari nanti. Kau tempurlah dia dan biar aku yang menjadi wasitnya, menentukan apakah ia cukup gagah untuk menjadi suamimu!"

   "Ah, kau nakal, enci Lan. Kau tidak tahu keruwetan hatiku, bahkan menggodaku. Kau tidak tahu orang sedang susah..." Akan tetapi Hwe-Thian Mo-Li lalu meninggalkan dia sambil tersenyum, sungguhpun matanya memandang sayu. Menjelang senja, Hwe-Thian Mo-Li datang kembali dan dengan wajah menyatakan kekhawatiran ia berkata.

   "Adik Lian Hong, sudah berhasil usahaku dan malam nanti menjelang tengah malam tunanganmu itu akan datang di kebun bunga untuk mengadu kepandaian denganmu. Akan tetapi ada hal yang amat menggelisahkan terjadi!"

   "Ada apakah, Cici? Kau nampak pucat."

   "Celaka, adik Hong. Pada saat aku mengucapkan tantanganmu kepada putera pangeran itu, tiba-tiba datang Kun-Lun Siauwhiap yang juga mendengar akan hal itu. Ia menghadang perjalananku dan mentertawakanku. Ia berkata bahwa malam nanti iapun hendak datang di sini dan hendak membunuh putera Pangeran she Sim itu!" Terbelalak mata Lian Hong mendengar ucapan ini.

   "Kenapa, enci Lan? Kenapa Kun-Lun Siauwhiap hendak membunuhnya?" Siang Lan menghela napas,

   "Bodoh kau, Tentu saja karena pendekar Kun-Lun itu mencintaimu!" Kini tiba-tiba muka Lian Hong menjadi merah sekali, akan tetapi sepasang matanya bersinar marah.

   "Tidak! Betapapun juga, kalau ia berani datang, aku akan membela tunanganku yang tidak berdosa!"

   "Akupun takkan tinggal diam, adikku. Kita tunggu saja kedatangannya malam nanti."

   "Biarlah, jangan kau ikut turun tangan, enci Lan. Memang aku juga ingin mencoba kepandaian Kun-Lun Siauwhiap! Hendak kulihat sampai di mana sih kepandaiannya maka ia berani berlaku lancang mencampuri urusanku dan hendak membunuh Sim-Kongcu?" Siang Lan tidak menjawab, hanya diam-diam tersenyum dihatinya. Baru sekarang selama hidupnya, Siang Lan benar-benar merasa gembira di dalam hatinya dan semenjak saat mengunjungi Sim Tek Kun.

   Ia selalu merasa berdebar tegang dan juga senang sekali. Telah terlupa olehnya kekecewaan dan kesedihan hatinya karena asmara gagal, terganti oleh keinginan hendak melihat Lian Hong berbahagia. Malam harinya menjelang tengah malam, Lian Hong dengan senjata ditangan dan pakaian ringkas telah bersembunyi di dalam taman bunga di belakang rumahnya. Siapa yang akan datang lebih dulu, pikirnya, tunangannyakah ataukah Kun-Lun Siauwhiap! Bagaimanakah wajah tunangannya yang terkenal di Kota Raja itu dan sampai di mana tingkat kepandaiannya? Hatinya berdebar kalau merenungkan hal ini kemudian menjadi perih kalau teringat kepada Kun-Lun Siauwhiap yang hendak membunuh tunangannya. Siang Lan juga berada di situ mengawaninya dan tiba-tiba Hwe-Thian Mo-Li berbisik,

   "Nah, itu calon pembunuhnya datang. Hati-hati kau menghadapinya, adikku!"

   "Jangan ikut-ikut, enci Lan. Biar dia kuhadapi sendiri!" kata Lian Hong yang segera melompat keluar dan tiba-tiba turun dihadapan Kun-Lun Siauwhiap. Melihat gadis itu yang telah memegang pedang di tangan kanan dan selendang merah di tangan kiri. Kun-Lun Siauwhiap nampak terkejut dan cepat mencabut pedangnya.

   "Kun-Lun Siauwhiap, manusia sombong. Sampai di manakah kepandaianmu maka kau berani sekali datang berlagak?" seru Lian Hong yang segera menyerang dengan hebatnya. Kun-Lun Siauwhiap terkejut dan cepat menangkis lalu membalas dengan celaannya.

   "Hwe-Thian Sian-Li, apakah kau juga berhati kejam dan ganas seperti Hwe-Thian Mo-Li?" Akan tetapi Lian Hong menjadi makin marah dan segera keduanya bertempur seru. Karena ia didesak hebat dengan serangan-serangan maut, terpaksa Tek Kun tidak mau mengalah begitu saja dan membalas pula dengan serangan-serangan hebat. Diam-diam ia mengeluh mengapa gadis yang tadinya ia kagumi dan yang diam-diam ia cintai ini telah berobah menjadi seorang gadis liar yang kejam dan ganas.

   Siang tadi ia diberitahu oleh Hwe-Thian Mo-Li bahwa Hwe-Thian Sian-Li karena mencintainya, telah mendengar tentang pertunangannya dan malam nanti hendak menyerbu rumah tunangannya dan membunuhnya. Tadinya ia tidak mau percaya dan tidak memperdulikan ucapan Hwe-Thian Mo-Li ini, akan tetapi setelah malam tiba, hatinya merasa tidak enak juga. Secara iseng-iseng ia lalu keluar dari rumah, membawa pedangnya dan sekalian ia hendak mencari kesempatan melihat tunangannya yang tidak disukainya. Demikianlah, Hwe-Thian Mo-Li yang merasa kecewa dalam cintanya itu telah sengaja memancing agar Lian Hong dapat bertemu dengan tunangannya dalam cara yang lucu sekali. Bahkan gadis gagah ini diam-diam setelah melihat keduanya bertanding, lalu cepat menuju ke rumah Pangeran Sim Liok Ong dan dengan kepandaiannya ia dapat memasuki kamar pangeran itu.

   "Celaka, Sim-Taijin. Puteramu Sim Tek Kun sedang bertempur dengan tunangannya di taman bunga Ciok-Taijin!" Mendengar ini, Pangeran Sim Liok Ong menjadi terkejut dan marah. Ia lalu mengumpulkan para perwiranya dan cepat berkuda menuju ke rumah gedung Ciok-Taijin. Akan tetapi Siang Lan telah mendahului mereka dan langsung mengetuk kamar Ciok-Taijin.

   "Taijin, lekas bangun! Adik Lian Hong sedang bertempur mati-matian melawan putera Pangeran Sim!" Tentu saja Ciok-Taijin menjadi terkejut sekali, apalagi ketika ia mendengar pintu gerbang depan digedor orang dan ketika dibuka oleh penjaga, yang datang adalah Pangeran Sim Liok Ong sendiri beserta para pengawalnya. Sebelum kedua orang tua ini bicara, Siang Lan telah mendahului mereka.

   "Lekas...! Lekas pergi ke kebun belakang! Lian Hong dan Tek Kun sedang bertempur mati-matian... ah, celaka!" Pada saat itu, seisi rumah Ciok-Taijin telah bangun semua dan mendengar ucapan ini, mereka semua terkejut sekali dan cepat berlari-lari ke kebun bunga di belakang gedung. Malam itu bulan sedang purnama dan keadaan cukup terang. Ketika tiba di belakang, mereka melihat cahaya pedang berkelebatan dan dua bayangan orang lenyap terbungkus gulungan sinar pedang, seakan-akan menjadi satu. Orang-orang tua itu masih dapat mengenal dua orang muda yang bertempur hebat dan cepat Ciok-Taijin membentak marah.

   "Lian Hong...! Tahan senjatamu!" Seruan ini tidak saja membuat Lian Hong terkejut dan melompat mundur, juga Tek Kun menjadi terkejut dan mencelat mundur. Ia menjadi lebih terkejut lagi ketika melihat Ayahnya telah berada di situ, maka cepat ia menghampiri Ayahnya dan berseru.

   "Ayah, kau di sini...??"

   "Tek Kun, kau malam-malam datang mengacau di sini apakah maksudmu?" Ayahnya membentak marah. Hampir berbareng, Ciok-Taijin menegur cucunya,

   "Lian Hong, tengah malam buta kau bertempur di dalam taman, apakah artinya semua ini?" Hampir berbareng pula, kedua orang muda itu menjawab,

   "Ayah, gadis kejam dan ganas ini hendak membunuh mati Ciok-Siocia, tunanganku!"

   "Kong-kong, pemuda sombong ini hendak membunuh mati Sim-Kongcu, tunanganku!" Ketika Lian Hong mendengar ucapan pemuda itu, ia menjadi pucat, demikianpun Tek Kun. Keduanya saling pandang dengan bengong sedangkan orang-orang tua yang berdiri di situ memandang lebih hebat lagi.

   "Tek Kun, apakah kau mendadak sudah menjadi gila? Kau bilang tunanganmu Ciok-Siocia hendak dibunuh oleh gadis ini?? Ayaaa... apalagi yang lebih gila dari pada ini...??" Juga Ciok-Taijin berseru keras.

   "Lian Hong, apakah kau sedang ngelindur? Bagaimana pemuda ini bisa membunuh Sim-Kongcu? Dia sendirilah Sim Tek Kun tunanganmu!" Baik Lian Hong maupun Tek Kun merasa seakan-akan tanah yang diinjaknya tiba-tiba amblas. Mereka berdiri bengong, saling pandang dengan perasaan tidak karuan. Mereka merasa malu, terkejut, heran, dan juga girang setengah mati.

   "Kau... kau... nona Lian Hong tunanganku...?" kata Tek Kun hampir berbisik.

   "Kun-Lun Siauwhiap... kaulah sebenarnya Sim Kongcu...?" kata Lian Hong. Tiba-tiba meledaklah suara ketawa dari Pangeran Sim Liok Ong dan Ciok Taijin. Orang-orang tua ini yang telah berpengalaman dapat menebak dengan jitu apa yang terkandung dalam ucapan perlahan ini. Mereka saling pandang, lalu Pangeran Sim melangkah maju, menggandeng tangan Ciok Taijin diajak masuk ke gedung sambil berkata.

   "Ah... urusan anak-anak muda! Sim Taijin, agaknya pernikahan perlu dipercepat! Ha, ha, ha...!" Tak lama kemudian, Tek Kun dan Lian Hong ditinggalkan berdua di taman itu. Mereka masih berdiri saling pandang, penuh perasaan, penuh kebahagiaan, pandangan yang mesra. Bibir mereka bergerak-gerak karena geli hati memikirkan keadaan mereka dan akhirnya meledaklah suara ketawa Sim Tek Kun. Lian Hong juga tidak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawa-tawalah dia sambil menutupi mulut dengan punggung tangan.

   "Lian Hong... kau... kau nakal!" Gadis itu cemberut dan menahan ketawanya.

   "Siapa...? Bukan aku, kaulah yang nakal!"

   ðŸ‘º

   

   "Salah, bukan kita, manisku. Hwe-Thian Mo-Li yang menjadi biang keladi dan gara-gara semua ini!"

   Akan tetapi yang dibicarakan pada saat itu telah pergi jauh dan kalau kita mengikutinya, kita hanya melihat bayangannya yang bagaikan seorang iblis wanita melayang-layang seorang diri di tengah hutan di sebelah selatan Kota Raja. Terdengar ia tertawa-tawa seorang diri dengan geli hati dan gembira, akan tetapi apabila kita melihat pipinya, kita akan melihat betapa sepasang pipinya telah basah oleh air mata.

   TAMAT



Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEMBAH SELAKSA BUNGA